Riky
Dua
tahun lalu...
Terbentuknya The Beauty Symphony
punya keunikan dan sejarah tersendiri bagi keempat lelaki ini. Meski mereka
berempat berkuliah di Universitas Mensenno, tapi keempat lelaki itu beda
jurusan. Aldo dan Fidel merupakan
mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Riky, mahasiswa jurusan Pendidikan
Ekonomi dan Jimmy, mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia.
Bisa dikatakan ada kekuatan tak
kasat mata mempertemukan mereka berempat. Sebelum mengenal Riky dan Jimmy, Aldo dan Fidel adalah dua sahabat akrab. Kedua lelaki
itu juga satu kontrakan dan satu grup di jurusan yang sama. Mungkin, hal inilah
yang membuat mereka selalu dekat.
Aldo dan Fidel sama-sama menyukai musik. Para penghuni
kampus pun tahu kalau Vinno merupakan sang juara satu kontes menyanyi, Mensenno
Idol. Fidel sendiri pun merupakan partner Aldo dalam hal olah vokal dan musik.
Jika jadwal kuliah dan tugas dari
dosen tidak padat, mereka berdua selalu membawa gitar dan bernyanyi di taman
kampus. Hal lazim ketika mereka akan menyanyi, orang-orang ikut bergabung dan
bernyanyi dengan mereka. Bagi mereka berdua itu bukanlah masalah. Ini merupakan
usaha menjalin keakraban dengan anak-anak dari jurusan
lain sekaligus menambah jaringan pertemanan.
Ada kalanya kedua lelaki itu bosan
dengan suasana kampus. Kontrakan di jalan Ismar Saragih menjadi tempat tongkrongan
mereka. Suasana di sekitar kontrakan mereka begitu tenang. Tidak terlalu banyak
lalu lalang kendaraan lewat dan para pejalan kaki di sana. Suasana di sekitar
mereka memang cocok jadi tempat menenangkan diri ataupun jika ingin belajar
secara khusyuk.
“Eh, Bro, ayo kita bentuk band. Gua bosan nih berduet
sama loe terus,” ujar Fidel sambil
meletakkan gitar yang dipegangnya di atas lantai ubin.
“Loe
pikir bentuk band gampang?” Susah
tahu cari orang yang sehati dan sepikiran dengan kita. Lagipula elo enggak apa
ingat sama Djarot dan Anton?” jawab Aldo sambil melangkah menuju dispenser.
“Kalau mereka mah enggak usah dibahas
lagi. Mereka itu cuma mau menonjolkan kelebihan diri mereka sendiri. Oh ya, Do, kemarin elo
lihat enggak dua laki-laki yang satu putih, kurus, tinggi dan satu lagi, kulitnya
sawo matang agak gemuk. Main gitar sama kajon di taman kampus?” Fidel bangkit
berdiri sambil mendaratkan pantat, duduk di atas meja belajar.
Aldo meneguk segelas air yang ada di tangan terlebih
dulu sebelum menjawab pertanyaan Fidel.
“Hmm, oh ya. Gua juga lihat kok. Kalau yang kurus, putih, tinggi, itu anak
pendidikan ekonomi. Kalau yang satu lagi, gua kurang kenal,” ujar Aldo sambil meletakkan gelas di atas meja belajar.
“Kira-kira mereka mau nggak ya gabung
sama kita?” Fidel ragu.
“Ya kita jumpai saja mereka besok.
Di tempat biasa mereka nongkrong.” Aldo mengeluarkan ponsel sambil membuka salah satu aplikasi media sosial.
“Elo tahu tempat biasa mereka
nongkrong di kampus ini?” tanya Fidel memastikan.
“Di kantin gerbang kedua.”
*
Cuma dua mata kuliah saja di hari
ini. Tapi lelah menguras begitu banyak tenaga dan konsentrasi. Gedung
perkuliahan mereka berada di tingkat tiga ditambah puluhan anak tangga yang
harus mereka lalui untuk sampai di lantai dasar. Membuat otot-otot di betis
mereka berkontrasi.
“Ah naik betis gua turunin tangga
ini. Kampus ini seharusnya bisa bikin lift,” keluh Fidel sambil memijit pelan
betisnya.
“Sudahlah, santai aja. Sudah mau
sampai kok di kantin gerbang kedua. Jaraknya tinggal 250 meter lagi dari lantai
dasar,” ujar Aldo sambil mengambil botol
minuman kemudian meneguknya.
Merasa akan tiba di tempat tujuan,
Fidel berusaha sabar sambil menunggu Aldo menyimpan botol
minuman ke dalam tas. Begitu sudah tersimpan, kedua lelaki itu melanjutkan
perjalanan mereka.
Kantin gerbang kedua merupakan
kantin nomor dua yang sering ramai menjadi tongkrongan anak kampus. Di samping
itu, kanting gerbang kedua juga punya reputasi kurang baik. Kantin itu sering menjadi
tempatnya mahasiswa cabut di mata kuliah tertentu atau mahasiswa yang sering
titip absen.
Langkah kedua kaki lelaki itu sudah
tiba di depan kantin gerbang kedua. Material bangunan kantin tersusun atas kayu
kelapa dan beratapkan seng biasa. Tidak terlalu menarik dan terkesan mewah
seperti kantin gerbang ketiga dan pertama. Keduanya bisa melihat banyak
mahasiswa sekadar menghabiskan waktu sambil menikmati gulungan tembakau yang
berpijar. Empat orang mahasiswa sedang mengerahkan konsentrasi menjalankan
pion-pion hitam dan putih di atas papan catur. Tapi yang paling menarik
perhatian Aldo dan Fidel yakni
seorang laki-laki berkulit sawo matang agak gemuk memainkan melodi pada gitar
akustik.
“Ini ‘kan salah satu laki-laki yang
kita jumpai di taman mini kampus kemarin?” Aldo memastikan apa yang dia lihat pada Fidel.
“Mana gua tahu. ‘Kan elo yang
bilang kalau dia sering nongkrong di kantin ini,” ketus Fidel. Kedua lelaki itu
melangkah pelan memasuki kantin.
Tidak ada yang mempedulikan
keributan kecil yang mereka berdua lakukan. Penghuni kantin tetap
berkonsentrasi dengan apa yang mereka lakukan. Tidak butuh waktu lama, kedua
lelaki itu sudah berada di meja yang ditempati lelaki berkulit sawo matang itu.
“Bang...,” sapa Aldo agak segan.
Aldo memutar bola matanya pada Fidel seperti ingin
mengatakan ‘dia tuli atau kita lagi dikacangin sama ini anak?’ lalu
mengembalikan pandangan pada orang yang berada di depannya.
“Kalau boleh tahu, Abang yang main
gitar sama kajon di taman mini kampus itu ‘kan?” giliran Fidel bertanya pada laki-laki itu.
Lelaki itu berhenti memainkan
gitarnya sambil mendongakkan kepala. “Iya. Omong-omong kalian berdua siapa ya?
Anak kampus Mensenno ini ‘kan?”
“Ya, Bang. Kami dari prodi
pendidikan bahasa Inggris stambuk 2014.” Aldo terlebih dahulu menjulurkan
tangannya kemudian disusul Fidel.
“Riky. Jadi, ada perlu apa datang ke
sini?” Usai Vino dan Fidel berjabatan tangan, lelaki itu baru menyebutkan nama
sekaligus bertanya apa keperluan mereka datang menjumpainya.
“Kemarin, kami lihat Abang bermain
gitar di taman mini. Kami juga terkesan dengan permainan gitar dari Abang dan
teman Abang yang satu lagi. Langsung saja ke inti. Abang mau bergabung dengan
band kami?” urai Aldo panjang lebar. Ia berharap dalam hati Riky akan merespon
positif tawaran darinya.
Riky merespon tawaran mereka dengan
tertawa keras. Seluruh penghuni kantin melirik padanya. Entah apa yang membuat
Riky tertawa. Apa karena tampang mereka tidak meyakinkan kalau mereka pandai
musik. Atau ada salah kata yang diucapkan Aldo. Tapi begitu Riky tertawa, Fidel
sudah menggenggam tangannya tak sabar ingin meninju wajah Riky.
“Aku belum tahu bagaimana kemampuan
kalian dalam bermusik. Aku belum mempercayai kalian. Aku juga butuh waktu untuk
mengenal kalian lebih jauh. Jadi maaf, aku belum bisa bergabung dengan kalian.”
Riky menggelengkan kepala guna memperkuat pernyataan yang diungkapkan untuk
mereka berdua.
Mendengarkan alasan Riky, tanpa
banyak kata, Aldo dan Fidel mengundurkan diri dari hadapan Riky.
“Terimakasih ya, Bang.” Fidel memilih
mengucapkan kata itu, menutupi kekesalannya pada Riky.
“Oh ya, aku hampir lupa. Aku juga
satu stambuk dengan kalian. Jadi tidak usah memanggilku abang. Dan laki-laki
yang bermain kajon itu namanya Jimmy. Anak dari prodi bahasa Indonesia. Coba tanya
sama dia. Siapa tahu dia mau bergabung dengan kalian,” ujar Riky terakhir kali sambil
kembali memainkan gitarnya.

No comments:
Post a Comment