Epilog:
Tak Sepenuhnya Berakhir
Headline News.
Sindikat perdagangan organ tubuh
manusia—HOVTA berhasil diringkus oleh tim Densus 88 dan tim Gegana di sebuah
apartemen yang merupakan markas organisasi. Tim Densus 88 dan Gegana sempat
terlibat adu tembak dengan anggota HOVTA
selama dua setengah jam sebelum akhirnya berhasil membekuk sindikat yang sudah
berjalan selama sepuluh tahun. Tujuh
orang anggota HOVTA sudah diamankan kepolisian untuk proses penyidikan. Seorang
perwira polisi berinisial E.A ditemukan dalam kondisi terluka dan seorang
polwan berinisial S.S juga ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa. Pihak
kepolisian juga masih melakukan penyidikan adanya keterkaitan Killer Order
dalam sejumlah kejahatan yang dilakukan HOVTA. (Prita Claurita)
***
Pukul
06.09. Taksi Blue Bird melaju kencang meninggalkan Senayan. Suasana dalam taksi
begitu hening. Tidak ada satu pun dari mereka memulai pembicaraan. Aretha yang
terganggu dengan suasana canggung ini, mencoba memecahkan keheningan dengan
berucap sepatah kata.
“Hei...”
sapa Aretha pada Anggara dan Fiolina.
“Apa?”
sahut Fiolina.
“Apa
kalian yakin semua ini benar-benar selesai?”
“Selesai
apa maksudmu?” tanya Fiolina yang kelihatan belum mengerti.
“Setelah
kalian mendapatkan apa yang kalian inginkan, begitu juga dengan kami, apakah
urusan kita dengan mereka benar-benar sudah selesai?”
Keduanya
belum langsung menjawab. Mereka tampak berpikir, memberikan jawaban atas
pertanyaan dari Aretha.
“Entahlah.
Kalaupun suatu hari aku harus berhadapan dengan mereka lagi, aku siap. Kalau
menurutmu bagaimana, Fio?” Gadis berambut ikal itu mengangguk tegas sambil
berkata, “untuk itulah aku akan selalu berada di sampingmu.”
Mereka
berempat melihat plang besar memuat huruf besar bertuliskan INTERNATIONAL
AIRPORT SOEKARNO-HATTA tertancap di tanah. Aretha menyetop taksi lalu
memberikan ongkos sesuai dengan harga yang tertera di agrometer.
“Ini
kembaliannya,” ketika sang supir menyodorkan uang kembalian, Aretha menepis
tangan sang supir lalu berucap, “simpan saja untuk Bapak.”
“Terimakasih
ya, Mbak.” Sang supir menyimpan uang kembalian pelanggannya ke dalam saku
celana kemudian melipir jauh meninggalkan mereka berempat. Mereka berjalan
santai menuju antrian loket masih sepi akan penumpang dari masing-masing
maskapai penerbangan.
“Omong-omong,
uang yang kuberikan pada kalian itu apakah sudah cukup? Aku merasa 350 juta
masih kurang sebagai ucapan terimakasih kami untuk kalian. Aku akan menambahkan
150 juta lagi ke rekening kalian.”
“Dengan
senang hati kami menerimanya, Anggara. Omong-omong, berapa yang berhasil kalian
dapatkan dari mereka?”
“Tidak
banyak. Nanti kuberitahu setelah kita tiba di tujuan masing-masing.” Semakin
cepat mereka berjalan, semakin cepat roda pada tas mereka bergulir di atas
lantai marmer.
***
Pukul
00.39 Mako Brimob dibanjiri darah segar. Mulai dari pos jaga sampai di depan
sel. Tumpukan mayat para prajurit TNI dibiarkan bergelimpangan di atas lantai
keramik putih. Meski lima orang tentara sudah berjaga di sana, dua pria
berkemeja merah tua dan seorang pria bermata sipit berkemeja ungu sudah cukup membuat
mereka tak bernyawa. Tiga pria berada di depan sel Haris, Jonas dan Fahnan.
Fahnan ditemukan oleh salah satu anggota Densus 88. Lelaki paruh baya itu
sedang berusaha bangkit berdiri dengan memegang luka di perutnya. Namun naas,.
Ketika ia baru turun dari ruangan pribadinya menuju lantai 1, seorang prajurit
menodongkan ujung senapan serbu tepat di kepala.
“Jangan
bergerak! Sekarang putar badanmu ke belakang lalu tangan diangkat!”
Fahnan
hanya bisa menuruti perintah dari prajurit yang berhasil membekuknya.
Ketiga
tiga orang berkemeja itu tentu membuat ketiganya terbeliak kaget. Bisa saja
bercampur dengan rasa takut. Jonas melihat sekeliling kalau para tentara jaga
sudah ditakhlukan ketiga orang berwajah Tionghoa dan Jepang.
“Sampah
seperti kalian memang perlu dihabisi.” Tanpa menunggu penjelasan dari mereka
bertiga, pria berkemeja ungu mengangkat AK-47 sedari tadi dipangkunya lalu
diarahkan ke mereka bertiga. Kini sel mereka bertiga dipenuhi lelehan darah
panas dan butiran selonsong tercecer di lantai.
“Selanjutnya
apa?”
“Ya
kita sudah bisa pergi dari sini ‘kan?”
“Bagaimana
dengan mereka berempat? Apa perlu kita kirim anak buah untuk mencari mereka
secepatnya?”
“Tidak
perlu terburu-buru, Yan Shi. Kita beri mereka waktu satu tahun untuk menghirup
kebebasan.”
***

No comments:
Post a Comment