Pengampunan
Begitu keduanya sudah menginjakkan kaki di balkon,
Haris mencampakkan tubuh Aretha begitu entengnya ke lantai. Ia menyuruh
keponakannya bersimpuh dengan kedua lutut kaki menyentuh permukaan lantai.
Kemudian mengikat kedua pergelengan kaki Aretha dengan tali tambang. Ia
menggulungkan tali itu hingga perempuan itu meringis nyeri.
“Kalau
begini kau takkan bisa kabur,” ucap Haris sambil mengetatkan ikatan tali
sehingga tiada celah untuk lepas.
Aretha
tidak berupaya melawan. Ia membiarkan sang paman melakukan apa yang dia
kehendaki. “Paman...”
Beres
dengan urusan mengetatkan tali, Haris menyingkir dari hadapan keponakannya. Ia
mencabut sepucuk pistol Glock 20 yang diselipkan di pinggang belakang. “Kenapa?
Kau ingin mengucapkan sesuatu?”
Aretha
memutar leher ke belakang, melihat sekilas wajah sang paman. Dalam hatinya ia
bertanya-tanya apakah pamannya benar-benar serius melakukan ini kepada
keponakan kandungnya. “Sekarang aku tahu apa yang membuat ayah berubah dratis
ketika paman datang menjumpai ayah. Tapi entah aku merasa, kau berlebihan,
Paman...”
Mendengar
perkataan dari sang keponakan, Haris mendadak naik pitam lalu mencengkeram
rambut Aretha, menariknya kuat-kuat ke belakang. “Tahu apa kau tentang ayahmu,
anak sialan? Dia itu mencoba menggeser kedudukanku di HOVTA dengan mencari muka
pada pimpinan pusat. Dia berhasil menjadi sekretaris karena prestasinya dalam
mencari korban. Dia bisa menyugesti calon korban untuk menyetujui kerjasama
menjual organ dalam mereka secara sukarela. Walaupun uang hasil kesepakatan
seringkali tidak sebanding dengan uang yang diberikan kepada pihak keluarga.
Selama bertahun-tahun aku pun aku berusaha mencari cara untuk menyingkirkan
ayahmu, Aretha.”
“Tapi
kenapa kau mesti menyingkirkan Ibu dan Kakakku Arsyad? Kenapa kau tega menghabisi mereka?”
“Aku
mengantisipasi saja agar mereka tidak macam-macam mencurigaiku.”
“Jadi
maksud Paman, Kak Arsyad dan Ibu sudah tahu pekerjaan ayah?”
“Kalau
itu aku tidak tahu pasti. Tapi aku punya firasat kalau ibumu tahu pekerjaan
haram kami berdua. Ya jadi kusingkirkan saja. Kalau untuk kakakmu, anggap saja aku
terlalu menikmatinya. Hahaha terlalu menikmatinya.” Tawa bengis berderai dari
mulut Haris. Aretha tidak bisa menahan gejolak amarah yang menuntut untuk
dikeluarkan.
“Jaga
mulutmu, Bajingan! Kau memang tidak pantas untuk hidup di dunia ini—”
“Kau
juga tidak pantas hidup di dunia ini, Keponakanku. Kau pikir kau ini siapa
sekarang? Malaikat? Kau sama sepertiku, seorang pembunuh!” Haris memberikan
penekanan lebih kuat pada kata ‘pembunuh’.
“Jadi
jangan merasa sok suci, Nak. Tempatmu dan tempatku sama di akhirat nanti yakni
di neraka. Nah kau sudah tahu ‘kan siapa yang membunuh keluargamu, sekarang, aku
akan segera mempertemukanmu dengan mereka bertiga. Aku yakin mereka sudah
terlalu lama menunggumu.” Haris mengangkat pistol lalu menempelkann ujung
pistol tepat di tempurung kepala belakang. Pada akhirnya Aretha mulai menemukan
titik balik dalam hidupnya. Bila Selama hidupnya dirinya selalu membunuh banyak
orang, maka sekarang yang dia terima adalah kematian atas dasar pembunuhan. Mungkin
lebih baik kalau dirinya lebih cepat berjumpa dengan ayah, ibu dan Arsyad di
alam baka. Bila terus melanjutkan hidup di dunia ini, cepat atau lambat dirinya
akan tertangkap polisi. Dan hukuman setimpal untuk menebus semua perbuatannya
adalah hukuman mati.
“Baiklah...Selamat
tinggal dunia... selamat tinggal, Alvaro... aku... mencintaimu...,” lirih
Aretha sambil berurai air mata mengucapkan kata terakhir sebelum pamannya akan
mencabut hak hidupnya di dunia.
Pintu
masuk balkon terbuka secara tiba-tiba. Keitka pintu tersingkap lebar, sosok
lelaki berpostur sedang, berlari sambil menabrakkan diri ke arah Haris. Lelaki
paruh baya itu jatuh tersungkur begitu mendapat serangan kejutan. Pistol yang
dipegang Haris terlempar jauh. Alvaro berusaha menjangkau batang leher dengan
kedua tangannya yang masih menggigil. Haris menggunkan tongkat besi yang
dipegangnya untuk menahan gerakan tangan pemuda itu.
“Bagaimana
mungkin kau bisa sampai ke sini?!”
Alvaro
tidak menggubris pertanyaan dari Haris. Ia masih berusaha menjangkau leher
lelaki paruh baya itu. Meski berusaha melawan, Alvaro merasakan kesulitan
melakukan perlawanan karena peluru beracun itu masih bersarang di dalam
pergelangan tangannya. Melihat lawannya lengah, Haris memberikan serangan
balasan dengan memberikan dorongan lebih kuat pada tongkat besi. Alhasil
serangan itu membuat Alvaro terjungkal. Ini dimanfaatkan Haris dengan menendang
dan menginjak perut serta memukuli badannya dengan tongkat besi.
Haris
masih belum puas menyaksikan penderitaan Alvaro. Lelaki itu melihat sekilas
bekas luka tembak di bagian bahu kelihatan masih baru. Ia menginjak bahu Alvaro
hingga membuatnya berteriak kencang tak mampu menahan nyeri di bahu.
“Arrrrggghhhh!”
pekiknya sekuat tenaga.
“Alvaro!”
jerit Aretha menyaksikan rekannya menderita.
Alvaro
tidak bisa bergerak lebih leluasa lagi. Rasa sakit dan nyeri luar bisa di
sekujur tubuhnya membuat dirinya terbatas dalam pergerakan. Melihat lawannya
tak berdaya, Haris berpaling dari hadapan Alvaro lalu memungut pistol yang sempat
terlepas dari genggamannya.
“Maaf
sudah membuatmu menunggu. Langsung saja ya.” Haris kembali menempelkan ujung
pistol di tempurung kepala keponakannya.
Lelaki
paruh baya itu memekik kecil ketika benda keras mengenai punggung tangannya. Ia
melirik sekilas benda macam apa yang mengenai tangannya.
Tu-tulang manusia?!
Pandangan
mata Haris beralih pada sosok wanita bertubuh kurus berkulit sawo matang
berdiri dekat pintu balkon. Baru saja mengenali siapa wanita yang melemparkan
tulang manusia padanya, Alvaro melakukan serangan dengan menggunakan kekuatan
bahu untuk menjatuhkan lawan. Haris yang tidak siap siaga, kembali terlempar
dengan serangan yang sama. Punggung dan kepalanya menubruk lantai balkon.
Alvaro
langsung menduduki perut Haris kemudian melancarkan bogem mentah bertubi-tubi
tanpa memberi kesempatan bernapas bahkan untuk mengangkat pistolnya. Ia
memusatkan seluruh energi negatif dan penderitaannya lewat pukulannya. Deru
napas Haris mulai tersendat-sendat. Lelehan darah meluncur pelan-pelan dari
lubang hidungnya. Lecet dan memar menghiasi wajah lelaki yang masih menyisakan
sisa ketampanan masa mudanya.
Melihat
Alvaro terus menghajar paman, Aretha menghampiri Alvaro sambil menahan laju
pukulannya. “Hentikan Alvaro, tolong hentikan!” Laju kepalan tangan Alvaro
berhenti mendadak, hampir saja mendarat di pipi paman Aretha.
“Kenapa?
Bukankah orang ini sudah mengancurkan hidupmu, Arteha? Dia sudah merenggut apa
yang seharusnya masih kau miliki sampat saat ini, Aretha! Jangan bilang kau mau
mengampuninya secara cuma-cuma?” respon Alvaro.
Aretha
memandang sekilas wajah pamannya seraya mencari hal-hal baik yang bisa
dijadikan alasan untuk mengampuni pamannya. Ia masih bisa mendengar dengus
napas sang paman terdengar begitu berat. “Sebenarnya aku masih belum
mendapatkan alasan tepat untuk mengampuni pamanku. Tapi yang pasti, setelah
semua ini selesai, aku mau mencoba hidup normal, Alvaro. Aku tidak mau membunuh
satu orang pun lagi termasuk membunuh orang yang jelas-jelas sudah menghabisi
keluargaku sekalipun. Aku sebenarnya sudah puas melihat wajah pamanku. Pamanku
yang kukenal dulu, suka membawakanku boneka mainan dan tidak jarang memberiku
uang jajan. Ternyata dia sehat walafiat.” Aretha mengembangkan sebuah senyuman
dari bibir tipisnya.
Alvaro
terkesima melihat senyuman manis yang ditorehkan gadis berumur 24 tahun itu. Mungkin
ini baru pertama kali dalam seumur hidupnya, dia melihat rekannya bisa
tersenyum semanis itu. “Lalu apa yang kau mau lakukan?”
“Biarkan
dia hidup.”
“Kau
yakin?” tanya Alvaro yang tidak yakin dengan pernyataan rekannya.
“Aku
yakin, meskipun kejahatan yang kulakukan takkan mudah diampuni begitu saja. Dan
mungkin, kejahatan yang kulakukan sama bejadnya dengan pamanku.” Mendengar
pernyataan yang diungkapkan rekannya, Alvaro mengangkat pantatnya dari perut
Haris. Akan tetapi sebelum lebih jauh, Alvaro mengikatkan pergelangan tangan
dan kakinya lalu mengambil pistol tergeletak tak jauh dari tempat Haris diikat.
“Kau
tak bisa lari ke mana-mana, Aretha! Mereka akan mengejarmu apabila bisnis
mereka terungkap sampai ke ruang publik. Ingat... mereka tidak akan
mengampunimu.” Sorot mata paman Haris menjadi lebih dingin dan lebih tajam.
Sebelum menuju Aretha, Alvaro memungut pistol milik Haris.
Keitka
keduanya menuju ke tempat Fiolina berdiri, dari belakang mereka, Anggara keluar
dari ruang penyortiran. Lelaki itu tertatih-tatih sambil menyeret tungkai
kanannya. Ia menampakkan diri pada mereka bertiga dengan wajah bengkak di pipi
dan kening, darah di kedua hidungnya juga masih belum mengering.
“Kita
harus pergi secepatnya dari sini. Aku merasa firasat buruk kalau kita
berlama-lama di sini,” ucap Anggara. Fiolina mendapati salah satu dari gigi
rekannya hilang satu. Anggara hampir saja kehilangan keseimbangan saat telapak
tangannya tak punya daya lagi menjadikan dinding sebagai pegangannya. Fiolina
sigap memapah rekannya yang hampir rubuh.
“Kita
lewat tangga darurat saja. Kau tahu ‘kan, Fiolina, kalau apartemen ini
terhubung dengan saluran pembuangan?” Fiolina mengangguk tegas.
“Anggara...,”
panggil Alvaro.
“Apa?”
“Apakah...
perjanjian yang kita sepakati masih tetap—“
“Kita
bicarakan nanti setelah kita lolos dari sini.” Mereka berempat mempercepat
langkah kaki begitu daun telinga mereka mendengar suara derap sepatu
menghentak-entak lantai atas.
***
Sudah
sejam lebih Ipda Eddu Afrianto dan Aiptu Sary meninggalkan markas HOVTA. Ia dan
rekannya ditemukan salah satu pasukan Densus 88 sedang dalam keadaan kritis.
Timah panas menembus bagian bahu dan kedua pahanya. Seluruh badan dan bibir
menggigil tak karuan. Perwira polisi itu menyilangkan kedua tangan sambil
menggenggam keras pundaknya. Tapi malang bagi Aipda Sarry. Peluru beracun milik
Setno tepat mengenai bagian dada kanan. Racun bekerja secara cepat menghentikan
fungsi paru-paru dan jantung. Dalam waktu kurang lebih sepuluh menit tanpa pertolongan
medis, nyawa sang Aiptu tak bisa diselamatkan.
Belum
lagi menghadapi kemungkinan kalau dia akan dipecat secara tidak hormat oleh
atasannya, Kompol Budi Widjajanto dengan pelanggaran membentuk pasukan komando
tanpa izin dan perintah atasan. Juga pertanggungjawaban atas kematian rekannya,
Aipda Sarry Sustina.
Jika aku bertemu dengan mereka sekali, aku
pastikan mereka akan merasakan akibatnya...,ucap batin Ipda Eddu sambil
menoleh ke arah jenazah Aipda Sarry mulai tampak membiru. Lelaki itu tidak bisa
menahan kesedihan lebih lama hingga secara tak sadar air matanya meluruh
perlahan.