Thursday, 13 September 2018

DUAL - 10


I Thought You Had
            Anggara dan Fiolina tidak bisa menyembunyikan keterkejutan mereka lewat pelototan bola mata yang dipaksa untuk melihat secara gamblang ketika penguntit misterius itu membuka helm yang menutupi kepalanya. Selesai membuka helm, si pengandara motor misterius yang mengikuti mereka berdua, membuka jaket ungu berkain parasut berlengan panjang. Kaus cokelat muda berlambangkan polisi di sebelah kanan menempel di badan padatnya. 
            “Kau... Rusli,” terka Fiolina sambil telunjuknya menuding lemah pada lelaki bermotor besar itu.
            “Ya aku memang Rusli. Rusli Ali Hidayat. Sudah lama kita tidak bertemu, Anggara, Fiolina,” ucap Rusli sambil membenarkan terkaan Aretha terkait identitas dirinya.
            “Kukira kau sudah mati di malam pembantaian di panti asuhan Kasih Kita,” ujar Anggara dengan siaga pistol di tangan kanan.
            “Bisa dikatakan aku hampir saja mengizinkan malaikat maut untuk ikut bersamanya ke akhirat tapi aku menolak dengan alasan bertahan hidup. Dan saat itu, aku mulai sadarkan diri. Aku sadar aku berhasil selamat dari kematian walaupun aku mendapat dua luka tembak di bagian perut. Dengan tertatih-tatih, aku berusaha mencari teman-teman yang masih hidup. Aku tidak menemukan siapapun kecuali teman-teman kita yang sudah menjemput ajal. Kemudian aku menelepon polisi setempat guna memberitahukan kejadian itu.”
            “Tiga hari setelah insiden pembantaian itu, aku berjalan tak tentu arah. Aku tidak punya siapa-siapa lagi. Tidak ada yang mempedulikan eksistensi dari seorang anak yatim piatu yang selamat dari pembantaian sadis. Aku hampir mati kelaparan dan kehausan di kota besar Tangerang. Badanku sudah tidak punya daya dan tenaga untuk bangkit. Lalu aku berpikir kenapa aku tidak mati saja menyusul teman-teman kita yang lain. Namun sosok lelaki dengan wajah penuh kasih sayang dan senyum berwibawa itu tepat berada di hadapanku. Dia penolongku saat aku putus asa. Kemudian dia mengadopsiku, membesarkanku hingga aku menjadi seperti ini.” Rusli mengakhiri cerita tentang hidupnya setelah malam pembantaian di panti asuhan Kasih Kita.
            Anggara hanya menanggapi enteng cerita temannya dengan suara kantuk yang dibuat-buat kemudian menggaruk kepala yang tak gatal.
            “Oke oke, good story. Lalu kenapa kau membuntuti kami, Rusli? Apa tujuanmu? Kau mau menangkap kami?”
            “Sebenarnya aku tidak mau melakukan ini, Anggara, Fiolina. Tapi ini sudah menjadi tugasku sebagai abdi negara yang berkewajiban melindungi masyarakat. Aku harus mencegah tindakan kalian melakukan kejahatan terus-menerus. Tapi..., kalian masih punya pilihan lain.” Rusli berusaha bernegoisasi dengan temannya.
            “Maksudmu, kami harus menyerahkan diri ke polisi, mengaku semua perbuatan kami dan menjadi justice collaborator untuk mengungkap kejahatan sindikat HOVTA, begitu maksudmu ‘kan?” terka Anggara lalu disambut dengan anggukan tegas Rusli.
            “Kau dengar ya, Rusli, aku sudah lama dibesarkan di grup itu dan sudah kewajiban untuk membalas budi dan berbakti pada HOVTA. Lagipula dengan adanya kami di HOVTA, kami semakin leluasa untuk mencari orang-orang yang bertanggungjawab atas pembantaian Ibu Saras dan teman-teman kita sembilan tahun yang lalu.” Anggara menolak keras tawaran kerjasama dari teman lamanya.
            “Maafkan aku, Anggara, Fiolina aku tidak punya pilihan lain.” Rusli langsung menarik revolver yang dijepit di belakang pinggangnya. Tahu kalau Rusli dalam posisi akan menembak, Anggara segera  menyuruh Fiolinabersembunyi di balik pohon.
            Udara malam yang dingin kalah dingin dengan suasana baku tembak antara Rusli dengan Anggara. Lampu pijar dilapisi kaca bening bulat menjadi saksi kalau ketiga anak manusia itu tengah mempertahankan idealisme mereka. Desingan peluru dibalut peredam meramaikan alunan harmoni para jangkrik dan kepik malam. Malaikat maut dengan mengawasi para manusia yang tengah memilih siapa yang akan terlebih dulu dijemput oleh kematian.
            “Aku mohon serahkan diri kalian. Aku muak melakukan hal konyol semacam ini,” pancing Rusli dengan menggunakan kata ‘mohon’ agar rasa iba mereka tergugah. Akan tetapi keduanya tahu kalau itu hanya jebakan. Dari balik pohon akasia, Anggara menyuruh Fiolina menyelinap keluar menuju tempat Rusli berpijak.
            Rusli melihat sekilas bayangan hitam lewat dari belakang. Dengan akurasi yang tepat, ia memberikan tembakan ke arah pemilik bayangan itu. Bayangan itu memekik pelan. Lelaki berkaus dinas polisi itu langsung menuju sumber suara yang berasal dari tanaman pagar setinggi 1,2 meter.
            Lelaki itu menemukan Fiolina sedang memegangi pundaknya yang berdarah. Darah merah dan kental mengucur deras, merembes masuk ke dalam jaket jinsnya. Ketika Rusli tengah membidik kepala Fiolina, Anggara secepat kilat menusukkan jarum suntik berisi cairan alkuronium di batang leher teman lamanya itu. Dalam waktu kurang dari satu menit, tubuh Rusli lemah tak berdaya, ambruk menimpa permukaan tanah. Ia tak leluasa menggerakkan anggota tubuhnya. Kini giliran Fiolina menempelkan ujung pistol ke kening Rusli.
            “Aku tahu pasti akan begini jadinya. Tapi aku akan memberitahu satu hal yang penting dan pasti kalian butuhkan...” Fiolina memundurkan pistol yang dipegangnyadari kening. Ia membiarkan teman lamanya bicara, “cari Pranoto Satya Doeadji. Dia adalah direktur hotel Edelweiss. Kalian tahu, hotel itu berdiri di atas tanah panti asuhan Kasih Kita. Aku yakin dia orang yang bertanggungjawab atas pembantaian itu.”
            “Apa aku bisa mempercayai kata-katamu, Rusli?” tanya Anggara, curiga.
            “Walau kita berada di dunia berbeda, aku tetap mempercayai kalian sebagai teman baikku di panti asuhan Kasih Kita,” ucap Rusli sambil menyunggingkan senyum pada Anggara. Ia tahu kalau ia tidak punya kesempatan lari atau barangkali tidak punya kesempatan hidup. Ia ingin pergi dari dunia ini dengan senyuman. Lelaki berambut agak pirang itu memalingkan kepala dari hadapan wajah temannya lalu menekan pelatuk pistol tepat di kening Rusli sebanyak dua kali.
            “Gara, apa yang kaulakukan?! Dia sudah tidak berdaya. Ia takkan bisa melawan kita. Dan lagi pula dia itu—” seru Fiolina pada Anggara.
            “KALAU KITA MEMBIARKANNYA HIDUP, APA KAU BISA JAMIN KITA AKAN AMAN?!” Rentetan pertanyaan tertuju pada Anggara dibalas hardikan keras penuh amarah.
            “Anggara...” Fiolina melirih dengan suara tercekat.
            “Kau tahu apa yang terjadi kalau kita tertangkap dan kita membongkar semua kejahatan HOVTA?! Kita bisa berakhir dengan vonis hukuman mati. Kau tahu, aku ingin  terus hidup bersamamu. Kalau bisa, ketika kita sudah membalaskan dendam, kita akan keluar dari HOVTA, pindah ke luar negeri, memulai segalanya dari awal. Dan aku mau semua itu ada kamu di dalamnya, Fiolina Anggita Natasha.” Perempuan berambut ikal itu hanya mampu menatap mata Anggara tanpa mampu membalas ungkapan Anggara. Tapi ia tak sadar air mata meluncur pelan dari kelopak mata. Mungkin air matalah menjadi isyarat balasan Fiolina. Ia merasa kalau apa yang diungkapkan rekan kerjanya begitu tulus.  
            “Sekarang kamu bantu aku angkat mayat Rusli. Kita arungkan dia ke danau buatan yang ada di sana,” ajak Anggara pada Fiolina. Ia mengangguk pelan seraya memegang dua pergelangan tangan Rusli yang tidak bernyawa lagi. Dengan tenaga serba pas-pasan serta rasa nyeri akibat peluru yang bersarang di pundak Fiolina, keduanya menggotong lalu meletakkan mayat Rusli di pinggiran danau . Kaki kanan Anggara mendorong tubuh Rusli agar hanyut dibawa air.
            Begitu mayat Rusli terbawa air, Anggara menyuruh Fiolina segera angkat kaki dari taman. Jangan sampai ada seorang saksi mata memergoki kejahatan mereka.  

No comments:

Post a Comment