Sunday, 29 January 2017

Sang Novelis - Prolog


Menyelamatkan Liane Fayani
            27 Maret 2016
            Angin malam memilih mengikuti ke mana mobil itu melaju. Jalanan sepi memang memancing adrenalin pengendara agar memacu kendaraan lebih kencang. Memang kencang tapi itu bukan tanpa alasan. Sebab waktu terlambat sedetik saja, nyawa istri  dan putrinyaakan tersia-siakan.
            “Pak Tono, enggak bisa dipercepat sedikit?” desak Ervano, dengan tekanan suara agak tinggi.
            “Saya sudah mengusahakan secepat mungkin, Pak Ervano. Saya juga khawatir dengan keselamatan Ibu Fayani tapi kita juga harus berhati-hati. Terkadang, jalanan sepi bisa mendatangkan kecelakaan,” jawab Tono, simpatik.
            Pak Tono benar. Kehati-hatian juga diperlukan di jalan sepi. Bisa saja kecelakaan terjadi ketika bulatan setir menggoda dengan bisikan kata-kata agar kau beraksi sepeti pembalap F1. Dengan terpaksa, Ervano harus membuang napas keras. Ia bingung apa yang mesti dilakukan. Menghubungi nomor Fayani pun tak membuahkan hasil yang berarti.
            Meski didera kekhawatiran, daun telinga Ervano menangkap suara sirine di kesunyian malam. Pukul sepuluh malam.
            “Pak Tono, Pak Tono, Bapak dengar suara sirine?” Lelaki berjaket kulit coklat tua bangkit dari sandaran jok lalu bertanya dengan memastikan suara yang ia dengar.
            “Saya dengar, Pak.” Saat menjawab pertanyaan sang majikan, tiga mobil polisi tepat melintas di hadapan mereka. Laju mobil kencang menembus dingin angin malam. Bunyi sirine mengaung dekat telinga keduanya.
            “Cepat ikuti mobil di depan kita, Pak,” suruh Ervano dari belakang. Tono menekan pedal gas dengan ujung kaki kanan.Menambah kecepatan agar bisa menyusul rombongan mobil di depan mereka.
            Aku takkan memaafkannya  jika dia menyakiti istri dan anakku, ujar batin Ervano.