Penghabisan
Jonas
sudah lama menjadi penghuni rumah sakit jiwa Sehati Bersama. Di antara semua
pasien rumah sakit, dirinya adalah pasien termuda. Ia tinggal dalam sebuah
ruangan mirip sebuah sel berukuran 3x4 meter. Ia ditempatkan seorang diri di
sana. Diasingkan dengan pasien-pasen lain. Menurut catatan terakhir yang miliki
rumah sakit, anak itu punya kecenderungan suka menyakiti orang lain. Ketika
masih kecil, Jonas pernah secara sengaja mendorong anak pamannya yang berusia 4
tahun ke dalam selokan. Bukannya meminta maaf atau merasa menyesal, ia bilang
‘aku cuma mendorongnya pelan kok. Adik itu aja yang lebay.’.
Bukan
cuma perilaku kejam tanpa belas kasihan, Jonas punya kebiasaan menyakiti diri
sendiri. Luka yang membakar dua jari kirinya diakibatkan karena rasa gatal yang
menurutnya susah hilang. Dengan alasan menghilangkan rasa gatal, Jonas menekan
kenop kompor gas lalu meletakkan dua jari kirinya di atas kobaran api biru.
Hingga kedua jarinya menguar bau seperti daging gosong.
Kini
dirinya sudah berada sepuluh tahun di dalam sel. Ia sudah berada di ujung titik
bosan. Ia ingin menghirup udara bebas di luar sana. Sampai dengan umurnya tujuh
belas tahun, ia sudah merencanakan dengan matang usaha melarikan diri dari
tempat terkutuk itu.
Ketika
seorang perawat membawa ember untuk mengumpulkan pakaian bekas, Jonas membuka
baju dan celananya di depan sang perawat. Lelaki itu tahu kalau dirinya begitu
tampan. Perawat yang di depannya juga orang yang genit. Ia berusaha melakukan
gerakan-gerakan pengundang hawa nafsu sambil membisikkan kata-kata erotis
padanya. Tak bisa menahan gejolak birahi mulai menggedor-gedor akal sehat, sang
perawat membuka kunci pintu sel itu kemudian menghampiri Jonas dalam posisi
siap bercumbu.
Ketika
sang perawat asyik bercumbu dengan dirinya, Jonas sudah mempersiapkan obeng
yang diletakkan di bawah tikar yang melapisi ranjangnya. Lelaki itu langsung
menghunjamkan dengan cepat obeng bermata lancip ke batang leher sang perawat.
Jonas menyumbat suara teriakan sang perawat dengan dua gulung celana dalam
bekas pakai miliknya. Ia terus menusukkan obeng berkali-kali sampai sang
perawat tidak lagi bersuara. Ketika sang perawat benar-benar tak bernyawa,
Jonas meletakkan mayat sang perawat di bawah tikar ranjangnya ditutupi dengan
gundukan pakaian bekas. Ia menggenggam kunci yang digunakan sang suster untuk
membuka pintu sel. Ia menyembulkan sedikit kepalanya mengamati situasi sekitar.
Suasana sekitaran koridor 2 terlihat sepi. Jonas memanfaatkan kesempatan itu
untuk berlari sekencang mungkin menuju tembok Barat rumah sakit jiwa Sehati
Bersama.
Sebelum
memanjat tembok, lelaki itu mendengar suara keributa di sel khususnya.
Kelihatannya mereka sempat mendengar rintihan kesakitan dari selnya. Keributan
makin pecah ketika petugas medis menemukan jenazah seorang rekan mereka dilapisi
tikar. Jonas dengan sigap mendarat ke permukaan tanah setelah melompat dari
atas tembok setinggi 3 meter.
Jonas
berlari tanpa arah. Yang pasti jangan sampai para petugas rumah sakit
menangkapnya dan mengembalikan dirinya ke sana. Lelaki itu tersenyum sumringah.
Ia menarik napas sedalam mungkin sambil dibuang dalam satu helaan napas besar.
Inikah namanya kebebasan? Nikmat sekali.
Sudah
setengah jam lebih Jonas meninggalkan rumah sakit. Satu masalah sudah
terselesaikan tapi datang satu masalah lain. Ia mendengaar suara gemuruh dari
dalam perutnya. Jonas mengamati sekelilingnya. Lelaki berkulit putih itu
melihat tukang cilok dikerubuti anak-anak kecil. Dirinya ingin membeli cilok akan
tetapi ia tidak membawa uang. Timbul niat hati mengambil cilok yang sedang
dipegang seorang anak kecil berbaju Mickey Mouse.
“Jangan
mengambil punyanya. Ini untukmu.” Seorang lelaki menahan pundak Jonas sambil
menyodorkan sebungkus cilok padanya.
“Siapa
kau? Kau mau apa? Dan apa urusanmu padaku?” Jonas menyingkirkan sentuhan tangan
pria asing itu dar pundaknya sambil memasang sikap waspada.
Si
pria misterius itu hanya tersenyum kecil sambil berkata, “Kalau kau amblil
punya anak itu, kau akan mengundang keributan dan membuat orang-orang dari RSJ
itu menuju kemari.”
Jonas tersentak kaget mendengar perkataan si
pria itu. Entah darimana lelaki itu bisa tahu kalau dirinya memang sedang
dicari petugas RSJ itu. “Jadi mereka masih mencariku?”
Pria
itu mengangguk dua kali lalu membalas, “Lebih baik kau pegang cilok ini dan
ikut denganku.”
Jonas
tak langsung menuruti perintah dari lelaki itu. Ia memang sudah memegang
sebungkus cilok dibungkus dalam plastik kresek tapi ia masih berdiri dari
berpikir bila lelaki asing di depannya mencurigakan.
“Apa
yang membuat aku bisa percaya padamu?” tanya Jonas penuh prasangka.
“Jika
kau bersamaku tidak akan ada satu orang yang seenaknya mengusikmu. Dan kau
bebas menghabisi orang lain tanpa harus merasa menyesal.”
***
Anggara
melepaskan pukulan telak di pipi Jonas. Sedari tadi, Anggara sudah menunggu
saat-saat tepat ketika lelaki bertampang seperti orang Jepang itu lengah. Ia
membiarkan tubuhnya menjadi samsak tinju Jonas. Tangan lelaki berkulit kuning
langsat itu berpura-pura seperti
dirantai tapi telapak tangan kanannya menutupi gembok yang tidak terkunci lagi.
Ketika Jonas tidak memegang sesuatu apapun dan mulai mendekatinya, Anggara
melakukan perlawanan dengan menyundul bagian dagu Jonas secara cepat.
Sundulan
maut Anggara di dagu Jonas membuat lelaki itu jatuh terjengkang. Lelaki
berkulit putih itu memanfaatkan kesempatan dengan cepat-cepat melepaskan gembok
yang membelenggu tangan Fiolina. Setelah Fiolina bebas, Anggara beralih pada
Aretha yang masih disekap di kursi.
“Tidak
semudah itu, Ferguso!” Jonas melakukan serangan balik dengan menjepit
pergelangan kaki Anggara hingga membuatnya ikut terjatuh. Melihat temannya
dalam bahaya Fiolina ingin menghentikan pernapasan Jonas dengan cara memiting
lehernya.
Melihat
kondisi di ruangan itu semakin tidak kondusif, Haris memutuskan membawa
tawanannya ke balkon teratas, lantai 22. Lelaki paruh baya itu menyerahkan
urusan Anggara dan Fiolina pada salah satu anak buah kepercayaannya.
“Hei
kau, berdiri. Ayo cepat berdiri!” paksa Haris sambil memukulkan tongkat besi
pada Aretha.
Aretha
memandang nanar pada Haris. Lelaki berusia 52 tahun itu geram dengan sikap
membangkang keponakannya. Dengan wajah geram dan kesal, Haris menampar berulang
kali wajah Aretha hingga gadis itu menitikkan airmata.
“Jangan
membangkang atau kamu mau kalau kekasihmu itu saya bunuh?! Saya tinggal panggil
anak buah saya dan sedetik saja dia lenyap!” Mendengar bahwa Alvaro akan terancam
Aretha berdiri sambil berjalan ogah-ogahan. Haris yang tidak sabaran,
mendorong-dorong badan keponakannya agar dia berjalan lebih cepat.
Di
sisi lain, Jonas mulai membalik keadaan. Lelaki berkulit putih itu berhasil
mencengkeram wajah Fiolina dan menutup lubang hidung dan mulutnya. Lambat laun
pitingan Fiolina perlahan mengendur. Jonas memutar badannya 180 derajat secara
cepat kedua tangannya mencekik leher Fiolina.
“Kau
adalah orang kedua yang harus kuhabisi setelah si pelacur Chyntia!” ucap Jonas
penuh dendam. Meskipun badan Jonas kurus, tetapi tenaganya cukup kuat untuk
membuat Fiolina megap-megap kesulitan bernapas. Anggara yang dari tadi
melancarkan pukulan dan tendangan cuma bisa keheranan sekaligus takut. Dalam hatinya
ia bertanya-tanya apakah Jonas itu manusia atau jelmaan monster.
Anggara
menggerakkan kedua bola matanya cepat dan liar, mencari sesuatu yang lebih
keras daripada pukulan tangannya. Sorot matanya tertuju pada sebuah balok kayu
berukuran dua kali lengan orang dewasa dan sebuah gelas bergagang. Ketika
lelaki berkulit putih itu menghantamkan balok kayu pada tengkuk Jonas, si
lelaki berkulit pucat itu melonggarkan cengkeraman tangannya. Belum selesai,
Anggara lagi menghantamkan gelas bergagang itu ke kepalanya.
Jonas
jatuh tersimpuh di atas lantai. Ia memegangi kepalanya yang mengucurkan darah
segar. Lelaki berkulit pucat itu masih bersimpuh di lantai. Anggara masih
menunggu apakah Jonas cuma berpura-pura tak sadarkan diri dan mencari celah
untuk menyerang. Ternyata tebakannya salah. Jonas bangkit pelan-pelan sambil
memegangi kepalanya yang bocor. Namun di tangan kanan memegang sebuah rantai
besi berukuran sedang.
“Kupikir
kau sudah mati,” duga Anggara.
“Untuk
menghabisi para keparat seperti kalian berdua, aku memang tidak boleh mati
begitu saja.”
Tanpa
babibu Jonas mengarahkan lantai ke bagian ulu hati. Anggara yang kurang
persiapan, mengaduh kesakitan memegangi perut sebelah kanan. Jonas
menghantamkan bogem mentah ke pipi sebelah kanan. Anggara yang tidak mau
tumbang begitu saja, mencengkeram pinggang Jonas kemudian membanting tubuh
kurus rekannya dengan menolakkan kedua kakinya lalu menubrukkan badan ke
lantai.
Teknik
bantingan itu cukup membuat Jonas mengerang kesakitan tapi belum cukup untuk
membuatnya menyerah. Jonas yang tak mau kalah, melemparkan rantai besi ke kiri
lalu mengetatkan lilitan rantai di leher Anggara. Lelaki berpostur sedang
merasa kalau peredaran darah di leher mulai terhambat. Deru napas
tersengal-sengal. Raut wajah memerah padam. Sementara itu Jonas mulai terkekeh
sampai mengeluarkan tawa senang.
Anggara
sadar kalau dirinya berada dalam kondisi terancam. Meskipun kedua tangan turut
mencengkeram leher Jonas, itu masih belum sebanding dengan kekuatan belengguan
rantai di batang lehernya. Anggara harus berpikir cepat di tengah kesesakan
luar bisa yang menyerang pari-parunya.
Si
lelaki berpostur sedang melepaskan kedua tangannya dari leher Jonas lalu
menubrukkan keningnya ke hidung si lelaki kurus itu berkali-kali. Jonas
terkejut menerima serangan kening Anggara bertubi-tubi hingga membuatnya batang
hidungnya ngilu. Jonas refleks mengendorkan belengguan rantai itu dari leher
Anggara. Si lelaki itu mundur dari hadapan Jonas.
Jonas
berusaha bangkit berdiri meski dirinya sudah mulai terhuyung-huyung. Ia menyeka
tetesan darah yang keluar dari hidung menggunakan tangan. Anggara yakin kalau
pukulan dahi tadi membuat tulang hidung rekannya patah. Jonas membiarkan
sisa-sisa darah keluar dari hidungnya. Ia tetap berdiri sambil menggulungkan
rantai besi pada kedua punggung dan telapak tangan.
“Apa
kau yakin masih bisa melanjutkan ini? Kau sudah terluka cukup parah,” ujar
Anggara. Walaupun ia membenci Jonas tetapi melihat kondisi sang rekan yang
cukup mengenaskan timbul rasa kasihan dalam dirinya. Wajah pucat Jonas semakin
menyeramkan ketika ia dalam kondisi kehilangan banyak darah.
“Aku
tidak butuh belas kasihanmu, Bajingan! Aku sudah lama membencimu sejak kau
masuk ke organisasi ini! Kepala pimpinan selalu memberikanmu tugas-tugas
istimewa dibandingkan denganku. Tapi aku berkeyakinan kalau kalian berdua tidak
lebih dari para pengkhianat yang coba menghancurkan organisasi ini. DAN AKU
BERSUMPAH, AKAN MENGHABISI KALIAN SEMUA DI SINI!!!” Sumpah serapah berbalut
dengan amarah berapi-api terlontar dari mulutnya.
Jonas
mengibaskan rantai besi itu ke lantai beberapa kali membuat suara tumbukan
keras. Sementara itu Anggara sudah menyiapkan kuda-kuda dengan melebarkan kedua
kakinya sebahu lalu kepalan tangan kanan menghadap Jonas.
“Kali
ini aku akan serius menghadapimu, Anggara. Bisa jadi ini yang terakhir. Aku
tidak akan membiarkanmu keluar dari ruangan ini hidup-hidup.”
***
Fiolina
masih berada di ruang pribadi sang kepala pimpinan. Ia memanfaatkan kesempatan
ketika Jonas sedang panas-panasnya berlaga dengan Anggara. Akan tetapi Anggara
pun memberikan kode dengan mengibaskan keempat jarinya ke arah pintu secara
cepat. Ia sibuk mengacak-acaki lemari berkas guna mencari kunci cadangan untuk
membuka pintu menuju lantai balkon. Kepala pimpinan dan Aretha sedang berada di
sana. Entah apa yang dilakukan mereka berdua di sana tetapi Fiolina mempunyai
firasat buruk mengenai keduanya.
Di
tempat lain, Alvaro tertatih-tatih
menyusuri lantai 20. Ia harus menempuh dua lantai lagi agar sampai ke lantai
balkon. Meski gemetar dan gigilan di tubuhnya masih belum hilang, ia tetap
berusaha berjalan. Sepanjang penelusurannya, tidak terhitung sudah berapa kali dirinya
jatuh dan sudah berapa kali hatinya bilang untuk berhenti saja.
Tidak! Aku tidak mau berhenti! Sedikit lagi!
Sedikit lagi! Alvaro mencoba membakar ulang semangat dirinya yang sempat
pula padam.

No comments:
Post a Comment