Dunia Baru untuk
Wanita Pendosa
Aku terus berlari. Meski beban perut buncit ini
menghalangi gerakku. Tapi itu tidak masalah. Aku masih punya semangat yang bisa
diubah menjadi energi. Lagipula, aku berlari menyelamatkan calon anak manusia
yang ada di rahimku. Dan untuk itu, aku harus mengerahkan seluruh daya yang
kupunya.
*
Aku sudah mengenal kedua orang tuaku
sejak kukumandangkan tangisku sampai ke daun telinga mereka. Mereka mengulum
senyum bahagia dibalut dengan air mata. Kupikir mereka senang menyambut
kelahiranku di dunia ini. Ingin rasanya aku bergabung dengan mereka meneteskan
air mata yang sama. Namun kulitku masih merah dan lengket. Dan kata-kata yang
bisa kukeluarkan hanyalah tangisan.
Aku diasuh dalam keluarga serba
berkecukupan. Dan aku bagaikan putri mahkota yang dimanjakan dengan segala
harta dan kemewahan. Ayah ibu adalah raja dan ratunya. Mungkin mereka melakukan
hal ini karena aku adalah anugerah pertama yang diberikan Tuhan dalam keluarga
kecil ini. Itu sebabnya mereka mau melakukan apa saja agar hatiku senang.
Tapi lama kelamaan aku merasa ada
sesuatu yang kurang. Meski kebutuhan materi aku dapatkan dari mereka, aku
merasakan ruang hampa dalam lubuk hati yang tidak bisa diisi oleh meteri
duniawi. Perasaan ini menuntutku untuk mendapatkan sesuatu yang lebih dan lebih
tapi aku sendiri tidak tahu apa sesuatu yang bisa mengisi ruang itu.
Umurku semakin bertambah dan tepat
hari ini aku berusia 16 tahun. Yang kurang dari keluarga ini adalah kedua orang
tuaku selalu sibuk dengan bisnis mereka sendiri. Hal ini sudah terlihat sejak
aku berusia 12 tahun. Perlahan-lahan, jam kebersamaan di antara kami bertiga
mulai berkurang. Ketika aku mengajak ayah dan ibu untuk makan bersama, mereka
berdalih dengan alasan bisnis. Ayahku bekerja di sebuah perusahaan tekstil di
bagian pemasaran dan ibu membuka bisnis salon.
Ya aku tahu kalau apa yang mereka
lakukan demi kebahagianku. Demi memenuhi kebutuhan materi. Tapi sejujurnya aku
merindukan saat-saat aku bisa satu meja dengan kedua orang tuaku. Aku rindu
saat aku bisa tertawa ceria menikmati wahana roller coaster yang menguji andrenalin. Aku rindu saat kedua orang
tuaku memuji prestasi juara kelas yang kuraih dengan belajar giat setiap malam.
Maaf
ya, Zahra. Ayah sedang sibuk menghitung pengeluaran perusahaan. Nanti saja ya,
ujar ayah saat aku mendapatkan juara umum sewaktu aku duduk di bangku SMP kelas
7.
Ibu,
aku terpilih jadi ketua koordinator OSIS bidang kesenian, seruku pada ibu.
Wah
selamat ya, Nak. Sukses ya. Itulah reaksi ibuku ketika aku memberitahu
padanya kalau aku sudah jadi salah satu pengurus OSIS di kelas X SMA namun konsentrasi
ibu tetap tertuju pada peralatan salon yang sedang dibereskannya.
I
hate this situation. They’re always busy with their fuckin’ bussiness,
rutuk batinku sambil memukul-mukul tembok. Air mataku meluruh pasti seiring
dengan kesedihan hatiku. Aku tidak tahu mau mengadu pada siapa lagi. Aku
mengambil ponsel yang tergeletak di ranjang tidur lalu mencari narahubung yang
bisa kutelepon.
“Halo, Yun.”
“Halo, Zahra. Ada apa? Lho... kok
suaramu serak? Kamu habis nangis?” tanya Yunita agak menyelidik.
Aku tidak menjawab pertanyaan Yunita. Aku harap dia sendiri bisa tahu
jawabannya.
“Kamu di mana sekarang? Kita bisa
ketemu?” tanyaku temanku ini.
“Makasih banget ya, Yun. Elomemang bisa diandalkan. Loe tunggu gua di sana kira-kira 10 menit lagi,” tutupku sambil meletakkan
kembali ponselku.
Aku membuka kaus bergambar Hello
Kitty yang membungkus tubuh langsingku. Dan aku hanya mengenakan dalaman
seperti kaus kutang lelaki tapi ini lebuh tipis dan melapisi dengan jaket hoodie merah marun. Aku menggelung
rambutku lalu keluar dari kamarku.
Ibuku sedang menonton film India
kesukaannya. Dan kebetulan dia melihatku keluar dari kamar dengan mengenakan
jaket hoodie dan celana pendek.
“Kamu mau ke mana, Nak? tanya ibuku.
“Cari angin bentar. Cuma dua puluh
menit,” jawabku.
“Terus nyalakan ponselmu,” tandas
ibu sambil memberi isyarat memperbolehkan aku keluar rumah. Aku menggiring
sepeda motor menuju halaman rumah lalu kutekan tombol stater. Sebelum aku pergi
aku melihat seorang lelaki tinggi, wajah agak berjerawat rambut cepak melintas
halaman depan rumahku.
“Hey Zahra, kau mau ke mana ini
sudah hampir jam sepuluh malam,” ujar Ben Kasio.
“Cuma nyari angin aja bentar. Di
rumah panas banget. Lha elo sendiri ngapain keluar malam-malam begini?” tanyaku
balik.
“Aku mau beli nasi goreng aja. Tapi
kalau aku lihat dari wajahmu kelihatannya kamu lagi punya masalah. Dan lihat
mata kamu, merah berair lagi,” ujar Ben sambil menunjuk ke arah mataku. Ben
seolah bisa membaca pikiran melalui wajahku.
Ben Kasio merupakan teman masa
kecilku. Sewaktu kecil aku sering menghabiskan waktu dengannya. Bermain
kelerang, berketapel, bahkan mengajariku menaiki sepeda. Dan sampai sekarang,
ketika aku sedang ada masalah atau bergembira, orang yang selalu pertama kali
kucari adalah dia. Tapi aku pernah bertanya dalam hati, apakah dia punya rasa
kepadaku. Tapi andaikan punya, aku tidak bisa membalas rasa sukanya. Aku
sendiri tidak punya perasaan kepadanya. Aku menganggapnya sebagai sahabat
dekatku.
“Tidak ada apa-apa, Ben. Akhir-akhir
ini aku sedang sakit mata. Dan pasti sembuhku kok. Kalau gitu, aku pamit ya.”
“Ya hati-hati di jalan,” balas Ben
sambil berlalu dari hadapanku. Aku berharap Yunita tidak kelamaan menungguku.
Aku tiba pukul 22. 10. Dan kulihat
Yunita menunggu dengan gelisah sambil melihat jam tangan.
“Sudah lama menungguku?” tanyaku
pada Yunita sambil menyeret bangku yang berada di depan temanku.
“Entahlah tapi rasanya jenggot dan
kumisku hampir tumbuh gara-gara menunggumu,” ketus Yunita sambil memalingkan
wajahnya.
“Ye jangan marah-marah gitu dong. Di
rumah aku sempat diwawancarai sampai lima pertanyaan sama ayahku makanya aku
kelamaan nyampe di sini,” dalihku seraya menarik pelan badan temanku agar dia
mau melihatku. Dengan wajah memelas dan seolah ingin meminta belas kasihan,
akhirnya Yunita luluh, menghadapkan wajahnya padaku.
“Ya sudah. Tidak apa-apa. Tapi
jangan molor-molor kayak gini lagi,” ingat Yunita. Aku membalas dengan dua kali
anggukkan kepala dan Yunita berkata lagi, “masalah orang tua lagi ya, Zah?”
Aku mengangguk sekali lalu
kubenamkan wajahku dalam lipatan kedua tanganku, “Gua bingung harus gimana lagi
biar kebersamaan gue dengan orang tua gue bisa kembali seperti dulu. Apa tujuan
gue lahir di dunia ini hanya untuk dipuaskan secara materi? Gua juga butuh
namanya cinta dan kasih sayang.” Aku kembali menengadahkan kepalaku kemudian
kupandang wajah temanku, berharap dia punya jawaban yang tepat atas segala
kegelisahanku.
Yunita tersenyum penuh misteri lalu
berkata, “Cinta dan kasih sayang yang kaudambakan itu bukan hanya kau dapatkan
dari orang tuamu saja. Kau bisa mendapatkan dari laki-laki. Bahkan kau tubuhmu
itu juga bisa ikut merasakan kenikmatan sejati dari yang namanya cinta.”
Sekilas aku menatap temanku, Yunita
dengan rasa ragu. Tapi aku sendiri menjadi penasaran apa maksud dari perkataan
temanku yang satu ini. Akan tetapi di situlah awal malapetaka.
*
Di persembunyianku aku terus
dirundung was-was dan cemas. Aku takut ketiga preman itu menemukan aku
bersembunyi di balik jalan buntu. Aku ngeri membayangkan kalau mereka
menyuruhku kembali ke dunia hitam itu dan memaksaku mengakhiri hidup calon anak
manusia.
Aku mengelus perut buncitku seraya
mengingat awal malapetaka itu bermula saat aku berkenal dengan teman pria
Yunita, Brandi. Dia lelaki tampan berkulit kuning langsat. Dagu datar. Rahang
kokoh. Dia selalu memakai pakaian trendy ala
kekinian.
Di awal perkenalan dia
memperlakukanku bak putri raja yang dimanjakan dengan segala bentuk perhatian
dan kasih sayang. Dan aku merasa ada rasa yang terpenuhi. Seakan ruang hampa
itu terisi sedikit demi sedikit. Ada rasa nyaman sekaligus candu merembes ke
dalam lubuk hatiku. Mungkin inilah yang dinamakan kenikmatan cinta. Dan
menjelang bulan kedelapan, aku menjalin hubungan dengannya, dia meminta sesuatu
yang cukup membuatku berpikir-pikir panjang—kehormatanku.
Awalnya aku berhasil menolak secara
halus akan tetapi mendengar kata-kata manis, janji serta perkataanku padanya—‘kau
adalah lelaki yang bisa membuatkumenggantungkan dan berharap sekeras ini. Dan
aku mau memberikan apa yang kumiliki’. Dan kupikir aku harus menepati janj itu.
Aku menyerahkan kehormatanku penuh kerelaan dan terbuka. Bahkan kami melakukan
hal ini berdasarkan suka sama suka sampai kejadian itu terjadi.
*
Aku merasa sesuatu bergejolak hebat
dalam perutku. Ada sensasi yang mengharuskanku membuang apa saja isi di perutku.
Aku sudah mondar-mandir dua kali menuju kamar mandi.
“Lho Zahra kamu kenapa? Akhir-akhir
ini, kamu jadi sering muntah-muntah?” tanya ibuku. Aku menggeleng tidak tahu.
“Coba kamu buang air kecil dulu biar
ibu pake alat ini,” suruh ibu sambil menunjukkan kertas tipis dengan panjang 6
cm. Aku menuruti perintah Ibu. Tak sampai satu menit aku buang air kecil dan
kulihat ibu keluar dari kamar mandi dengan wajah pucat seputih tisu. Tubuh
ibuku bergetar.
“Nak... kamu... sudah punya pacar?”
“Iya, Bu.” Begitu aku menjawab
pertanyaan dari Ibu, tubuh ibu ambruk begitu saja di atas lantai kamar mandi.
Aku tak tahu apa yang membuat ibuku jatuh pingsan begini.
Di ruang keluarga, ayahku duduk di
samping ibuku dengan wajah shock dan pucat. Ayah mencecarku dengan berbagai
pertanyaan interogatif.
“Dan sekarang di mana laki-laki
itu?! Di mana dia sekarang?! Dia harus tanggung jawab dengan janin yang kamu
kandung sekarang ini.” Kulihat wajah ayah merah padam berusaha menahan emosi
yang mungkin membuncah di ubun-ubun.
“Aku juga tidak tahu di mana dia
sekarang, Ayah. Aku sudah berkali-kali menghubunginya tapi selalu tidak ada
jawaban,” jawabku pada ayah. Ayahku hanya bisa menangkupkan kedua telapak
tangannya di atas wajah sambil memekik keras. aku Cuma bisa menangis tersedu,
menyesali kebodohan yang kulakukan selama ini.
Pukul 23.00. Kedua orang tuaku sudah
tertidur pulas. Dan aku sudah siap dengan berbagai barang bawaanku. Aku galau
antara memilih pergi atau tetap di rumah ini. Kalaupun aku bertahan di rumah,
cepat atau lambat para tetangga akan mengetahui skandal ini. dan tentunya ini
bisa membuat nama orang tuaku makin tercemar. Dan kuputuskan sudah aku pergi
dari rumah.
Sekitar dua kilometer dari rumah,
tiba-tiba wajahku dibekap oleh sosok tidak dikenal dan aku digiring ke dalam
sebuah mobil van. Entah berapa lama di perjalanan, aku berada di sebuah rumah
besar penuh wanita berpakaian minim dan berlagak seperti anjing betina.
“Ini tante Ros. Namanya Zahra Saskia
Fitri.” Begitu aku siuman, aku menyadari kalau itu adalah suara teman akrabku,
Yunita bersama dengan pacarku, Brandi.
“Nama yang indah. Tapi mulai
sekarang, kamu akan memakai nickname yang
mudah diingat oleh pelanggan tante nanti ya. Dan untuk kalian berdua, uang
kalian akan saya kasih di belakang. Full,”
ujar tante Rosa.
Sepasang kekasih itu memandang satu
sama lain dengan senyum bahagia lalu berucap, “Terimakasih, Ros.”
Lalu tante Rosa menambahkan, “Kalian
berdua tunjukkan di mana kamar Zahra, oh bukan Zahra tapi Sasky.” Mereka
mengangguk seraya memapahku. Aku membuang muka, menghindari tatapan mata
mereka.
Aku benci mereka. Mereka menjerumuskanku
ke dalam dunia hitam ini selama empat tahun. Dan hal ini mengubah seluruh
pandangan hidupku mengenai kelahiran yakni—aku
dilahirkan untuk memuaskan nafsu kebinatangan para lelaki. Dan merekalah
penguasa atas tubuh indah ini. Aku tak bisa menolak sebab tubuh ini sudah seharusnya
tercipta sebagai alat pemuas mereka.
*
Aku menyudahi lamunan kelam masa
laluku. Aku bangkit berdiri sambil mengawasi keadaan sekitar. Aku tidak melihat
tanda-tanda kehadiran tiga preman itu. pelan-pelan aku keluar dari
persembunyian. Kemudian aku mengambil pisau kecil terselip di balik pinggang.
“Maafkan Ibu, Nak. Tapi Ibu tidak
mau membuat kelahiranmu semata-mata hanya sebagai penonton atas penderitaan
Ibu. Sekali lagi, maafkan Ibu,” Aku menoleh ke langit sesaat lalu menutup mata.
Mulai kuturunkan menuju perutku.
“Hentikan, Zahra!” Aku tersontak
kaget ketika suara laki-laki mencoba menghentikan perbuatanku.
“ Ayah... Ibu...” Kedua orangtuaku
mempercepat kaki mereka, ingin melepas rindu yang bisa saja membludak di dada.
Air mata menggenang di kelopak mata.
“Maafkan Zahra, Bu, Pak. Maafkan
Zahra,” ucapku bercampur suara tangis. Ibu dan ayah hanya menggeleng sambil
tetap memelukku lalu kuarahkan pandanganku pada lelaki di depanku—Ben Kasio.
“Ben, apa yang kau lakukan di sini?”
“Mencarimu dan melamarmu. Aku ingin
menikah denganmu. Menjadi ayah untuk janin yang kau kandung saat ini, Zahra/”
“Kau tidak sedang mabuk atau dalam
kondisi mengonsumi narkoba, bukan? Lagipula aku ini cuma seorang pelacur. Aku
tak pantas denganmu. Ketiga preman itu—“
“Aku tidak peduli. Di depanku kau
tetaplah Zahra. Wanita indah dan suci yang tetap kucinta dengan sabar sewaktu
kita masih kecil. Dan untuk ketiga preman itu, aku sudah menghubungi polisi
untuk meringkus mereka sekaligus germo mereka. Sekarang apakah kau akan
menerima lamaranku?”
Aku menatap kedua orang tuaku. Dan
mereka memberi isyarat mantap agar aku menerima saja. Aku tak punya pillihan.
Kugerakkan saja kepalaku ke bawah
dua kali.

No comments:
Post a Comment