Tuesday, 18 September 2018

DUAL - 11




Urgent
            Lelaki bertangan gempal dengan rambut halus tumbuh lebat di kedua tangannya memukul meja dengan kepalan tangan kanan. Dua anak buahnya yang sedang berbincang di depan pos  markas besar polresta sontak terkejut. Lelaki berambut cepak berpangkat Ipda dan polisi perempuan berpangkat Aiptu diam seketika sambil memandang atasan mereka yang tengah dikuasai emosi.
            “Ada apa Pak?” Pria bertangan gempal itu tidak terlebih dahulu menjawab pertanyaan mereka. Keduanya seperti isyaratkan oleh atasan mereka untuk melihat siaran televisi yang berada di atas kepala mereka bertiga.
            Dalam salah satu siaran stasiun TV, Surya Televisi Indonesia atau disingkat STVI mengabarkan berita pembunuhan seorang anggota kepolisian, Rusli Ali Hidayat. Lelaki berusia 23 tahun ditemukan meninggal dunia dengan kondisi mayat mengapung di atas danau buatan taman Otto Iskandar Dinarta. Di tubuh korban ditemukan dua bekas luka tembak di bagian kening. Mayat korban sudah dibawa kepolisian guna uji forensik oleh Polres Tangerang Selatan ke rumah sakit Grand Medistra. 
            “Tidak mungkin. Itu bukan Briptu Rusli ‘kan?” tepis lelaki berpangkat Ipda itu. Di depan seragam dinas harian tertulis papan nama Eddu Afrianto.
            “Aku tidak menyangka kalau dia akan terbunuh. Aku yakin pengintaiannya sudah diketahui dua pembunuh itu.” Polisi perempuan berwajah kekotakan menggeleng tidak percaya.
            “Apa yang harus kita lakukan, Komandan? Kita tidak mungkin membiarkan melakukan ini pada anggota kita. Kita perlu melakukan upaya penyerbuan,” usul salah satu anak buahnya. Lelaki itu sudah mulai menguasai diri. Ia tengah berpikir apa upaya yang tepat untuk meringkus dua penjahat yang selama ini mereka incar.
            Lelaki paruh baya berpangkat komisaris polisi itu sudah mengenal betul kejahatan yang dilakukan kedua pembunuh itu. Mereka juga tergabung dalam sindikat jaringan HOVTA. Lelaki itu sudah tahu bahwa sindikat itu bergerak dalam kejahatan perdagangan organ tubuh manusia ilegal. Mereka juga tak segan melakukan penculikan dan pembunuhan untuk mengambil jantung, paru-paru, ginjal dan organ vital lainnya yang bisa diperjualbelikan di pasar gelap.
            HOVTA sendiri sebagaimana kabar yang berembus bahwa jaringannya sudah mencapai taraf  internasional. Sindikat itu sudah mempunyai cabang di dua negara di benua Asia, satu negara di benua Afrika dan dua negara di benua Amerika Latin. Pusat mereka sendiri berada di Hongkong. Begitu luas dan berbahayanya jaringan ini, tidak ada satu pun anggota kepolisian berani mengusik atau menuntaskan kasus-kasus pembunuhan, perdagangan organ tubuh manusia ilegal yang sering diberitakan di media massa.
            Komisaris polisi bernama lengkap Widjanto Wahyu Kusuma baru saja dipindahtugaskan enam bulan lalu dari poltabes Medan. Ia merupakan seorang wakil kepala poltabes direktorat intelijen dan keamaan. Dirinya dipercayakan Kapolri untuk membongkar dan mengusut tuntas kasus kejahatan pembunuhan dan perdagangan organ tubuh ilegal sindikat HOVTA berpusat di salah satu kota di Jawa Barat. Lelaki paruh baya 52 tahun itu teringat bahwa ia sempat menolak halus pemindahantugas dirinya dari Medan ke Jawa Barat untuk membongkar dan mengusut tuntas kasus kejahatan sindikat HOVTA.
            “Bapak Kapolri, bukannya saya bermaksud lancang, tapi  menangani kasus besar seperti HOVTA bukan area saya. Sebagai mantan waka poltabes direktorat intelijen dan keamaanan, saya lebih sering berkecimpungan pada kegiatan intel, pengamanan kegiatan masyarakat serta mengurusi masalah SKCK. Saya belum terbiasa menghadapi kasus kriminal langsung.“
            “Saya yakin Bapak bisa menangani kasus ini sampai ke akar-akarnya. Anggap saja kasus ini sebagai ujian atas kenaikan pangkat Anda, Bapak Kompol Widjanto,” balas Kapolri Bachtiar Samsyudin atas penolakan halus salah satu anggotanya.
            Lelaki paruh baya itu tidak punya alasan apa-apa jika atasannya sudah membeberkan rekam jejaknya selama bertugas di Medan. Ia dengan hati mantap menerima pemindahantugas sekaligus tugas untuk membongkar dan mengusut tuntas kasus kejahatan HOVTA.
            Ingatan  itu berangsur-angsur memudar dalam kepala Kompol Widjanto. Ia bangkit berdiri kemudian melirik serius dua anggotanya.
            “Tidak usah. Upaya penyerbuan itu terlalu tergesa-gesa. Aku ingin kalian mengumpulkan informasi lebih banyak mengenai dua anggota sindikat HOVTA. Saya mau kalian berusaha lebih dekat dengan mereka. Setelah kita mendapat informasi yang cukup kita akan menyusun strategi penyergapan terlebih dahulu dengan Densus 88 dan Satgas Anti Teror.”
            “Tapi Pak, sebagaimana yang Bapak lihat, Briptu Rusli—” sanggah Aiptu Sary Sustina.
            “Ini perintah,” jawab Kompol Widjanto, cepat.
             “Siap laksanakan,” respon dua prajurit polisi itu sambil memberikan hormat pada atasan mereka.
***
            Sudah satu hari Alvaro, Aretha dan Rudi dirawat di RSUD Cibitung. Sebelum berada di rumah sakit, Aretha dalam kondisi setengah sadar berusaha menelepon anggota Killer Order yang lain untuk membantunya. Mayat dua pengawal pribadi Dedy Rahmad Yadi masih tergeletak tak bernyawa. Ia tak bisa mengandalkan dua partnernya untuk menimbun mayat mereka dengan karung-karung berisi sekam padi.
            Aretha berhasil menutupi mayat kedua pengawal itu walau tidak tertutupi keseluruhannya. Hanya menampakkan bagian pangkal paha sampai ujung kaki. Bantuan datang setelah Aretha menunggu hampir dua jam. Ia sendiri tidak dapat menahan nyeri di bagian pundaknya. Ia bersandar di dinding bersama dengan dua temannya.
            “Aretha belum ada tanda kedatangan dari mereka?” tanya Alvaro.
            “Sampai saat ini belum.  Aku kau baik-baik saja, Alvaro?” Lelaki itu menjawab dengan anggukan kepala.
            “Bagaimana denganmu , Rudi?” Kepala Alvaro menoleh ke samping.
            “Cukup buruk. Meski Aretha mencoba menahan pendarahan dengan menggunakan handuk dan alkohol, sepertinya darah terus mengalir.” Tanpa lampu penerangan, cahaya bulan cukup untuk meyakinkan kalau luka di bagian perut, membuat Rudi kehilangan banyak darah. Ia mulai mengigil. Bibirnya mulai membiru. Kekhawatiran mulai merebak dalam hati Aretha.
            “Bertahanlah, Rudi. Aku yakin mereka akan segera datang,” ucap Alvaro menenangkan kawannya. Rudi hanya mengangguk lemah.
            Di tengah kondisi mereka yang terbilang kritis, Alvaro mendengar suara raung motor dan decit ban mobil di depan bekas pabrik penggilingan padi.  “Kalian di mana?” tanya orang yang berdiri di depan pintu bekas pabrik pengilangan padi itu.
            “Siapa kalian? Coba sebutkan kode kalian?” tanya Alvaro memastikan apakah mereka benar orang-orang Killer Order.
            “KO1112. KO2005. KO2304.” Orang-orang yang berada di luar sudah menyebutkan kode keanggotaan mereka. Lelaki berpostur kurus berotot itu meyakini kalau orang-orang yanga ada di luar sana merupakan teman mereka.
            “Masuklah,” ucap Alvaro, mempersilakan ketiga orang itu masuk. Ditemani dengan lampu senter, ketiga anggota menyorotkan cahaya ke arah tiga sosok yang bersandar di dinding kayu. Wajah mereka terlihat kuyu dan lemah. Seolah kekuatan mereka sudah lenyap ditelan kegelapan dan kesunyian pabrik pengilangan padi.
            “Apa yang terjadi dengan kalian?!” Salah satu dari mereka menghampiri dengan panik dan terburu-buru.
            “Awas! Kaki kalian menginjak mayat.” Dua anggota yang lain refleks mengangkat kaki begitu diberitahu oleh Arteha yang telunjuknya mengarah pada dua mayat itu.
            “Perlawanan yang cukup spektakuler. Tapi lebih baik kalian membawa kami secepatnya ke rumah sakit. Oh ya, apakah kalian juga membawa mobil kami?” Ketiga orang Killer Order mengangguk secara bersamaan menjawab pertanyaan Alvaro.
            Satu orang mengangkat tubuh Alvaro pelan-pelan kemudian memapahnya. Dua orang lagi memapah tubuh Rudi dari kiri dan kanan. “Bagaimana denganmu?” tanya lelaki yang memapah Alvaro.
            “Tidak perlu. Aku bisa sendiri,” jawab Aretha dingin. Ia terus berjalan sambil memegangi pundaknya.
            Satu setengah jam menempuh perjalanan akhirnya mereka menemukan sebuah rumah sakit. Si pengemudi turun dari mobil guna memanggil petugas medis membawa ranjang beroda. Ketiga anggota Killer Order juga ikut bersama dengan dua petugas medis yang membawa tiga anggota mereka yang menderita luka tembak serius.
            Alvaro, Aretha dan Rudi ditempatkan dalam ruangan yang sama. Saat ini enam dokter bedah sedang mengeluarkan peluru-peluru yang bersarang dalam tubuh mereka bertiga. Sementara itu ketiga anggota Killer Order duduk menunggu di kursi besi panjang yang terletak di depan kamar bedah.  Tiga jam lebih mereka menunggu akhirnya salah satu dokter keluar dari kamar bedah. Ketiganya bangkit berdiri mendekati sang dokter.
            “Bagaimana keadaan teman kami, Dok?” tanya salah satu dari ketiganya.
            “Mereka baik-baik saja. Hanya saja salah satu teman kalian kehilangan banyak darah. Dia membutuhkan donor darah golongan B tapi untungnya kami punya stok kantung darah,” papar sang dokter mengenai keadaan salah satu teman mereka.
            Dua dari tiga pasien yang dioperasi sedang dipindahkan ke ruangan perawatan kelas II. Alvaro dan Aretha masih dalam kondisi setengah sadar. Masing-masing dua tenaga medis menjalankan ranjang beroda.
            “Jef kau tunggu saja di sini. Kami berdua akan mengikuti Alvaro dan Arteha.” Lelaki berkepala plontos itu mengangguk setuju. Langsung saja kedua kawannya mengikuti ke mana empat petugas medis pergi. Jef yang masih menunggu di depan kamar bedah, melihat sosok lelaki memakai baju ala dokter bedah melangkah cepat menuju kamar bedah. Sang dokter keluar bersamaan dengan tibanya lelaki berpakaian ala dokter bedah serta mengenakan masker.
            “Sebelah sini. Berikan saja pada suster Hanna, kepala ruang donor darah. Bilang ini dari dokter Hendrik,” kata sang dokter sambil menutup kembali maskernya. Lelaki yang diduga Jeff bukanlah pegawai rumah sakit, meninggalkan depan kamar bedah menuju ruang yang dimaksud sang dokter.
***
            Dua anggota Killer Order sudah berada di ruang Anggrek tempat Alvaro dan Aretha dirawat. Keduanya duduk di samping kiri Aretha. Terlihat mereka berdua sudah siuman sepenuhnya. Salah satu dari kedua anggota Killer Order memulai pembicaraan dengan rentetan pertanyaan.
            “Apa yang sebenarnya terjadi dengan kalian? Mengapa bisa sampai seperti ini?”
            “Bos tidak memberitahu kami kalau dua pengawal Dedy Rahmad Yadi memiliki ilmu kebal. Untungnya kami tahu apa penangkalnya. Hampir saja nyawa kami melayang di tangan kedua pengawal itu,” terang Alvaro pada temannya, Fredd.  
            “Lalu apa langkah yang akan kalian lakukan selanjutnya?” tanya lelaki berbadan kekar dengan lengan baju dilipat tiga linting, menampakkan urat otot bisep dan trisepnya yang lumayan besar.
            “Kami akan melaporkan hal ini pada bos. Mungkin kami harus menyusun ulang strategi untuk menghabisi Dedy Rahmad Yahdi,” sambung Arteha. Selang transparan infus masih berjalan optimal menyalurkan zat makanan dalam bentuk cair ke dalam urat nadi Alvaro dan Aretha.
***
Lelaki berjas tuksedo hitam dengan kemeja putih berlengan panjang dan dasi merah cerah melangkah santai menuruni tangga pesawat Boeing 337. Pesawat dengan destinasi Hongkong-Jakarta baru saja lepas landas sepuluh menit yang lalu. Ia menekan tombol ON untuk menghidupkan kembali telepon genggam. Ia sudah tahu mungkin sudah banyak pemberitahuan chat via Whatsapp ataupun panggilan via telepon. Sudah tiga menit ia membiarkan sistem operasional Android-nya mengoptimalkan kerja processor, ia melihat ada panggilan masuk tertera di layar.
            Jonas? Lelaki berjas tuksedo itu langsung mengangkat panggilan itu
            “Halo Jonas, ada apa?”
            “Selamat pagi kepala pimpinan, apakah Bapak sudah berada di bandara Soekarno Hatta?”
            “Benar saya sudah tiba sekitar setengah jam yang lalu. Kamu bisa suruh anak buahmu untuk menjemput saya?”
            “Bisa sekali, Bapak Pimpinan. Saya dan anak buah saya akan menjemput Bapak ke sana. Sekaligus saya ingin membicarakan hal yang penting.”
            “Mengenai...”
            “Tepat. Agenda rapat yang Bapak wakilkan kepada Pak Setno sudah kami laksanakan,” jawab Jonas cepat. Ia sepertinya sudah mengetahui apa yang dimaksud oleh kepala pimpinannya.
            “Baiklah. Saya tunggu.” Lelaki itu menutup panggilan kemudian sepatu pantofel cokelat muda menderap keras di atas tanah bandara.