Sunday, 8 April 2018

Dunia Baru untuk Wanita Pendosa



Dunia Baru untuk Wanita Pendosa
          Aku terus berlari. Meski beban perut buncit ini menghalangi gerakku. Tapi itu tidak masalah. Aku masih punya semangat yang bisa diubah menjadi energi. Lagipula, aku berlari menyelamatkan calon anak manusia yang ada di rahimku. Dan untuk itu, aku harus mengerahkan seluruh daya yang kupunya.
*
            Aku sudah mengenal kedua orang tuaku sejak kukumandangkan tangisku sampai ke daun telinga mereka. Mereka mengulum senyum bahagia dibalut dengan air mata. Kupikir mereka senang menyambut kelahiranku di dunia ini. Ingin rasanya aku bergabung dengan mereka meneteskan air mata yang sama. Namun kulitku masih merah dan lengket. Dan kata-kata yang bisa kukeluarkan hanyalah tangisan.
            Aku diasuh dalam keluarga serba berkecukupan. Dan aku bagaikan putri mahkota yang dimanjakan dengan segala harta dan kemewahan. Ayah ibu adalah raja dan ratunya. Mungkin mereka melakukan hal ini karena aku adalah anugerah pertama yang diberikan Tuhan dalam keluarga kecil ini. Itu sebabnya mereka mau melakukan apa saja agar hatiku senang.
            Tapi lama kelamaan aku merasa ada sesuatu yang kurang. Meski kebutuhan materi aku dapatkan dari mereka, aku merasakan ruang hampa dalam lubuk hati yang tidak bisa diisi oleh meteri duniawi. Perasaan ini menuntutku untuk mendapatkan sesuatu yang lebih dan lebih tapi aku sendiri tidak tahu apa sesuatu yang bisa mengisi ruang itu.
            Umurku semakin bertambah dan tepat hari ini aku berusia 16 tahun. Yang kurang dari keluarga ini adalah kedua orang tuaku selalu sibuk dengan bisnis mereka sendiri. Hal ini sudah terlihat sejak aku berusia 12 tahun. Perlahan-lahan, jam kebersamaan di antara kami bertiga mulai berkurang. Ketika aku mengajak ayah dan ibu untuk makan bersama, mereka berdalih dengan alasan bisnis. Ayahku bekerja di sebuah perusahaan tekstil di bagian pemasaran dan ibu membuka bisnis salon.
            Ya aku tahu kalau apa yang mereka lakukan demi kebahagianku. Demi memenuhi kebutuhan materi. Tapi sejujurnya aku merindukan saat-saat aku bisa satu meja dengan kedua orang tuaku. Aku rindu saat aku bisa tertawa ceria menikmati wahana roller coaster yang menguji andrenalin. Aku rindu saat kedua orang tuaku memuji prestasi juara kelas yang kuraih dengan belajar giat setiap malam.
            Maaf ya, Zahra. Ayah sedang sibuk menghitung pengeluaran perusahaan. Nanti saja ya, ujar ayah saat aku mendapatkan juara umum sewaktu aku duduk di bangku SMP kelas 7.
            Ibu, aku terpilih jadi ketua koordinator OSIS bidang kesenian, seruku pada ibu.
            Wah selamat ya, Nak. Sukses ya. Itulah reaksi ibuku ketika aku memberitahu padanya kalau aku sudah jadi salah satu pengurus OSIS di kelas X SMA namun konsentrasi ibu tetap tertuju pada peralatan salon yang sedang dibereskannya.
            I hate this situation. They’re always busy with their fuckin’ bussiness, rutuk batinku sambil memukul-mukul tembok. Air mataku meluruh pasti seiring dengan kesedihan hatiku. Aku tidak tahu mau mengadu pada siapa lagi. Aku mengambil ponsel yang tergeletak di ranjang tidur lalu mencari narahubung yang bisa kutelepon.
            “Halo, Yun.”
            “Halo, Zahra. Ada apa? Lho... kok suaramu serak? Kamu habis nangis?” tanya Yunita agak menyelidik.
              Aku tidak menjawab pertanyaan Yunita. Aku harap dia sendiri bisa tahu jawabannya.
            “Kamu di mana sekarang? Kita bisa ketemu?” tanyaku temanku ini.
            “Iya, iya. Gimana kalau di Inds Cafe?” Aku menanggapi usulan temanku dengan gumaman kecil.
            “Makasih banget ya, Yun. Elomemang bisa diandalkan. Loe tunggu gua di sana kira-kira 10 menit lagi,” tutupku sambil meletakkan kembali ponselku.
            Aku membuka kaus bergambar Hello Kitty yang membungkus tubuh langsingku. Dan aku hanya mengenakan dalaman seperti kaus kutang lelaki tapi ini lebuh tipis dan melapisi dengan jaket hoodie merah marun. Aku menggelung rambutku lalu keluar dari kamarku.
            Ibuku sedang menonton film India kesukaannya. Dan kebetulan dia melihatku keluar dari kamar dengan mengenakan jaket hoodie dan celana pendek.
            “Kamu mau ke mana, Nak? tanya ibuku.
            “Cari angin bentar. Cuma dua puluh menit,” jawabku.
            “Terus nyalakan ponselmu,” tandas ibu sambil memberi isyarat memperbolehkan aku keluar rumah. Aku menggiring sepeda motor menuju halaman rumah lalu kutekan tombol stater. Sebelum aku pergi aku melihat seorang lelaki tinggi, wajah agak berjerawat rambut cepak melintas halaman depan rumahku.
            “Hey Zahra, kau mau ke mana ini sudah hampir jam sepuluh malam,” ujar Ben Kasio.
            “Cuma nyari angin aja bentar. Di rumah panas banget. Lha elo sendiri ngapain keluar malam-malam begini?” tanyaku balik.
            “Aku mau beli nasi goreng aja. Tapi kalau aku lihat dari wajahmu kelihatannya kamu lagi punya masalah. Dan lihat mata kamu, merah berair lagi,” ujar Ben sambil menunjuk ke arah mataku. Ben seolah bisa membaca pikiran melalui wajahku.
            Ben Kasio merupakan teman masa kecilku. Sewaktu kecil aku sering menghabiskan waktu dengannya. Bermain kelerang, berketapel, bahkan mengajariku menaiki sepeda. Dan sampai sekarang, ketika aku sedang ada masalah atau bergembira, orang yang selalu pertama kali kucari adalah dia. Tapi aku pernah bertanya dalam hati, apakah dia punya rasa kepadaku. Tapi andaikan punya, aku tidak bisa membalas rasa sukanya. Aku sendiri tidak punya perasaan kepadanya. Aku menganggapnya sebagai sahabat dekatku.
            “Tidak ada apa-apa, Ben. Akhir-akhir ini aku sedang sakit mata. Dan pasti sembuhku kok. Kalau gitu, aku pamit ya.”
            “Ya hati-hati di jalan,” balas Ben sambil berlalu dari hadapanku. Aku berharap Yunita tidak kelamaan menungguku.
            Aku tiba pukul 22. 10. Dan kulihat Yunita menunggu dengan gelisah sambil melihat jam tangan.
            “Sudah lama menungguku?” tanyaku pada Yunita sambil menyeret bangku yang berada di depan temanku.
            “Entahlah tapi rasanya jenggot dan kumisku hampir tumbuh gara-gara menunggumu,” ketus Yunita sambil memalingkan wajahnya.
            “Ye jangan marah-marah gitu dong. Di rumah aku sempat diwawancarai sampai lima pertanyaan sama ayahku makanya aku kelamaan nyampe di sini,” dalihku seraya menarik pelan badan temanku agar dia mau melihatku. Dengan wajah memelas dan seolah ingin meminta belas kasihan, akhirnya Yunita luluh, menghadapkan wajahnya padaku.
            “Ya sudah. Tidak apa-apa. Tapi jangan molor-molor kayak gini lagi,” ingat Yunita. Aku membalas dengan dua kali anggukkan kepala dan Yunita berkata lagi, “masalah orang tua lagi ya, Zah?”
            Aku mengangguk sekali lalu kubenamkan wajahku dalam lipatan kedua tanganku, “Gua bingung harus gimana lagi biar kebersamaan gue dengan orang tua gue bisa kembali seperti dulu. Apa tujuan gue lahir di dunia ini hanya untuk dipuaskan secara materi? Gua juga butuh namanya cinta dan kasih sayang.” Aku kembali menengadahkan kepalaku kemudian kupandang wajah temanku, berharap dia punya jawaban yang tepat atas segala kegelisahanku.
            Yunita tersenyum penuh misteri lalu berkata, “Cinta dan kasih sayang yang kaudambakan itu bukan hanya kau dapatkan dari orang tuamu saja. Kau bisa mendapatkan dari laki-laki. Bahkan kau tubuhmu itu juga bisa ikut merasakan kenikmatan sejati dari yang namanya cinta.”  
            Sekilas aku menatap temanku, Yunita dengan rasa ragu. Tapi aku sendiri menjadi penasaran apa maksud dari perkataan temanku yang satu ini. Akan tetapi di situlah awal malapetaka.
*
            Di persembunyianku aku terus dirundung was-was dan cemas. Aku takut ketiga preman itu menemukan aku bersembunyi di balik jalan buntu. Aku ngeri membayangkan kalau mereka menyuruhku kembali ke dunia hitam itu dan memaksaku mengakhiri hidup calon anak manusia.
            Aku mengelus perut buncitku seraya mengingat awal malapetaka itu bermula saat aku berkenal dengan teman pria Yunita, Brandi. Dia lelaki tampan berkulit kuning langsat. Dagu datar. Rahang kokoh. Dia selalu memakai pakaian trendy ala kekinian.
            Di awal perkenalan dia memperlakukanku bak putri raja yang dimanjakan dengan segala bentuk perhatian dan kasih sayang. Dan aku merasa ada rasa yang terpenuhi. Seakan ruang hampa itu terisi sedikit demi sedikit. Ada rasa nyaman sekaligus candu merembes ke dalam lubuk hatiku. Mungkin inilah yang dinamakan kenikmatan cinta. Dan menjelang bulan kedelapan, aku menjalin hubungan dengannya, dia meminta sesuatu yang cukup membuatku berpikir-pikir panjang—kehormatanku.
            Awalnya aku berhasil menolak secara halus akan tetapi mendengar kata-kata manis, janji serta perkataanku padanya—‘kau adalah lelaki yang bisa membuatkumenggantungkan dan berharap sekeras ini. Dan aku mau memberikan apa yang kumiliki’. Dan kupikir aku harus menepati janj itu. Aku menyerahkan kehormatanku penuh kerelaan dan terbuka. Bahkan kami melakukan hal ini berdasarkan suka sama suka sampai kejadian itu terjadi.
*
            Aku merasa sesuatu bergejolak hebat dalam perutku. Ada sensasi yang mengharuskanku membuang apa saja isi di perutku. Aku sudah mondar-mandir dua kali menuju kamar mandi.
            “Lho Zahra kamu kenapa? Akhir-akhir ini, kamu jadi sering muntah-muntah?” tanya ibuku. Aku menggeleng tidak tahu.
            “Coba kamu buang air kecil dulu biar ibu pake alat ini,” suruh ibu sambil menunjukkan kertas tipis dengan panjang 6 cm. Aku menuruti perintah Ibu. Tak sampai satu menit aku buang air kecil dan kulihat ibu keluar dari kamar mandi dengan wajah pucat seputih tisu. Tubuh ibuku bergetar.
            “Nak... kamu... sudah punya pacar?”
            “Iya, Bu.” Begitu aku menjawab pertanyaan dari Ibu, tubuh ibu ambruk begitu saja di atas lantai kamar mandi. Aku tak tahu apa yang membuat ibuku jatuh pingsan begini.
            Di ruang keluarga, ayahku duduk di samping ibuku dengan wajah shock dan pucat. Ayah mencecarku dengan berbagai pertanyaan interogatif.
            “Dan sekarang di mana laki-laki itu?! Di mana dia sekarang?! Dia harus tanggung jawab dengan janin yang kamu kandung sekarang ini.” Kulihat wajah ayah merah padam berusaha menahan emosi yang mungkin membuncah di ubun-ubun.
            “Aku juga tidak tahu di mana dia sekarang, Ayah. Aku sudah berkali-kali menghubunginya tapi selalu tidak ada jawaban,” jawabku pada ayah. Ayahku hanya bisa menangkupkan kedua telapak tangannya di atas wajah sambil memekik keras. aku Cuma bisa menangis tersedu, menyesali kebodohan yang kulakukan selama ini.
            Pukul 23.00. Kedua orang tuaku sudah tertidur pulas. Dan aku sudah siap dengan berbagai barang bawaanku. Aku galau antara memilih pergi atau tetap di rumah ini. Kalaupun aku bertahan di rumah, cepat atau lambat para tetangga akan mengetahui skandal ini. dan tentunya ini bisa membuat nama orang tuaku makin tercemar. Dan kuputuskan sudah aku pergi dari rumah.
            Sekitar dua kilometer dari rumah, tiba-tiba wajahku dibekap oleh sosok tidak dikenal dan aku digiring ke dalam sebuah mobil van. Entah berapa lama di perjalanan, aku berada di sebuah rumah besar penuh wanita berpakaian minim dan berlagak seperti anjing betina.
            “Ini tante Ros. Namanya Zahra Saskia Fitri.” Begitu aku siuman, aku menyadari kalau itu adalah suara teman akrabku, Yunita bersama dengan pacarku, Brandi.
            “Nama yang indah. Tapi mulai sekarang, kamu akan memakai nickname yang mudah diingat oleh pelanggan tante nanti ya. Dan untuk kalian berdua, uang kalian akan saya kasih di belakang. Full,” ujar tante Rosa.
            Sepasang kekasih itu memandang satu sama lain dengan senyum bahagia lalu berucap, “Terimakasih, Ros.”
            Lalu tante Rosa menambahkan, “Kalian berdua tunjukkan di mana kamar Zahra, oh bukan Zahra tapi Sasky.” Mereka mengangguk seraya memapahku. Aku membuang muka, menghindari tatapan mata mereka.
            Aku benci mereka. Mereka menjerumuskanku ke dalam dunia hitam ini selama empat tahun. Dan hal ini mengubah seluruh pandangan hidupku mengenai kelahiran yakni—aku dilahirkan untuk memuaskan nafsu kebinatangan para lelaki. Dan merekalah penguasa atas tubuh indah ini. Aku tak bisa menolak sebab tubuh ini sudah seharusnya tercipta sebagai alat pemuas mereka.
*
            Aku menyudahi lamunan kelam masa laluku. Aku bangkit berdiri sambil mengawasi keadaan sekitar. Aku tidak melihat tanda-tanda kehadiran tiga preman itu. pelan-pelan aku keluar dari persembunyian. Kemudian aku mengambil pisau kecil terselip di balik pinggang.
            “Maafkan Ibu, Nak. Tapi Ibu tidak mau membuat kelahiranmu semata-mata hanya sebagai penonton atas penderitaan Ibu. Sekali lagi, maafkan Ibu,” Aku menoleh ke langit sesaat lalu menutup mata. Mulai kuturunkan menuju perutku.
            “Hentikan, Zahra!” Aku tersontak kaget ketika suara laki-laki mencoba menghentikan perbuatanku.
            “ Ayah... Ibu...” Kedua orangtuaku mempercepat kaki mereka, ingin melepas rindu yang bisa saja membludak di dada. Air mata menggenang di kelopak mata.
            “Maafkan Zahra, Bu, Pak. Maafkan Zahra,” ucapku bercampur suara tangis. Ibu dan ayah hanya menggeleng sambil tetap memelukku lalu kuarahkan pandanganku pada lelaki di depanku—Ben Kasio.
            “Ben, apa yang kau lakukan di sini?”
            “Mencarimu dan melamarmu. Aku ingin menikah denganmu. Menjadi ayah untuk janin yang kau kandung saat ini, Zahra/”
            “Kau tidak sedang mabuk atau dalam kondisi mengonsumi narkoba, bukan? Lagipula aku ini cuma seorang pelacur. Aku tak pantas denganmu. Ketiga preman itu—“
            “Aku tidak peduli. Di depanku kau tetaplah Zahra. Wanita indah dan suci yang tetap kucinta dengan sabar sewaktu kita masih kecil. Dan untuk ketiga preman itu, aku sudah menghubungi polisi untuk meringkus mereka sekaligus germo mereka. Sekarang apakah kau akan menerima lamaranku?”
            Aku menatap kedua orang tuaku. Dan mereka memberi isyarat mantap agar aku menerima saja. Aku tak punya pillihan.
            Kugerakkan saja kepalaku ke bawah dua kali.

No comments:

Post a Comment