Menyelamatkan Liane Fayani
27 Maret 2016
Angin malam memilih mengikuti ke mana mobil itu melaju.
Jalanan sepi memang memancing adrenalin pengendara agar memacu kendaraan lebih
kencang. Memang kencang tapi itu bukan tanpa alasan. Sebab waktu terlambat
sedetik saja, nyawa istri dan putrinyaakan
tersia-siakan.
“Pak Tono, enggak bisa dipercepat sedikit?” desak Ervano,
dengan tekanan suara agak tinggi.
“Saya sudah mengusahakan secepat mungkin, Pak Ervano.
Saya juga khawatir dengan keselamatan Ibu Fayani tapi kita juga harus
berhati-hati. Terkadang, jalanan sepi bisa mendatangkan kecelakaan,” jawab
Tono, simpatik.
Pak Tono benar. Kehati-hatian juga diperlukan di jalan
sepi. Bisa saja kecelakaan terjadi ketika bulatan setir menggoda dengan bisikan
kata-kata agar kau beraksi sepeti pembalap F1. Dengan terpaksa, Ervano harus
membuang napas keras. Ia bingung apa yang mesti dilakukan. Menghubungi nomor
Fayani pun tak membuahkan hasil yang berarti.
Meski didera kekhawatiran, daun telinga Ervano menangkap
suara sirine di kesunyian malam. Pukul sepuluh malam.
“Pak Tono, Pak Tono, Bapak dengar suara sirine?” Lelaki
berjaket kulit coklat tua bangkit dari sandaran jok lalu bertanya dengan
memastikan suara yang ia dengar.
“Saya dengar, Pak.” Saat menjawab pertanyaan sang
majikan, tiga mobil polisi tepat melintas di hadapan mereka. Laju mobil kencang
menembus dingin angin malam. Bunyi sirine mengaung dekat telinga keduanya.
“Cepat ikuti mobil di depan kita, Pak,” suruh Ervano dari
belakang. Tono menekan pedal gas dengan ujung kaki kanan.Menambah kecepatan
agar bisa menyusul rombongan mobil di depan mereka.
Aku takkan
memaafkannya jika dia menyakiti istri
dan anakku, ujar batin Ervano.