I Thought You
Had
Anggara
dan Fiolina tidak bisa menyembunyikan keterkejutan mereka lewat pelototan bola
mata yang dipaksa untuk melihat secara gamblang ketika penguntit misterius itu
membuka helm yang menutupi kepalanya. Selesai membuka helm, si pengandara motor
misterius yang mengikuti mereka berdua, membuka jaket ungu berkain parasut
berlengan panjang. Kaus cokelat muda berlambangkan polisi di sebelah kanan menempel
di badan padatnya.
“Kau...
Rusli,” terka Fiolina sambil telunjuknya menuding lemah pada lelaki bermotor besar
itu.
“Ya
aku memang Rusli. Rusli Ali Hidayat. Sudah lama kita tidak bertemu, Anggara,
Fiolina,” ucap Rusli sambil membenarkan terkaan Aretha terkait identitas
dirinya.
“Kukira
kau sudah mati di malam pembantaian di panti asuhan Kasih Kita,” ujar Anggara
dengan siaga pistol di tangan kanan.
“Bisa
dikatakan aku hampir saja mengizinkan malaikat maut untuk ikut bersamanya ke
akhirat tapi aku menolak dengan alasan bertahan hidup. Dan saat itu, aku mulai
sadarkan diri. Aku sadar aku berhasil selamat dari kematian walaupun aku
mendapat dua luka tembak di bagian perut. Dengan tertatih-tatih, aku berusaha
mencari teman-teman yang masih hidup. Aku tidak menemukan siapapun kecuali
teman-teman kita yang sudah menjemput ajal. Kemudian aku menelepon polisi
setempat guna memberitahukan kejadian itu.”
“Tiga
hari setelah insiden pembantaian itu, aku berjalan tak tentu arah. Aku tidak
punya siapa-siapa lagi. Tidak ada yang mempedulikan eksistensi dari seorang
anak yatim piatu yang selamat dari pembantaian sadis. Aku hampir mati kelaparan
dan kehausan di kota besar Tangerang. Badanku sudah tidak punya daya dan tenaga
untuk bangkit. Lalu aku berpikir kenapa aku tidak mati saja menyusul
teman-teman kita yang lain. Namun sosok lelaki dengan wajah penuh kasih sayang
dan senyum berwibawa itu tepat berada di hadapanku. Dia penolongku saat aku
putus asa. Kemudian dia mengadopsiku, membesarkanku hingga aku menjadi seperti
ini.” Rusli mengakhiri cerita tentang hidupnya setelah malam pembantaian di
panti asuhan Kasih Kita.
Anggara
hanya menanggapi enteng cerita temannya dengan suara kantuk yang dibuat-buat
kemudian menggaruk kepala yang tak gatal.
“Oke
oke, good story. Lalu kenapa kau
membuntuti kami, Rusli? Apa tujuanmu? Kau mau menangkap kami?”
“Sebenarnya
aku tidak mau melakukan ini, Anggara, Fiolina. Tapi ini sudah menjadi tugasku
sebagai abdi negara yang berkewajiban melindungi masyarakat. Aku harus mencegah
tindakan kalian melakukan kejahatan terus-menerus. Tapi..., kalian masih punya
pilihan lain.” Rusli berusaha bernegoisasi dengan temannya.
“Maksudmu,
kami harus menyerahkan diri ke polisi, mengaku semua perbuatan kami dan menjadi
justice collaborator untuk mengungkap
kejahatan sindikat HOVTA, begitu maksudmu ‘kan?” terka Anggara lalu disambut
dengan anggukan tegas Rusli.
“Kau
dengar ya, Rusli, aku sudah lama dibesarkan di grup itu dan sudah kewajiban
untuk membalas budi dan berbakti pada HOVTA. Lagipula dengan adanya kami di
HOVTA, kami semakin leluasa untuk mencari orang-orang yang bertanggungjawab
atas pembantaian Ibu Saras dan teman-teman kita sembilan tahun yang lalu.”
Anggara menolak keras tawaran kerjasama dari teman lamanya.
“Maafkan
aku, Anggara, Fiolina aku tidak punya pilihan lain.” Rusli langsung menarik
revolver yang dijepit di belakang pinggangnya. Tahu kalau Rusli dalam posisi
akan menembak, Anggara segera menyuruh
Fiolinabersembunyi di balik pohon.
Udara
malam yang dingin kalah dingin dengan suasana baku tembak antara Rusli dengan
Anggara. Lampu pijar dilapisi kaca bening bulat menjadi saksi kalau ketiga anak
manusia itu tengah mempertahankan idealisme mereka. Desingan peluru dibalut
peredam meramaikan alunan harmoni para jangkrik dan kepik malam. Malaikat maut
dengan mengawasi para manusia yang tengah memilih siapa yang akan terlebih dulu
dijemput oleh kematian.
“Aku
mohon serahkan diri kalian. Aku muak melakukan hal konyol semacam ini,” pancing
Rusli dengan menggunakan kata ‘mohon’ agar rasa iba mereka tergugah. Akan
tetapi keduanya tahu kalau itu hanya jebakan. Dari balik pohon akasia, Anggara
menyuruh Fiolina menyelinap keluar menuju tempat Rusli berpijak.
Rusli
melihat sekilas bayangan hitam lewat dari belakang. Dengan akurasi yang tepat,
ia memberikan tembakan ke arah pemilik bayangan itu. Bayangan itu memekik
pelan. Lelaki berkaus dinas polisi itu langsung menuju sumber suara yang
berasal dari tanaman pagar setinggi 1,2 meter.
Lelaki
itu menemukan Fiolina sedang memegangi pundaknya yang berdarah. Darah merah dan
kental mengucur deras, merembes masuk ke dalam jaket jinsnya. Ketika Rusli
tengah membidik kepala Fiolina, Anggara secepat kilat menusukkan jarum suntik
berisi cairan alkuronium di batang leher teman lamanya itu. Dalam waktu kurang
dari satu menit, tubuh Rusli lemah tak berdaya, ambruk menimpa permukaan tanah.
Ia tak leluasa menggerakkan anggota tubuhnya. Kini giliran Fiolina menempelkan
ujung pistol ke kening Rusli.
“Aku
tahu pasti akan begini jadinya. Tapi aku akan memberitahu satu hal yang penting
dan pasti kalian butuhkan...” Fiolina memundurkan pistol yang dipegangnyadari
kening. Ia membiarkan teman lamanya bicara, “cari Pranoto Satya Doeadji. Dia adalah
direktur hotel Edelweiss. Kalian tahu, hotel itu berdiri di atas tanah panti
asuhan Kasih Kita. Aku yakin dia orang yang bertanggungjawab atas pembantaian
itu.”
“Apa
aku bisa mempercayai kata-katamu, Rusli?” tanya Anggara, curiga.
“Walau
kita berada di dunia berbeda, aku tetap mempercayai kalian sebagai teman baikku
di panti asuhan Kasih Kita,” ucap Rusli sambil menyunggingkan senyum pada
Anggara. Ia tahu kalau ia tidak punya kesempatan lari atau barangkali tidak
punya kesempatan hidup. Ia ingin pergi dari dunia ini dengan senyuman. Lelaki
berambut agak pirang itu memalingkan kepala dari hadapan wajah temannya lalu
menekan pelatuk pistol tepat di kening Rusli sebanyak dua kali.
“Gara,
apa yang kaulakukan?! Dia sudah tidak berdaya. Ia takkan bisa melawan kita. Dan
lagi pula dia itu—” seru Fiolina pada Anggara.
“KALAU
KITA MEMBIARKANNYA HIDUP, APA KAU BISA JAMIN KITA AKAN AMAN?!” Rentetan
pertanyaan tertuju pada Anggara dibalas hardikan keras penuh amarah.
“Anggara...”
Fiolina melirih dengan suara tercekat.
“Kau
tahu apa yang terjadi kalau kita tertangkap dan kita membongkar semua kejahatan
HOVTA?! Kita bisa berakhir dengan vonis hukuman mati. Kau tahu, aku ingin terus hidup bersamamu. Kalau bisa, ketika
kita sudah membalaskan dendam, kita akan keluar dari HOVTA, pindah ke luar
negeri, memulai segalanya dari awal. Dan aku mau semua itu ada kamu di
dalamnya, Fiolina Anggita Natasha.” Perempuan berambut ikal itu hanya mampu
menatap mata Anggara tanpa mampu membalas ungkapan Anggara. Tapi ia tak sadar
air mata meluncur pelan dari kelopak mata. Mungkin air matalah menjadi isyarat
balasan Fiolina. Ia merasa kalau apa yang diungkapkan rekan kerjanya begitu
tulus.
“Sekarang
kamu bantu aku angkat mayat Rusli. Kita arungkan dia ke danau buatan yang ada
di sana,” ajak Anggara pada Fiolina. Ia mengangguk pelan seraya memegang dua
pergelangan tangan Rusli yang tidak bernyawa lagi. Dengan tenaga serba
pas-pasan serta rasa nyeri akibat peluru yang bersarang di pundak Fiolina,
keduanya menggotong lalu meletakkan mayat Rusli di pinggiran danau . Kaki kanan
Anggara mendorong tubuh Rusli agar hanyut dibawa air.
Begitu
mayat Rusli terbawa air, Anggara menyuruh Fiolina segera angkat kaki dari
taman. Jangan sampai ada seorang saksi mata memergoki kejahatan mereka.

No comments:
Post a Comment