Friday, 7 December 2018

DUAL - 21


Penghabisan
            Jonas sudah lama menjadi penghuni rumah sakit jiwa Sehati Bersama. Di antara semua pasien rumah sakit, dirinya adalah pasien termuda. Ia tinggal dalam sebuah ruangan mirip sebuah sel berukuran 3x4 meter. Ia ditempatkan seorang diri di sana. Diasingkan dengan pasien-pasen lain. Menurut catatan terakhir yang miliki rumah sakit, anak itu punya kecenderungan suka menyakiti orang lain. Ketika masih kecil, Jonas pernah secara sengaja mendorong anak pamannya yang berusia 4 tahun ke dalam selokan. Bukannya meminta maaf atau merasa menyesal, ia bilang ‘aku cuma mendorongnya pelan kok. Adik itu aja yang lebay.’.
            Bukan cuma perilaku kejam tanpa belas kasihan, Jonas punya kebiasaan menyakiti diri sendiri. Luka yang membakar dua jari kirinya diakibatkan karena rasa gatal yang menurutnya susah hilang. Dengan alasan menghilangkan rasa gatal, Jonas menekan kenop kompor gas lalu meletakkan dua jari kirinya di atas kobaran api biru. Hingga kedua jarinya menguar bau seperti daging gosong.
            Kini dirinya sudah berada sepuluh tahun di dalam sel. Ia sudah berada di ujung titik bosan. Ia ingin menghirup udara bebas di luar sana. Sampai dengan umurnya tujuh belas tahun, ia sudah merencanakan dengan matang usaha melarikan diri dari tempat terkutuk itu.
            Ketika seorang perawat membawa ember untuk mengumpulkan pakaian bekas, Jonas membuka baju dan celananya di depan sang perawat. Lelaki itu tahu kalau dirinya begitu tampan. Perawat yang di depannya juga orang yang genit. Ia berusaha melakukan gerakan-gerakan pengundang hawa nafsu sambil membisikkan kata-kata erotis padanya. Tak bisa menahan gejolak birahi mulai menggedor-gedor akal sehat, sang perawat membuka kunci pintu sel itu kemudian menghampiri Jonas dalam posisi siap bercumbu.
            Ketika sang perawat asyik bercumbu dengan dirinya, Jonas sudah mempersiapkan obeng yang diletakkan di bawah tikar yang melapisi ranjangnya. Lelaki itu langsung menghunjamkan dengan cepat obeng bermata lancip ke batang leher sang perawat. Jonas menyumbat suara teriakan sang perawat dengan dua gulung celana dalam bekas pakai miliknya. Ia terus menusukkan obeng berkali-kali sampai sang perawat tidak lagi bersuara. Ketika sang perawat benar-benar tak bernyawa, Jonas meletakkan mayat sang perawat di bawah tikar ranjangnya ditutupi dengan gundukan pakaian bekas. Ia menggenggam kunci yang digunakan sang suster untuk membuka pintu sel. Ia menyembulkan sedikit kepalanya mengamati situasi sekitar. Suasana sekitaran koridor 2 terlihat sepi. Jonas memanfaatkan kesempatan itu untuk berlari sekencang mungkin menuju tembok Barat rumah sakit jiwa Sehati Bersama.
            Sebelum memanjat tembok, lelaki itu mendengar suara keributa di sel khususnya. Kelihatannya mereka sempat mendengar rintihan kesakitan dari selnya. Keributan makin pecah ketika petugas medis menemukan jenazah seorang rekan mereka dilapisi tikar. Jonas dengan sigap mendarat ke permukaan tanah setelah melompat dari atas tembok setinggi 3 meter.
            Jonas berlari tanpa arah. Yang pasti jangan sampai para petugas rumah sakit menangkapnya dan mengembalikan dirinya ke sana. Lelaki itu tersenyum sumringah. Ia menarik napas sedalam mungkin sambil dibuang dalam satu helaan napas besar.
            Inikah namanya kebebasan? Nikmat sekali.
            Sudah setengah jam lebih Jonas meninggalkan rumah sakit. Satu masalah sudah terselesaikan tapi datang satu masalah lain. Ia mendengaar suara gemuruh dari dalam perutnya. Jonas mengamati sekelilingnya. Lelaki berkulit putih itu melihat tukang cilok dikerubuti anak-anak kecil. Dirinya ingin membeli cilok akan tetapi ia tidak membawa uang. Timbul niat hati mengambil cilok yang sedang dipegang seorang anak kecil berbaju Mickey Mouse.
            “Jangan mengambil punyanya. Ini untukmu.” Seorang lelaki menahan pundak Jonas sambil menyodorkan sebungkus cilok padanya.
            “Siapa kau? Kau mau apa? Dan apa urusanmu padaku?” Jonas menyingkirkan sentuhan tangan pria asing itu dar pundaknya sambil memasang sikap waspada.
            Si pria misterius itu hanya tersenyum kecil sambil berkata, “Kalau kau amblil punya anak itu, kau akan mengundang keributan dan membuat orang-orang dari RSJ itu menuju kemari.”
             Jonas tersentak kaget mendengar perkataan si pria itu. Entah darimana lelaki itu bisa tahu kalau dirinya memang sedang dicari petugas RSJ itu. “Jadi mereka masih mencariku?”
            Pria itu mengangguk dua kali lalu membalas, “Lebih baik kau pegang cilok ini dan ikut denganku.”
            Jonas tak langsung menuruti perintah dari lelaki itu. Ia memang sudah memegang sebungkus cilok dibungkus dalam plastik kresek tapi ia masih berdiri dari berpikir bila lelaki asing di depannya mencurigakan.
            “Apa yang membuat aku bisa percaya padamu?” tanya Jonas penuh prasangka.
            “Jika kau bersamaku tidak akan ada satu orang yang seenaknya mengusikmu. Dan kau bebas menghabisi orang lain tanpa harus merasa menyesal.”
***
            Anggara melepaskan pukulan telak di pipi Jonas. Sedari tadi, Anggara sudah menunggu saat-saat tepat ketika lelaki bertampang seperti orang Jepang itu lengah. Ia membiarkan tubuhnya menjadi samsak tinju Jonas. Tangan lelaki berkulit kuning langsat itu  berpura-pura seperti dirantai tapi telapak tangan kanannya menutupi gembok yang tidak terkunci lagi. Ketika Jonas tidak memegang sesuatu apapun dan mulai mendekatinya, Anggara melakukan perlawanan dengan menyundul bagian dagu Jonas secara cepat.
            Sundulan maut Anggara di dagu Jonas membuat lelaki itu jatuh terjengkang. Lelaki berkulit putih itu memanfaatkan kesempatan dengan cepat-cepat melepaskan gembok yang membelenggu tangan Fiolina. Setelah Fiolina bebas, Anggara beralih pada Aretha yang masih disekap di kursi.
            “Tidak semudah itu, Ferguso!” Jonas melakukan serangan balik dengan menjepit pergelangan kaki Anggara hingga membuatnya ikut terjatuh. Melihat temannya dalam bahaya Fiolina ingin menghentikan pernapasan Jonas dengan cara memiting lehernya.
            Melihat kondisi di ruangan itu semakin tidak kondusif, Haris memutuskan membawa tawanannya ke balkon teratas, lantai 22. Lelaki paruh baya itu menyerahkan urusan Anggara dan Fiolina pada salah satu anak buah kepercayaannya.
            “Hei kau, berdiri. Ayo cepat berdiri!” paksa Haris sambil memukulkan tongkat besi pada Aretha.
            Aretha memandang nanar pada Haris. Lelaki berusia 52 tahun itu geram dengan sikap membangkang keponakannya. Dengan wajah geram dan kesal, Haris menampar berulang kali wajah Aretha hingga gadis itu menitikkan airmata.
            “Jangan membangkang atau kamu mau kalau kekasihmu itu saya bunuh?! Saya tinggal panggil anak buah saya dan sedetik saja dia lenyap!” Mendengar bahwa Alvaro akan terancam Aretha berdiri sambil berjalan ogah-ogahan. Haris yang tidak sabaran, mendorong-dorong badan keponakannya agar dia berjalan lebih cepat.
            Di sisi lain, Jonas mulai membalik keadaan. Lelaki berkulit putih itu berhasil mencengkeram wajah Fiolina dan menutup lubang hidung dan mulutnya. Lambat laun pitingan Fiolina perlahan mengendur. Jonas memutar badannya 180 derajat secara cepat kedua tangannya mencekik leher Fiolina.
            “Kau adalah orang kedua yang harus kuhabisi setelah si pelacur Chyntia!” ucap Jonas penuh dendam. Meskipun badan Jonas kurus, tetapi tenaganya cukup kuat untuk membuat Fiolina megap-megap kesulitan bernapas. Anggara yang dari tadi melancarkan pukulan dan tendangan cuma bisa keheranan sekaligus takut. Dalam hatinya ia bertanya-tanya apakah Jonas itu manusia atau jelmaan monster.
            Anggara menggerakkan kedua bola matanya cepat dan liar, mencari sesuatu yang lebih keras daripada pukulan tangannya. Sorot matanya tertuju pada sebuah balok kayu berukuran dua kali lengan orang dewasa dan sebuah gelas bergagang. Ketika lelaki berkulit putih itu menghantamkan balok kayu pada tengkuk Jonas, si lelaki berkulit pucat itu melonggarkan cengkeraman tangannya. Belum selesai, Anggara lagi menghantamkan gelas bergagang itu ke kepalanya.
            Jonas jatuh tersimpuh di atas lantai. Ia memegangi kepalanya yang mengucurkan darah segar. Lelaki berkulit pucat itu masih bersimpuh di lantai. Anggara masih menunggu apakah Jonas cuma berpura-pura tak sadarkan diri dan mencari celah untuk menyerang. Ternyata tebakannya salah. Jonas bangkit pelan-pelan sambil memegangi kepalanya yang bocor. Namun di tangan kanan memegang sebuah rantai besi berukuran sedang.
            “Kupikir kau sudah mati,” duga Anggara.
            “Untuk menghabisi para keparat seperti kalian berdua, aku memang tidak boleh mati begitu saja.”
            Tanpa babibu Jonas mengarahkan lantai ke bagian ulu hati. Anggara yang kurang persiapan, mengaduh kesakitan memegangi perut sebelah kanan. Jonas menghantamkan bogem mentah ke pipi sebelah kanan. Anggara yang tidak mau tumbang begitu saja, mencengkeram pinggang Jonas kemudian membanting tubuh kurus rekannya dengan menolakkan kedua kakinya lalu menubrukkan badan ke lantai.
            Teknik bantingan itu cukup membuat Jonas mengerang kesakitan tapi belum cukup untuk membuatnya menyerah. Jonas yang tak mau kalah, melemparkan rantai besi ke kiri lalu mengetatkan lilitan rantai di leher Anggara. Lelaki berpostur sedang merasa kalau peredaran darah di leher mulai terhambat. Deru napas tersengal-sengal. Raut wajah memerah padam. Sementara itu Jonas mulai terkekeh sampai mengeluarkan tawa senang.
            Anggara sadar kalau dirinya berada dalam kondisi terancam. Meskipun kedua tangan turut mencengkeram leher Jonas, itu masih belum sebanding dengan kekuatan belengguan rantai di batang lehernya. Anggara harus berpikir cepat di tengah kesesakan luar bisa yang menyerang pari-parunya.
            Si lelaki berpostur sedang melepaskan kedua tangannya dari leher Jonas lalu menubrukkan keningnya ke hidung si lelaki kurus itu berkali-kali. Jonas terkejut menerima serangan kening Anggara bertubi-tubi hingga membuatnya batang hidungnya ngilu. Jonas refleks mengendorkan belengguan rantai itu dari leher Anggara. Si lelaki itu mundur dari hadapan Jonas.
            Jonas berusaha bangkit berdiri meski dirinya sudah mulai terhuyung-huyung. Ia menyeka tetesan darah yang keluar dari hidung menggunakan tangan. Anggara yakin kalau pukulan dahi tadi membuat tulang hidung rekannya patah. Jonas membiarkan sisa-sisa darah keluar dari hidungnya. Ia tetap berdiri sambil menggulungkan rantai besi pada kedua punggung dan telapak tangan.
            “Apa kau yakin masih bisa melanjutkan ini? Kau sudah terluka cukup parah,” ujar Anggara. Walaupun ia membenci Jonas tetapi melihat kondisi sang rekan yang cukup mengenaskan timbul rasa kasihan dalam dirinya. Wajah pucat Jonas semakin menyeramkan ketika ia dalam kondisi kehilangan banyak darah.
            “Aku tidak butuh belas kasihanmu, Bajingan! Aku sudah lama membencimu sejak kau masuk ke organisasi ini! Kepala pimpinan selalu memberikanmu tugas-tugas istimewa dibandingkan denganku. Tapi aku berkeyakinan kalau kalian berdua tidak lebih dari para pengkhianat yang coba menghancurkan organisasi ini. DAN AKU BERSUMPAH, AKAN MENGHABISI KALIAN SEMUA DI SINI!!!” Sumpah serapah berbalut dengan amarah berapi-api terlontar dari mulutnya.
            Jonas mengibaskan rantai besi itu ke lantai beberapa kali membuat suara tumbukan keras. Sementara itu Anggara sudah menyiapkan kuda-kuda dengan melebarkan kedua kakinya sebahu lalu kepalan tangan kanan menghadap Jonas.
            “Kali ini aku akan serius menghadapimu, Anggara. Bisa jadi ini yang terakhir. Aku tidak akan membiarkanmu keluar dari ruangan ini hidup-hidup.”
***
            Fiolina masih berada di ruang pribadi sang kepala pimpinan. Ia memanfaatkan kesempatan ketika Jonas sedang panas-panasnya berlaga dengan Anggara. Akan tetapi Anggara pun memberikan kode dengan mengibaskan keempat jarinya ke arah pintu secara cepat. Ia sibuk mengacak-acaki lemari berkas guna mencari kunci cadangan untuk membuka pintu menuju lantai balkon. Kepala pimpinan dan Aretha sedang berada di sana. Entah apa yang dilakukan mereka berdua di sana tetapi Fiolina mempunyai firasat buruk mengenai keduanya.
            Di tempat lain, Alvaro  tertatih-tatih menyusuri lantai 20. Ia harus menempuh dua lantai lagi agar sampai ke lantai balkon. Meski gemetar dan gigilan di tubuhnya masih belum hilang, ia tetap berusaha berjalan. Sepanjang penelusurannya, tidak terhitung sudah berapa kali dirinya jatuh dan sudah berapa kali hatinya bilang untuk berhenti saja.
            Tidak! Aku tidak mau berhenti! Sedikit lagi! Sedikit lagi! Alvaro mencoba membakar ulang semangat dirinya yang sempat pula padam.

Wednesday, 28 November 2018

DUAL - 20


Bersiap Menghadapi Musuh yang Sebenarnya
            Sudah menjadi penanda tengah malam jika jangkrik dan kepik pohon berbunyi nyaring di tengah kesunyian. Selain itu, deru kendaraan pada pukul 23.22 tidak banyak terdengar. Para penduduk di sekitar perumahan Agung Kolonora memilih beristrirahat atau menghabiskan waktu bersama di rumah keluarga. Begitu pula dengan Aretha. Ia melelapkan dirinya dalam mimpi-mimpi semu akan indahnya berkumpul lengkap dengan keluarganya. Bercanda dengan ayah dan kakaknya. Juga ibunya yang selalu memanjakan dirinya. Tapi semuanya berubah. Lebih cepat dari kedipan mata.
            Sepertinya iblis dengan roh pembunuh dari neraka begitu cepat mengambilalih pikirannya. Semua pemandangan indah bersama dengan keluarga berubah cepat menjadi pertunjukan pembantaian. Darah adalah aksi inti dari serangkaian pembantaian yang dilakukan Aretha. Perempuan itu menyeringai dengan wajah terciprat darah mengayunkan pisau belati pada para korbannya. Darah, tangis, jerit kesakitan dan penderitaan luar biasa menjadi orkestra dan dialog dari mahakarya sang iblis. Gelegar tawa Aretha menjadi orgasme paling panas dan cabul dari semua jenis percintaan yang ada di dunia.
            Aretha langsung menarik kesadaran pikiran yang hampir dirajai sang Iblis. Maka kedua kelopak matanya terbelik cepat. Diikuti dengan bangkitnya badan letihnya. Napasnya memburu terengah-engah. Bulir keringat menetes pelan-pelan dari kening. Ia menepuk-nepuk pelan kedua pipinya. Sambil mencubit-cubit lengannya. Ini bukan mimpi lagi, ujar batinnya.
            Perempuan berkulit putih itu melirik ke sebelah kiri. Menengok bulatan jam dinding yang berdiam di atas dinding. Pukul 23.33. Sudah tengah malam rupanya, pikir Aretha. Ia berangkat dari ranjang berpegas menuju dapur. Mimpi buruk itu membuat dahaga di kerongkongan. Ia ingin meneguk segelas air untuk mengobati haus.
            Untuk mengambil air, ia harus menuruni beberapa anak tangga. Dengan rasa kantuk dan nyawa yang seutuhnya belum kembali ke raga, Aretha meninggalkan kamar dengan baju yang belum dia ganti. Ketika dirinya berjalan menuju anak tangga, ia melihat bahwa lampu di lantai dua padam seluruhnya. Padahal seingatnya, ia sudah menghidupkan satu lampu di lantai dua supaya tidak terlalu gelap. Apa mungkin dirinya lupa atau pembantunya yang mematikan lampu?
            Sambil menyalakan senter handphone, Aretha pelan-pelan menuruni anak tangga. Mungkin aku harus merekrut anak kos supaya rumah ini tidak terlalu sepi, kata batin Arteha. Ketika dirinya berada di lantai dua, tangannya mencoba meraba-raba sakelar lampu. Tangannya langsung menekan sakelar ke bawah untuk menyalakan lampu.
            Ketika cahanya lampu menerangi lantai dua, Aretha memekik kencang. Ia melihat pembantunya dalam kondisi telungkup bersimbah darah. Tak jauh dari mayat pembantunya, mayat satpam gerbang ditemukan dengan kondisi isi kepala berhamburan ke mana-mana.  
            Saat dirinya bersiaga menarik pistol dari jepitan pinggang, tangan Aretha ditahan kemudian dipelintir ke belakang.
            “Halo Nona, apa kabar?” bisik suara misterius itu di dekat telinga Aretha sambil menyunggingkan senyum lebar.
            “Kau...”
            “Kita pernah berjumpa sebelumnya bukan? Ingat?”
            “Kalau aku bis—“ saat Aretha lanjut berbicara, seseorang lagi dari belakang muncul lalu menusukkan jarum suntik berisi obat bius dosis rendah di leher Aretha. Gadis itu pelan-pelan mulai tak sadarkan diri. Tubuhnya tergeletak begitu saja di keramik lantai dua.
            “Sekarang mau kita apakan dia?”
            “Sesuai yang dikatakan Kepala Pimpinan; bawa gadis ini padanya.”
***
            Anggara dan Fiolina harus menikmati perjalanan selama dua jam dengan lengan terikat borgol. Rasa tidak nyaman, kebas dan mati rasa mulai mendominasi pergelangan tangan mereka. Keduanya tidak punya daya apa-apa sama sekali untuk melawan.
            “Hei Fiolina, apakah kau sempat menghubungi mereka?”
            “Maksudmu?” Anggara menggerakkan bibirnya tanpa bersuara mengucapkan kata ‘polisi’. Anggara melakukan hal itu karena seorang lelaki berbadan besar memegang MA41 di lengan kekarnya.
            “Tadi aku sempat miscall hanya saja karena panik, aku menjatuhkan handphone itu dan mereka menghancurkannya,” jelas Fiolina padanya.
            Lelaki berambut pirang itu berdecak kesal dengan keadaan berbalik menyudutkan keduanya. Tidak seperti dulu saat mereka hampir berhasil mencapai tujuan mereka.
            “BANGSAT!” pekik Anggara spontan. Lelaki yang menjaga di sampingnya tiba-tiba memukulkan bagian pangkal senjata yang berbahan plastik.
            “Diam kau! Aku kaget tahu?!” Melihat reaksi si lelaki kekar yang kaget begitu, ingin rasanya Fiolina tertawa lepas. Akan tetapi ia urungkan agar tidak membuatnya situasi semakin tak karuan.
***
            Ipda Eddu dan Aipda Sarry diselimuti ketidaksabaran dan kekhawatiran. Mereka masih di kantor komandan mereka untuk mendengarkan keterangan dari kepala pimpinan mereka mengenai kejelasan keikutsertaan tim Densus 88 dan Satgas Anti Teror.
            “Pak bagaimana pendapat kepala pasukan tim Densus 88 dan Satgas Anti Teror? Apakah mereka bersedia ikut bersama dengan kita untuk membekuk sindikat HOVTA?”
            “Mungkin mereka akan datang sekitar dua setengah jam lagi. Densus 88 dan Satgas Anti Teror sedang melakukan rapat koordinasi mengenai SOP penyerbuan markas HOVTA. Katanya, mereka perlu menyusun strategi matang supaya upaya penyerbuan tidak mengancam penduduk sipil,” terang pimpinan mereka, Kompol Widjajanto.
             Kalau sudah begini, memang akan memakan waktu cukup lama. Apalagi kalau sudah berhubungan dengan SOP. Bisa memakan waktu berjam-jam. Itu masih menyusun strategi. Semua strategi itu sudah termasuk dalam hal penguasaan tempat sampai dengan urusan logistik pasukan. Padahal kedua perwira itu merasakan ketidakberesan ketika sebuah panggilan masuk ke handphone Ipda Eddu dan tiba-tiba terdengar suara rentetan peluru. Panggilan pun terputus.
            “Terimakasih Pak atas penjelasannya.” Ipda Eddu mengucapkan terimakasih sampai memberikan salam hormat pada pimpinannya. Kompol Widjajanto membalas dengan salam hormat pula pada bawahannya. Sang kompol kembali ke meja kerja sambil memeriksa laporan masyarakat mengenai kasus keberadaan komunitas gay di Tangerang. Keduanya beranjak dari kantor pimpinan mereka. Dengan langkah lemah, keduanya hampir mendekati pintu keluar.
            “Tunggu dulu...,” tahan Ipda Eddu ketika tangannya hampir menyentuh gagang pintu.
            “Ada apa?”
            “Oh aku lupa. Lebih baik kita bicarakan di luar saja.” Tangan Ipda Eddu langsung menggenggam gagang pintu lalu menekannya ke bawah. Begitu daun pintu terbuka, keduanya buru-buru keluar.
            “Bukankah aku bisa membentuk pasukan juga ‘kan?”
            “Bukan pasukan tapi tim regu. Itu pun paling banyak lima belas orang,” koreksi Aipda Sarry Sustina.
            “Lima belas orang? Itu sudah cukup bagiku. Salah satunya sudah berada denganku saat ini.” Aipda Sustina mengangkat alis kanan sambil menepuk-nepuk pistol terikat di pinggang.
            “Kalau begitu coba hubungi rekan sepangkatmu atau di bawahmu. Bilang pada mereka berangkat lebih dulu dan tunggu di lokasi yang sudah kutentukan. Jangan lupa berikan rincian lokasi itu pada mereka,” instruksi Ipda Eddu.
            “Laksanakan, Pak.”
            Maafkan kami, Pak Komandan tapi ini harus cepat diselesaikan.
            “Bagaimana, sudah kau hubungi?”
            “Dari lima belas polisi yang kutelepon, hanya sepuluh orang yang mau menerima misi ini.” 
            “Jadi cuma sepuluh orang ya? Hmmm, ya sudah. Bilang pada mereka apa yang kusampaikan tadi padamu.”
***
            Kaki kiri Alvaro menekan pelan pedal gas sambil menggeser tuas persneling. Ia mengerahkan seluruh fokusnya untuk menyusul Aretha. Ia mencemaskan keselamatan rekannya. Sebab, ketika ia keluar dari markas Killer Order, handphone Aretha tidak dapat dihubungi.
            Alvaro sudah menyerahkan urusan Fahnan dan Killer Order pada Rudi dan Santo. Ketika ia dan Santo sedang dalam keadaan tersudut, Rudi datang tepat menghabisi pasukan Killer Order yang mengepung teman-temannya di dalam ruangan pribadi bos mereka. Para pasukan pengepung roboh begitu saja di depan pintu ruangan Fahnan.
            “Pergilah Alvaro. Selamatkan Aretha. Biar kami berdua yang mengurus bos,” suruh Rudi sambil tangannya memangku senjata laras panjang berjenis AUG. Rudi melirik pada Santo yang berdiri tak jauh dari Alvaro.
            “Aku serahkan ayah pada kalian.” Alvaro berpaling dari hadapan ayahnya seraya mengambil pisau dan pistol yang pelurunya sudah terisi penuh di atas meja ayahnya. 
            “Tunggu dulu, Alvaro! Mau ke mana kau?!” pekik Fahnan sambil berusaha menahan kepergian sang anak.
            Sebelum menjauh dari sana, Alvaro menepuk pundak keduanya menandakan kalau ia sudah menyerahkan total urusan ayah dan Killer Order pada kedua temannya.
            “Bos..., Alvaro sudah menyerahkan Anda pada kami.Jadi otomatis, Bos berhadapan dengan kami sekarang.”
            “Berani-beraninya... kalian bertiga mengkhianati saya... tapi perlu kalian tahu... kalian sudah salah memilih lawan.” Fahnan menyeringai pada Rudi dan Santo.
***
            Aretha benar-benar tidak tahu apakah ia memang dalam kondisi tidur atau seseorang tengah membuatnya tertidur. Meski dirinya dalam kondisi tidur, ia masih bisi merasakan pedih dan perih di sekitaran batang leher. Seperti seseorang memasukkan jarum ke dalam tenggorokannya. Gadis berkulit putih itu memegangi lehernya sambil mengerjapkan kelopak mata berkali-kali.
            “Eh sudah bangun kau rupanya? Syukurlah. Aku tidak perlu repot-repot menyirammu dengan air es,” ujar lelaki berompi hitam itu sambil meletakkan ember berisikan air es di lantai. Rambutnya disisir ala perlente dengan gel yang membuat rambutnya agak berkilau.
            “Kau kan...?” Aretha langsung membeliakkan kelopak matanya begitu melihat keseluruhan perawakan lelaki itu.
            “Iya aku... J-O-N-A-S, Jonas Rendra Wijaya. Kalau tidak salah, aku pernah melihatmu bersama dengan dua cecurut di sana. Entah sedang mengobrolkan masalah apa kalian di Bar Malvidas, ya ‘kan? Ya ‘kan Anggara?” Jonas memutar leher memandang pada Anggara.
            Anggara dan Fiolina sendiri sedang dalam posisi kedua tangan digantung ke atas asbes dan kedua tapak kakinya hampir melayang. Hanya kelima jari kaki mereka yang bisa menyentuh lantai. Mereka berdua dalam kondisi tersiksa. Cuma yang paling tersiksa adalah Anggara. Ia menderita luka serius di bagian kepala. Wajah tampannya bengap berlapis darah kental mengucur dari kepala. Di sela bibirnya terdapat darah segar yang mengering.
            “Owh... enggak mau jawab ya?” Jonas mengepalkan kuat tangannya. Di depan tulang jari-jarinya dipasangkan brass knuckle, “makan nih.” Lelaki itu mengerahkan tinjuan demi tinjuan ke bagian perut hingga Anggara berulang kali memuntahkan cairan bening dari dalam lambungnya.
            “Anggara!” pekik Fiolina. 
            “Hei gadis, sebenarnya aku tidak punya urusan denganmu. Tapi Kepala Pimpinan sepertinya punya urusan denganmu. Ya semacam urusan antara paman dan keponakan yang mesti diselesaikan.”
            “Pa-paman dan keponakan... Apa maksudmu?”
            “Tuh dia sudah datang,” unjuk Jonas seraya memutar leher ke arah pintu sebelah kiri.
            Dari pintu yang tersingkap, seorang pria bertopeng dan bertongkat memasuki ruang penyekapan. Meski memakai tongkat, pria itu dapat berjalan seperti orang normal biasa. Aretha yakin kalau tongkat dan topeng digunakan hanya untuk gegayaan saja.
            “Apa aku melewatkan pestanya?” tanya pria bertongkat itu.
            “Tidak Pak Kepala. Pesta baru saja dimulai. Sesuai yang Bapak katakan, saya sudah  membawa gadis itu.”
            “Bagus, bagus.Sebelum aku menghabisinya. Aku ingin melepas rinduku dengannya,” respon pria bertongkat itu sambil meletakkan bokong di atas bangku.
            Aretha mendadak tersentak. Ia makin tidak mengerti sekaligus tak karuan mendengar perkataan pria itu. Ia seperti dibawa kembali ke peristiwa sembilan tahun lalu serta orang-orang yang berada dalam peristiwa itu.
            “Apa jangan-jangan kau...”
            Pria itu mengangkat topeng ke atas. Begitu terlepas dia meletakkan topengnya di atas lantai. Ia tersenyum kecil sementara Aretha tak bisa melepaskan tatap matanya pada pria di hadapannya.
            “P-pa-paman Haris?!” ucap Aretha gugu.
            “Keponakanku yang satu ini memang cerdas. Sudah bertahun-tahun tidak bertemu tapi kau masih ingat betul dengan Pamanmu,” puji Haris sambil menyilangkan kaki kanan diletakkan di atas kaki kiri.
            “A-apa maksud semua ini? K-kau...HOVTA...”
            “Ceritanya panjang sekali. Mau dengar?” tawar Haris santai.
            “APA MAKSUDNYA INI, PAMAN HARIS?!!” Emosi Aretha berubah dratis. Amarah mulai menyingkirkan akal sehatnya.
            “Oh baiklah, baiklah. Memang keponakanku yang satu ini memang tidak pernah sabaran,” tahan Haris halus. Ia masih sempat menyunggingkan senyum menanggapi amarah keponakannya.
            “Ayahmu, aku, Pranoto dan Setno merupakan saudara kandung. Aku dan ayahmu bergerak di bidang yang sama... yakni perdagangan organ tubuh ilegal.”
            “Omong kosong apa yang kaubicarakan, Bajingan?! Tidak mungkin ayahku menjadi bajingan sepertimu! Dia itu ayahku yang baik dan berbakti pada gereja. Bahkan ayah adalah seorang penatua gereja,” elak Aretha. Ia masih tidak percaya bagaimana bisa ayahnya melakoni pekerjaan kriminal kelas berat itu.
            “Kau pikir datang darimana semua kekayaan yang dimiliki ayahmu kalau bukan dari HOVTA? Seharusnya dia bersyukur, bisa hidup berkecukupan berkat HOVTA. Aku yang memperkenalkan dia pada HOVTA dan aku yang mengangkat ayahmu jadi sekretaris di organisasi itu.Seharusnya dia berterimakasih dan bekerja dengan baik. Bukan malah ingin melarikan diri, lepas begitu saja dari tanggungjawab dan membawa kabur seluruh uang dan aset HOVTA. Ya jadinya begini. Kau jadi kena imbasnya juga,”  beber Haris pada keponakannya.
            Aretha tak mampu membendung kesedihan yang tertahan di hati. Mukanya merah padam. Bola mata memerah dan berkaca-kaca. Sedari tadi, Aretha mengencangkan rahang hingga terdengar bunyi gemelutuk gigi.
            “TIDAK MUNGKIN! AKU TIDAK PERCAYA UCAPAN BODOHMU!” damprat Aretha dengan suara serak. Ia tidak bisa begitu lama menahan amarah yang membakar habis kesabarannya.       
            “Terserah kau mau bilang apa tapi yang kulihat saat ini. Tapi satu hal yang membuatku menyingkirkan ayahmu adalah dia ingin melaporkan kejahatan HOVTA pada kepo—“
            “CUKUP!!! JANGAN KAU SEBUT-SEBUT AYAHKU DALAM CERITA BOHONGMU, HARIS!” pekik Aretha kencang.
            “Aku tak heran kenapa kau tak percaya dengan cerita pamanmu kandungmu sendiri. Rupanya Jansen begitu rapat menutupi belangnya Tapi malangnya sang anak malah mengikuti jejak sang ayah bergelut dalam dunia hitam, hehehe,” cibir Haris. Gadis berkulit putih itu cuma bisa menangis sesunggukan. Ia mengutuki setiap kenyataan mengenai ayahnya yang tak pernah dia ketahui sebelumnya. Isak tangisnya begitu keras terdengar seperti meratap.
            “Kalau aku bisa lepas dari kursi ini, aku akan mengoyak-ngoyak wajahmu Paman!!!” Mendengar ancaman yang dikatakan keponakannya, Haris malah terkekeh sambil mengacungkan tongkat besinya ke leher Aretha.
            “Siapa, siapa yang kau harapkan untuk menolongmu?!! Si Alvaro, teman laki-lakimu yang kulitnya buluk dan rambutnya cepak tentara, dia akan menolongmu?! Aku tidak yakin kalau dia bisa ke sini hidup-hidup. Seharusnya dia berpikir ulang kalau ingin menghadapi Killer Order. Killer Order itu sama kejamnya dengan HOVTA. Lagipula kau sudah lama mengabdi pada Killer Order ‘kan, Aretha?”
            Benar apa yang dikatakan oleh Paman Haris. Ia sudah kenal betul bagaimana Killer Order kalau sudah beraksi. Mereka tak kenal ampun. Darah dan nyawa orang-orang tak bersalah begitu murah sepanjang bayaranmereka dipatok dengan harga tinggi. Kini Aretha mulai mengkhawatirkan keselamatan Alvaro.
***
            Udara malam pukul 02.20 berusaha memasuki celah-celah jaket parasut Alvaro. Lelaki berkulit cokelat muda itu tetap fokus mengenderai motor gede tunggangannya. Walau sudah memasuki pergantian hari, ternyata suasana dini hari sama ramai dan padatnya dengan aktivitas pagi hari. Sepanjang jalan Alvaro melihat para pengendara motor gede parkir di depan taman bunga. Ditambah dengan pemandangan perempuan mengenakan hot pants dan kaus tipis menutupi bagian buah dada hingga pusar perut. Para perempuan duduk di atas jok motor gede sambil menyandarkan bahu mereka. Alvaro juga menyaksikan sepasang lelaki dan perempuan saling menggerayangi dan bercumbu satu sama lain di atas jok sepeda motor. Lelaki itu mengalihkan pandangan ke arah jalan raya seraya mengabaikan teriakan seorang waria memanggil-manggil dirinya.
            “Iiihhh, eike sebel banget dech, mbo. Dicuekin lagi dicuekin lagi,” gerutu sang waria sambil mengacak-acak rambutnya.
            Sebelum meninggalkan markas, ada keraguan menyelimuti hari Alvaro ketika ia menyerahkan semua urusan bos dan pasukan Killer Order pada Rudi Kawilarung dan Santo Aruru. Ia mendengar suara letupan senjata api bersahut-sahutan di dalam markas. Dirinya ingin sekali kembali ke dalam markas untuk menolong kedua temannya. Tetapi, ia sudah mempercayakan urusan Killer Order termasuk ayahnya, Fahnan.
***
            Santo berusaha memapah Rudi yang sekujur tubuhnya berlumur darah. Akan tetapi kondisi Santo pun tidak kalah mengenaskan. Tubuh kekarnya dihiasi sabetan senjata tajam. Ada juga pisau yang masih menancap bagian punggung. Rasanya ia dan Rudi akan segera dijemput malaikat kematian. Pandangan matanya mulai mengabur dan berbayang-bayang. Bahkan Santo hampir terhuyung-huyung, kehilangan keseimbangan. Pergerakannya terbatasi oleh pisau yang tegak menancang di punggung.
            Aku harus bisa sampai di luar, ujar batin Santo. Dengus napasnya begitu berat. Bulir keringat bercampur darah terus menetes dari kening.
            “Sebentar lagi kita akan keluar dari sini, Kawan. Kita akan bebas dari tempat terkutuk ini,” ucap Santo. Kini kedua kakinya sudah menapaki lantai satu. Masih butuh usaha lebih keras lagi untuk keduanya sampai ke pintu keluar. Dengan kondisi kekurangan darah dan tenaga, jarak yang cuma 30 meter pun terasa seperti berlari sejauh 2 kilometer non stop.  
            Lelaki berkulit cokelat legam itu sudah mencapai batasnya. Ia merasa semua energi fisik sudah terpakai mulai dari menghabisi pasukan Killer Order, Fahnan sampai menuruni puluhan anak tangga menuju lantai satu. Kalau bukan karena kekuatan semangat dan pantang menyerah mungkin dirinya sudah dijemput malaikat Tuhan.         

              Sedikit lagi, sedikit lagi! Lengan Santo menjulur pelan-pelan berusaha mencapai gagang pintu. Ia masih mengandalkan semangat hidupnya. Namun kekuatan fisik lelaki itu benar-benar sudah habis. Jemarinya pun tidak bisa menggenggam lagi. Ia bersama dengan Rudi tergeletak, menantikan detik-detik sakratul maut mengakhiri hidupnya.