Monday, 7 January 2019

DUAL - 23

Epilog: Tak Sepenuhnya Berakhir
            Headline News.
            Sindikat perdagangan organ tubuh manusia—HOVTA berhasil diringkus oleh tim Densus 88 dan tim Gegana di sebuah apartemen yang merupakan markas organisasi. Tim Densus 88 dan Gegana sempat terlibat adu  tembak dengan anggota HOVTA selama dua setengah jam sebelum akhirnya berhasil membekuk sindikat yang sudah berjalan selama sepuluh tahun.  Tujuh orang anggota HOVTA sudah diamankan kepolisian untuk proses penyidikan. Seorang perwira polisi berinisial E.A ditemukan dalam kondisi terluka dan seorang polwan berinisial S.S juga ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa. Pihak kepolisian juga masih melakukan penyidikan adanya keterkaitan Killer Order dalam sejumlah kejahatan yang dilakukan HOVTA. (Prita Claurita)
***
            Pukul 06.09. Taksi Blue Bird melaju kencang meninggalkan Senayan. Suasana dalam taksi begitu hening. Tidak ada satu pun dari mereka memulai pembicaraan. Aretha yang terganggu dengan suasana canggung ini, mencoba memecahkan keheningan dengan berucap sepatah kata.
            “Hei...” sapa Aretha pada Anggara dan Fiolina.
            “Apa?” sahut Fiolina.
            “Apa kalian yakin semua ini benar-benar selesai?”
            “Selesai apa maksudmu?” tanya Fiolina yang kelihatan belum mengerti.
            “Setelah kalian mendapatkan apa yang kalian inginkan, begitu juga dengan kami, apakah urusan kita dengan mereka benar-benar sudah selesai?”
            Keduanya belum langsung menjawab. Mereka tampak berpikir, memberikan jawaban atas pertanyaan dari Aretha.
            “Entahlah. Kalaupun suatu hari aku harus berhadapan dengan mereka lagi, aku siap. Kalau menurutmu bagaimana, Fio?” Gadis berambut ikal itu mengangguk tegas sambil berkata, “untuk itulah aku akan selalu berada di sampingmu.”
            Mereka berempat melihat plang besar memuat huruf besar bertuliskan INTERNATIONAL AIRPORT SOEKARNO-HATTA tertancap di tanah. Aretha menyetop taksi lalu memberikan ongkos sesuai dengan harga yang tertera di agrometer.
            “Ini kembaliannya,” ketika sang supir menyodorkan uang kembalian, Aretha menepis tangan sang supir lalu berucap, “simpan saja untuk Bapak.”
            “Terimakasih ya, Mbak.” Sang supir menyimpan uang kembalian pelanggannya ke dalam saku celana kemudian melipir jauh meninggalkan mereka berempat. Mereka berjalan santai menuju antrian loket masih sepi akan penumpang dari masing-masing maskapai penerbangan. 
            “Omong-omong, uang yang kuberikan pada kalian itu apakah sudah cukup? Aku merasa 350 juta masih kurang sebagai ucapan terimakasih kami untuk kalian. Aku akan menambahkan 150 juta lagi ke rekening kalian.”
            “Dengan senang hati kami menerimanya, Anggara. Omong-omong, berapa yang berhasil kalian dapatkan dari mereka?”
            “Tidak banyak. Nanti kuberitahu setelah kita tiba di tujuan masing-masing.” Semakin cepat mereka berjalan, semakin cepat roda pada tas mereka bergulir di atas lantai marmer.
***
            Pukul 00.39 Mako Brimob dibanjiri darah segar. Mulai dari pos jaga sampai di depan sel. Tumpukan mayat para prajurit TNI dibiarkan bergelimpangan di atas lantai keramik putih. Meski lima orang tentara sudah berjaga di sana, dua pria berkemeja merah tua dan seorang pria bermata sipit berkemeja ungu sudah cukup membuat mereka tak bernyawa. Tiga pria berada di depan sel Haris, Jonas dan Fahnan. Fahnan ditemukan oleh salah satu anggota Densus 88. Lelaki paruh baya itu sedang berusaha bangkit berdiri dengan memegang luka di perutnya. Namun naas,. Ketika ia baru turun dari ruangan pribadinya menuju lantai 1, seorang prajurit menodongkan ujung senapan serbu tepat di kepala.
            “Jangan bergerak! Sekarang putar badanmu ke belakang lalu tangan diangkat!”
            Fahnan hanya bisa menuruti perintah dari prajurit yang berhasil membekuknya.
            Ketiga tiga orang berkemeja itu tentu membuat ketiganya terbeliak kaget. Bisa saja bercampur dengan rasa takut. Jonas melihat sekeliling kalau para tentara jaga sudah ditakhlukan ketiga orang berwajah Tionghoa dan Jepang.
            “Sampah seperti kalian memang perlu dihabisi.” Tanpa menunggu penjelasan dari mereka bertiga, pria berkemeja ungu mengangkat AK-47 sedari tadi dipangkunya lalu diarahkan ke mereka bertiga. Kini sel mereka bertiga dipenuhi lelehan darah panas dan butiran selonsong tercecer di lantai.
            “Selanjutnya apa?”
            “Ya kita sudah bisa pergi dari sini ‘kan?”
            “Bagaimana dengan mereka berempat? Apa perlu kita kirim anak buah untuk mencari mereka secepatnya?”
            “Tidak perlu terburu-buru, Yan Shi. Kita beri mereka waktu satu tahun untuk menghirup kebebasan.”


***

DUAL - 22

Pengampunan
            Begitu keduanya sudah menginjakkan kaki di balkon, Haris mencampakkan tubuh Aretha begitu entengnya ke lantai. Ia menyuruh keponakannya bersimpuh dengan kedua lutut kaki menyentuh permukaan lantai. Kemudian mengikat kedua pergelengan kaki Aretha dengan tali tambang. Ia menggulungkan tali itu hingga perempuan itu meringis nyeri.
            “Kalau begini kau takkan bisa kabur,” ucap Haris sambil mengetatkan ikatan tali sehingga tiada celah untuk lepas.
            Aretha tidak berupaya melawan. Ia membiarkan sang paman melakukan apa yang dia kehendaki. “Paman...”
            Beres dengan urusan mengetatkan tali, Haris menyingkir dari hadapan keponakannya. Ia mencabut sepucuk pistol Glock 20 yang diselipkan di pinggang belakang. “Kenapa? Kau ingin mengucapkan sesuatu?”
            Aretha memutar leher ke belakang, melihat sekilas wajah sang paman. Dalam hatinya ia bertanya-tanya apakah pamannya benar-benar serius melakukan ini kepada keponakan kandungnya. “Sekarang aku tahu apa yang membuat ayah berubah dratis ketika paman datang menjumpai ayah. Tapi entah aku merasa, kau berlebihan, Paman...”
            Mendengar perkataan dari sang keponakan, Haris mendadak naik pitam lalu mencengkeram rambut Aretha, menariknya kuat-kuat ke belakang. “Tahu apa kau tentang ayahmu, anak sialan? Dia itu mencoba menggeser kedudukanku di HOVTA dengan mencari muka pada pimpinan pusat. Dia berhasil menjadi sekretaris karena prestasinya dalam mencari korban. Dia bisa menyugesti calon korban untuk menyetujui kerjasama menjual organ dalam mereka secara sukarela. Walaupun uang hasil kesepakatan seringkali tidak sebanding dengan uang yang diberikan kepada pihak keluarga. Selama bertahun-tahun aku pun aku berusaha mencari cara untuk menyingkirkan ayahmu, Aretha.”
            “Tapi kenapa kau mesti menyingkirkan Ibu dan Kakakku Arsyad? Kenapa kau tega  menghabisi mereka?”
            “Aku mengantisipasi saja agar mereka tidak macam-macam mencurigaiku.”
            “Jadi maksud Paman, Kak Arsyad dan Ibu sudah tahu pekerjaan ayah?”
            “Kalau itu aku tidak tahu pasti. Tapi aku punya firasat kalau ibumu tahu pekerjaan haram kami berdua. Ya jadi kusingkirkan saja. Kalau untuk kakakmu, anggap saja aku terlalu menikmatinya. Hahaha terlalu menikmatinya.” Tawa bengis berderai dari mulut Haris. Aretha tidak bisa menahan gejolak amarah yang menuntut untuk dikeluarkan.
            “Jaga mulutmu, Bajingan! Kau memang tidak pantas untuk hidup di dunia ini—”
            “Kau juga tidak pantas hidup di dunia ini, Keponakanku. Kau pikir kau ini siapa sekarang? Malaikat? Kau sama sepertiku, seorang pembunuh!” Haris memberikan penekanan lebih kuat pada kata ‘pembunuh’.   
            “Jadi jangan merasa sok suci, Nak. Tempatmu dan tempatku sama di akhirat nanti yakni di neraka. Nah kau sudah tahu ‘kan siapa yang membunuh keluargamu, sekarang, aku akan segera mempertemukanmu dengan mereka bertiga. Aku yakin mereka sudah terlalu lama menunggumu.” Haris mengangkat pistol lalu menempelkann ujung pistol tepat di tempurung kepala belakang. Pada akhirnya Aretha mulai menemukan titik balik dalam hidupnya. Bila Selama hidupnya dirinya selalu membunuh banyak orang, maka sekarang yang dia terima adalah kematian atas dasar pembunuhan. Mungkin lebih baik kalau dirinya lebih cepat berjumpa dengan ayah, ibu dan Arsyad di alam baka. Bila terus melanjutkan hidup di dunia ini, cepat atau lambat dirinya akan tertangkap polisi. Dan hukuman setimpal untuk menebus semua perbuatannya adalah hukuman mati.
            “Baiklah...Selamat tinggal dunia... selamat tinggal, Alvaro... aku... mencintaimu...,” lirih Aretha sambil berurai air mata mengucapkan kata terakhir sebelum pamannya akan mencabut hak hidupnya di dunia.
            Pintu masuk balkon terbuka secara tiba-tiba. Keitka pintu tersingkap lebar, sosok lelaki berpostur sedang, berlari sambil menabrakkan diri ke arah Haris. Lelaki paruh baya itu jatuh tersungkur begitu mendapat serangan kejutan. Pistol yang dipegang Haris terlempar jauh. Alvaro berusaha menjangkau batang leher dengan kedua tangannya yang masih menggigil. Haris menggunkan tongkat besi yang dipegangnya untuk menahan gerakan tangan pemuda itu.
            “Bagaimana mungkin kau bisa sampai ke sini?!”
            Alvaro tidak menggubris pertanyaan dari Haris. Ia masih berusaha menjangkau leher lelaki paruh baya itu. Meski berusaha melawan, Alvaro merasakan kesulitan melakukan perlawanan karena peluru beracun itu masih bersarang di dalam pergelangan tangannya. Melihat lawannya lengah, Haris memberikan serangan balasan dengan memberikan dorongan lebih kuat pada tongkat besi. Alhasil serangan itu membuat Alvaro terjungkal. Ini dimanfaatkan Haris dengan menendang dan menginjak perut serta memukuli badannya dengan tongkat besi.
            Haris masih belum puas menyaksikan penderitaan Alvaro. Lelaki itu melihat sekilas bekas luka tembak di bagian bahu kelihatan masih baru. Ia menginjak bahu Alvaro hingga membuatnya berteriak kencang tak mampu menahan nyeri di bahu.   
            “Arrrrggghhhh!” pekiknya sekuat tenaga.
            “Alvaro!” jerit Aretha menyaksikan rekannya menderita.
            Alvaro tidak bisa bergerak lebih leluasa lagi. Rasa sakit dan nyeri luar bisa di sekujur tubuhnya membuat dirinya terbatas dalam pergerakan. Melihat lawannya tak berdaya, Haris berpaling dari hadapan Alvaro lalu memungut pistol yang sempat terlepas dari genggamannya.
            “Maaf sudah membuatmu menunggu. Langsung saja ya.” Haris kembali menempelkan ujung pistol di tempurung kepala keponakannya.
            Lelaki paruh baya itu memekik kecil ketika benda keras mengenai punggung tangannya. Ia melirik sekilas benda macam apa yang mengenai tangannya.
            Tu-tulang manusia?!
            Pandangan mata Haris beralih pada sosok wanita bertubuh kurus berkulit sawo matang berdiri dekat pintu balkon. Baru saja mengenali siapa wanita yang melemparkan tulang manusia padanya, Alvaro melakukan serangan dengan menggunakan kekuatan bahu untuk menjatuhkan lawan. Haris yang tidak siap siaga, kembali terlempar dengan serangan yang sama. Punggung dan kepalanya menubruk lantai balkon.
            Alvaro langsung menduduki perut Haris kemudian melancarkan bogem mentah bertubi-tubi tanpa memberi kesempatan bernapas bahkan untuk mengangkat pistolnya. Ia memusatkan seluruh energi negatif dan penderitaannya lewat pukulannya. Deru napas Haris mulai tersendat-sendat. Lelehan darah meluncur pelan-pelan dari lubang hidungnya. Lecet dan memar menghiasi wajah lelaki yang masih menyisakan sisa ketampanan masa mudanya.
            Melihat Alvaro terus menghajar paman, Aretha menghampiri Alvaro sambil menahan laju pukulannya. “Hentikan Alvaro, tolong hentikan!” Laju kepalan tangan Alvaro berhenti mendadak, hampir saja mendarat di pipi paman Aretha.
            “Kenapa? Bukankah orang ini sudah mengancurkan hidupmu, Arteha? Dia sudah merenggut apa yang seharusnya masih kau miliki sampat saat ini, Aretha! Jangan bilang kau mau mengampuninya secara cuma-cuma?” respon Alvaro.
            Aretha memandang sekilas wajah pamannya seraya mencari hal-hal baik yang bisa dijadikan alasan untuk mengampuni pamannya. Ia masih bisa mendengar dengus napas sang paman terdengar begitu berat. “Sebenarnya aku masih belum mendapatkan alasan tepat untuk mengampuni pamanku. Tapi yang pasti, setelah semua ini selesai, aku mau mencoba hidup normal, Alvaro. Aku tidak mau membunuh satu orang pun lagi termasuk membunuh orang yang jelas-jelas sudah menghabisi keluargaku sekalipun. Aku sebenarnya sudah puas melihat wajah pamanku. Pamanku yang kukenal dulu, suka membawakanku boneka mainan dan tidak jarang memberiku uang jajan. Ternyata dia sehat walafiat.” Aretha mengembangkan sebuah senyuman dari bibir tipisnya.
            Alvaro terkesima melihat senyuman manis yang ditorehkan gadis berumur 24 tahun itu. Mungkin ini baru pertama kali dalam seumur hidupnya, dia melihat rekannya bisa tersenyum semanis itu. “Lalu apa yang kau mau lakukan?”
            “Biarkan dia hidup.”
            “Kau yakin?” tanya Alvaro yang tidak yakin dengan pernyataan rekannya.
            “Aku yakin, meskipun kejahatan yang kulakukan takkan mudah diampuni begitu saja. Dan mungkin, kejahatan yang kulakukan sama bejadnya dengan pamanku.” Mendengar pernyataan yang diungkapkan rekannya, Alvaro mengangkat pantatnya dari perut Haris. Akan tetapi sebelum lebih jauh, Alvaro mengikatkan pergelangan tangan dan kakinya lalu mengambil pistol tergeletak tak jauh dari tempat Haris diikat.
            “Kau tak bisa lari ke mana-mana, Aretha! Mereka akan mengejarmu apabila bisnis mereka terungkap sampai ke ruang publik. Ingat... mereka tidak akan mengampunimu.” Sorot mata paman Haris menjadi lebih dingin dan lebih tajam. Sebelum menuju Aretha, Alvaro memungut pistol milik Haris.
            Keitka keduanya menuju ke tempat Fiolina berdiri, dari belakang mereka, Anggara keluar dari ruang penyortiran. Lelaki itu tertatih-tatih sambil menyeret tungkai kanannya. Ia menampakkan diri pada mereka bertiga dengan wajah bengkak di pipi dan kening, darah di kedua hidungnya juga masih belum mengering.
            “Kita harus pergi secepatnya dari sini. Aku merasa firasat buruk kalau kita berlama-lama di sini,” ucap Anggara. Fiolina mendapati salah satu dari gigi rekannya hilang satu. Anggara hampir saja kehilangan keseimbangan saat telapak tangannya tak punya daya lagi menjadikan dinding sebagai pegangannya. Fiolina sigap memapah rekannya yang hampir rubuh.
            “Kita lewat tangga darurat saja. Kau tahu ‘kan, Fiolina, kalau apartemen ini terhubung dengan saluran pembuangan?” Fiolina mengangguk tegas.
            “Anggara...,” panggil Alvaro.
            “Apa?”
            “Apakah... perjanjian yang kita sepakati masih tetap—“
            “Kita bicarakan nanti setelah kita lolos dari sini.” Mereka berempat mempercepat langkah kaki begitu daun telinga mereka mendengar suara derap sepatu menghentak-entak lantai atas.
***
            Sudah sejam lebih Ipda Eddu Afrianto dan Aiptu Sary meninggalkan markas HOVTA. Ia dan rekannya ditemukan salah satu pasukan Densus 88 sedang dalam keadaan kritis. Timah panas menembus bagian bahu dan kedua pahanya. Seluruh badan dan bibir menggigil tak karuan. Perwira polisi itu menyilangkan kedua tangan sambil menggenggam keras pundaknya. Tapi malang bagi Aipda Sarry. Peluru beracun milik Setno tepat mengenai bagian dada kanan. Racun bekerja secara cepat menghentikan fungsi paru-paru dan jantung. Dalam waktu kurang lebih sepuluh menit tanpa pertolongan medis, nyawa sang Aiptu tak bisa diselamatkan.
            Belum lagi menghadapi kemungkinan kalau dia akan dipecat secara tidak hormat oleh atasannya, Kompol Budi Widjajanto dengan pelanggaran membentuk pasukan komando tanpa izin dan perintah atasan. Juga pertanggungjawaban atas kematian rekannya, Aipda Sarry Sustina.
            Jika aku bertemu dengan mereka sekali, aku pastikan mereka akan merasakan akibatnya...,ucap batin Ipda Eddu sambil menoleh ke arah jenazah Aipda Sarry mulai tampak membiru. Lelaki itu tidak bisa menahan kesedihan lebih lama hingga secara tak sadar air matanya meluruh perlahan.