Aku
mengira kalau hidup ini adalah sebuah fantasi. Tapi ternyata aku memang berada
dalam sebuah kenyataan yang buatku tak bisa melarikan diri. Meski aku harus
menatap menatap ke atas langit, takkan mengubah kenyataan kalau aku hanyalah
seorang lelaki miskin. Tapi jangan salah sangka. Aku tidak mengharapkan simpati
dari kalian yang punya harta melimpah dan popularitas. Orang bijak berkata
kalau hidup ini punya pasang surut. Tapi aku merasa pepatah mereka benar-benar
tidak berarti. Betul-betul tidak ada artinya. Persis dengan apa yang terjadi
padaku. Semuanya bagaikan embusan angin. Cuma menumpang lewat saja lalu
terlupakan.
***
Ed,
itulah panggilanku. Aku tinggal bersama dengan ibuku. Kami tinggal di sebuah
desa yang masyarakatnya terbilang berkecukupan. Mayortitas penduduk di sana
punya ladang dan sawah luas. Setiap memanen mereka bisa berpenghasilan dua
puluh juta ke atas. Mereka punya mobil dan sepeda motor. Rumah mereka terbilang
cukup besar. Setiap aku melintas di rumah mereka, aku refleks tersenyum.
Berandai-andai jika kehidupanku seperti mereka. Tapi di saat itu pula aku
merasa kesedihan menyeruak dalam hati.
***
Ayahku
dulunya merupakan seorang kepala dinas pendapatandaerah. Jangan tanya soal
kekayaan kami. Kami merupakan orang terpandang di kota A. Kami punya perusahaan
garmen dan pabrik susu. Rumah kami rumah beton berarsiktur Spanyol dengan air
pancur dan replika patung Aristoteles di halaman rumah. Rumah kami sering
sekali dijadikan tempat berpestanya kaum borjuis dan birokrat. Maklum saja,
ayah juga merupakan ketua dewan pengurus daerah salah satu partai pro
pemerintahan. Ayahku sering sekali melakukan pertemuan-pertemuan penting atau
sekedar berbincang-bincang di rumah kami. Ayahku sering sekali memperkenalkan
diriku pada teman-temannya.
“Perkenalkan
ini putra saya—Edgardo. Kalian tahu, di sekolah dia selalu mendapat pujian dari
guru-guru bidang studi. Dia anak yang pintar. Aktif dalam menjawab pertanyaan
seputar pelajaran,” ucap ayah, bangga.
“Kau
beruntung punya anak seperti dia, Fran. Barangkali dia bisa menggantikan
posisimu sebagai kepala dinas atau jadi ketua dewan pengurus partai kita,” puji
salah satu teman separtai Fran.
“Untuk
itulah aku selalu menekan padanya untuk belajar giat dan jikalau dia sudah
menyelesaikan sekolahnya, dia akan kukuliahkan di luar negeri di fakultas
hukum.” Ayah menepuk pundakku sambil menatap penuh keyakinan padaku.
Mendengar
apa yang dikatakan ayahku tentu senangnya bukan main. Aku selalu berdoa pada
Tuhan semoga ayahku sehat walafiat. Agar cita-cita itu dapat terwujud di masa
depan. Agar aku bisa meneruskan posisi ayahku sebagai kepala dinas dan ketua
dewan pengurus partai.
Tapi
siapa bisa menebak bagaimana alur hidup ini ke depannya? Semua terjadi begitu
cepat. Secepat mengedipkan kelopak mata. Suatu hari, aku, adikku dan ibuku melihat dua orang berpakaian polisi mendatangi
rumah kami.
“Selamat
malam, Nyonya Fran, kami dari komisioner pemberantasan korupsi dan kepolisian
diperintahkan untuk membawa suami Anda ke kantor polisi. Suami Ibu terlibat
dalam kasus korupsi pajak bumi bangunan sebesar 5 miliar rupiah.” Pegawai
komisioner pemberantasan korupsi dan dua polisi memasuki rumah kami, mencari
keberadaan ayahku di sana. Mereka bertiga telah menemukan ruangan pribadi ayahku.
Tetapi ketika diketuk beberapa kali, mereka tidak mendengar suara apapun dari
dalam. Dalam hati aku begitu khawatir terjadi sesuatu dengan ayah. Ibu
cepat-cepat menyuruhku membawa kunci cadangan dari kamarnya, membuka ruangan
pribadi ayah.
Rasanya
aku ingin berteriak sekencang mungkin. Kakiku bergetar. Kedua bola mataku
melebar dengan sendiri. Menyaksikan pemandangan mengerikan ini cukup menurunkan
tensi keberanianku. Kami menyaksikan ayah dalam posisi duduk bersandar meregang
nyawa dengan mulut berbuih. Di tangan sebelah kiri memegang sebuah botol kecil
yang menjadi jalannya untuk mengakhiri hidup di dunia ini. Sementara ibu dan
adikku masih meratap pilu, aku berjalan perlahan-lahan bersama dengan ketiganya
menuju meja kerja ayah. Aku melirik secari kertas yang bertuliskan’untuk Edgardo’
di meja kerja ayahku. Aku meraih kertas itu lalu membaca tulisan yang tercetak
di atas surat wasiat.
Nak,
tolong jaga baik-baik ibu dan adikmu ya. Ayah mau pergi.
tertanda,
Ayahmu—Fran.
Aku
menggeleng tak percaya dengan apa yang dituliskan ayahku. Benarkah ini ditulis
oleh ayahku? Kalau memang benar ini tulisan ayahku, apa, apa yang mendasarinya
melakukan tindakan sebodoh ini. Ayah yang selalu terlihat tegar dan selalu
berkata kuat menjalani hidup, tak lebih dari manusia lemah dan munafik yang
mengingkari kata-kata dari mulutnya sendiri. Lututku kembali melemah. Aku tak
kuat menahan kenyataan sekaligus beban tubuhku. Tangisku pecah di ruang pribadi
ayahku.Aku menangis sejadi-jadinya meratapi kehilangan ayah untuk selama-lamanya.
***
Aku
buru-buru mengusap tetes air mata yang jatuh tanpa kusadari. Kulihat pemilik
rumah sudah menampakkan diri di hadapanku.
“Ngapain
kamu di depan rumah saya?! Mau mencuri ya?!” tuding lelaki paruh baya pemilik
rumah besar itu.
“E-e...ti-tidak Pak. Kebetulan saya numpang
lewat saja dan tak sengaja berhenti di depan rumah Bapak,” sangkalku.
“Awas
ya kalau kamu mau macem-macem! Saya lapor kamu ke polisi!” ancam lelaki itu
sambil berpaling meninggalkanku. Aku hanya mengangguk tanggung lalu cepat-cepat
pergi dari sana.
Setelah
kematian ayah, barulah aku tahu kalau ayah juga punya utangupah pegawai
perusahaan garmen dan pabrik susunya sebesar 3 miliar. Belum lagi membayar uang
denda akibat korupsi ayahku. Terpaksa keluargaku menggadaikan pabrik dan rumah
untuk membayar itu semua. Ibu yang punya sedikit uang di tabungan memutuskan
membawa kami ke desa, membangun rumah kecil, tempat kami tinggal saat ini.
Tapi
bukan berarti bebanku hilang begitu saja. Karena keadaan ekonomi kami yang
morat-marit, aku terpaksa mengubur impianku dalam-dalam untuk berkuliah karena
keterbatasan biaya. Ibuku bahkan sampai membuka kedai kopi sederhana untuk
biaya sekolah adikku. Ibu berkata bahwa adikku, Sisca, harus bersekolah sampai
tamat SMA.Untuk mewujudkan apa yang diinginkan ibu, aku melamar kerja sebagai
pekerja di sebuah toko kelontong meskipun bayaran yang kuterima tidak seberapa
bahkan untuk lepas makan selama dua minggu.
***
Hidup
seakan belum puas memberikanku variasi cobaan. Mereka terus berdatangan tanpa
menunggu apakah aku sudah siap menghadapinya atau belum. Sudah tiga hari ibu
mengalami malaria. Ia masih terbaring lemah di atas ranjang berselimut merah
tebal. Gigi atas dan bawah bergetar-getar, menimbulkan suara gemelutuk. Suhu
badannya cukup tinggi hingga membuatku khawatir kalau kondisinya bisa saja
semakin memburuk.
Di
samping ranjang ibu, aku tertunduk lesu.Menjaganya apabila dirinya perlu
bantuanku. Aku membenamkan diri sambil menangis dalam diam. Ibu yang baru
terbangun dari tidurnya, mendengar suara tangis tertahan. Dan ia yakin kalau
itu berasal dari suara putranya.
“Apakah
itu suara tangisanmu, Nak?”
Begitu
ibu menyadari suara tangisku, aku buru-buru mengusap air mataku lalu menengok
ke arah ibu. “Tidak, Ma, tidak. Itu bukan suaraku.”
“Mama
tahu kamu pasti sedih melihat keadaan Mama saat ini ditambah lagi dengan
keadaan kita yang seperti ini. Tapi kamu tidak perlu khawatir. Mama pasti akan
sembuh. Mama berterimakasih dengan obat yang kamu beli, Nak. Itu sudah lebih
dari cukup.” hibur Ibuku. Matanya terlihat sayu. Terlalu sayu. Mungkin mulutnya
berkata kalau dia akan segera sembuh. Tapi bahasa tubuhnya tak memunjukkan
perubahan signifikan.
Aku akan mengupayakan kesembuhan Mama. Aku
akan membawanya ke rumah sakit. Kalau dia sembuh, pasti Mama akan kembali
berjualan dan bisa membiayai sekolah Sisca tapi itulah masalah. Kami tidak
punya uang untuk berobat. Aku harus dapat uang banyak darimana?
Begitu
lama aku berkutat dengan pikiranku sendiri, ada satu sisi membisikkan sesuatu
dekat di telingaku.
Kau tahu lelaki lajang tua yang tinggal di
rumah mewah itu? Kenapa kau tidak coba mengambil hartanya? Hartanya tak hanya
cukup biaya berobat ibumu tak cukup untuk memenuhi kebutuhanmu, kawan. Lagipula
kau bisa sekalian membalaskan dendammu padanya atas perbuataannya yang selalu
melecehkan keluargamu ya kan?
Ada
benarnya juga yang dikatakannya. Aku pun sudah lama memendam dendam pada lelaki
lajang tua itu. Mungkin Tuhan sedang memberikanku kesempatan untuk membalaskan
apa yang sudah dilakukannya padaku. Dan aku sudah tahu bagaimana cara untuk
membalaskan itu semua.
***
Aku
mengamati sebentar keadaan ruang tamu. Tidak ada satu langkah kaki terlihat di
sana. Suasana gelap gulita. Aku bisa keluar lebih leluasa karena jam dinding
menunjukkan pukul 00.30. Aku mengendap-endap menjauh dari rumah. Kulihat
kondisi rumah di sekitarku. Banyak rumah sudah mematikan lampu dalam.
Menandakan mereka sudah tidur. Tapi begitu aku melanjutkan langkah, kulihat pos
kamling dijaga dua orang lelaki paruh baya. Mereka berdua tengah serius main
catur. Tanpa berpikir lama-lama aku memutar jalan menuju daerah hutan untuk
menghindari kemungkinan kalau aku akan dipergoki.
Meskipun
keadaan hutan begitu remang, tidak membuat nyaliku menciut. Malah ini semakin
menumbuhkan semangatku untuk sampai ke rumah mewah itu. Satu setengah kilometer
kutempuh jalan berumput dan gelap, aku tiba di depan rumah targetku. Sebelum
memanjat pagar, kedua bola mataku mengitari keadaan sekitar. Kulihat seekor
anjing Herder tengah tertidur. Aku membatasi pergerakanku lalu menarik pelatuk
pistol, mengeker kepala anjing itu. Ketika anjing itu akan bangun, ia sudah tergeletak
di atas tanah dengan kepala berlumuran darah.
Aku
menyiapkan ancang-ancang untuk melompat. Kedua kakiku telah mendarat sempurna
di atas tanah. Kini aku harus berhati-hati mengatur langkah kakiku. Sepertinya
Dewi Fortuna sedang menyertai aksiku ini. Salah satu jendela rumah ini tidak
terkunci rapat. Agak kutarik sedikit dan akhirnya terbuka. Aku diam-diam
menyelinap ke dalam ruang tamu. Ruangan tamu begitu gelap akan tetapi lampu di
salah satu kamar di lantai dasar menyala. Aku yakin kalau pemilik rumah belum
tidur.
Aku harus berhati-hati, ucapku dalam
hati. Akan tetapi di situlah awal bencana. Karena suasana ruang tamu begitu gelap,
tanganku tak sengaja menyenggol guci porselen hingga membuat guci itu terbelah
berkeping-keping. Sontak aku ikut terkejut. Kamar tidur si pemilik rumah segera
terbuka.
Si
lelaki menekan sakelar lampu. Lampu pijar berpendar terang. Ia berjalan menuju
sumber suara guci pecah itu lalu diamatinya secara seksama. Tapi disadarinya
aku sudah berdiri di belakang sambil menodongkan pucuk pistolku pada kepalanya.
“Selamat
malam, Pak,” sapaku padanya.
“Mau
apa kau kemari?! Mau maling ya?!” tanyanya penuh kewas-wasan.
“Aku
ke sini mau minta hartamu sedikit saja untuk biaya berobat ibuku. Boleh?”
“Tidak!
Biarkan saja ibumu mati! Dasar miskin! Anak koruptor kelas kakap!” Caciannya
begitu panas di telinga dan di hatiku.Melihatku yang agak lengah, si lelaki
lajang tua buru-buru berlari menjauhiku. Mungkin ia ke kamarnya untuk
melindungi hartanya.
“Dasar
orang serakah!” Aku membidik pistolku di kepala bagian belakang. Dalam dua kali
tembakan, ia sudah roboh bersimbah darah. Begitupasti kalau ia sudah tak
bernyawa, aku melangkah menuju kamar guna mengambil harta-harta yang dia simpan
di sana.
Dalam
tempo 30 menit, aku sudah keluar dari rumah itu. Namun hampir lepas jantungku
ketika ada dua orang pemuda tanggung tak sengaja melihat aksiku melompat pagar.
“Maling!”
Ketika salah satu dari mereka memekik, aku cepat-cepat berlari meninggalkan
merekamenuju hutan. Sebenarnya aku bisa saja menembak mereka akan tetapi aku
sudah terlambat menyadarinya. Kutambahkan kecepatanku berlari walau terkadang
kakiku tersandung batu dan hampir goyah, yang terpenting jangan sampai
tertangkap oleh mereka. Untungnya aku memegang kunci cadangan rumah. Dengan
serba gelagapan, aku membuka engsel rumah. Kamar ibu dan adikku masih gelap.
Menandakan kalau mereka sudah terlelap. Tanpa menukarkan pakaianku, aku langsung
melompat ke arah ranjang reot lalu menundungi diri dengan selimut hijau.
***
Walau
kejadian tadi malam membuat dadaku berdebar-debar, aku mencoba bersikap biasa.
Aku memakai baju dinasku untuk segera pergi bekerja. Tapi ketika aku akan
menaruh dompet ke dalam saku celana, air wajahku berubah dratis. Aku tak
melihat dompetku berada di kantong celana jins yang kukenakan tadi malam.
Apa mungkin... jatuh?Aduh bisa gawat kalau
sampai mereka dapatkan itu! Argh! Aku terus merutuki kemalanganku. Aku tak
bisa membayangkan kalau sampai aku berurusan dengan polisi.
“Kak...
kakak kenapa?” tanya Sisca lembut.
Begitu
ditegur adikku aku langsung berubah sikap. “Eh eng-enggak apa-apa. Kakak cuman
lagi sakit gigi aja.” Adikku mengangguk pelan mendengar alasan yang kubuat.
“Kak,
kakak semalam dengar ya ada ribut-ribut di luar? Kayaknya warga teriak-teriak
ada maling gitu?” tanya Sisca padaku yang sedang mengunyah nasi.
“Hmm,
enggak. Kakak enggak dengar apa-apa kok,” balasku sambil tetap berkonsentrasi
pada nasi kunyahanku.
“Kak,
kakak—“ tak mau adikku bertanya macam-macam, aku menyela, “aku sudah kenyang. Kakak
pergi kerja dulu ya, Dik. Bilang sama Mama.” Aku bangkit dari kursi lalu
berpaling dari adikku. Adikku benar-benar tak mengerti atau mungkin dia merasa
ada sesuatu tak beres dengan kakaknya.
Aku
melangkah dengan biasa menuju jalan raya. Ketika akan menuju ke rumah besar
itu, aku melihat kerumunan warga dan dua mobil polisi memadati halaman depan
rumah itu. Aku buru-buru mempercepat langkah kakiku. Tak mau kalau sampai
orang-orang yang ada di sana bertanya padaku.
***
Awan
langit mulai berurai menjadi lebih tepis. Membiaskan warna orange yang menjadi
ciri khas senja. Aku melirik arloji yang baru saja kubeli menunjukkan pukul
17.02. Di tangan sebelah kiri, aku menenteng plastik putih berisi obat herbal
Cina. Harga obat ini berkisar dua ratus ribu. Uang hasil curianku lebih dari
cukup untuk membeli obat-obatan Ibu. Bahkan dengan uang itu, aku membeli dua
stel kemeja lengan panjang, dua stel celana jins, gel rambut dan parfum
bermerek.
Sesampainya
di rumah, bola mataku membeliak. Tiga orang pria berseragam polisi sedang
berada di ruang tamu. Aku berjalan pelan-pelan sambil bertanya dengan sopan.
“A..
ada perlu apa ya, Bapak-Bapak datang ke sini?”
“Apa
betul dompet yang kami pegang milik Anda?” tanya seorang polisi berwajah halus
sambil memperlihatkan dompet itu padaku.
“I-itu
kan dompet saya? Bapak bisa dapat darimana dompet itu?” tanyaku seolah aku
merasa benar-benar kehilangan dompet.
“Dompet
ini kami temukan di hutan yang berada di Barat desa ini tidak jauh dari rumah
besar yang terkena kasus perampokan dan pembunuhan.”
“Maksud
Bapak-bapak di sini apa ya? Saya jadi enggak ngerti deh,” elakku pada mereka.
“Sebaiknya
Bapak jelaskan dompet ini di kantor polisi.” Salah seorang polisi sudah
meletakkan borgol di pergelangan tangan sebelah kanan. Aku menggeleng tak
percaya.
“Tunggu
dulu, Pak. Jangan bawa pergi saya dulu. Izinkan saya menemui Ibu saya. Saya
ingin memberikan obat ini padanya. Kalau Bapak ragu, Bapak-bapak bisa menemani
saya ke kamar Ibu saya.” Dua polisi di kanan dan kiriku menatap satu sama lain.
Mereka berdua ikut mengangguk sambil mengantarkanku ke kamar ibu.
Aku
menekan gagang pintu kemudian kudorong pelan. Kulihat ibu memandangku iba dan
seolah tak percaya. “Ibu yakin kamu bukan pembunuhnya kan? Pasti kamu tidak
bersalah dan akan pulang lagi ke rumah kan, Nak?”
Aku
tidak bisa menutupi kesedihan melihat raut wajah Ibu. Serasa ingin mengatakan
kalau aku tidak membunuh si pria lajang tua itu tapi sedalam apapun kututupi
atau sebaik apapun aku berdusta, suatu saat akan ketahuan juga.
“Ibu...
kalaupun aku tidak kembali, aku harap Ibu dan Sisca bisa tegar dan bersikap
seolah tidak pernah terjadi apa-apa pada keluarga kita.” Begitu mengucapkan
kalimat terakhir, kedua polisi itu menggiringku keluar dari kamar ibu lalu
memborgol kedua tanganku ke belakang.
***
Di
sinilah aku sekarang. Di sebuah ruangan yang dibatasi teralis besi yang
mengasingkanku dari keluarga dan duniaku. Namun aku tidak sendirian di dalam
sini. Aku bersama seorang lelaki yang seumuran denganku dan sering kuajak
berbincang-bincang. Namanya Jhonson. Dia sudah mendekam di penjara selama tiga tahun. Ia bercerita padaku kalau
dirinya divonis selama lima tahun penjara akibat mencuri tiga potong roti untuk
makanan kedua adiknya. Ia sama sepertiku. Ia berasal dari keluarga orang
miskin. Tak punya uang untuk menyewa pengacara agar hukumannya bisa dikurangi
dan terpaksa menjalani hukuman sesuai putusan vonis hakim agung.
Ketika
aku sedang berbicara dengan Jhonson, aku melihat dua orang polisi menuju
ruangan penjaraku sambil membuka , “Bersiaplah. Hari ini merupakan pembacaan
putusan vonismu olehhakim agung.” Saat polisi mengatakan hal itu padaku, jujur
aku merasa degdegan bercampur dengan khawatir. Kudengar cerita dari Jhonson,
mereka yang terlibat kasus pembunuhan paling lama menjalani hukuman 10 tahun
penjara. Aku berdoa dalam hati semoga putusan vonis hakim bisa lebih ringan.
Jikalau aku dipenjara sampai selama itu, siapa yang akan menafkahi Ibu dan
adikku? Siapa yang akan menjaga mereka? Aku berharap Tuhan masih berbaik hati
padaku.
Dua
puluh lima menit perjalanan menuju gedung pengadilan. Kedua kakiku sudah
melangkah menuju ruang pesakitan tempat para hakim dan jaksa agung akan
menjatuhi hukumanku. Aku melihat ibu dan adikku sudah berada di barisan di belakang
kursi yang akan segera diduduki.
“Dengan
menimbang keputusan majelis hakim bahwa terdakwa Edgardo terbukti bersalah
melakukan pembunuhan berencana dan perampokan pada saudara Filipi Kons, maka
terdakwa dijatuhi hukuman mati di kursi listrik. Terdakwa akan dieksekusi pada
tanggal 26 Juni. Demikianlah pembacaan hasil putusan vonis hakim agung.” Hakim
agung mengetuk palu tiga kali menandakan hukumanku telah sah diberlakukan. Kedua
mataku mendelik, bibirku bergetar begitu mendengar putusan vonisku. Aku
menggeleng tak percaya. Seberapa parahkah kejahatanku sampai aku harus menerima
hukuman itu? Aku menoleh ke kiri, melihat ibu dan adikku menangis tersedu-sedu.
Aku pun tidak bisa berbuat banyak untuk menghentikan semua ini.
***
Dua
minggu berlalu sudah. Aku sudah lama mendekam di sel khusus. Tibalah saatnya
aku akan menjalani eksekusiku. Selama dua minggu itu pula aku tak henti-henti
merutuki kemalanganku. Aku membayangkan ketika aku mendengar vonis hukuman
mati, aku merasa bukan hanya bulu romaku merinding, bahkan pembuluh darah dan
darah di dalamnya berdesir lebih kencang. Detak jantungku semakin tak karuan. Lewat
kertas dan pena aku menuliskan salam perpisahan kepada ibu. Kepada adikku.
Kepada seluruh orang yang menyayangiku. Aku harus pergi meninggalkan mereka
semua. Aku kehabisan kata-katadan daya untuk menuliskan betapa malangnya hidupku.
Puncaknya
aku mencampakkan buku dan pulpenku. Aku menangis sejadinya. Dalam hatiku, mama,
aku tidak mau mati. Aku tidak mau berakhir tragis di atas kursi listrik.
Hidupku masih panjang. Seandainya aku tahu kalau hidupku akan seperti ini, aku
berharap aku tidak pernah dilahirkan sebelumnya. Jika aku tidak dilahirkan,
tidak mungkin aku menghadapi persoalan pelik seperti ini. Tapi... tapi semuanya
sudah terjadi.
Ketika
aku masih larut dalam tangis penyesalanku, aku melihat sebuah bayangan sedang
menuju selku. Bayangan kecil itu akhirnya berwujud seorang lelaki berbadan
kekar mengenakan sebuah topeng yang terlihat bagian mata, hidung dan mulutnya
saja. Oh tidak! Itu pasti algojo yang akan membawaku ke kursi listrik.
Siapapun, tolong selamatkan aku! Kursi listrik itu sungguh-sungguh menakutkan!
Aku
tak bisa menahan rasa takutku sampai-sampai aku memohon pada algojo di
sampingku, “Tidakkah kau kasihan melihat seorang lelaki miskin mati konyol
hanya karena persoalan sepele. Aku hanya terlibat pembunuhan biasa. Mereka
terlalu berlebihan menjatuhkan hukuman mati padaku.”
Akan
tetapi algojo di sampingku tak merespon perkataanku. Ia hanya menatap kosong
padaku. Namun aku belum mau menyerah, “tolong lepaskan aku. Aku cuma lelaki
miskin dari keluarga orang miskin. Tolong lepaskan aku dari hukuman mengerikan
ini!”
Sang
algojo sudah mendudukkanku di atas kursi listrik. Kedua tanganku sudah terikat.
Begitu juga dengan kedua kakiku. Di hadapanku terlihat beberapa orang sedang
menanti eksekusiku. Tak ada yang bisa kuharapkan lagi. Aku berdoa dalam hati.
Memohon mukjizat Tuhan membebaskanku.
Kutunggu-tunggu
begitu lama, aku tidak melihat atau merasakan apapun sesaat setelah aku berdoa.
Yang ada malah sang aljogo sudah selesai dengan urusan teknis kursi listrik
lalu bertanya padaku, “ada kata terakhir yang mau kau sampaikan?”
Dalam
hitungan beberapa detik, aku belum bisa berkata apa-apa. Aku menatap
sekelilingku, pada kerumunan orang mengamati prosesi hukuman matiku. Tapi kedua
bola mataku tertuju pada seorang gadis berambut panjang melewati bahu. Aku
sempat tak berkedip melihatnya. Ia tidak sendirian. Lelaki berperawakan tinggi
dan tampan menyunggingkan senyum mengejek padaku sambil merangkul bahunya.
Tidak
kusangka-sangka, Monna, gadis yang telah berpacaran denganku selama dua tahun
sampai hati mengkhianatiku. Dia pernah bilang sesulit apapun kondisiku, dia
tidak akan pernah meninggalkanku. Dan kini apa yang kulihat di depan mataku,
hanyalah sebuah omong kosong. Apa dia
pikir dia bisa menyingkirkanku?! Tak sadarkah kalau yang dia lakukan bagaikan
meludah ke mata mataku! Oh mungkin saja dia sengaja membiarkanku mati dan menyaksikan
detik-detik sakratul maut menjemput nyawaku?! Oh tidak!Tidak bisa dibiarkan!
Aku harus pergi! Aku harus keluar dari sini!
Percuma.
Percuma aku menggoyang-goyangkan kedua tangan dan kedua kakiku.Percuma saja aku
memaki-maki mereka. Tak ada yang bisa kulakukan selain pasrah. Air mataku
meluruh pelan-pelan tapi pasti. Aku menolehkan kepala ke arah algojo di
sampingku lalu menggeleng dua kali, memberitahu kalau tidak ada kata-kata
terakhir apapun.
Arus
listirk mulai menyerbu aliran darahku. Aku tak sempat menerka-nerka berapa
ratus volt tegangan listrik menusuk jaringan otak, paru-paru dan jantungku.
Mereka seakan-akan membakar darahku.Tubuhku tidak kuat lagi menahan tegangan
listrik yang mulai memanggang jaringan lemak dari tungkai kaki sampai pipi.
Hidung mencium bebauan seperti bau daging gosong.
Beginilah akhir hidupku. Benar-benar
tidak ada artinya. Semua orang yang berada di sana bisa menyaksikan bagaimana
tragisnya kematianku. Benar-benar tidak ada artinya. Tapi ke mana ibuku? Ke
mana adikku?
***
Wajah
gadis berusia 14 tahun itu tergeletak begitu saja di atas meja makan. Buih
putih memenuhi mulut. Hela napasnya tak lagi berembus dari hidung maupun dari
mulutnya. Tak jauh dari sana, seorang wanita paruh bayamenggantung di seutas
tali berbentuk lingkaran. Kedua kakinya mengambang di udara. Kursi plastik di
belakang tubuhnya jadi saksi bisu bagaimana dia membualatkan tekada mengakhiri
hidupnya dengan cara seperti itu.
Maafkan aku, Fran. Aku tidak bisa menjaga
mereka. Aku dan putrimu akan menyusulmu di sana.
Tinta
dalam pulpen hitam menjelma menjadi kalimat yang memperlihatkan kalau itu
menjadi surat terakhir sebelum ia mengakhiri kehidupannya sendiri.
Selesai.
Note:
Cerita
ini ditulis dan dikembangkan berdasarkan tafsiran saya mengenai makna lagu
Queen ‘Bohemian Rhapsody’.
