Sunday, 7 January 2018

The Beauty Symphony - 3



Akankah Jimmy Bergabung?
             Kodrat alam semesta jika siang sudah diberi kuasa selama dua belas jam maka malam akan diberi kuasa juga seperti halnya siang. Suasana di sekitar perumahan jalan Ismar Saragih cukup lengang diterangi lampu-lampu pijar ‘pabila malam tiba.
            Aldo sibuk menyiapkan tugas presentasi individu English Phonology. Sedangkan Fidel sedang asyiknya bermain gitar.
            “Heh, asyik main gitar aja. Elobantuguadong ngerjakan English Phonology,” tegur Aldo sambil berpaling sebentar dari laptopnya.
            “Ah gua lagi malas. Kerjain napa sendiri. Lagian ‘kan tugasnya gampang,” elak Fidel sambil tangannya begitu intens memetik senar gitar.
            Aldo membuang napas kesal melihat kawannya yang tidak bisa memberi sedikit bantuan. Lelaki berwajah bulat kekotakan itu kembali mengerahkan konsentrasi pada tugas yang akan dipresentasikan esok hari.
            “Sebenarnya gua masih kesal sama si Riky. Mentang-mentang kita belum terkenal di kampus ini, dia bisa seenaknya menertawai sambil mengejek kita,” ungkap Fidel sambil menyeruput kopi yang baru diseduh lima menit yang lalu.
            “Enggak usah terlalu diambil pusing. Kalau dipikirkan secara baik-baik, memang benar. Masa baru kenal sepuluh menit, langsung mau bergabung begitu saja? Pasti dia juga berpikir dulu matang-matang,” sanggah Aldo.
            “Setidaknya dia bisa memberikan alasan logis dan rasional tanpa tertawa keras di depan penghuni kantin. Sama aja dia meremahkan dan mempermalukan kita. Untung gua bisa menahan emosi. Kalau enggak, udah melayang ini tangan ke mukanya,” balas Fidel sambil menganggarkan tinju tangannya.
            Aldo tidak langsung merespon ucapan Fidel. Jemari kurusnya masih giat menekan tuts laptop.
            “Kalau dia tidak mau, ya sudah. Kita coba bujuk si Jimmy, anak prodi bahasa Indonesia itu buat bergabung dengan kita. Siapa tahu dia mau.” Aldo berpaling pada Fidel, berhenti sejenak mengetik.
            Fidel menaruh gitar di atas lantai marmer sambil menyeruput kopi dalam gelasnya. “Oke. Gua setuju sama loe. Pulang English Phonology besok kita jumpai dia,” tandas Fidel seraya meletakkan gelasnya yang sudah kosong.
*
            Aldo melangkahkan kakinya begitu cepat setelah selesai mata kuliah English Phonology. Senyum kecil mengembang di bibir cokelatnya. Sementara di belakangnya, Fidel tergesa-gesa menyusul Aldo.
            “Hei, tunggu dong. Mentang-mentang loe sukses presentasi, main tinggal kawan aja,” ketus Fidel sambil mempercepat kedua kakinya menyusul Vino.
            “Makanya cepat. Jangan kelamaan jalannya. Mau enggak pas kita sudah sampai ke kelasnya, si Jimmy malah enggak ada?”
            Fidel terdiam oleh pertanyaan Aldo. Ia memilih tetap melangkah, memperhatikan apa yang ada di depan. Ketika fokus dengan apa yang ada di hadapannya, mata Fidel tak sengaja melihat sosok lelaki kurus tinggi, sedang berjalan meninggalkan lantai dasar.
            Do, itu Jimmy ‘kan, yang dibilang Riky kemarin?” tunjuk Fidel pada lelaki kurus tinggi di sana.
            “Oh iya. Kalau begitu ayo kita datangi dia,” gegas Aldo. Keduanya mempercepat langkah kaki menghampiri lelaki itu.
            Untung saja mereka bisa cepat. Lelaki kurus tinggi itu menghentikan langkah kaki ketika ia mengetahui ada yang berusaha menghampiri dirinya.
            “Tunggu.Elo Jimmy ‘kan, anak prodi bahasa Indonesia?”
            “Ya betul. Ada keperluan apa ya?” Jimmy bertanya balik pada kedua lelaki itu.
            “Alangkah baiknya kita bicarakan ini di kantin,” usul Aldo sambil mengajak teman-temannya menuju kantin.
            Kini ketiga lelaki itu sudah berada di kantin ketiga. Tidak terlalu banyak jajanan mereka di kantin itu. Teh manis dingin menemani perbincangan mereka. Aldo dan Fidel mulai membicarakan rencana mereka membentuk band di kampus Mensenno. Sambil mendengar pembicaraan mereka, Jimmy menyeruput teh manis dingin kepunyaannya sedkiit demi sedikit. Berusaha memikirkan matang-matang rencana kedua lelaki yang terdengar ambisius itu.
            “Jadi, kalian sudah mengajak Riky? Apa jawabannya?”
            Kami sudah mengajaknya tapi dia bilang dia belum bisa mempercayai kami dan ingin lihat sejauh mana kemampuan kami dalam bermusik,” papar Aldo sambil menuangkan air mineral ke dalam gelasnya yang menyisakan es batu.
            “Kalian tahu, aku adalah teman dekat Riky. Aku juga tahu mengapa dia bisa mengatakan hal itu pada kalian.”
            “Apa hal yang tidak kami ketahui dari dia?” sambung Fidel yang terlihat antusias.
            “Sebenarnya... kami berdua pernah bergabung di salah satu band yang ada di kota Pematangsiantar ini,” ujar Jimmy demgan tatapan berkaca-kaca.
            “Lalu apa yang terjadi dengan band kalian?” tanya Aldo.
            “Nama band kami—Dual Tone, sudah masuk salah satu studio rekaman nasional. Memang, Pak Tanu Wijaya, manajer kami, waktu itu mengatakan jika kalian ingin bertahan di pasar musik Indonesia, kami harus mengikuti selera pasar. Dan jika perlu kami harus mengganti genre band. Tiga personil band Dual Tone sudah berdiskusi dengan kami berdua karena mereka tahu kami berdualah yang mengusung genre hard rock dalam band itu. Kami berdua bersikeras tidak ingin mengubah genre band itu dan lagipula hard rock sudah menjadi idealisme band kami. Tapi demi uang dan selera pasar, tiga personil band Dual Tone rela mendepak kami dari band.” Jimmy mengakhiri ceritanya mengenai band Dual Tone yang pernah membesarkan nama Riky dan Jimmy.
            “Kalau boleh tahu, siapa vokalis dalam band Dual Tone itu?” Fidel menyingkirkan gelas kaca yang sudah kosong.
            “Kau bilang kau pernah melihat kami berdua bermain alat musik di taman kampus, bukan? Seharusnya kau bisa menebak siapa di antara kami berdua yang menjadi vokalis di band itu.” Jimmy menggeser poni rambutnya ke kiri.
            “Riky?” tebak Fidel. Jimmy mengangguk pelan, membenarkan jawaban Vinno.
            “Dan bagaimana jawabanmu sekarang? Apakah kau ingin bergabung dengan band kami? Kita buat mereka yang sudah menyia-nyiakan dan membuang kita, menyesal akan keputusan mereka. Kita akan mengibarkan nama kita di kancah musik nasional tanpa harus mengubah genre band kita. Kita akan menjadi inspirasi bagi mereka yang ingin berkarya di bidang musik. Itulah yang ingin kuwujudkan ketika aku ingin membentuk band musik.” Aldo begitu antusias dan membara ketika ia mengutarakan alasannya memgajak Riky bergabung dalam band-nya.
            Jimmy mengulas senyum kecil di bibirnya begitu mendengar alasan yang diutarakan Aldo. “Kau dan impianmu itu memang naif, Aldo, tapi itu bukan alasan untuk tidak bisa mewujudkannya. Aku tertarik dengan apa yang kau katakan tapi bisakah kau memberikan aku waktu sekaligus membujuk Riky siapa tahu dia mau bergabung? Paling lama dua hari,” respon Jimmy.
            “Baiklah kalau begitu. Kau punya kontak yang bisa dihubungi?” Aldo mengeluarkan handphone.
            Jimmy juga mengeluarkan handphone dari dalam kantong.   Ia membuka kontak nomor lalu bertukar nomor.
            “Thanks, Bro. Gua nunggu jawaban lo,” pamit Aldo sambil menyuruh Fidel berpaling dari hadapan Jimmy.
*
            “Yap ini sudah tiga hari dan kita belum juga mendapat jawaban dari Jimmy. Gua rasa si Jimmy memang enggak berniat bergabung dengan kita...,” simpul Fidel pada Aldo yang sedang terpekur di depan pelantang.
            Aldo hanya mengangguk dua kali menyetujui perkataan Fidel. Terlihat tatapan mata kecewa dan kulum bibir melengkung ke bawah. Padahal tiga hari yang lalu, ia sudah mengatakan apa motivasi yang menggerakkan dirinya membentuk band. Dan ternyata hal itu belum bisa menggerakkan hati Jimmy bergabung dengan mereka.
            Sekian lama termenung, mereka tersentak begitu ada orang yang mengetuk pintu studio.
            “Siapa di sana?” tanya Fidel.
            “Ini kami, Jimmy dan Riky,” jawab orang yang berada di luar studio.
            Kini kekagetan Aldo dan Fidel bertambah saat keduanya mengetahui bagaimana bisa Jimmy dan Riky bisa tahu keberadaan mereka. Tapi mereka memilih membuka pintu studio terlebih dahulu sebelum menjawab tanda tanya yang masih mengambang di pikiran mereka.
            Begitu pintu terbuka, Jimmy dan Riky langsung menghampiri drum dan bass yang masih teronggok diam di atas lantai.
            “Bagaimana kalian bisa tahu kami ada di sini?” tanya Aldo, langsung.
            “Orang bilang kalian sering datang ke studio ini. Jadi kami tinggal menyusul kalian dan akhirnya kita bertemu,” jawab Riky.
            “Jadi... kalian setuju untuk bergabung dengan kami?” tanya Aldo sambil tangan kanannya memegang batang mic.
            Jimmy dan Riky sudah stand by dengan alat musik yang dipegang mereka. Mereka berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan dari Aldo.
            “Jika kami berdua sudah menyusul kalian ke tempat ini, pasti kalian sudah tahu apa jawaban kami, ‘kan? Dan sekarang, katakan apa lagu yang ingin kita nyanyikan saat ini,” balas Jimmy sambil menyetem bass.
            Aldo mengulum senyum bahagia. Ia berterimakasih pada Tuhan karena pintu hati mereka sudah dibukakan untuk bergabung dengan mereka. Tadi mereka sempat putus asa karena Jimmy tak kunjung menjawab tawaran mereka. Dan Aldo pun yakin kalau Fidel juga turut senang dengan keadaan ini.
            “Hey, kita main lagu apa?” tanya Riky pada ketiga lelaki di depannya.

No comments:

Post a Comment