Friday, 13 April 2018

Pesta



Reonald mengenakan kemeja lengan panjang biru tua dengan setelan luar tuksedo. Celana panjang satin batas mata kaki menambah kesan gagah dan berwibawa lelaki berambut klimis itu. Dia menorehkan senyum tipis pada orang-orang yang melihatnya.
            “Wis, gua enggak nyangka teman gua yang dulunya culun abis, bisa manly one hundred percent kayak gini? It is unbelieveable transformation,” kagum Stansel, lelaki berambut belah tengah dengan kumis tipis di atas bibirnya.
            Reonald tersenyum tipis sambil menepuk pundak Stansel berkata, “Aku yang dulu bukanlah yang sekarang. Aku yang sekarang itu bisa seperti ini berkat doa dan kerja keras serta tantangan yang aku hadapi.”
            Stansel menggeleng tak percaya sambil memuji temannya itu. “Loe enggak ingat waktu gua ngejek loe saudara kembarnya si Cecep loe merajuk ke gua sampai kita enggak bicara hampir tiga bulan padahal niatan gua cuma bercanda doang.”
            “Tapi kadang elo bercandanya suka keterlaluan makanya gua sampai merajuk, diam-diaman sama loe tiga bulan lamanya. Tapi udah deh itu cerita lama sekarang loe nikmatin pesta reuni ini. Makan, minum, nyanyi sepuas loe,” respons Reonald sambil mengangkat gelas kaca yang berada di tangannya.
            Teman-teman Reonald mengangkat gelas yang berada di tangan mereka masing-masing. Menyulangkan gelas hingga terdengar dentingan kaca berbenturan satu sama lain. Mereka tertawa bersama menikmati suasana kebersamaan yang begitu hangat sambil membicarakan nostalgia masa lalu.
            “Eh ngomong-ngomong, elo tadi dicariin Angelani. Katanya dia mau ngobrol bentar.” Di samping Reonald, Fizhra, lelaki berkulit cokelat tua dengan rambut halus tumbuh agak lebat di kedua lengan gempalnya, mulai membuka percakapan.
            “Ah yang benar loe? Masa si Angelina” tanya Reonald tak percaya.
            “Ye dikasih tahu malah enggak percaya. Dia lagi nunggu kamu di balkon tingkat kedua. Dia kangen sama loe,” jawab Fizhra sambil menuangkan anggur merah ke dalam gelasnya lagi.
            Lelaki itu diam sejenak guna memikirkan apa yang akan dia lakukan kemudian dia bicara, “Ya sudah gua nanti ke atas guna memastikan.”
            Sebelum Reonald menuju tangga dia melihat temannya, Stansel, memegangi kepalanya. Ia menggeleng-geleng sambil mengerjapkan mata, menahan pusing di otaknya.
            “Lho kenapa Stan? Pusing? Yah baru minum dua sloki ajaudah pening. Gua kasih ini Jack Daniel’s pesanan loe.” Reonald berlari kecil menuju dapur kemudian tak beberapa lama dia sudah kembali dengan memegang botol kaca minuman itu.
            “Eng... gak usah, Reon, enggak usah. Ini aja udah cukup,” tolak Stansel sambil menjauhkan botol itu darinya.
            “Coba aja dulu,” paksa Reonald sambil memutar penutup botol lalu memindahkan cairan hitam itu  dalam gelas Stansel. Reonald memaksa agar Stansel mau meminumnya. Meskipun dipaksa Reonald, seperempat gelas Jack Daniel’s sudah habis diteguk Stansel.
            “Gua taruh di meja ini ya, Stan,” kata Reonald sambil menaruh botol itu di atas meja prasmanan. Lelaki itu menjejakkan kedua kakinya menaiki anak tangga yang menghubungkan lantai kedua.
            Reonald melihat seorang wanita berdiri membelakanginya. Wanita itu mengenakan kamisol merah muda. Rambut hitam dan panjang itu dibiarkan tergerak. Lekuk tubuh bak model gadis sampul membuat Reonald tak sadar menelan ludahnya.
            “Kau mencariku..., Angelina?” tanya Reonald sambil mendekati gadis itu.
            “Benar. Aku sudah lama menantimu di atas ini. Ke mana saja kamu?” Perempuan itu berbalik badan seraya menorehkan senyum manis pada Reonald.
            “Kebetulan tadi aku lagi repot memberikan kata sambutan. Kamu juga tahu‘kan kalau aku itu penyelenggara reuni SMA Sumpah Palapa angkatan 2013 s/d 2015. So pasti, aku harus memastikan acara ini berjalan dengan baik dan lancar,” terang Reonald sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.
            “Bagaimana kabarmu, Angelina? Kurasa sudah tujuh tahun lebih kita tidak berjumpa dan kamu semakin cantik dan anggun,” puji Reonald.
            “Kamu pun begitu, Reonald. Lelaki yang dulu kukenal sebagai anak kuper dan cupu, bertransformasi menjadi lelaki mapan dan berkharisma. Aku enggak menyangka kamu berubah sedratis ini.” Angelina balik memuji Reonald seraya menatap kagum lelaki yang ada di hadapannya saat ini.
            “Ini semua berkat kesulitan yang dulu kuhadapi. Aku bekerja keras dan tekun mengubah masa laluku yang kelam. Dan sekarang aku sudah mencapai apa yang kuperjuangkan. Ini juga berkat penolakan yang kamu lakukan padaku.” Reonald menatap lekat wajah perempuan itu. Angelina memalingkan kepala sejenak.
            “Maafkan aku, Reon,” ucap Angelina sambil mengembalikan wajahnya menatap Reonald. Ada rasa penyesalan bercampur sedih di balik tatap mata perempuan berkulit putih itu.
            “Hahaha tidak usah dipikirkan. Aku sudah memaafkan dan melupakan semua itu. Dan untuk merayakan pertemanan kita, aku ambilkan minuman untuk kita ya.” Angelina mengangguk setuju dengan usulan Reonald.
            “Kalau begitu tunggu sebentar.” Reonald kembali menjejakkan kaki menuruni puluhan anak tangga. Namun ia tidak melihat temannya, Stansel, di sana. Kemudian ia menghampiri Fizhra guna menanyakan keberadaan Stansel.
            “Fiz, di mana Stansel?”
            “O dia lagi tidur di kamarmu. Dia udah mabuk berat. Aku udah larang dia minum banyak tapi dia tetap ngeyel. Ya beginilah jadinya. Kusuruh pembantumu membantuku mengangkat dia ke kamar,” ujar Fizhra.
            “Ya udah enggak apa-apa tapi gua balik dulu. Mau ngambil minum sama si Angelina.” Fizhra mengangguk pelan membiarkan Reonald pergi dari hadapanya. Begitu tiba di dapur, lelaki itu mengambil dua gelas kaca bertangkai  dari rak gelas kemudian disusul dengan membuka pintu kulkas. Mengambil sebotol bir hitam, dituangkan ke dalam kedua gelas itu.
            Reonald menaruh dua gelas itu di atas nampan kemudian  meninggalkan dapur dengan senyum penuh misteri.
*
            Sudah pukul 23.30. Suasana rumah Reonald mulai dikuasai sepi. Pesta reuni yang dimulai pada pukul 17.30 sore berakhir pukul 23.10. Para undangan sudah meninggalkan kediaman Reonald. Yang tertinggal hanya sesampahan,  jejak tapak sepatu sampai dan para penyewa alat musik yang sudah membawa peralatan musik mereka pergi dari sana.
            Tetapi masih ada orang yang tertinggal di rumah itu. Namun mereka tidak tahu entah berada di mana saat ini. Itulah yang dirasakan Angelina. Hal yang diingatnya terakhir kali ketika ia meminum bir hitam yang disediakan Reonald, mendadak kepalanya terasa berat. Dan ia seperti merasa kantuk yag tak tertahankan. Ia meminta Reonald agar mengantarkan dia ke kamar tidur. Reonald mengiyakan permintaannya.
            Tapi kondisi kamar yang dia tempati saat ini berbeda dengan kamar yang sebelumnya. Tidak ada kasur, bantal atau sprei indah di sana.
            Tempat itu terlihat seperti tempat penjagalan. Meskipun terlihat bersih dan rapi, bau amis darah  seakan menjadi pengharum ruangan itu. Sebuah meja memuat berbagai jenis alat potong mulai dari pisau sampai dengan gergaji mesin tersedia di sana. Dan yang membuat Angelani gamang sekaligus bergidik ngeri yakni tubuhnya terikat dalam posisi berdiri. Dan lebih mengejutkan, tubuh polos nan mulusnya itu tidak tertutupi sehelai benang pun.
            “Kau sudah bangun, Angelina? Sepertinya aku datang tepat waktu,” ujar Reonald sambil membuka pintu ruangan itu. Tapi ada yang berbeda dari penampilan Reonald. Lelaki itu memakai kemeja hitam dilapisi celemek warna hitam pula. Akan tetapi tatapan mata Reonald berubah menjadi dingin dan hampa.
            “Ini di mana?! Mau kau apakan aku, bajingan?!” maki Angelina dengan suara bergetar.
            “Gadis manis, gadis manis tidak boleh berkata kasar begitu dong. It’s impolite,” balas Reonald seraya tersenyum puas melihat amarah perempuan itu lalu berkata lagi,  “kamu lupa ya? Kita ini lagi pesta. Pesta ini kuadakan sebagai bentuk sukacitaku bisa bertemu dengan kamu dan sahabat baikku.”
            “Kamu gila, Reon! Kau gila! Lepaskan aku dan biarkan aku pergi dari sini,” pinta Angelina sambil meronta-ronta, berharap tali yang membelenggunya terlepas.
            “Biarkan kamu pergi? Hahaha, mana boleh. Kamu enggak membayangkan gimanabesarnyakerinduanku ingin bertemu dengan mantan gebetan dan sahabatku? Dan aku yakin inilah saat yang tepat membalaskan kerinduan itu. Tapi aku mau nunjukkin surpise buat kamu. Dan aku yakin kamu pasti suka.” Tak jauh dari tempat Angelina disekap, ia melihat Reonald menyibakkan kain penutup hitam yang menutupi sesuatu di baliknya.
            Kelopak mata perempuan itu tak berkedip sedikit pun. Ia tidak sanggup menahan hamburan air mata. Tangis pilunya meledak keras ketika ia mengetahui sosok yang berada di balik kain hitam itu.
            “Apa yang kaulakukan dengan tunangaku,  Biadab?!! Kenapa kau tega membunuhnya?!” Perempuan semampai itu hanya bisa meratapi Adre Galing, tunangan Angelina, yang kini menjadi mayat.  Kondisi Adre sungguh mengenaskan. Ia tidak mengenakan pakaian. Kulitnya putih pucat. Di bagian dada, terdapat bekas jahitan memanjang berbentuk persegi panjang.
            “Oh jadi ini tunanganmu? Aku yakin dua hari belakangan ini kau pasti mencarinya ‘kan? Padahal aku cuma bertanya sudah berapa kali kau berhubungan badan dengannya dia malah enggak mau jawab. Itulah sebabnya aku menggorok lehernya dan mengambil organ tubuh dalam untuk diperjualbelikan di pasar gelap.” Reonald menceritakan pembunuhan yang dilakukannya tanpa rasa bersalah.
            Angelani hanya bisa menggeleng kepala sambil memaki bahkan mengutuk perbuatan Reonald. Akan tetapi lelaki itu hanya tertawa sadis sambil menorehkan senyum kemenangan.
            “Oke sebelum pesta ini dimulai, aku mau ada penonton yang menyaksikan pesta ini.” Reonald beralih ke sebelah kiri Angelani seraya membuka kain penutup yang menutupi sesuatu di baliknya.
            “Stansel!” pekik Angelani. Lelaki itu dalam kondisi babak belur. Dari lubang hidungnya, setetes darah kering menempel. Juga bibir cokelatnya berdarah.
            “Sahabatku  Stansel, aku harap kau akan menikmati pesta kami berdua ya. Satu hal yang mau aku bilang, jangan terangsang,” ujar Reonald. Stansel menatap penuh kebencian dan kutukan tapi lelaki berambut klimis membalas dengan seringai menakutkan.
            “Kau tahu, Angelani, ketika aku SMA, aku selalu membayangkan bisa dekat denganmu bahkan bagaimana rasanya bisa menikmati tubuh indahmu itu. Bahkan,aku kerap menjadikanmu objek fantasi seks liarku dan sekarang inilah waktunya.” Usai membuka celana panjang yang diakenakan, Reonald mendaekati tubuh Angelani yang tak berbusana itu dan segera menunaikan hasrat kebinatangannya.
            Stansel memalingkan wajahnya menghindari adegan menjijikan itu. Sementara itu, Angelani tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa pasrah menerima perlakuan Reonald pada dirinya.
            “Hah, ternyata kau tidak suci lagi! Kau dan tunanganmu itu sama-sama bejad  rupanya. Untung aku tidak berpacaran denganmu. Sebagai gantinya aku akan mengambil kulit paha, perut dan wajahmu untuk kujadikan koleksi.” Reonald beralih sebentar dari hadapan perempuan itu.
            Kemudian Reonald datang lagi dengan menenteng sebuah pisau berukuran 12 sentimeter di tangan kirinya. Tiba di hadapan tubuh Angelani, ia membuat goresan agak panjang dan dalam dimulai dari selangkangan. Perempuan itu tidak bisa membayangkan betapa sakit dan pedih sayatan pisau milik Reonald. Lelaki itu melakukan penyayatan tanpa menggunakan bius.
            Begitu selesai di bagian paha, beralih ke bagian perut. Rasanya ingin sekali Angelani mengeluarkan isi perutnya. Ia sudah tak tahan dengan siksaan yang dia terima.
            “Bunuh saja, Reon. Bunuh!” pekik Angelani bersamaan dengan jeritan rasa sakit yang mulai tidak bisa ditahannya.
            “Sabar, Angela manis. Ini belum seberapa. Di wajah justru lebih menyakitkan lho,” balas Reonald sambil berkonsentrasi mengiris kulit perut Angelani.
            Angelani hanya bisa menangis tersedu-sedu sambil memohon ampun pada Reonald tapi hal itu tidak membuat lelaki itu menghentikan aksinya.
            “Selesai di bagian perut. Sekarang giliran wajahmu.” Reonald mengangkat pisau pelan-pelan mendekati wajah perempuan itu. Perempuan itu terus menghindar sebisa mungkin agar pisau itu tak sedikit pun menggores kulit wajahnya. Reonald yang geram langsung menusukkan pisau itu ke batang leher Angelani sebanyak dua kali. Perempuan itu menggelepar begitu darah dari lehernya mengucur deras. Dan sekarang lelaki itu bisa melakukan tugasnya dengan leluasa.
            Hasil kulit sayatannya diletakkan di atas nampan. Dan nampan itu berkubang darah merah. Begitu pula dengan mayat Angelani. Tubuh polos nan indah itu sudah tertutupi darah. Dan rupa wajahnya yang cantik kini tak bisa dikenali lagi.
            Reonald berpaling pada Stansel. Ia masih terikat dengan tubuh telanjang bulat. Mulutnya disumpal kain gombal.
            “Aku penasaran dengan apa yang dikatakan sahabatku yang satu ini,” kata Reonald sambil menarik kain gombal yang memenuhi mulutnya.
            “Reon, gua minta maaf atas perbuatan gua selama ini sama loe. Gua mohon jangan ambil nyawa gua. Gua akan lakukan apapun asal loe mau mengampuni gua. Gua janji,” pinta Stansel sambil berurai air mata. Ia tidak tahu harus melakukan apa untuk menyelamatkan dirinya dari Reonald.
            “Melakukan apapun? Baiklah akan kukabulkan.” Pisau yang diperlihatkan Reonald  di hadapan Stansel perlahan diturunkan. Lalu ia berpaling menuju meja peralatan. Stansel berpikir bahwa dia berhasil membujuk temannya agar tidak membunuhnya ternyata dugaannya keliru. Dia kembali ke hadapan Stansel sambil memegang gancu ditangan kanan.
            “Reon... apa yang akan kau lakukan dengan alat itu?”
            Tanpa tendeng aling-aling, Reonald langsung menghunjamkan gancu itu ke kepala Stansel. Ujung gancu yang runcing dengan mudah menembus tengkorak Stansel kemudian darah merah terciprat mengenai wajah Reonald.
            “Kalau begitu... matilah untukku, Teman,” ucap Reonald seraya menorehkan senyum puas disertai seringai menakutkan.

Sunday, 8 April 2018

Dunia Baru untuk Wanita Pendosa



Dunia Baru untuk Wanita Pendosa
          Aku terus berlari. Meski beban perut buncit ini menghalangi gerakku. Tapi itu tidak masalah. Aku masih punya semangat yang bisa diubah menjadi energi. Lagipula, aku berlari menyelamatkan calon anak manusia yang ada di rahimku. Dan untuk itu, aku harus mengerahkan seluruh daya yang kupunya.
*
            Aku sudah mengenal kedua orang tuaku sejak kukumandangkan tangisku sampai ke daun telinga mereka. Mereka mengulum senyum bahagia dibalut dengan air mata. Kupikir mereka senang menyambut kelahiranku di dunia ini. Ingin rasanya aku bergabung dengan mereka meneteskan air mata yang sama. Namun kulitku masih merah dan lengket. Dan kata-kata yang bisa kukeluarkan hanyalah tangisan.
            Aku diasuh dalam keluarga serba berkecukupan. Dan aku bagaikan putri mahkota yang dimanjakan dengan segala harta dan kemewahan. Ayah ibu adalah raja dan ratunya. Mungkin mereka melakukan hal ini karena aku adalah anugerah pertama yang diberikan Tuhan dalam keluarga kecil ini. Itu sebabnya mereka mau melakukan apa saja agar hatiku senang.
            Tapi lama kelamaan aku merasa ada sesuatu yang kurang. Meski kebutuhan materi aku dapatkan dari mereka, aku merasakan ruang hampa dalam lubuk hati yang tidak bisa diisi oleh meteri duniawi. Perasaan ini menuntutku untuk mendapatkan sesuatu yang lebih dan lebih tapi aku sendiri tidak tahu apa sesuatu yang bisa mengisi ruang itu.
            Umurku semakin bertambah dan tepat hari ini aku berusia 16 tahun. Yang kurang dari keluarga ini adalah kedua orang tuaku selalu sibuk dengan bisnis mereka sendiri. Hal ini sudah terlihat sejak aku berusia 12 tahun. Perlahan-lahan, jam kebersamaan di antara kami bertiga mulai berkurang. Ketika aku mengajak ayah dan ibu untuk makan bersama, mereka berdalih dengan alasan bisnis. Ayahku bekerja di sebuah perusahaan tekstil di bagian pemasaran dan ibu membuka bisnis salon.
            Ya aku tahu kalau apa yang mereka lakukan demi kebahagianku. Demi memenuhi kebutuhan materi. Tapi sejujurnya aku merindukan saat-saat aku bisa satu meja dengan kedua orang tuaku. Aku rindu saat aku bisa tertawa ceria menikmati wahana roller coaster yang menguji andrenalin. Aku rindu saat kedua orang tuaku memuji prestasi juara kelas yang kuraih dengan belajar giat setiap malam.
            Maaf ya, Zahra. Ayah sedang sibuk menghitung pengeluaran perusahaan. Nanti saja ya, ujar ayah saat aku mendapatkan juara umum sewaktu aku duduk di bangku SMP kelas 7.
            Ibu, aku terpilih jadi ketua koordinator OSIS bidang kesenian, seruku pada ibu.
            Wah selamat ya, Nak. Sukses ya. Itulah reaksi ibuku ketika aku memberitahu padanya kalau aku sudah jadi salah satu pengurus OSIS di kelas X SMA namun konsentrasi ibu tetap tertuju pada peralatan salon yang sedang dibereskannya.
            I hate this situation. They’re always busy with their fuckin’ bussiness, rutuk batinku sambil memukul-mukul tembok. Air mataku meluruh pasti seiring dengan kesedihan hatiku. Aku tidak tahu mau mengadu pada siapa lagi. Aku mengambil ponsel yang tergeletak di ranjang tidur lalu mencari narahubung yang bisa kutelepon.
            “Halo, Yun.”
            “Halo, Zahra. Ada apa? Lho... kok suaramu serak? Kamu habis nangis?” tanya Yunita agak menyelidik.
              Aku tidak menjawab pertanyaan Yunita. Aku harap dia sendiri bisa tahu jawabannya.
            “Kamu di mana sekarang? Kita bisa ketemu?” tanyaku temanku ini.
            “Iya, iya. Gimana kalau di Inds Cafe?” Aku menanggapi usulan temanku dengan gumaman kecil.
            “Makasih banget ya, Yun. Elomemang bisa diandalkan. Loe tunggu gua di sana kira-kira 10 menit lagi,” tutupku sambil meletakkan kembali ponselku.
            Aku membuka kaus bergambar Hello Kitty yang membungkus tubuh langsingku. Dan aku hanya mengenakan dalaman seperti kaus kutang lelaki tapi ini lebuh tipis dan melapisi dengan jaket hoodie merah marun. Aku menggelung rambutku lalu keluar dari kamarku.
            Ibuku sedang menonton film India kesukaannya. Dan kebetulan dia melihatku keluar dari kamar dengan mengenakan jaket hoodie dan celana pendek.
            “Kamu mau ke mana, Nak? tanya ibuku.
            “Cari angin bentar. Cuma dua puluh menit,” jawabku.
            “Terus nyalakan ponselmu,” tandas ibu sambil memberi isyarat memperbolehkan aku keluar rumah. Aku menggiring sepeda motor menuju halaman rumah lalu kutekan tombol stater. Sebelum aku pergi aku melihat seorang lelaki tinggi, wajah agak berjerawat rambut cepak melintas halaman depan rumahku.
            “Hey Zahra, kau mau ke mana ini sudah hampir jam sepuluh malam,” ujar Ben Kasio.
            “Cuma nyari angin aja bentar. Di rumah panas banget. Lha elo sendiri ngapain keluar malam-malam begini?” tanyaku balik.
            “Aku mau beli nasi goreng aja. Tapi kalau aku lihat dari wajahmu kelihatannya kamu lagi punya masalah. Dan lihat mata kamu, merah berair lagi,” ujar Ben sambil menunjuk ke arah mataku. Ben seolah bisa membaca pikiran melalui wajahku.
            Ben Kasio merupakan teman masa kecilku. Sewaktu kecil aku sering menghabiskan waktu dengannya. Bermain kelerang, berketapel, bahkan mengajariku menaiki sepeda. Dan sampai sekarang, ketika aku sedang ada masalah atau bergembira, orang yang selalu pertama kali kucari adalah dia. Tapi aku pernah bertanya dalam hati, apakah dia punya rasa kepadaku. Tapi andaikan punya, aku tidak bisa membalas rasa sukanya. Aku sendiri tidak punya perasaan kepadanya. Aku menganggapnya sebagai sahabat dekatku.
            “Tidak ada apa-apa, Ben. Akhir-akhir ini aku sedang sakit mata. Dan pasti sembuhku kok. Kalau gitu, aku pamit ya.”
            “Ya hati-hati di jalan,” balas Ben sambil berlalu dari hadapanku. Aku berharap Yunita tidak kelamaan menungguku.
            Aku tiba pukul 22. 10. Dan kulihat Yunita menunggu dengan gelisah sambil melihat jam tangan.
            “Sudah lama menungguku?” tanyaku pada Yunita sambil menyeret bangku yang berada di depan temanku.
            “Entahlah tapi rasanya jenggot dan kumisku hampir tumbuh gara-gara menunggumu,” ketus Yunita sambil memalingkan wajahnya.
            “Ye jangan marah-marah gitu dong. Di rumah aku sempat diwawancarai sampai lima pertanyaan sama ayahku makanya aku kelamaan nyampe di sini,” dalihku seraya menarik pelan badan temanku agar dia mau melihatku. Dengan wajah memelas dan seolah ingin meminta belas kasihan, akhirnya Yunita luluh, menghadapkan wajahnya padaku.
            “Ya sudah. Tidak apa-apa. Tapi jangan molor-molor kayak gini lagi,” ingat Yunita. Aku membalas dengan dua kali anggukkan kepala dan Yunita berkata lagi, “masalah orang tua lagi ya, Zah?”
            Aku mengangguk sekali lalu kubenamkan wajahku dalam lipatan kedua tanganku, “Gua bingung harus gimana lagi biar kebersamaan gue dengan orang tua gue bisa kembali seperti dulu. Apa tujuan gue lahir di dunia ini hanya untuk dipuaskan secara materi? Gua juga butuh namanya cinta dan kasih sayang.” Aku kembali menengadahkan kepalaku kemudian kupandang wajah temanku, berharap dia punya jawaban yang tepat atas segala kegelisahanku.
            Yunita tersenyum penuh misteri lalu berkata, “Cinta dan kasih sayang yang kaudambakan itu bukan hanya kau dapatkan dari orang tuamu saja. Kau bisa mendapatkan dari laki-laki. Bahkan kau tubuhmu itu juga bisa ikut merasakan kenikmatan sejati dari yang namanya cinta.”  
            Sekilas aku menatap temanku, Yunita dengan rasa ragu. Tapi aku sendiri menjadi penasaran apa maksud dari perkataan temanku yang satu ini. Akan tetapi di situlah awal malapetaka.
*
            Di persembunyianku aku terus dirundung was-was dan cemas. Aku takut ketiga preman itu menemukan aku bersembunyi di balik jalan buntu. Aku ngeri membayangkan kalau mereka menyuruhku kembali ke dunia hitam itu dan memaksaku mengakhiri hidup calon anak manusia.
            Aku mengelus perut buncitku seraya mengingat awal malapetaka itu bermula saat aku berkenal dengan teman pria Yunita, Brandi. Dia lelaki tampan berkulit kuning langsat. Dagu datar. Rahang kokoh. Dia selalu memakai pakaian trendy ala kekinian.
            Di awal perkenalan dia memperlakukanku bak putri raja yang dimanjakan dengan segala bentuk perhatian dan kasih sayang. Dan aku merasa ada rasa yang terpenuhi. Seakan ruang hampa itu terisi sedikit demi sedikit. Ada rasa nyaman sekaligus candu merembes ke dalam lubuk hatiku. Mungkin inilah yang dinamakan kenikmatan cinta. Dan menjelang bulan kedelapan, aku menjalin hubungan dengannya, dia meminta sesuatu yang cukup membuatku berpikir-pikir panjang—kehormatanku.
            Awalnya aku berhasil menolak secara halus akan tetapi mendengar kata-kata manis, janji serta perkataanku padanya—‘kau adalah lelaki yang bisa membuatkumenggantungkan dan berharap sekeras ini. Dan aku mau memberikan apa yang kumiliki’. Dan kupikir aku harus menepati janj itu. Aku menyerahkan kehormatanku penuh kerelaan dan terbuka. Bahkan kami melakukan hal ini berdasarkan suka sama suka sampai kejadian itu terjadi.
*
            Aku merasa sesuatu bergejolak hebat dalam perutku. Ada sensasi yang mengharuskanku membuang apa saja isi di perutku. Aku sudah mondar-mandir dua kali menuju kamar mandi.
            “Lho Zahra kamu kenapa? Akhir-akhir ini, kamu jadi sering muntah-muntah?” tanya ibuku. Aku menggeleng tidak tahu.
            “Coba kamu buang air kecil dulu biar ibu pake alat ini,” suruh ibu sambil menunjukkan kertas tipis dengan panjang 6 cm. Aku menuruti perintah Ibu. Tak sampai satu menit aku buang air kecil dan kulihat ibu keluar dari kamar mandi dengan wajah pucat seputih tisu. Tubuh ibuku bergetar.
            “Nak... kamu... sudah punya pacar?”
            “Iya, Bu.” Begitu aku menjawab pertanyaan dari Ibu, tubuh ibu ambruk begitu saja di atas lantai kamar mandi. Aku tak tahu apa yang membuat ibuku jatuh pingsan begini.
            Di ruang keluarga, ayahku duduk di samping ibuku dengan wajah shock dan pucat. Ayah mencecarku dengan berbagai pertanyaan interogatif.
            “Dan sekarang di mana laki-laki itu?! Di mana dia sekarang?! Dia harus tanggung jawab dengan janin yang kamu kandung sekarang ini.” Kulihat wajah ayah merah padam berusaha menahan emosi yang mungkin membuncah di ubun-ubun.
            “Aku juga tidak tahu di mana dia sekarang, Ayah. Aku sudah berkali-kali menghubunginya tapi selalu tidak ada jawaban,” jawabku pada ayah. Ayahku hanya bisa menangkupkan kedua telapak tangannya di atas wajah sambil memekik keras. aku Cuma bisa menangis tersedu, menyesali kebodohan yang kulakukan selama ini.
            Pukul 23.00. Kedua orang tuaku sudah tertidur pulas. Dan aku sudah siap dengan berbagai barang bawaanku. Aku galau antara memilih pergi atau tetap di rumah ini. Kalaupun aku bertahan di rumah, cepat atau lambat para tetangga akan mengetahui skandal ini. dan tentunya ini bisa membuat nama orang tuaku makin tercemar. Dan kuputuskan sudah aku pergi dari rumah.
            Sekitar dua kilometer dari rumah, tiba-tiba wajahku dibekap oleh sosok tidak dikenal dan aku digiring ke dalam sebuah mobil van. Entah berapa lama di perjalanan, aku berada di sebuah rumah besar penuh wanita berpakaian minim dan berlagak seperti anjing betina.
            “Ini tante Ros. Namanya Zahra Saskia Fitri.” Begitu aku siuman, aku menyadari kalau itu adalah suara teman akrabku, Yunita bersama dengan pacarku, Brandi.
            “Nama yang indah. Tapi mulai sekarang, kamu akan memakai nickname yang mudah diingat oleh pelanggan tante nanti ya. Dan untuk kalian berdua, uang kalian akan saya kasih di belakang. Full,” ujar tante Rosa.
            Sepasang kekasih itu memandang satu sama lain dengan senyum bahagia lalu berucap, “Terimakasih, Ros.”
            Lalu tante Rosa menambahkan, “Kalian berdua tunjukkan di mana kamar Zahra, oh bukan Zahra tapi Sasky.” Mereka mengangguk seraya memapahku. Aku membuang muka, menghindari tatapan mata mereka.
            Aku benci mereka. Mereka menjerumuskanku ke dalam dunia hitam ini selama empat tahun. Dan hal ini mengubah seluruh pandangan hidupku mengenai kelahiran yakni—aku dilahirkan untuk memuaskan nafsu kebinatangan para lelaki. Dan merekalah penguasa atas tubuh indah ini. Aku tak bisa menolak sebab tubuh ini sudah seharusnya tercipta sebagai alat pemuas mereka.
*
            Aku menyudahi lamunan kelam masa laluku. Aku bangkit berdiri sambil mengawasi keadaan sekitar. Aku tidak melihat tanda-tanda kehadiran tiga preman itu. pelan-pelan aku keluar dari persembunyian. Kemudian aku mengambil pisau kecil terselip di balik pinggang.
            “Maafkan Ibu, Nak. Tapi Ibu tidak mau membuat kelahiranmu semata-mata hanya sebagai penonton atas penderitaan Ibu. Sekali lagi, maafkan Ibu,” Aku menoleh ke langit sesaat lalu menutup mata. Mulai kuturunkan menuju perutku.
            “Hentikan, Zahra!” Aku tersontak kaget ketika suara laki-laki mencoba menghentikan perbuatanku.
            “ Ayah... Ibu...” Kedua orangtuaku mempercepat kaki mereka, ingin melepas rindu yang bisa saja membludak di dada. Air mata menggenang di kelopak mata.
            “Maafkan Zahra, Bu, Pak. Maafkan Zahra,” ucapku bercampur suara tangis. Ibu dan ayah hanya menggeleng sambil tetap memelukku lalu kuarahkan pandanganku pada lelaki di depanku—Ben Kasio.
            “Ben, apa yang kau lakukan di sini?”
            “Mencarimu dan melamarmu. Aku ingin menikah denganmu. Menjadi ayah untuk janin yang kau kandung saat ini, Zahra/”
            “Kau tidak sedang mabuk atau dalam kondisi mengonsumi narkoba, bukan? Lagipula aku ini cuma seorang pelacur. Aku tak pantas denganmu. Ketiga preman itu—“
            “Aku tidak peduli. Di depanku kau tetaplah Zahra. Wanita indah dan suci yang tetap kucinta dengan sabar sewaktu kita masih kecil. Dan untuk ketiga preman itu, aku sudah menghubungi polisi untuk meringkus mereka sekaligus germo mereka. Sekarang apakah kau akan menerima lamaranku?”
            Aku menatap kedua orang tuaku. Dan mereka memberi isyarat mantap agar aku menerima saja. Aku tak punya pillihan.
            Kugerakkan saja kepalaku ke bawah dua kali.