Urgent
Lelaki
bertangan gempal dengan rambut halus tumbuh lebat di kedua tangannya memukul
meja dengan kepalan tangan kanan. Dua anak buahnya yang sedang berbincang di
depan pos markas besar polresta sontak
terkejut. Lelaki berambut cepak berpangkat Ipda dan polisi perempuan berpangkat
Aiptu diam seketika sambil memandang atasan mereka yang tengah dikuasai emosi.
“Ada
apa Pak?” Pria bertangan gempal itu tidak terlebih dahulu menjawab pertanyaan
mereka. Keduanya seperti isyaratkan oleh atasan mereka untuk melihat siaran
televisi yang berada di atas kepala mereka bertiga.
Dalam
salah satu siaran stasiun TV, Surya Televisi Indonesia atau disingkat STVI
mengabarkan berita pembunuhan seorang anggota kepolisian, Rusli Ali Hidayat.
Lelaki berusia 23 tahun ditemukan meninggal dunia dengan kondisi mayat
mengapung di atas danau buatan taman Otto Iskandar Dinarta. Di tubuh korban
ditemukan dua bekas luka tembak di bagian kening. Mayat korban sudah dibawa
kepolisian guna uji forensik oleh Polres Tangerang Selatan ke rumah sakit Grand
Medistra.
“Tidak
mungkin. Itu bukan Briptu Rusli ‘kan?” tepis lelaki berpangkat Ipda itu. Di
depan seragam dinas harian tertulis papan nama Eddu Afrianto.
“Aku
tidak menyangka kalau dia akan terbunuh. Aku yakin pengintaiannya sudah
diketahui dua pembunuh itu.” Polisi perempuan berwajah kekotakan menggeleng
tidak percaya.
“Apa
yang harus kita lakukan, Komandan? Kita tidak mungkin membiarkan melakukan ini
pada anggota kita. Kita perlu melakukan upaya penyerbuan,” usul salah satu anak
buahnya. Lelaki itu sudah mulai menguasai diri. Ia tengah berpikir apa upaya
yang tepat untuk meringkus dua penjahat yang selama ini mereka incar.
Lelaki
paruh baya berpangkat komisaris polisi itu sudah mengenal betul kejahatan yang
dilakukan kedua pembunuh itu. Mereka juga tergabung dalam sindikat jaringan
HOVTA. Lelaki itu sudah tahu bahwa sindikat itu bergerak dalam kejahatan
perdagangan organ tubuh manusia ilegal. Mereka juga tak segan melakukan penculikan
dan pembunuhan untuk mengambil jantung, paru-paru, ginjal dan organ vital
lainnya yang bisa diperjualbelikan di pasar gelap.
HOVTA
sendiri sebagaimana kabar yang berembus bahwa jaringannya sudah mencapai
taraf internasional. Sindikat itu sudah
mempunyai cabang di dua negara di benua Asia, satu negara di benua Afrika dan
dua negara di benua Amerika Latin. Pusat mereka sendiri berada di Hongkong.
Begitu luas dan berbahayanya jaringan ini, tidak ada satu pun anggota
kepolisian berani mengusik atau menuntaskan kasus-kasus pembunuhan, perdagangan
organ tubuh manusia ilegal yang sering diberitakan di media massa.
Komisaris
polisi bernama lengkap Widjanto Wahyu Kusuma baru saja dipindahtugaskan enam
bulan lalu dari poltabes Medan. Ia merupakan seorang wakil kepala poltabes
direktorat intelijen dan keamaan. Dirinya dipercayakan Kapolri untuk membongkar
dan mengusut tuntas kasus kejahatan pembunuhan dan perdagangan organ tubuh
ilegal sindikat HOVTA berpusat di salah satu kota di Jawa Barat. Lelaki paruh
baya 52 tahun itu teringat bahwa ia sempat menolak halus pemindahantugas dirinya
dari Medan ke Jawa Barat untuk membongkar dan mengusut tuntas kasus kejahatan
sindikat HOVTA.
“Bapak
Kapolri, bukannya saya bermaksud lancang, tapi
menangani kasus besar seperti HOVTA bukan area saya. Sebagai mantan waka
poltabes direktorat intelijen dan keamaanan, saya lebih sering berkecimpungan
pada kegiatan intel, pengamanan kegiatan masyarakat serta mengurusi masalah
SKCK. Saya belum terbiasa menghadapi kasus kriminal langsung.“
“Saya
yakin Bapak bisa menangani kasus ini sampai ke akar-akarnya. Anggap saja kasus ini
sebagai ujian atas kenaikan pangkat Anda, Bapak Kompol Widjanto,” balas Kapolri
Bachtiar Samsyudin atas penolakan halus salah satu anggotanya.
Lelaki
paruh baya itu tidak punya alasan apa-apa jika atasannya sudah membeberkan
rekam jejaknya selama bertugas di Medan. Ia dengan hati mantap menerima
pemindahantugas sekaligus tugas untuk membongkar dan mengusut tuntas kasus
kejahatan HOVTA.
Ingatan
itu berangsur-angsur memudar dalam
kepala Kompol Widjanto. Ia bangkit berdiri kemudian melirik serius dua
anggotanya.
“Tidak
usah. Upaya penyerbuan itu terlalu tergesa-gesa. Aku ingin kalian mengumpulkan
informasi lebih banyak mengenai dua anggota sindikat HOVTA. Saya mau kalian
berusaha lebih dekat dengan mereka. Setelah kita mendapat informasi yang cukup
kita akan menyusun strategi penyergapan terlebih dahulu dengan Densus 88 dan
Satgas Anti Teror.”
“Tapi
Pak, sebagaimana yang Bapak lihat, Briptu Rusli—” sanggah Aiptu Sary Sustina.
“Ini
perintah,” jawab Kompol Widjanto, cepat.
“Siap laksanakan,” respon dua prajurit polisi
itu sambil memberikan hormat pada atasan mereka.
***
Sudah
satu hari Alvaro, Aretha dan Rudi dirawat di RSUD Cibitung. Sebelum berada di
rumah sakit, Aretha dalam kondisi setengah sadar berusaha menelepon anggota Killer
Order yang lain untuk membantunya. Mayat dua pengawal pribadi Dedy Rahmad Yadi
masih tergeletak tak bernyawa. Ia tak bisa mengandalkan dua partnernya untuk
menimbun mayat mereka dengan karung-karung berisi sekam padi.
Aretha
berhasil menutupi mayat kedua pengawal itu walau tidak tertutupi keseluruhannya.
Hanya menampakkan bagian pangkal paha sampai ujung kaki. Bantuan datang setelah
Aretha menunggu hampir dua jam. Ia sendiri tidak dapat menahan nyeri di bagian
pundaknya. Ia bersandar di dinding bersama dengan dua temannya.
“Aretha
belum ada tanda kedatangan dari mereka?” tanya Alvaro.
“Sampai
saat ini belum. Aku kau baik-baik saja,
Alvaro?” Lelaki itu menjawab dengan anggukan kepala.
“Bagaimana
denganmu , Rudi?” Kepala Alvaro menoleh ke samping.
“Cukup
buruk. Meski Aretha mencoba menahan pendarahan dengan menggunakan handuk dan
alkohol, sepertinya darah terus mengalir.” Tanpa lampu penerangan, cahaya bulan
cukup untuk meyakinkan kalau luka di bagian perut, membuat Rudi kehilangan
banyak darah. Ia mulai mengigil. Bibirnya mulai membiru. Kekhawatiran mulai
merebak dalam hati Aretha.
“Bertahanlah,
Rudi. Aku yakin mereka akan segera datang,” ucap Alvaro menenangkan kawannya.
Rudi hanya mengangguk lemah.
Di
tengah kondisi mereka yang terbilang kritis, Alvaro mendengar suara raung motor
dan decit ban mobil di depan bekas pabrik penggilingan padi. “Kalian di mana?” tanya orang yang berdiri di
depan pintu bekas pabrik pengilangan padi itu.
“Siapa
kalian? Coba sebutkan kode kalian?” tanya Alvaro memastikan apakah mereka benar
orang-orang Killer Order.
“KO1112.
KO2005. KO2304.” Orang-orang yang berada di luar sudah menyebutkan kode
keanggotaan mereka. Lelaki berpostur kurus berotot itu meyakini kalau
orang-orang yanga ada di luar sana merupakan teman mereka.
“Masuklah,”
ucap Alvaro, mempersilakan ketiga orang itu masuk. Ditemani dengan lampu
senter, ketiga anggota menyorotkan cahaya ke arah tiga sosok yang bersandar di
dinding kayu. Wajah mereka terlihat kuyu dan lemah. Seolah kekuatan mereka
sudah lenyap ditelan kegelapan dan kesunyian pabrik pengilangan padi.
“Apa
yang terjadi dengan kalian?!” Salah satu dari mereka menghampiri dengan panik
dan terburu-buru.
“Awas!
Kaki kalian menginjak mayat.” Dua anggota yang lain refleks mengangkat kaki
begitu diberitahu oleh Arteha yang telunjuknya mengarah pada dua mayat itu.
“Perlawanan
yang cukup spektakuler. Tapi lebih baik kalian membawa kami secepatnya ke rumah
sakit. Oh ya, apakah kalian juga membawa mobil kami?” Ketiga orang Killer Order
mengangguk secara bersamaan menjawab pertanyaan Alvaro.
Satu
orang mengangkat tubuh Alvaro pelan-pelan kemudian memapahnya. Dua orang lagi
memapah tubuh Rudi dari kiri dan kanan. “Bagaimana denganmu?” tanya lelaki yang
memapah Alvaro.
“Tidak
perlu. Aku bisa sendiri,” jawab Aretha dingin. Ia terus berjalan sambil
memegangi pundaknya.
Satu
setengah jam menempuh perjalanan akhirnya mereka menemukan sebuah rumah sakit.
Si pengemudi turun dari mobil guna memanggil petugas medis membawa ranjang
beroda. Ketiga anggota Killer Order juga ikut bersama dengan dua petugas medis
yang membawa tiga anggota mereka yang menderita luka tembak serius.
Alvaro,
Aretha dan Rudi ditempatkan dalam ruangan yang sama. Saat ini enam dokter bedah
sedang mengeluarkan peluru-peluru yang bersarang dalam tubuh mereka bertiga.
Sementara itu ketiga anggota Killer Order duduk menunggu di kursi besi panjang
yang terletak di depan kamar bedah. Tiga
jam lebih mereka menunggu akhirnya salah satu dokter keluar dari kamar bedah.
Ketiganya bangkit berdiri mendekati sang dokter.
“Bagaimana
keadaan teman kami, Dok?” tanya salah satu dari ketiganya.
“Mereka
baik-baik saja. Hanya saja salah satu teman kalian kehilangan banyak darah. Dia
membutuhkan donor darah golongan B tapi untungnya kami punya stok kantung
darah,” papar sang dokter mengenai keadaan salah satu teman mereka.
Dua
dari tiga pasien yang dioperasi sedang dipindahkan ke ruangan perawatan kelas
II. Alvaro dan Aretha masih dalam kondisi setengah sadar. Masing-masing dua
tenaga medis menjalankan ranjang beroda.
“Jef
kau tunggu saja di sini. Kami berdua akan mengikuti Alvaro dan Arteha.” Lelaki
berkepala plontos itu mengangguk setuju. Langsung saja kedua kawannya mengikuti
ke mana empat petugas medis pergi. Jef yang masih menunggu di depan kamar bedah,
melihat sosok lelaki memakai baju ala dokter bedah melangkah cepat menuju kamar
bedah. Sang dokter keluar bersamaan dengan tibanya lelaki berpakaian ala dokter
bedah serta mengenakan masker.
“Sebelah
sini. Berikan saja pada suster Hanna, kepala ruang donor darah. Bilang ini dari
dokter Hendrik,” kata sang dokter sambil menutup kembali maskernya. Lelaki yang
diduga Jeff bukanlah pegawai rumah sakit, meninggalkan depan kamar bedah menuju
ruang yang dimaksud sang dokter.
***
Dua
anggota Killer Order sudah berada di ruang Anggrek tempat Alvaro dan Aretha
dirawat. Keduanya duduk di samping kiri Aretha. Terlihat mereka berdua sudah
siuman sepenuhnya. Salah satu dari kedua anggota Killer Order memulai
pembicaraan dengan rentetan pertanyaan.
“Apa
yang sebenarnya terjadi dengan kalian? Mengapa bisa sampai seperti ini?”
“Bos
tidak memberitahu kami kalau dua pengawal Dedy Rahmad Yadi memiliki ilmu kebal.
Untungnya kami tahu apa penangkalnya. Hampir saja nyawa kami melayang di tangan
kedua pengawal itu,” terang Alvaro pada temannya, Fredd.
“Lalu
apa langkah yang akan kalian lakukan selanjutnya?” tanya lelaki berbadan kekar
dengan lengan baju dilipat tiga linting, menampakkan urat otot bisep dan
trisepnya yang lumayan besar.
“Kami
akan melaporkan hal ini pada bos. Mungkin kami harus menyusun ulang strategi
untuk menghabisi Dedy Rahmad Yahdi,” sambung Arteha. Selang transparan infus
masih berjalan optimal menyalurkan zat makanan dalam bentuk cair ke dalam urat
nadi Alvaro dan Aretha.
***
Lelaki berjas tuksedo hitam dengan kemeja putih
berlengan panjang dan dasi merah cerah melangkah santai menuruni tangga pesawat
Boeing 337. Pesawat dengan destinasi Hongkong-Jakarta baru saja lepas landas
sepuluh menit yang lalu. Ia menekan tombol ON untuk menghidupkan kembali
telepon genggam. Ia sudah tahu mungkin sudah banyak pemberitahuan chat via Whatsapp ataupun panggilan via telepon. Sudah tiga menit ia
membiarkan sistem operasional Android-nya
mengoptimalkan kerja processor, ia
melihat ada panggilan masuk tertera di layar.
Jonas? Lelaki berjas tuksedo itu
langsung mengangkat panggilan itu
“Halo
Jonas, ada apa?”
“Selamat
pagi kepala pimpinan, apakah Bapak sudah berada di bandara Soekarno Hatta?”
“Benar
saya sudah tiba sekitar setengah jam yang lalu. Kamu bisa suruh anak buahmu
untuk menjemput saya?”
“Bisa
sekali, Bapak Pimpinan. Saya dan anak buah saya akan menjemput Bapak ke sana.
Sekaligus saya ingin membicarakan hal yang penting.”
“Mengenai...”
“Tepat.
Agenda rapat yang Bapak wakilkan kepada Pak Setno sudah kami laksanakan,” jawab
Jonas cepat. Ia sepertinya sudah mengetahui apa yang dimaksud oleh kepala
pimpinannya.
“Baiklah.
Saya tunggu.” Lelaki itu menutup panggilan kemudian sepatu pantofel cokelat
muda menderap keras di atas tanah bandara. 