Monday, 11 February 2019

Bohemian Rhapsody

Aku mengira kalau hidup ini adalah sebuah fantasi. Tapi ternyata aku memang berada dalam sebuah kenyataan yang buatku tak bisa melarikan diri. Meski aku harus menatap menatap ke atas langit, takkan mengubah kenyataan kalau aku hanyalah seorang lelaki miskin. Tapi jangan salah sangka. Aku tidak mengharapkan simpati dari kalian yang punya harta melimpah dan popularitas. Orang bijak berkata kalau hidup ini punya pasang surut. Tapi aku merasa pepatah mereka benar-benar tidak berarti. Betul-betul tidak ada artinya. Persis dengan apa yang terjadi padaku. Semuanya bagaikan embusan angin. Cuma menumpang lewat saja lalu terlupakan.
***
            Ed, itulah panggilanku. Aku tinggal bersama dengan ibuku. Kami tinggal di sebuah desa yang masyarakatnya terbilang berkecukupan. Mayortitas penduduk di sana punya ladang dan sawah luas. Setiap memanen mereka bisa berpenghasilan dua puluh juta ke atas. Mereka punya mobil dan sepeda motor. Rumah mereka terbilang cukup besar. Setiap aku melintas di rumah mereka, aku refleks tersenyum. Berandai-andai jika kehidupanku seperti mereka. Tapi di saat itu pula aku merasa kesedihan menyeruak dalam hati.
***
            Ayahku dulunya merupakan seorang kepala dinas pendapatandaerah. Jangan tanya soal kekayaan kami. Kami merupakan orang terpandang di kota A. Kami punya perusahaan garmen dan pabrik susu. Rumah kami rumah beton berarsiktur Spanyol dengan air pancur dan replika patung Aristoteles di halaman rumah. Rumah kami sering sekali dijadikan tempat berpestanya kaum borjuis dan birokrat. Maklum saja, ayah juga merupakan ketua dewan pengurus daerah salah satu partai pro pemerintahan. Ayahku sering sekali melakukan pertemuan-pertemuan penting atau sekedar berbincang-bincang di rumah kami. Ayahku sering sekali memperkenalkan diriku pada teman-temannya.
            “Perkenalkan ini putra saya—Edgardo. Kalian tahu, di sekolah dia selalu mendapat pujian dari guru-guru bidang studi. Dia anak yang pintar. Aktif dalam menjawab pertanyaan seputar pelajaran,” ucap ayah, bangga.
            “Kau beruntung punya anak seperti dia, Fran. Barangkali dia bisa menggantikan posisimu sebagai kepala dinas atau jadi ketua dewan pengurus partai kita,” puji salah satu teman separtai Fran.
            “Untuk itulah aku selalu menekan padanya untuk belajar giat dan jikalau dia sudah menyelesaikan sekolahnya, dia akan kukuliahkan di luar negeri di fakultas hukum.” Ayah menepuk pundakku sambil menatap penuh keyakinan padaku.
            Mendengar apa yang dikatakan ayahku tentu senangnya bukan main. Aku selalu berdoa pada Tuhan semoga ayahku sehat walafiat. Agar cita-cita itu dapat terwujud di masa depan. Agar aku bisa meneruskan posisi ayahku sebagai kepala dinas dan ketua dewan pengurus partai.
            Tapi siapa bisa menebak bagaimana alur hidup ini ke depannya? Semua terjadi begitu cepat. Secepat mengedipkan kelopak mata. Suatu hari, aku, adikku dan ibuku  melihat dua orang berpakaian polisi mendatangi rumah kami.
            “Selamat malam, Nyonya Fran, kami dari komisioner pemberantasan korupsi dan kepolisian diperintahkan untuk membawa suami Anda ke kantor polisi. Suami Ibu terlibat dalam kasus korupsi pajak bumi bangunan sebesar 5 miliar rupiah.” Pegawai komisioner pemberantasan korupsi dan dua polisi memasuki rumah kami, mencari keberadaan ayahku di sana. Mereka bertiga telah menemukan ruangan pribadi ayahku. Tetapi ketika diketuk beberapa kali, mereka tidak mendengar suara apapun dari dalam. Dalam hati aku begitu khawatir terjadi sesuatu dengan ayah. Ibu cepat-cepat menyuruhku membawa kunci cadangan dari kamarnya, membuka ruangan pribadi ayah.
            Rasanya aku ingin berteriak sekencang mungkin. Kakiku bergetar. Kedua bola mataku melebar dengan sendiri. Menyaksikan pemandangan mengerikan ini cukup menurunkan tensi keberanianku. Kami menyaksikan ayah dalam posisi duduk bersandar meregang nyawa dengan mulut berbuih. Di tangan sebelah kiri memegang sebuah botol kecil yang menjadi jalannya untuk mengakhiri hidup di dunia ini. Sementara ibu dan adikku masih meratap pilu, aku berjalan perlahan-lahan bersama dengan ketiganya menuju meja kerja ayah. Aku melirik secari kertas yang bertuliskan’untuk Edgardo’ di meja kerja ayahku. Aku meraih kertas itu lalu membaca tulisan yang tercetak di atas surat wasiat.
Nak, tolong jaga baik-baik ibu dan adikmu ya. Ayah mau pergi.
tertanda,
Ayahmu—Fran.
            Aku menggeleng tak percaya dengan apa yang dituliskan ayahku. Benarkah ini ditulis oleh ayahku? Kalau memang benar ini tulisan ayahku, apa, apa yang mendasarinya melakukan tindakan sebodoh ini. Ayah yang selalu terlihat tegar dan selalu berkata kuat menjalani hidup, tak lebih dari manusia lemah dan munafik yang mengingkari kata-kata dari mulutnya sendiri. Lututku kembali melemah. Aku tak kuat menahan kenyataan sekaligus beban tubuhku. Tangisku pecah di ruang pribadi ayahku.Aku menangis sejadi-jadinya meratapi kehilangan ayah untuk selama-lamanya.
***
            Aku buru-buru mengusap tetes air mata yang jatuh tanpa kusadari. Kulihat pemilik rumah sudah menampakkan diri di hadapanku.
            “Ngapain kamu di depan rumah saya?! Mau mencuri ya?!” tuding lelaki paruh baya pemilik rumah besar itu.
             “E-e...ti-tidak Pak. Kebetulan saya numpang lewat saja dan tak sengaja berhenti di depan rumah Bapak,” sangkalku.
            “Awas ya kalau kamu mau macem-macem! Saya lapor kamu ke polisi!” ancam lelaki itu sambil berpaling meninggalkanku. Aku hanya mengangguk tanggung lalu cepat-cepat pergi dari sana.
            Setelah kematian ayah, barulah aku tahu kalau ayah juga punya utangupah pegawai perusahaan garmen dan pabrik susunya sebesar 3 miliar. Belum lagi membayar uang denda akibat korupsi ayahku. Terpaksa keluargaku menggadaikan pabrik dan rumah untuk membayar itu semua. Ibu yang punya sedikit uang di tabungan memutuskan membawa kami ke desa, membangun rumah kecil, tempat kami tinggal saat ini.
            Tapi bukan berarti bebanku hilang begitu saja. Karena keadaan ekonomi kami yang morat-marit, aku terpaksa mengubur impianku dalam-dalam untuk berkuliah karena keterbatasan biaya. Ibuku bahkan sampai membuka kedai kopi sederhana untuk biaya sekolah adikku. Ibu berkata bahwa adikku, Sisca, harus bersekolah sampai tamat SMA.Untuk mewujudkan apa yang diinginkan ibu, aku melamar kerja sebagai pekerja di sebuah toko kelontong meskipun bayaran yang kuterima tidak seberapa bahkan untuk lepas makan selama dua minggu.
***
            Hidup seakan belum puas memberikanku variasi cobaan. Mereka terus berdatangan tanpa menunggu apakah aku sudah siap menghadapinya atau belum. Sudah tiga hari ibu mengalami malaria. Ia masih terbaring lemah di atas ranjang berselimut merah tebal. Gigi atas dan bawah bergetar-getar, menimbulkan suara gemelutuk. Suhu badannya cukup tinggi hingga membuatku khawatir kalau kondisinya bisa saja semakin memburuk.
            Di samping ranjang ibu, aku tertunduk lesu.Menjaganya apabila dirinya perlu bantuanku. Aku membenamkan diri sambil menangis dalam diam. Ibu yang baru terbangun dari tidurnya, mendengar suara tangis tertahan. Dan ia yakin kalau itu berasal dari suara putranya.
            “Apakah itu suara tangisanmu, Nak?”
            Begitu ibu menyadari suara tangisku, aku buru-buru mengusap air mataku lalu menengok ke arah ibu. “Tidak, Ma, tidak. Itu bukan suaraku.”
            “Mama tahu kamu pasti sedih melihat keadaan Mama saat ini ditambah lagi dengan keadaan kita yang seperti ini. Tapi kamu tidak perlu khawatir. Mama pasti akan sembuh. Mama berterimakasih dengan obat yang kamu beli, Nak. Itu sudah lebih dari cukup.” hibur Ibuku. Matanya terlihat sayu. Terlalu sayu. Mungkin mulutnya berkata kalau dia akan segera sembuh. Tapi bahasa tubuhnya tak memunjukkan perubahan signifikan.
            Aku akan mengupayakan kesembuhan Mama. Aku akan membawanya ke rumah sakit. Kalau dia sembuh, pasti Mama akan kembali berjualan dan bisa membiayai sekolah Sisca tapi itulah masalah. Kami tidak punya uang untuk berobat. Aku harus dapat uang banyak darimana?
            Begitu lama aku berkutat dengan pikiranku sendiri, ada satu sisi membisikkan sesuatu dekat di telingaku.
            Kau tahu lelaki lajang tua yang tinggal di rumah mewah itu? Kenapa kau tidak coba mengambil hartanya? Hartanya tak hanya cukup biaya berobat ibumu tak cukup untuk memenuhi kebutuhanmu, kawan. Lagipula kau bisa sekalian membalaskan dendammu padanya atas perbuataannya yang selalu melecehkan keluargamu ya kan?
            Ada benarnya juga yang dikatakannya. Aku pun sudah lama memendam dendam pada lelaki lajang tua itu. Mungkin Tuhan sedang memberikanku kesempatan untuk membalaskan apa yang sudah dilakukannya padaku. Dan aku sudah tahu bagaimana cara untuk membalaskan itu semua.
***
            Aku mengamati sebentar keadaan ruang tamu. Tidak ada satu langkah kaki terlihat di sana. Suasana gelap gulita. Aku bisa keluar lebih leluasa karena jam dinding menunjukkan pukul 00.30. Aku mengendap-endap menjauh dari rumah. Kulihat kondisi rumah di sekitarku. Banyak rumah sudah mematikan lampu dalam. Menandakan mereka sudah tidur. Tapi begitu aku melanjutkan langkah, kulihat pos kamling dijaga dua orang lelaki paruh baya. Mereka berdua tengah serius main catur. Tanpa berpikir lama-lama aku memutar jalan menuju daerah hutan untuk menghindari kemungkinan kalau aku akan dipergoki.
            Meskipun keadaan hutan begitu remang, tidak membuat nyaliku menciut. Malah ini semakin menumbuhkan semangatku untuk sampai ke rumah mewah itu. Satu setengah kilometer kutempuh jalan berumput dan gelap, aku tiba di depan rumah targetku. Sebelum memanjat pagar, kedua bola mataku mengitari keadaan sekitar. Kulihat seekor anjing Herder tengah tertidur. Aku membatasi pergerakanku lalu menarik pelatuk pistol, mengeker kepala anjing itu. Ketika anjing itu akan bangun, ia sudah tergeletak di atas tanah dengan kepala berlumuran darah.
            Aku menyiapkan ancang-ancang untuk melompat. Kedua kakiku telah mendarat sempurna di atas tanah. Kini aku harus berhati-hati mengatur langkah kakiku. Sepertinya Dewi Fortuna sedang menyertai aksiku ini. Salah satu jendela rumah ini tidak terkunci rapat. Agak kutarik sedikit dan akhirnya terbuka. Aku diam-diam menyelinap ke dalam ruang tamu. Ruangan tamu begitu gelap akan tetapi lampu di salah satu kamar di lantai dasar menyala. Aku yakin kalau pemilik rumah belum tidur.
            Aku harus berhati-hati, ucapku dalam hati. Akan tetapi di situlah awal bencana. Karena suasana ruang tamu begitu gelap, tanganku tak sengaja menyenggol guci porselen hingga membuat guci itu terbelah berkeping-keping. Sontak aku ikut terkejut. Kamar tidur si pemilik rumah segera terbuka.
            Si lelaki menekan sakelar lampu. Lampu pijar berpendar terang. Ia berjalan menuju sumber suara guci pecah itu lalu diamatinya secara seksama. Tapi disadarinya aku sudah berdiri di belakang sambil menodongkan pucuk pistolku pada kepalanya.
            “Selamat malam, Pak,” sapaku padanya.
            “Mau apa kau kemari?! Mau maling ya?!” tanyanya penuh kewas-wasan.
            “Aku ke sini mau minta hartamu sedikit saja untuk biaya berobat ibuku. Boleh?”
            “Tidak! Biarkan saja ibumu mati! Dasar miskin! Anak koruptor kelas kakap!” Caciannya begitu panas di telinga dan di hatiku.Melihatku yang agak lengah, si lelaki lajang tua buru-buru berlari menjauhiku. Mungkin ia ke kamarnya untuk melindungi hartanya.
            “Dasar orang serakah!” Aku membidik pistolku di kepala bagian belakang. Dalam dua kali tembakan, ia sudah roboh bersimbah darah. Begitupasti kalau ia sudah tak bernyawa, aku melangkah menuju kamar guna mengambil harta-harta yang dia simpan di sana.
            Dalam tempo 30 menit, aku sudah keluar dari rumah itu. Namun hampir lepas jantungku ketika ada dua orang pemuda tanggung tak sengaja melihat aksiku melompat pagar.
            “Maling!” Ketika salah satu dari mereka memekik, aku cepat-cepat berlari meninggalkan merekamenuju hutan. Sebenarnya aku bisa saja menembak mereka akan tetapi aku sudah terlambat menyadarinya. Kutambahkan kecepatanku berlari walau terkadang kakiku tersandung batu dan hampir goyah, yang terpenting jangan sampai tertangkap oleh mereka. Untungnya aku memegang kunci cadangan rumah. Dengan serba gelagapan, aku membuka engsel rumah. Kamar ibu dan adikku masih gelap. Menandakan kalau mereka sudah terlelap. Tanpa menukarkan pakaianku, aku langsung melompat ke arah ranjang reot lalu menundungi diri dengan selimut hijau.
***
            Walau kejadian tadi malam membuat dadaku berdebar-debar, aku mencoba bersikap biasa. Aku memakai baju dinasku untuk segera pergi bekerja. Tapi ketika aku akan menaruh dompet ke dalam saku celana, air wajahku berubah dratis. Aku tak melihat dompetku berada di kantong celana jins yang kukenakan tadi malam.
            Apa mungkin... jatuh?Aduh bisa gawat kalau sampai mereka dapatkan itu! Argh! Aku terus merutuki kemalanganku. Aku tak bisa membayangkan kalau sampai aku berurusan dengan polisi.
            “Kak... kakak kenapa?” tanya Sisca lembut.
            Begitu ditegur adikku aku langsung berubah sikap. “Eh eng-enggak apa-apa. Kakak cuman lagi sakit gigi aja.” Adikku mengangguk pelan mendengar alasan yang kubuat.
            “Kak, kakak semalam dengar ya ada ribut-ribut di luar? Kayaknya warga teriak-teriak ada maling gitu?” tanya Sisca padaku yang sedang mengunyah nasi.
            “Hmm, enggak. Kakak enggak dengar apa-apa kok,” balasku sambil tetap berkonsentrasi pada nasi kunyahanku.
            “Kak, kakak—“ tak mau adikku bertanya macam-macam, aku menyela, “aku sudah kenyang. Kakak pergi kerja dulu ya, Dik. Bilang sama Mama.” Aku bangkit dari kursi lalu berpaling dari adikku. Adikku benar-benar tak mengerti atau mungkin dia merasa ada sesuatu tak beres dengan kakaknya.
            Aku melangkah dengan biasa menuju jalan raya. Ketika akan menuju ke rumah besar itu, aku melihat kerumunan warga dan dua mobil polisi memadati halaman depan rumah itu. Aku buru-buru mempercepat langkah kakiku. Tak mau kalau sampai orang-orang yang ada di sana bertanya padaku.
***
            Awan langit mulai berurai menjadi lebih tepis. Membiaskan warna orange yang menjadi ciri khas senja. Aku melirik arloji yang baru saja kubeli menunjukkan pukul 17.02. Di tangan sebelah kiri, aku menenteng plastik putih berisi obat herbal Cina. Harga obat ini berkisar dua ratus ribu. Uang hasil curianku lebih dari cukup untuk membeli obat-obatan Ibu. Bahkan dengan uang itu, aku membeli dua stel kemeja lengan panjang, dua stel celana jins, gel rambut dan parfum bermerek.
            Sesampainya di rumah, bola mataku membeliak. Tiga orang pria berseragam polisi sedang berada di ruang tamu. Aku berjalan pelan-pelan sambil bertanya dengan sopan.
            “A.. ada perlu apa ya, Bapak-Bapak datang ke sini?”
            “Apa betul dompet yang kami pegang milik Anda?” tanya seorang polisi berwajah halus sambil memperlihatkan dompet itu padaku.
            “I-itu kan dompet saya? Bapak bisa dapat darimana dompet itu?” tanyaku seolah aku merasa benar-benar kehilangan dompet.
            “Dompet ini kami temukan di hutan yang berada di Barat desa ini tidak jauh dari rumah besar yang terkena kasus perampokan dan pembunuhan.”
            “Maksud Bapak-bapak di sini apa ya? Saya jadi enggak ngerti deh,” elakku pada mereka.
            “Sebaiknya Bapak jelaskan dompet ini di kantor polisi.” Salah seorang polisi sudah meletakkan borgol di pergelangan tangan sebelah kanan. Aku menggeleng tak percaya.
            “Tunggu dulu, Pak. Jangan bawa pergi saya dulu. Izinkan saya menemui Ibu saya. Saya ingin memberikan obat ini padanya. Kalau Bapak ragu, Bapak-bapak bisa menemani saya ke kamar Ibu saya.” Dua polisi di kanan dan kiriku menatap satu sama lain. Mereka berdua ikut mengangguk sambil mengantarkanku ke kamar ibu.
            Aku menekan gagang pintu kemudian kudorong pelan. Kulihat ibu memandangku iba dan seolah tak percaya. “Ibu yakin kamu bukan pembunuhnya kan? Pasti kamu tidak bersalah dan akan pulang lagi ke rumah kan, Nak?”
            Aku tidak bisa menutupi kesedihan melihat raut wajah Ibu. Serasa ingin mengatakan kalau aku tidak membunuh si pria lajang tua itu tapi sedalam apapun kututupi atau sebaik apapun aku berdusta, suatu saat akan ketahuan juga.
            “Ibu... kalaupun aku tidak kembali, aku harap Ibu dan Sisca bisa tegar dan bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa pada keluarga kita.” Begitu mengucapkan kalimat terakhir, kedua polisi itu menggiringku keluar dari kamar ibu lalu memborgol kedua tanganku ke belakang.
***
            Di sinilah aku sekarang. Di sebuah ruangan yang dibatasi teralis besi yang mengasingkanku dari keluarga dan duniaku. Namun aku tidak sendirian di dalam sini. Aku bersama seorang lelaki yang seumuran denganku dan sering kuajak berbincang-bincang. Namanya Jhonson. Dia sudah mendekam di penjara  selama tiga tahun. Ia bercerita padaku kalau dirinya divonis selama lima tahun penjara akibat mencuri tiga potong roti untuk makanan kedua adiknya. Ia sama sepertiku. Ia berasal dari keluarga orang miskin. Tak punya uang untuk menyewa pengacara agar hukumannya bisa dikurangi dan terpaksa menjalani hukuman sesuai putusan vonis hakim agung.
            Ketika aku sedang berbicara dengan Jhonson, aku melihat dua orang polisi menuju ruangan penjaraku sambil membuka , “Bersiaplah. Hari ini merupakan pembacaan putusan vonismu olehhakim agung.” Saat polisi mengatakan hal itu padaku, jujur aku merasa degdegan bercampur dengan khawatir. Kudengar cerita dari Jhonson, mereka yang terlibat kasus pembunuhan paling lama menjalani hukuman 10 tahun penjara. Aku berdoa dalam hati semoga putusan vonis hakim bisa lebih ringan. Jikalau aku dipenjara sampai selama itu, siapa yang akan menafkahi Ibu dan adikku? Siapa yang akan menjaga mereka? Aku berharap Tuhan masih berbaik hati padaku.
            Dua puluh lima menit perjalanan menuju gedung pengadilan. Kedua kakiku sudah melangkah menuju ruang pesakitan tempat para hakim dan jaksa agung akan menjatuhi hukumanku. Aku melihat ibu dan adikku sudah berada di barisan di belakang kursi yang akan segera diduduki.
            “Dengan menimbang keputusan majelis hakim bahwa terdakwa Edgardo terbukti bersalah melakukan pembunuhan berencana dan perampokan pada saudara Filipi Kons, maka terdakwa dijatuhi hukuman mati di kursi listrik. Terdakwa akan dieksekusi pada tanggal 26 Juni. Demikianlah pembacaan hasil putusan vonis hakim agung.” Hakim agung mengetuk palu tiga kali menandakan hukumanku telah sah diberlakukan. Kedua mataku mendelik, bibirku bergetar begitu mendengar putusan vonisku. Aku menggeleng tak percaya. Seberapa parahkah kejahatanku sampai aku harus menerima hukuman itu? Aku menoleh ke kiri, melihat ibu dan adikku menangis tersedu-sedu. Aku pun tidak bisa berbuat banyak untuk menghentikan semua ini.
***
            Dua minggu berlalu sudah. Aku sudah lama mendekam di sel khusus. Tibalah saatnya aku akan menjalani eksekusiku. Selama dua minggu itu pula aku tak henti-henti merutuki kemalanganku. Aku membayangkan ketika aku mendengar vonis hukuman mati, aku merasa bukan hanya bulu romaku merinding, bahkan pembuluh darah dan darah di dalamnya berdesir lebih kencang. Detak jantungku semakin tak karuan. Lewat kertas dan pena aku menuliskan salam perpisahan kepada ibu. Kepada adikku. Kepada seluruh orang yang menyayangiku. Aku harus pergi meninggalkan mereka semua. Aku kehabisan kata-katadan daya untuk menuliskan betapa malangnya hidupku.
            Puncaknya aku mencampakkan buku dan pulpenku. Aku menangis sejadinya. Dalam hatiku, mama, aku tidak mau mati. Aku tidak mau berakhir tragis di atas kursi listrik. Hidupku masih panjang. Seandainya aku tahu kalau hidupku akan seperti ini, aku berharap aku tidak pernah dilahirkan sebelumnya. Jika aku tidak dilahirkan, tidak mungkin aku menghadapi persoalan pelik seperti ini. Tapi... tapi semuanya sudah terjadi.
            Ketika aku masih larut dalam tangis penyesalanku, aku melihat sebuah bayangan sedang menuju selku. Bayangan kecil itu akhirnya berwujud seorang lelaki berbadan kekar mengenakan sebuah topeng yang terlihat bagian mata, hidung dan mulutnya saja. Oh tidak! Itu pasti algojo yang akan membawaku ke kursi listrik. Siapapun, tolong selamatkan aku! Kursi listrik itu sungguh-sungguh menakutkan!
            Aku tak bisa menahan rasa takutku sampai-sampai aku memohon pada algojo di sampingku, “Tidakkah kau kasihan melihat seorang lelaki miskin mati konyol hanya karena persoalan sepele. Aku hanya terlibat pembunuhan biasa. Mereka terlalu berlebihan menjatuhkan hukuman mati padaku.”
            Akan tetapi algojo di sampingku tak merespon perkataanku. Ia hanya menatap kosong padaku. Namun aku belum mau menyerah, “tolong lepaskan aku. Aku cuma lelaki miskin dari keluarga orang miskin. Tolong lepaskan aku dari hukuman mengerikan ini!”
            Sang algojo sudah mendudukkanku di atas kursi listrik. Kedua tanganku sudah terikat. Begitu juga dengan kedua kakiku. Di hadapanku terlihat beberapa orang sedang menanti eksekusiku. Tak ada yang bisa kuharapkan lagi. Aku berdoa dalam hati. Memohon mukjizat Tuhan membebaskanku.
            Kutunggu-tunggu begitu lama, aku tidak melihat atau merasakan apapun sesaat setelah aku berdoa. Yang ada malah sang aljogo sudah selesai dengan urusan teknis kursi listrik lalu bertanya padaku, “ada kata terakhir yang mau kau sampaikan?”
            Dalam hitungan beberapa detik, aku belum bisa berkata apa-apa. Aku menatap sekelilingku, pada kerumunan orang mengamati prosesi hukuman matiku. Tapi kedua bola mataku tertuju pada seorang gadis berambut panjang melewati bahu. Aku sempat tak berkedip melihatnya. Ia tidak sendirian. Lelaki berperawakan tinggi dan tampan menyunggingkan senyum mengejek padaku sambil merangkul bahunya.
            Tidak kusangka-sangka, Monna, gadis yang telah berpacaran denganku selama dua tahun sampai hati mengkhianatiku. Dia pernah bilang sesulit apapun kondisiku, dia tidak akan pernah meninggalkanku. Dan kini apa yang kulihat di depan mataku, hanyalah sebuah omong kosong. Apa dia pikir dia bisa menyingkirkanku?! Tak sadarkah kalau yang dia lakukan bagaikan meludah ke mata mataku! Oh mungkin saja dia sengaja membiarkanku mati dan menyaksikan detik-detik sakratul maut menjemput nyawaku?! Oh tidak!Tidak bisa dibiarkan! Aku harus pergi! Aku harus keluar dari sini!
            Percuma. Percuma aku menggoyang-goyangkan kedua tangan dan kedua kakiku.Percuma saja aku memaki-maki mereka. Tak ada yang bisa kulakukan selain pasrah. Air mataku meluruh pelan-pelan tapi pasti. Aku menolehkan kepala ke arah algojo di sampingku lalu menggeleng dua kali, memberitahu kalau tidak ada kata-kata terakhir apapun.
            Arus listirk mulai menyerbu aliran darahku. Aku tak sempat menerka-nerka berapa ratus volt tegangan listrik menusuk jaringan otak, paru-paru dan jantungku. Mereka seakan-akan membakar darahku.Tubuhku tidak kuat lagi menahan tegangan listrik yang mulai memanggang jaringan lemak dari tungkai kaki sampai pipi. Hidung mencium bebauan seperti bau daging gosong.
            Beginilah akhir hidupku. Benar-benar tidak ada artinya. Semua orang yang berada di sana bisa menyaksikan bagaimana tragisnya kematianku. Benar-benar tidak ada artinya. Tapi ke mana ibuku? Ke mana adikku?
***
            Wajah gadis berusia 14 tahun itu tergeletak begitu saja di atas meja makan. Buih putih memenuhi mulut. Hela napasnya tak lagi berembus dari hidung maupun dari mulutnya. Tak jauh dari sana, seorang wanita paruh bayamenggantung di seutas tali berbentuk lingkaran. Kedua kakinya mengambang di udara. Kursi plastik di belakang tubuhnya jadi saksi bisu bagaimana dia membualatkan tekada mengakhiri hidupnya dengan cara seperti itu.
            Maafkan aku, Fran. Aku tidak bisa menjaga mereka. Aku dan putrimu akan menyusulmu di sana.
            Tinta dalam pulpen hitam menjelma menjadi kalimat yang memperlihatkan kalau itu menjadi surat terakhir sebelum ia mengakhiri kehidupannya sendiri.
            Selesai.

            Note:

Cerita ini ditulis dan dikembangkan berdasarkan tafsiran saya mengenai makna lagu Queen ‘Bohemian Rhapsody’. 

Monday, 7 January 2019

DUAL - 23

Epilog: Tak Sepenuhnya Berakhir
            Headline News.
            Sindikat perdagangan organ tubuh manusia—HOVTA berhasil diringkus oleh tim Densus 88 dan tim Gegana di sebuah apartemen yang merupakan markas organisasi. Tim Densus 88 dan Gegana sempat terlibat adu  tembak dengan anggota HOVTA selama dua setengah jam sebelum akhirnya berhasil membekuk sindikat yang sudah berjalan selama sepuluh tahun.  Tujuh orang anggota HOVTA sudah diamankan kepolisian untuk proses penyidikan. Seorang perwira polisi berinisial E.A ditemukan dalam kondisi terluka dan seorang polwan berinisial S.S juga ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa. Pihak kepolisian juga masih melakukan penyidikan adanya keterkaitan Killer Order dalam sejumlah kejahatan yang dilakukan HOVTA. (Prita Claurita)
***
            Pukul 06.09. Taksi Blue Bird melaju kencang meninggalkan Senayan. Suasana dalam taksi begitu hening. Tidak ada satu pun dari mereka memulai pembicaraan. Aretha yang terganggu dengan suasana canggung ini, mencoba memecahkan keheningan dengan berucap sepatah kata.
            “Hei...” sapa Aretha pada Anggara dan Fiolina.
            “Apa?” sahut Fiolina.
            “Apa kalian yakin semua ini benar-benar selesai?”
            “Selesai apa maksudmu?” tanya Fiolina yang kelihatan belum mengerti.
            “Setelah kalian mendapatkan apa yang kalian inginkan, begitu juga dengan kami, apakah urusan kita dengan mereka benar-benar sudah selesai?”
            Keduanya belum langsung menjawab. Mereka tampak berpikir, memberikan jawaban atas pertanyaan dari Aretha.
            “Entahlah. Kalaupun suatu hari aku harus berhadapan dengan mereka lagi, aku siap. Kalau menurutmu bagaimana, Fio?” Gadis berambut ikal itu mengangguk tegas sambil berkata, “untuk itulah aku akan selalu berada di sampingmu.”
            Mereka berempat melihat plang besar memuat huruf besar bertuliskan INTERNATIONAL AIRPORT SOEKARNO-HATTA tertancap di tanah. Aretha menyetop taksi lalu memberikan ongkos sesuai dengan harga yang tertera di agrometer.
            “Ini kembaliannya,” ketika sang supir menyodorkan uang kembalian, Aretha menepis tangan sang supir lalu berucap, “simpan saja untuk Bapak.”
            “Terimakasih ya, Mbak.” Sang supir menyimpan uang kembalian pelanggannya ke dalam saku celana kemudian melipir jauh meninggalkan mereka berempat. Mereka berjalan santai menuju antrian loket masih sepi akan penumpang dari masing-masing maskapai penerbangan. 
            “Omong-omong, uang yang kuberikan pada kalian itu apakah sudah cukup? Aku merasa 350 juta masih kurang sebagai ucapan terimakasih kami untuk kalian. Aku akan menambahkan 150 juta lagi ke rekening kalian.”
            “Dengan senang hati kami menerimanya, Anggara. Omong-omong, berapa yang berhasil kalian dapatkan dari mereka?”
            “Tidak banyak. Nanti kuberitahu setelah kita tiba di tujuan masing-masing.” Semakin cepat mereka berjalan, semakin cepat roda pada tas mereka bergulir di atas lantai marmer.
***
            Pukul 00.39 Mako Brimob dibanjiri darah segar. Mulai dari pos jaga sampai di depan sel. Tumpukan mayat para prajurit TNI dibiarkan bergelimpangan di atas lantai keramik putih. Meski lima orang tentara sudah berjaga di sana, dua pria berkemeja merah tua dan seorang pria bermata sipit berkemeja ungu sudah cukup membuat mereka tak bernyawa. Tiga pria berada di depan sel Haris, Jonas dan Fahnan. Fahnan ditemukan oleh salah satu anggota Densus 88. Lelaki paruh baya itu sedang berusaha bangkit berdiri dengan memegang luka di perutnya. Namun naas,. Ketika ia baru turun dari ruangan pribadinya menuju lantai 1, seorang prajurit menodongkan ujung senapan serbu tepat di kepala.
            “Jangan bergerak! Sekarang putar badanmu ke belakang lalu tangan diangkat!”
            Fahnan hanya bisa menuruti perintah dari prajurit yang berhasil membekuknya.
            Ketiga tiga orang berkemeja itu tentu membuat ketiganya terbeliak kaget. Bisa saja bercampur dengan rasa takut. Jonas melihat sekeliling kalau para tentara jaga sudah ditakhlukan ketiga orang berwajah Tionghoa dan Jepang.
            “Sampah seperti kalian memang perlu dihabisi.” Tanpa menunggu penjelasan dari mereka bertiga, pria berkemeja ungu mengangkat AK-47 sedari tadi dipangkunya lalu diarahkan ke mereka bertiga. Kini sel mereka bertiga dipenuhi lelehan darah panas dan butiran selonsong tercecer di lantai.
            “Selanjutnya apa?”
            “Ya kita sudah bisa pergi dari sini ‘kan?”
            “Bagaimana dengan mereka berempat? Apa perlu kita kirim anak buah untuk mencari mereka secepatnya?”
            “Tidak perlu terburu-buru, Yan Shi. Kita beri mereka waktu satu tahun untuk menghirup kebebasan.”


***

DUAL - 22

Pengampunan
            Begitu keduanya sudah menginjakkan kaki di balkon, Haris mencampakkan tubuh Aretha begitu entengnya ke lantai. Ia menyuruh keponakannya bersimpuh dengan kedua lutut kaki menyentuh permukaan lantai. Kemudian mengikat kedua pergelengan kaki Aretha dengan tali tambang. Ia menggulungkan tali itu hingga perempuan itu meringis nyeri.
            “Kalau begini kau takkan bisa kabur,” ucap Haris sambil mengetatkan ikatan tali sehingga tiada celah untuk lepas.
            Aretha tidak berupaya melawan. Ia membiarkan sang paman melakukan apa yang dia kehendaki. “Paman...”
            Beres dengan urusan mengetatkan tali, Haris menyingkir dari hadapan keponakannya. Ia mencabut sepucuk pistol Glock 20 yang diselipkan di pinggang belakang. “Kenapa? Kau ingin mengucapkan sesuatu?”
            Aretha memutar leher ke belakang, melihat sekilas wajah sang paman. Dalam hatinya ia bertanya-tanya apakah pamannya benar-benar serius melakukan ini kepada keponakan kandungnya. “Sekarang aku tahu apa yang membuat ayah berubah dratis ketika paman datang menjumpai ayah. Tapi entah aku merasa, kau berlebihan, Paman...”
            Mendengar perkataan dari sang keponakan, Haris mendadak naik pitam lalu mencengkeram rambut Aretha, menariknya kuat-kuat ke belakang. “Tahu apa kau tentang ayahmu, anak sialan? Dia itu mencoba menggeser kedudukanku di HOVTA dengan mencari muka pada pimpinan pusat. Dia berhasil menjadi sekretaris karena prestasinya dalam mencari korban. Dia bisa menyugesti calon korban untuk menyetujui kerjasama menjual organ dalam mereka secara sukarela. Walaupun uang hasil kesepakatan seringkali tidak sebanding dengan uang yang diberikan kepada pihak keluarga. Selama bertahun-tahun aku pun aku berusaha mencari cara untuk menyingkirkan ayahmu, Aretha.”
            “Tapi kenapa kau mesti menyingkirkan Ibu dan Kakakku Arsyad? Kenapa kau tega  menghabisi mereka?”
            “Aku mengantisipasi saja agar mereka tidak macam-macam mencurigaiku.”
            “Jadi maksud Paman, Kak Arsyad dan Ibu sudah tahu pekerjaan ayah?”
            “Kalau itu aku tidak tahu pasti. Tapi aku punya firasat kalau ibumu tahu pekerjaan haram kami berdua. Ya jadi kusingkirkan saja. Kalau untuk kakakmu, anggap saja aku terlalu menikmatinya. Hahaha terlalu menikmatinya.” Tawa bengis berderai dari mulut Haris. Aretha tidak bisa menahan gejolak amarah yang menuntut untuk dikeluarkan.
            “Jaga mulutmu, Bajingan! Kau memang tidak pantas untuk hidup di dunia ini—”
            “Kau juga tidak pantas hidup di dunia ini, Keponakanku. Kau pikir kau ini siapa sekarang? Malaikat? Kau sama sepertiku, seorang pembunuh!” Haris memberikan penekanan lebih kuat pada kata ‘pembunuh’.   
            “Jadi jangan merasa sok suci, Nak. Tempatmu dan tempatku sama di akhirat nanti yakni di neraka. Nah kau sudah tahu ‘kan siapa yang membunuh keluargamu, sekarang, aku akan segera mempertemukanmu dengan mereka bertiga. Aku yakin mereka sudah terlalu lama menunggumu.” Haris mengangkat pistol lalu menempelkann ujung pistol tepat di tempurung kepala belakang. Pada akhirnya Aretha mulai menemukan titik balik dalam hidupnya. Bila Selama hidupnya dirinya selalu membunuh banyak orang, maka sekarang yang dia terima adalah kematian atas dasar pembunuhan. Mungkin lebih baik kalau dirinya lebih cepat berjumpa dengan ayah, ibu dan Arsyad di alam baka. Bila terus melanjutkan hidup di dunia ini, cepat atau lambat dirinya akan tertangkap polisi. Dan hukuman setimpal untuk menebus semua perbuatannya adalah hukuman mati.
            “Baiklah...Selamat tinggal dunia... selamat tinggal, Alvaro... aku... mencintaimu...,” lirih Aretha sambil berurai air mata mengucapkan kata terakhir sebelum pamannya akan mencabut hak hidupnya di dunia.
            Pintu masuk balkon terbuka secara tiba-tiba. Keitka pintu tersingkap lebar, sosok lelaki berpostur sedang, berlari sambil menabrakkan diri ke arah Haris. Lelaki paruh baya itu jatuh tersungkur begitu mendapat serangan kejutan. Pistol yang dipegang Haris terlempar jauh. Alvaro berusaha menjangkau batang leher dengan kedua tangannya yang masih menggigil. Haris menggunkan tongkat besi yang dipegangnya untuk menahan gerakan tangan pemuda itu.
            “Bagaimana mungkin kau bisa sampai ke sini?!”
            Alvaro tidak menggubris pertanyaan dari Haris. Ia masih berusaha menjangkau leher lelaki paruh baya itu. Meski berusaha melawan, Alvaro merasakan kesulitan melakukan perlawanan karena peluru beracun itu masih bersarang di dalam pergelangan tangannya. Melihat lawannya lengah, Haris memberikan serangan balasan dengan memberikan dorongan lebih kuat pada tongkat besi. Alhasil serangan itu membuat Alvaro terjungkal. Ini dimanfaatkan Haris dengan menendang dan menginjak perut serta memukuli badannya dengan tongkat besi.
            Haris masih belum puas menyaksikan penderitaan Alvaro. Lelaki itu melihat sekilas bekas luka tembak di bagian bahu kelihatan masih baru. Ia menginjak bahu Alvaro hingga membuatnya berteriak kencang tak mampu menahan nyeri di bahu.   
            “Arrrrggghhhh!” pekiknya sekuat tenaga.
            “Alvaro!” jerit Aretha menyaksikan rekannya menderita.
            Alvaro tidak bisa bergerak lebih leluasa lagi. Rasa sakit dan nyeri luar bisa di sekujur tubuhnya membuat dirinya terbatas dalam pergerakan. Melihat lawannya tak berdaya, Haris berpaling dari hadapan Alvaro lalu memungut pistol yang sempat terlepas dari genggamannya.
            “Maaf sudah membuatmu menunggu. Langsung saja ya.” Haris kembali menempelkan ujung pistol di tempurung kepala keponakannya.
            Lelaki paruh baya itu memekik kecil ketika benda keras mengenai punggung tangannya. Ia melirik sekilas benda macam apa yang mengenai tangannya.
            Tu-tulang manusia?!
            Pandangan mata Haris beralih pada sosok wanita bertubuh kurus berkulit sawo matang berdiri dekat pintu balkon. Baru saja mengenali siapa wanita yang melemparkan tulang manusia padanya, Alvaro melakukan serangan dengan menggunakan kekuatan bahu untuk menjatuhkan lawan. Haris yang tidak siap siaga, kembali terlempar dengan serangan yang sama. Punggung dan kepalanya menubruk lantai balkon.
            Alvaro langsung menduduki perut Haris kemudian melancarkan bogem mentah bertubi-tubi tanpa memberi kesempatan bernapas bahkan untuk mengangkat pistolnya. Ia memusatkan seluruh energi negatif dan penderitaannya lewat pukulannya. Deru napas Haris mulai tersendat-sendat. Lelehan darah meluncur pelan-pelan dari lubang hidungnya. Lecet dan memar menghiasi wajah lelaki yang masih menyisakan sisa ketampanan masa mudanya.
            Melihat Alvaro terus menghajar paman, Aretha menghampiri Alvaro sambil menahan laju pukulannya. “Hentikan Alvaro, tolong hentikan!” Laju kepalan tangan Alvaro berhenti mendadak, hampir saja mendarat di pipi paman Aretha.
            “Kenapa? Bukankah orang ini sudah mengancurkan hidupmu, Arteha? Dia sudah merenggut apa yang seharusnya masih kau miliki sampat saat ini, Aretha! Jangan bilang kau mau mengampuninya secara cuma-cuma?” respon Alvaro.
            Aretha memandang sekilas wajah pamannya seraya mencari hal-hal baik yang bisa dijadikan alasan untuk mengampuni pamannya. Ia masih bisa mendengar dengus napas sang paman terdengar begitu berat. “Sebenarnya aku masih belum mendapatkan alasan tepat untuk mengampuni pamanku. Tapi yang pasti, setelah semua ini selesai, aku mau mencoba hidup normal, Alvaro. Aku tidak mau membunuh satu orang pun lagi termasuk membunuh orang yang jelas-jelas sudah menghabisi keluargaku sekalipun. Aku sebenarnya sudah puas melihat wajah pamanku. Pamanku yang kukenal dulu, suka membawakanku boneka mainan dan tidak jarang memberiku uang jajan. Ternyata dia sehat walafiat.” Aretha mengembangkan sebuah senyuman dari bibir tipisnya.
            Alvaro terkesima melihat senyuman manis yang ditorehkan gadis berumur 24 tahun itu. Mungkin ini baru pertama kali dalam seumur hidupnya, dia melihat rekannya bisa tersenyum semanis itu. “Lalu apa yang kau mau lakukan?”
            “Biarkan dia hidup.”
            “Kau yakin?” tanya Alvaro yang tidak yakin dengan pernyataan rekannya.
            “Aku yakin, meskipun kejahatan yang kulakukan takkan mudah diampuni begitu saja. Dan mungkin, kejahatan yang kulakukan sama bejadnya dengan pamanku.” Mendengar pernyataan yang diungkapkan rekannya, Alvaro mengangkat pantatnya dari perut Haris. Akan tetapi sebelum lebih jauh, Alvaro mengikatkan pergelangan tangan dan kakinya lalu mengambil pistol tergeletak tak jauh dari tempat Haris diikat.
            “Kau tak bisa lari ke mana-mana, Aretha! Mereka akan mengejarmu apabila bisnis mereka terungkap sampai ke ruang publik. Ingat... mereka tidak akan mengampunimu.” Sorot mata paman Haris menjadi lebih dingin dan lebih tajam. Sebelum menuju Aretha, Alvaro memungut pistol milik Haris.
            Keitka keduanya menuju ke tempat Fiolina berdiri, dari belakang mereka, Anggara keluar dari ruang penyortiran. Lelaki itu tertatih-tatih sambil menyeret tungkai kanannya. Ia menampakkan diri pada mereka bertiga dengan wajah bengkak di pipi dan kening, darah di kedua hidungnya juga masih belum mengering.
            “Kita harus pergi secepatnya dari sini. Aku merasa firasat buruk kalau kita berlama-lama di sini,” ucap Anggara. Fiolina mendapati salah satu dari gigi rekannya hilang satu. Anggara hampir saja kehilangan keseimbangan saat telapak tangannya tak punya daya lagi menjadikan dinding sebagai pegangannya. Fiolina sigap memapah rekannya yang hampir rubuh.
            “Kita lewat tangga darurat saja. Kau tahu ‘kan, Fiolina, kalau apartemen ini terhubung dengan saluran pembuangan?” Fiolina mengangguk tegas.
            “Anggara...,” panggil Alvaro.
            “Apa?”
            “Apakah... perjanjian yang kita sepakati masih tetap—“
            “Kita bicarakan nanti setelah kita lolos dari sini.” Mereka berempat mempercepat langkah kaki begitu daun telinga mereka mendengar suara derap sepatu menghentak-entak lantai atas.
***
            Sudah sejam lebih Ipda Eddu Afrianto dan Aiptu Sary meninggalkan markas HOVTA. Ia dan rekannya ditemukan salah satu pasukan Densus 88 sedang dalam keadaan kritis. Timah panas menembus bagian bahu dan kedua pahanya. Seluruh badan dan bibir menggigil tak karuan. Perwira polisi itu menyilangkan kedua tangan sambil menggenggam keras pundaknya. Tapi malang bagi Aipda Sarry. Peluru beracun milik Setno tepat mengenai bagian dada kanan. Racun bekerja secara cepat menghentikan fungsi paru-paru dan jantung. Dalam waktu kurang lebih sepuluh menit tanpa pertolongan medis, nyawa sang Aiptu tak bisa diselamatkan.
            Belum lagi menghadapi kemungkinan kalau dia akan dipecat secara tidak hormat oleh atasannya, Kompol Budi Widjajanto dengan pelanggaran membentuk pasukan komando tanpa izin dan perintah atasan. Juga pertanggungjawaban atas kematian rekannya, Aipda Sarry Sustina.
            Jika aku bertemu dengan mereka sekali, aku pastikan mereka akan merasakan akibatnya...,ucap batin Ipda Eddu sambil menoleh ke arah jenazah Aipda Sarry mulai tampak membiru. Lelaki itu tidak bisa menahan kesedihan lebih lama hingga secara tak sadar air matanya meluruh perlahan.

Friday, 7 December 2018

DUAL - 21


Penghabisan
            Jonas sudah lama menjadi penghuni rumah sakit jiwa Sehati Bersama. Di antara semua pasien rumah sakit, dirinya adalah pasien termuda. Ia tinggal dalam sebuah ruangan mirip sebuah sel berukuran 3x4 meter. Ia ditempatkan seorang diri di sana. Diasingkan dengan pasien-pasen lain. Menurut catatan terakhir yang miliki rumah sakit, anak itu punya kecenderungan suka menyakiti orang lain. Ketika masih kecil, Jonas pernah secara sengaja mendorong anak pamannya yang berusia 4 tahun ke dalam selokan. Bukannya meminta maaf atau merasa menyesal, ia bilang ‘aku cuma mendorongnya pelan kok. Adik itu aja yang lebay.’.
            Bukan cuma perilaku kejam tanpa belas kasihan, Jonas punya kebiasaan menyakiti diri sendiri. Luka yang membakar dua jari kirinya diakibatkan karena rasa gatal yang menurutnya susah hilang. Dengan alasan menghilangkan rasa gatal, Jonas menekan kenop kompor gas lalu meletakkan dua jari kirinya di atas kobaran api biru. Hingga kedua jarinya menguar bau seperti daging gosong.
            Kini dirinya sudah berada sepuluh tahun di dalam sel. Ia sudah berada di ujung titik bosan. Ia ingin menghirup udara bebas di luar sana. Sampai dengan umurnya tujuh belas tahun, ia sudah merencanakan dengan matang usaha melarikan diri dari tempat terkutuk itu.
            Ketika seorang perawat membawa ember untuk mengumpulkan pakaian bekas, Jonas membuka baju dan celananya di depan sang perawat. Lelaki itu tahu kalau dirinya begitu tampan. Perawat yang di depannya juga orang yang genit. Ia berusaha melakukan gerakan-gerakan pengundang hawa nafsu sambil membisikkan kata-kata erotis padanya. Tak bisa menahan gejolak birahi mulai menggedor-gedor akal sehat, sang perawat membuka kunci pintu sel itu kemudian menghampiri Jonas dalam posisi siap bercumbu.
            Ketika sang perawat asyik bercumbu dengan dirinya, Jonas sudah mempersiapkan obeng yang diletakkan di bawah tikar yang melapisi ranjangnya. Lelaki itu langsung menghunjamkan dengan cepat obeng bermata lancip ke batang leher sang perawat. Jonas menyumbat suara teriakan sang perawat dengan dua gulung celana dalam bekas pakai miliknya. Ia terus menusukkan obeng berkali-kali sampai sang perawat tidak lagi bersuara. Ketika sang perawat benar-benar tak bernyawa, Jonas meletakkan mayat sang perawat di bawah tikar ranjangnya ditutupi dengan gundukan pakaian bekas. Ia menggenggam kunci yang digunakan sang suster untuk membuka pintu sel. Ia menyembulkan sedikit kepalanya mengamati situasi sekitar. Suasana sekitaran koridor 2 terlihat sepi. Jonas memanfaatkan kesempatan itu untuk berlari sekencang mungkin menuju tembok Barat rumah sakit jiwa Sehati Bersama.
            Sebelum memanjat tembok, lelaki itu mendengar suara keributa di sel khususnya. Kelihatannya mereka sempat mendengar rintihan kesakitan dari selnya. Keributan makin pecah ketika petugas medis menemukan jenazah seorang rekan mereka dilapisi tikar. Jonas dengan sigap mendarat ke permukaan tanah setelah melompat dari atas tembok setinggi 3 meter.
            Jonas berlari tanpa arah. Yang pasti jangan sampai para petugas rumah sakit menangkapnya dan mengembalikan dirinya ke sana. Lelaki itu tersenyum sumringah. Ia menarik napas sedalam mungkin sambil dibuang dalam satu helaan napas besar.
            Inikah namanya kebebasan? Nikmat sekali.
            Sudah setengah jam lebih Jonas meninggalkan rumah sakit. Satu masalah sudah terselesaikan tapi datang satu masalah lain. Ia mendengaar suara gemuruh dari dalam perutnya. Jonas mengamati sekelilingnya. Lelaki berkulit putih itu melihat tukang cilok dikerubuti anak-anak kecil. Dirinya ingin membeli cilok akan tetapi ia tidak membawa uang. Timbul niat hati mengambil cilok yang sedang dipegang seorang anak kecil berbaju Mickey Mouse.
            “Jangan mengambil punyanya. Ini untukmu.” Seorang lelaki menahan pundak Jonas sambil menyodorkan sebungkus cilok padanya.
            “Siapa kau? Kau mau apa? Dan apa urusanmu padaku?” Jonas menyingkirkan sentuhan tangan pria asing itu dar pundaknya sambil memasang sikap waspada.
            Si pria misterius itu hanya tersenyum kecil sambil berkata, “Kalau kau amblil punya anak itu, kau akan mengundang keributan dan membuat orang-orang dari RSJ itu menuju kemari.”
             Jonas tersentak kaget mendengar perkataan si pria itu. Entah darimana lelaki itu bisa tahu kalau dirinya memang sedang dicari petugas RSJ itu. “Jadi mereka masih mencariku?”
            Pria itu mengangguk dua kali lalu membalas, “Lebih baik kau pegang cilok ini dan ikut denganku.”
            Jonas tak langsung menuruti perintah dari lelaki itu. Ia memang sudah memegang sebungkus cilok dibungkus dalam plastik kresek tapi ia masih berdiri dari berpikir bila lelaki asing di depannya mencurigakan.
            “Apa yang membuat aku bisa percaya padamu?” tanya Jonas penuh prasangka.
            “Jika kau bersamaku tidak akan ada satu orang yang seenaknya mengusikmu. Dan kau bebas menghabisi orang lain tanpa harus merasa menyesal.”
***
            Anggara melepaskan pukulan telak di pipi Jonas. Sedari tadi, Anggara sudah menunggu saat-saat tepat ketika lelaki bertampang seperti orang Jepang itu lengah. Ia membiarkan tubuhnya menjadi samsak tinju Jonas. Tangan lelaki berkulit kuning langsat itu  berpura-pura seperti dirantai tapi telapak tangan kanannya menutupi gembok yang tidak terkunci lagi. Ketika Jonas tidak memegang sesuatu apapun dan mulai mendekatinya, Anggara melakukan perlawanan dengan menyundul bagian dagu Jonas secara cepat.
            Sundulan maut Anggara di dagu Jonas membuat lelaki itu jatuh terjengkang. Lelaki berkulit putih itu memanfaatkan kesempatan dengan cepat-cepat melepaskan gembok yang membelenggu tangan Fiolina. Setelah Fiolina bebas, Anggara beralih pada Aretha yang masih disekap di kursi.
            “Tidak semudah itu, Ferguso!” Jonas melakukan serangan balik dengan menjepit pergelangan kaki Anggara hingga membuatnya ikut terjatuh. Melihat temannya dalam bahaya Fiolina ingin menghentikan pernapasan Jonas dengan cara memiting lehernya.
            Melihat kondisi di ruangan itu semakin tidak kondusif, Haris memutuskan membawa tawanannya ke balkon teratas, lantai 22. Lelaki paruh baya itu menyerahkan urusan Anggara dan Fiolina pada salah satu anak buah kepercayaannya.
            “Hei kau, berdiri. Ayo cepat berdiri!” paksa Haris sambil memukulkan tongkat besi pada Aretha.
            Aretha memandang nanar pada Haris. Lelaki berusia 52 tahun itu geram dengan sikap membangkang keponakannya. Dengan wajah geram dan kesal, Haris menampar berulang kali wajah Aretha hingga gadis itu menitikkan airmata.
            “Jangan membangkang atau kamu mau kalau kekasihmu itu saya bunuh?! Saya tinggal panggil anak buah saya dan sedetik saja dia lenyap!” Mendengar bahwa Alvaro akan terancam Aretha berdiri sambil berjalan ogah-ogahan. Haris yang tidak sabaran, mendorong-dorong badan keponakannya agar dia berjalan lebih cepat.
            Di sisi lain, Jonas mulai membalik keadaan. Lelaki berkulit putih itu berhasil mencengkeram wajah Fiolina dan menutup lubang hidung dan mulutnya. Lambat laun pitingan Fiolina perlahan mengendur. Jonas memutar badannya 180 derajat secara cepat kedua tangannya mencekik leher Fiolina.
            “Kau adalah orang kedua yang harus kuhabisi setelah si pelacur Chyntia!” ucap Jonas penuh dendam. Meskipun badan Jonas kurus, tetapi tenaganya cukup kuat untuk membuat Fiolina megap-megap kesulitan bernapas. Anggara yang dari tadi melancarkan pukulan dan tendangan cuma bisa keheranan sekaligus takut. Dalam hatinya ia bertanya-tanya apakah Jonas itu manusia atau jelmaan monster.
            Anggara menggerakkan kedua bola matanya cepat dan liar, mencari sesuatu yang lebih keras daripada pukulan tangannya. Sorot matanya tertuju pada sebuah balok kayu berukuran dua kali lengan orang dewasa dan sebuah gelas bergagang. Ketika lelaki berkulit putih itu menghantamkan balok kayu pada tengkuk Jonas, si lelaki berkulit pucat itu melonggarkan cengkeraman tangannya. Belum selesai, Anggara lagi menghantamkan gelas bergagang itu ke kepalanya.
            Jonas jatuh tersimpuh di atas lantai. Ia memegangi kepalanya yang mengucurkan darah segar. Lelaki berkulit pucat itu masih bersimpuh di lantai. Anggara masih menunggu apakah Jonas cuma berpura-pura tak sadarkan diri dan mencari celah untuk menyerang. Ternyata tebakannya salah. Jonas bangkit pelan-pelan sambil memegangi kepalanya yang bocor. Namun di tangan kanan memegang sebuah rantai besi berukuran sedang.
            “Kupikir kau sudah mati,” duga Anggara.
            “Untuk menghabisi para keparat seperti kalian berdua, aku memang tidak boleh mati begitu saja.”
            Tanpa babibu Jonas mengarahkan lantai ke bagian ulu hati. Anggara yang kurang persiapan, mengaduh kesakitan memegangi perut sebelah kanan. Jonas menghantamkan bogem mentah ke pipi sebelah kanan. Anggara yang tidak mau tumbang begitu saja, mencengkeram pinggang Jonas kemudian membanting tubuh kurus rekannya dengan menolakkan kedua kakinya lalu menubrukkan badan ke lantai.
            Teknik bantingan itu cukup membuat Jonas mengerang kesakitan tapi belum cukup untuk membuatnya menyerah. Jonas yang tak mau kalah, melemparkan rantai besi ke kiri lalu mengetatkan lilitan rantai di leher Anggara. Lelaki berpostur sedang merasa kalau peredaran darah di leher mulai terhambat. Deru napas tersengal-sengal. Raut wajah memerah padam. Sementara itu Jonas mulai terkekeh sampai mengeluarkan tawa senang.
            Anggara sadar kalau dirinya berada dalam kondisi terancam. Meskipun kedua tangan turut mencengkeram leher Jonas, itu masih belum sebanding dengan kekuatan belengguan rantai di batang lehernya. Anggara harus berpikir cepat di tengah kesesakan luar bisa yang menyerang pari-parunya.
            Si lelaki berpostur sedang melepaskan kedua tangannya dari leher Jonas lalu menubrukkan keningnya ke hidung si lelaki kurus itu berkali-kali. Jonas terkejut menerima serangan kening Anggara bertubi-tubi hingga membuatnya batang hidungnya ngilu. Jonas refleks mengendorkan belengguan rantai itu dari leher Anggara. Si lelaki itu mundur dari hadapan Jonas.
            Jonas berusaha bangkit berdiri meski dirinya sudah mulai terhuyung-huyung. Ia menyeka tetesan darah yang keluar dari hidung menggunakan tangan. Anggara yakin kalau pukulan dahi tadi membuat tulang hidung rekannya patah. Jonas membiarkan sisa-sisa darah keluar dari hidungnya. Ia tetap berdiri sambil menggulungkan rantai besi pada kedua punggung dan telapak tangan.
            “Apa kau yakin masih bisa melanjutkan ini? Kau sudah terluka cukup parah,” ujar Anggara. Walaupun ia membenci Jonas tetapi melihat kondisi sang rekan yang cukup mengenaskan timbul rasa kasihan dalam dirinya. Wajah pucat Jonas semakin menyeramkan ketika ia dalam kondisi kehilangan banyak darah.
            “Aku tidak butuh belas kasihanmu, Bajingan! Aku sudah lama membencimu sejak kau masuk ke organisasi ini! Kepala pimpinan selalu memberikanmu tugas-tugas istimewa dibandingkan denganku. Tapi aku berkeyakinan kalau kalian berdua tidak lebih dari para pengkhianat yang coba menghancurkan organisasi ini. DAN AKU BERSUMPAH, AKAN MENGHABISI KALIAN SEMUA DI SINI!!!” Sumpah serapah berbalut dengan amarah berapi-api terlontar dari mulutnya.
            Jonas mengibaskan rantai besi itu ke lantai beberapa kali membuat suara tumbukan keras. Sementara itu Anggara sudah menyiapkan kuda-kuda dengan melebarkan kedua kakinya sebahu lalu kepalan tangan kanan menghadap Jonas.
            “Kali ini aku akan serius menghadapimu, Anggara. Bisa jadi ini yang terakhir. Aku tidak akan membiarkanmu keluar dari ruangan ini hidup-hidup.”
***
            Fiolina masih berada di ruang pribadi sang kepala pimpinan. Ia memanfaatkan kesempatan ketika Jonas sedang panas-panasnya berlaga dengan Anggara. Akan tetapi Anggara pun memberikan kode dengan mengibaskan keempat jarinya ke arah pintu secara cepat. Ia sibuk mengacak-acaki lemari berkas guna mencari kunci cadangan untuk membuka pintu menuju lantai balkon. Kepala pimpinan dan Aretha sedang berada di sana. Entah apa yang dilakukan mereka berdua di sana tetapi Fiolina mempunyai firasat buruk mengenai keduanya.
            Di tempat lain, Alvaro  tertatih-tatih menyusuri lantai 20. Ia harus menempuh dua lantai lagi agar sampai ke lantai balkon. Meski gemetar dan gigilan di tubuhnya masih belum hilang, ia tetap berusaha berjalan. Sepanjang penelusurannya, tidak terhitung sudah berapa kali dirinya jatuh dan sudah berapa kali hatinya bilang untuk berhenti saja.
            Tidak! Aku tidak mau berhenti! Sedikit lagi! Sedikit lagi! Alvaro mencoba membakar ulang semangat dirinya yang sempat pula padam.