Friday, 29 December 2017

The Beauty Symphony - 2



Riky
            Dua tahun lalu...
            Terbentuknya The Beauty Symphony punya keunikan dan sejarah tersendiri bagi keempat lelaki ini. Meski mereka berempat berkuliah di Universitas Mensenno, tapi keempat lelaki itu beda jurusan. Aldo dan Fidel merupakan mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Riky, mahasiswa jurusan Pendidikan Ekonomi dan Jimmy, mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia.
            Bisa dikatakan ada kekuatan tak kasat mata mempertemukan mereka berempat. Sebelum mengenal Riky dan Jimmy, Aldo dan Fidel adalah dua sahabat akrab. Kedua lelaki itu juga satu kontrakan dan satu grup di jurusan yang sama. Mungkin, hal inilah yang membuat mereka selalu dekat.
            Aldo dan Fidel sama-sama menyukai musik. Para penghuni kampus pun tahu kalau Vinno merupakan sang juara satu kontes menyanyi, Mensenno Idol. Fidel sendiri pun merupakan partner Aldo dalam hal olah vokal dan musik.
            Jika jadwal kuliah dan tugas dari dosen tidak padat, mereka berdua selalu membawa gitar dan bernyanyi di taman kampus. Hal lazim ketika mereka akan menyanyi, orang-orang ikut bergabung dan bernyanyi dengan mereka. Bagi mereka berdua itu bukanlah masalah. Ini merupakan usaha menjalin keakraban dengan anak-anak dari jurusan lain sekaligus menambah jaringan pertemanan.
            Ada kalanya kedua lelaki itu bosan dengan suasana kampus. Kontrakan di jalan Ismar Saragih menjadi tempat tongkrongan mereka. Suasana di sekitar kontrakan mereka begitu tenang. Tidak terlalu banyak lalu lalang kendaraan lewat dan para pejalan kaki di sana. Suasana di sekitar mereka memang cocok jadi tempat menenangkan diri ataupun jika ingin belajar secara khusyuk.
            “Eh, Bro, ayo kita bentuk band. Gua bosan nih berduet sama loe terus,” ujar Fidel sambil meletakkan gitar yang dipegangnya di atas lantai ubin.
            Loe pikir bentuk band gampang?” Susah tahu cari orang yang sehati dan sepikiran dengan kita. Lagipula elo enggak apa ingat sama Djarot dan Anton?” jawab Aldo sambil melangkah menuju dispenser.
            “Kalau mereka mah enggak usah dibahas lagi. Mereka itu cuma mau menonjolkan kelebihan diri mereka sendiri. Oh ya, Do, kemarin elo lihat enggak dua laki-laki yang satu putih, kurus, tinggi dan satu lagi, kulitnya sawo matang agak gemuk. Main gitar sama kajon di taman kampus?” Fidel bangkit berdiri sambil mendaratkan pantat, duduk di atas meja belajar.
            Aldo meneguk segelas air yang ada di tangan terlebih dulu sebelum menjawab pertanyaan Fidel.
            “Hmm, oh ya. Gua juga lihat kok. Kalau yang kurus, putih, tinggi, itu anak pendidikan ekonomi. Kalau yang satu lagi, gua kurang kenal,” ujar Aldo sambil meletakkan gelas di atas meja belajar.
            “Kira-kira mereka mau nggak ya gabung sama kita?” Fidel ragu.
            “Ya kita jumpai saja mereka besok. Di tempat biasa mereka nongkrong.” Aldo mengeluarkan ponsel sambil membuka salah satu aplikasi media sosial.
            “Elo tahu tempat biasa mereka nongkrong di kampus ini?” tanya Fidel memastikan.
            “Di kantin gerbang kedua.”
*
            Cuma dua mata kuliah saja di hari ini. Tapi lelah menguras begitu banyak tenaga dan konsentrasi. Gedung perkuliahan mereka berada di tingkat tiga ditambah puluhan anak tangga yang harus mereka lalui untuk sampai di lantai dasar. Membuat otot-otot di betis mereka berkontrasi.
            “Ah naik betis gua turunin tangga ini. Kampus ini seharusnya bisa bikin lift,” keluh Fidel sambil memijit pelan betisnya.
            “Sudahlah, santai aja. Sudah mau sampai kok di kantin gerbang kedua. Jaraknya tinggal 250 meter lagi dari lantai dasar,” ujar Aldo sambil mengambil botol minuman kemudian meneguknya.
            Merasa akan tiba di tempat tujuan, Fidel berusaha sabar sambil menunggu Aldo menyimpan botol minuman ke dalam tas. Begitu sudah tersimpan, kedua lelaki itu melanjutkan perjalanan mereka.
            Kantin gerbang kedua merupakan kantin nomor dua yang sering ramai menjadi tongkrongan anak kampus. Di samping itu, kanting gerbang kedua juga punya reputasi kurang baik. Kantin itu sering menjadi tempatnya mahasiswa cabut di mata kuliah tertentu atau mahasiswa yang sering titip absen.
            Langkah kedua kaki lelaki itu sudah tiba di depan kantin gerbang kedua. Material bangunan kantin tersusun atas kayu kelapa dan beratapkan seng biasa. Tidak terlalu menarik dan terkesan mewah seperti kantin gerbang ketiga dan pertama. Keduanya bisa melihat banyak mahasiswa sekadar menghabiskan waktu sambil menikmati gulungan tembakau yang berpijar. Empat orang mahasiswa sedang mengerahkan konsentrasi menjalankan pion-pion hitam dan putih di atas papan catur. Tapi yang paling menarik perhatian Aldo dan Fidel yakni seorang laki-laki berkulit sawo matang agak gemuk memainkan melodi pada gitar akustik.
            “Ini ‘kan salah satu laki-laki yang kita jumpai di taman mini kampus kemarin?” Aldo memastikan apa yang dia lihat pada Fidel.
            “Mana gua tahu. ‘Kan elo yang bilang kalau dia sering nongkrong di kantin ini,” ketus Fidel. Kedua lelaki itu melangkah pelan memasuki kantin.
            Tidak ada yang mempedulikan keributan kecil yang mereka berdua lakukan. Penghuni kantin tetap berkonsentrasi dengan apa yang mereka lakukan. Tidak butuh waktu lama, kedua lelaki itu sudah berada di meja yang ditempati lelaki berkulit sawo matang itu.
            “Bang...,” sapa Aldo agak segan.
            Aldo memutar bola matanya pada Fidel seperti ingin mengatakan ‘dia tuli atau kita lagi dikacangin sama ini anak?’ lalu mengembalikan pandangan pada orang yang berada di depannya.
            “Kalau boleh tahu, Abang yang main gitar sama kajon di taman mini kampus itu ‘kan?” giliran Fidel bertanya pada laki-laki itu.
            Lelaki itu berhenti memainkan gitarnya sambil mendongakkan kepala. “Iya. Omong-omong kalian berdua siapa ya? Anak kampus Mensenno ini ‘kan?”
            “Ya, Bang. Kami dari prodi pendidikan bahasa Inggris stambuk 2014.” Aldo terlebih dahulu menjulurkan tangannya kemudian disusul Fidel.
            “Riky. Jadi, ada perlu apa datang ke sini?” Usai Vino dan Fidel berjabatan tangan, lelaki itu baru menyebutkan nama sekaligus bertanya apa keperluan mereka datang menjumpainya.
            “Kemarin, kami lihat Abang bermain gitar di taman mini. Kami juga terkesan dengan permainan gitar dari Abang dan teman Abang yang satu lagi. Langsung saja ke inti. Abang mau bergabung dengan band kami?” urai Aldo panjang lebar. Ia berharap dalam hati Riky akan merespon positif tawaran darinya.
            Riky merespon tawaran mereka dengan tertawa keras. Seluruh penghuni kantin melirik padanya. Entah apa yang membuat Riky tertawa. Apa karena tampang mereka tidak meyakinkan kalau mereka pandai musik. Atau ada salah kata yang diucapkan Aldo. Tapi begitu Riky tertawa, Fidel sudah menggenggam tangannya tak sabar ingin meninju wajah Riky.
            “Aku belum tahu bagaimana kemampuan kalian dalam bermusik. Aku belum mempercayai kalian. Aku juga butuh waktu untuk mengenal kalian lebih jauh. Jadi maaf, aku belum bisa bergabung dengan kalian.” Riky menggelengkan kepala guna memperkuat pernyataan yang diungkapkan untuk mereka berdua.
            Mendengarkan alasan Riky, tanpa banyak kata, Aldo dan Fidel mengundurkan diri dari hadapan Riky.
            “Terimakasih ya, Bang.” Fidel memilih mengucapkan kata itu, menutupi kekesalannya pada Riky.
            “Oh ya, aku hampir lupa. Aku juga satu stambuk dengan kalian. Jadi tidak usah memanggilku abang. Dan laki-laki yang bermain kajon itu namanya Jimmy. Anak dari prodi bahasa Indonesia. Coba tanya sama dia. Siapa tahu dia mau bergabung dengan kalian,” ujar Riky terakhir kali sambil kembali memainkan gitarnya.

No comments:

Post a Comment