Friday, 7 December 2018

DUAL - 21


Penghabisan
            Jonas sudah lama menjadi penghuni rumah sakit jiwa Sehati Bersama. Di antara semua pasien rumah sakit, dirinya adalah pasien termuda. Ia tinggal dalam sebuah ruangan mirip sebuah sel berukuran 3x4 meter. Ia ditempatkan seorang diri di sana. Diasingkan dengan pasien-pasen lain. Menurut catatan terakhir yang miliki rumah sakit, anak itu punya kecenderungan suka menyakiti orang lain. Ketika masih kecil, Jonas pernah secara sengaja mendorong anak pamannya yang berusia 4 tahun ke dalam selokan. Bukannya meminta maaf atau merasa menyesal, ia bilang ‘aku cuma mendorongnya pelan kok. Adik itu aja yang lebay.’.
            Bukan cuma perilaku kejam tanpa belas kasihan, Jonas punya kebiasaan menyakiti diri sendiri. Luka yang membakar dua jari kirinya diakibatkan karena rasa gatal yang menurutnya susah hilang. Dengan alasan menghilangkan rasa gatal, Jonas menekan kenop kompor gas lalu meletakkan dua jari kirinya di atas kobaran api biru. Hingga kedua jarinya menguar bau seperti daging gosong.
            Kini dirinya sudah berada sepuluh tahun di dalam sel. Ia sudah berada di ujung titik bosan. Ia ingin menghirup udara bebas di luar sana. Sampai dengan umurnya tujuh belas tahun, ia sudah merencanakan dengan matang usaha melarikan diri dari tempat terkutuk itu.
            Ketika seorang perawat membawa ember untuk mengumpulkan pakaian bekas, Jonas membuka baju dan celananya di depan sang perawat. Lelaki itu tahu kalau dirinya begitu tampan. Perawat yang di depannya juga orang yang genit. Ia berusaha melakukan gerakan-gerakan pengundang hawa nafsu sambil membisikkan kata-kata erotis padanya. Tak bisa menahan gejolak birahi mulai menggedor-gedor akal sehat, sang perawat membuka kunci pintu sel itu kemudian menghampiri Jonas dalam posisi siap bercumbu.
            Ketika sang perawat asyik bercumbu dengan dirinya, Jonas sudah mempersiapkan obeng yang diletakkan di bawah tikar yang melapisi ranjangnya. Lelaki itu langsung menghunjamkan dengan cepat obeng bermata lancip ke batang leher sang perawat. Jonas menyumbat suara teriakan sang perawat dengan dua gulung celana dalam bekas pakai miliknya. Ia terus menusukkan obeng berkali-kali sampai sang perawat tidak lagi bersuara. Ketika sang perawat benar-benar tak bernyawa, Jonas meletakkan mayat sang perawat di bawah tikar ranjangnya ditutupi dengan gundukan pakaian bekas. Ia menggenggam kunci yang digunakan sang suster untuk membuka pintu sel. Ia menyembulkan sedikit kepalanya mengamati situasi sekitar. Suasana sekitaran koridor 2 terlihat sepi. Jonas memanfaatkan kesempatan itu untuk berlari sekencang mungkin menuju tembok Barat rumah sakit jiwa Sehati Bersama.
            Sebelum memanjat tembok, lelaki itu mendengar suara keributa di sel khususnya. Kelihatannya mereka sempat mendengar rintihan kesakitan dari selnya. Keributan makin pecah ketika petugas medis menemukan jenazah seorang rekan mereka dilapisi tikar. Jonas dengan sigap mendarat ke permukaan tanah setelah melompat dari atas tembok setinggi 3 meter.
            Jonas berlari tanpa arah. Yang pasti jangan sampai para petugas rumah sakit menangkapnya dan mengembalikan dirinya ke sana. Lelaki itu tersenyum sumringah. Ia menarik napas sedalam mungkin sambil dibuang dalam satu helaan napas besar.
            Inikah namanya kebebasan? Nikmat sekali.
            Sudah setengah jam lebih Jonas meninggalkan rumah sakit. Satu masalah sudah terselesaikan tapi datang satu masalah lain. Ia mendengaar suara gemuruh dari dalam perutnya. Jonas mengamati sekelilingnya. Lelaki berkulit putih itu melihat tukang cilok dikerubuti anak-anak kecil. Dirinya ingin membeli cilok akan tetapi ia tidak membawa uang. Timbul niat hati mengambil cilok yang sedang dipegang seorang anak kecil berbaju Mickey Mouse.
            “Jangan mengambil punyanya. Ini untukmu.” Seorang lelaki menahan pundak Jonas sambil menyodorkan sebungkus cilok padanya.
            “Siapa kau? Kau mau apa? Dan apa urusanmu padaku?” Jonas menyingkirkan sentuhan tangan pria asing itu dar pundaknya sambil memasang sikap waspada.
            Si pria misterius itu hanya tersenyum kecil sambil berkata, “Kalau kau amblil punya anak itu, kau akan mengundang keributan dan membuat orang-orang dari RSJ itu menuju kemari.”
             Jonas tersentak kaget mendengar perkataan si pria itu. Entah darimana lelaki itu bisa tahu kalau dirinya memang sedang dicari petugas RSJ itu. “Jadi mereka masih mencariku?”
            Pria itu mengangguk dua kali lalu membalas, “Lebih baik kau pegang cilok ini dan ikut denganku.”
            Jonas tak langsung menuruti perintah dari lelaki itu. Ia memang sudah memegang sebungkus cilok dibungkus dalam plastik kresek tapi ia masih berdiri dari berpikir bila lelaki asing di depannya mencurigakan.
            “Apa yang membuat aku bisa percaya padamu?” tanya Jonas penuh prasangka.
            “Jika kau bersamaku tidak akan ada satu orang yang seenaknya mengusikmu. Dan kau bebas menghabisi orang lain tanpa harus merasa menyesal.”
***
            Anggara melepaskan pukulan telak di pipi Jonas. Sedari tadi, Anggara sudah menunggu saat-saat tepat ketika lelaki bertampang seperti orang Jepang itu lengah. Ia membiarkan tubuhnya menjadi samsak tinju Jonas. Tangan lelaki berkulit kuning langsat itu  berpura-pura seperti dirantai tapi telapak tangan kanannya menutupi gembok yang tidak terkunci lagi. Ketika Jonas tidak memegang sesuatu apapun dan mulai mendekatinya, Anggara melakukan perlawanan dengan menyundul bagian dagu Jonas secara cepat.
            Sundulan maut Anggara di dagu Jonas membuat lelaki itu jatuh terjengkang. Lelaki berkulit putih itu memanfaatkan kesempatan dengan cepat-cepat melepaskan gembok yang membelenggu tangan Fiolina. Setelah Fiolina bebas, Anggara beralih pada Aretha yang masih disekap di kursi.
            “Tidak semudah itu, Ferguso!” Jonas melakukan serangan balik dengan menjepit pergelangan kaki Anggara hingga membuatnya ikut terjatuh. Melihat temannya dalam bahaya Fiolina ingin menghentikan pernapasan Jonas dengan cara memiting lehernya.
            Melihat kondisi di ruangan itu semakin tidak kondusif, Haris memutuskan membawa tawanannya ke balkon teratas, lantai 22. Lelaki paruh baya itu menyerahkan urusan Anggara dan Fiolina pada salah satu anak buah kepercayaannya.
            “Hei kau, berdiri. Ayo cepat berdiri!” paksa Haris sambil memukulkan tongkat besi pada Aretha.
            Aretha memandang nanar pada Haris. Lelaki berusia 52 tahun itu geram dengan sikap membangkang keponakannya. Dengan wajah geram dan kesal, Haris menampar berulang kali wajah Aretha hingga gadis itu menitikkan airmata.
            “Jangan membangkang atau kamu mau kalau kekasihmu itu saya bunuh?! Saya tinggal panggil anak buah saya dan sedetik saja dia lenyap!” Mendengar bahwa Alvaro akan terancam Aretha berdiri sambil berjalan ogah-ogahan. Haris yang tidak sabaran, mendorong-dorong badan keponakannya agar dia berjalan lebih cepat.
            Di sisi lain, Jonas mulai membalik keadaan. Lelaki berkulit putih itu berhasil mencengkeram wajah Fiolina dan menutup lubang hidung dan mulutnya. Lambat laun pitingan Fiolina perlahan mengendur. Jonas memutar badannya 180 derajat secara cepat kedua tangannya mencekik leher Fiolina.
            “Kau adalah orang kedua yang harus kuhabisi setelah si pelacur Chyntia!” ucap Jonas penuh dendam. Meskipun badan Jonas kurus, tetapi tenaganya cukup kuat untuk membuat Fiolina megap-megap kesulitan bernapas. Anggara yang dari tadi melancarkan pukulan dan tendangan cuma bisa keheranan sekaligus takut. Dalam hatinya ia bertanya-tanya apakah Jonas itu manusia atau jelmaan monster.
            Anggara menggerakkan kedua bola matanya cepat dan liar, mencari sesuatu yang lebih keras daripada pukulan tangannya. Sorot matanya tertuju pada sebuah balok kayu berukuran dua kali lengan orang dewasa dan sebuah gelas bergagang. Ketika lelaki berkulit putih itu menghantamkan balok kayu pada tengkuk Jonas, si lelaki berkulit pucat itu melonggarkan cengkeraman tangannya. Belum selesai, Anggara lagi menghantamkan gelas bergagang itu ke kepalanya.
            Jonas jatuh tersimpuh di atas lantai. Ia memegangi kepalanya yang mengucurkan darah segar. Lelaki berkulit pucat itu masih bersimpuh di lantai. Anggara masih menunggu apakah Jonas cuma berpura-pura tak sadarkan diri dan mencari celah untuk menyerang. Ternyata tebakannya salah. Jonas bangkit pelan-pelan sambil memegangi kepalanya yang bocor. Namun di tangan kanan memegang sebuah rantai besi berukuran sedang.
            “Kupikir kau sudah mati,” duga Anggara.
            “Untuk menghabisi para keparat seperti kalian berdua, aku memang tidak boleh mati begitu saja.”
            Tanpa babibu Jonas mengarahkan lantai ke bagian ulu hati. Anggara yang kurang persiapan, mengaduh kesakitan memegangi perut sebelah kanan. Jonas menghantamkan bogem mentah ke pipi sebelah kanan. Anggara yang tidak mau tumbang begitu saja, mencengkeram pinggang Jonas kemudian membanting tubuh kurus rekannya dengan menolakkan kedua kakinya lalu menubrukkan badan ke lantai.
            Teknik bantingan itu cukup membuat Jonas mengerang kesakitan tapi belum cukup untuk membuatnya menyerah. Jonas yang tak mau kalah, melemparkan rantai besi ke kiri lalu mengetatkan lilitan rantai di leher Anggara. Lelaki berpostur sedang merasa kalau peredaran darah di leher mulai terhambat. Deru napas tersengal-sengal. Raut wajah memerah padam. Sementara itu Jonas mulai terkekeh sampai mengeluarkan tawa senang.
            Anggara sadar kalau dirinya berada dalam kondisi terancam. Meskipun kedua tangan turut mencengkeram leher Jonas, itu masih belum sebanding dengan kekuatan belengguan rantai di batang lehernya. Anggara harus berpikir cepat di tengah kesesakan luar bisa yang menyerang pari-parunya.
            Si lelaki berpostur sedang melepaskan kedua tangannya dari leher Jonas lalu menubrukkan keningnya ke hidung si lelaki kurus itu berkali-kali. Jonas terkejut menerima serangan kening Anggara bertubi-tubi hingga membuatnya batang hidungnya ngilu. Jonas refleks mengendorkan belengguan rantai itu dari leher Anggara. Si lelaki itu mundur dari hadapan Jonas.
            Jonas berusaha bangkit berdiri meski dirinya sudah mulai terhuyung-huyung. Ia menyeka tetesan darah yang keluar dari hidung menggunakan tangan. Anggara yakin kalau pukulan dahi tadi membuat tulang hidung rekannya patah. Jonas membiarkan sisa-sisa darah keluar dari hidungnya. Ia tetap berdiri sambil menggulungkan rantai besi pada kedua punggung dan telapak tangan.
            “Apa kau yakin masih bisa melanjutkan ini? Kau sudah terluka cukup parah,” ujar Anggara. Walaupun ia membenci Jonas tetapi melihat kondisi sang rekan yang cukup mengenaskan timbul rasa kasihan dalam dirinya. Wajah pucat Jonas semakin menyeramkan ketika ia dalam kondisi kehilangan banyak darah.
            “Aku tidak butuh belas kasihanmu, Bajingan! Aku sudah lama membencimu sejak kau masuk ke organisasi ini! Kepala pimpinan selalu memberikanmu tugas-tugas istimewa dibandingkan denganku. Tapi aku berkeyakinan kalau kalian berdua tidak lebih dari para pengkhianat yang coba menghancurkan organisasi ini. DAN AKU BERSUMPAH, AKAN MENGHABISI KALIAN SEMUA DI SINI!!!” Sumpah serapah berbalut dengan amarah berapi-api terlontar dari mulutnya.
            Jonas mengibaskan rantai besi itu ke lantai beberapa kali membuat suara tumbukan keras. Sementara itu Anggara sudah menyiapkan kuda-kuda dengan melebarkan kedua kakinya sebahu lalu kepalan tangan kanan menghadap Jonas.
            “Kali ini aku akan serius menghadapimu, Anggara. Bisa jadi ini yang terakhir. Aku tidak akan membiarkanmu keluar dari ruangan ini hidup-hidup.”
***
            Fiolina masih berada di ruang pribadi sang kepala pimpinan. Ia memanfaatkan kesempatan ketika Jonas sedang panas-panasnya berlaga dengan Anggara. Akan tetapi Anggara pun memberikan kode dengan mengibaskan keempat jarinya ke arah pintu secara cepat. Ia sibuk mengacak-acaki lemari berkas guna mencari kunci cadangan untuk membuka pintu menuju lantai balkon. Kepala pimpinan dan Aretha sedang berada di sana. Entah apa yang dilakukan mereka berdua di sana tetapi Fiolina mempunyai firasat buruk mengenai keduanya.
            Di tempat lain, Alvaro  tertatih-tatih menyusuri lantai 20. Ia harus menempuh dua lantai lagi agar sampai ke lantai balkon. Meski gemetar dan gigilan di tubuhnya masih belum hilang, ia tetap berusaha berjalan. Sepanjang penelusurannya, tidak terhitung sudah berapa kali dirinya jatuh dan sudah berapa kali hatinya bilang untuk berhenti saja.
            Tidak! Aku tidak mau berhenti! Sedikit lagi! Sedikit lagi! Alvaro mencoba membakar ulang semangat dirinya yang sempat pula padam.