Kodrat alam semesta jika siang sudah diberi kuasa
selama dua belas jam maka malam akan diberi kuasa juga seperti halnya siang. Suasana
di sekitar perumahan jalan Ismar Saragih cukup lengang diterangi lampu-lampu
pijar ‘pabila malam tiba.
Aldo sibuk menyiapkan tugas presentasi individu English
Phonology. Sedangkan Fidel sedang asyiknya bermain gitar.
“Heh, asyik main gitar aja. Elobantuguadong ngerjakan English Phonology,” tegur Aldo sambil berpaling sebentar dari laptopnya.
“Ah gua lagi malas. Kerjain napa sendiri. Lagian ‘kan tugasnya gampang,” elak Fidel sambil
tangannya begitu intens memetik senar gitar.
Aldo membuang napas kesal melihat kawannya yang tidak
bisa memberi sedikit bantuan. Lelaki berwajah bulat kekotakan itu kembali
mengerahkan konsentrasi pada tugas yang akan dipresentasikan esok hari.
“Sebenarnya gua masih kesal sama si Riky. Mentang-mentang kita belum terkenal
di kampus ini, dia bisa seenaknya menertawai sambil mengejek kita,” ungkap
Fidel sambil menyeruput kopi yang baru diseduh lima menit yang lalu.
“Enggak usah terlalu diambil pusing.
Kalau dipikirkan secara baik-baik, memang benar. Masa baru kenal sepuluh menit,
langsung mau bergabung begitu saja? Pasti dia juga berpikir dulu
matang-matang,” sanggah Aldo.
“Setidaknya dia bisa memberikan
alasan logis dan rasional tanpa tertawa keras di depan penghuni kantin. Sama
aja dia meremahkan dan mempermalukan kita. Untung gua bisa menahan emosi. Kalau enggak,
udah melayang ini tangan ke mukanya,” balas Fidel sambil menganggarkan
tinju tangannya.
Aldo tidak langsung merespon ucapan Fidel. Jemari
kurusnya masih giat menekan tuts laptop.
“Kalau dia tidak mau, ya sudah. Kita
coba bujuk si Jimmy, anak prodi bahasa Indonesia itu buat bergabung dengan
kita. Siapa tahu dia mau.” Aldo berpaling pada
Fidel, berhenti sejenak mengetik.
Fidel menaruh gitar di atas lantai
marmer sambil menyeruput kopi dalam gelasnya. “Oke. Gua setuju sama loe. Pulang
English Phonology besok kita jumpai
dia,” tandas Fidel seraya meletakkan gelasnya yang sudah kosong.
*
Aldo melangkahkan kakinya begitu cepat setelah selesai
mata kuliah English Phonology. Senyum
kecil mengembang di bibir cokelatnya. Sementara di belakangnya, Fidel tergesa-gesa
menyusul Aldo.
“Hei, tunggu dong. Mentang-mentang loe sukses presentasi, main tinggal
kawan aja,” ketus Fidel sambil mempercepat kedua kakinya menyusul Vino.
“Makanya cepat. Jangan kelamaan jalannya.
Mau enggak pas kita sudah sampai ke kelasnya, si Jimmy malah enggak ada?”
Fidel terdiam oleh pertanyaan Aldo. Ia memilih tetap melangkah, memperhatikan apa
yang ada di depan. Ketika fokus dengan apa yang ada di hadapannya, mata Fidel
tak sengaja melihat sosok lelaki kurus tinggi, sedang berjalan meninggalkan
lantai dasar.
“Do, itu Jimmy ‘kan, yang dibilang Riky kemarin?” tunjuk
Fidel pada lelaki kurus tinggi di sana.
“Oh iya. Kalau begitu ayo kita
datangi dia,” gegas Aldo. Keduanya mempercepat langkah kaki menghampiri lelaki
itu.
Untung saja mereka bisa cepat.
Lelaki kurus tinggi itu menghentikan langkah kaki ketika ia mengetahui ada yang
berusaha menghampiri dirinya.
“Tunggu.Elo Jimmy ‘kan, anak prodi bahasa Indonesia?”
“Ya betul. Ada keperluan apa ya?”
Jimmy bertanya balik pada kedua lelaki itu.
“Alangkah baiknya kita bicarakan ini
di kantin,” usul Aldo sambil mengajak
teman-temannya menuju kantin.
Kini ketiga lelaki itu sudah berada
di kantin ketiga. Tidak terlalu banyak jajanan mereka di kantin itu. Teh manis
dingin menemani perbincangan mereka. Aldo dan Fidel
mulai membicarakan rencana mereka membentuk band
di kampus Mensenno. Sambil mendengar pembicaraan mereka, Jimmy menyeruput teh
manis dingin kepunyaannya sedkiit demi sedikit. Berusaha memikirkan
matang-matang rencana kedua lelaki yang terdengar ambisius itu.
“Jadi, kalian sudah mengajak Riky?
Apa jawabannya?”
“Kami sudah mengajaknya tapi dia bilang dia belum bisa
mempercayai kami dan ingin lihat sejauh mana kemampuan kami dalam bermusik,”
papar
Aldo sambil menuangkan air mineral ke
dalam gelasnya yang menyisakan es batu.
“Kalian tahu, aku adalah teman dekat
Riky. Aku juga tahu mengapa dia bisa mengatakan hal itu pada kalian.”
“Apa hal yang tidak kami ketahui
dari dia?” sambung Fidel yang terlihat antusias.
“Sebenarnya... kami berdua pernah
bergabung di salah satu band yang ada di kota Pematangsiantar ini,” ujar Jimmy
demgan tatapan berkaca-kaca.
“Lalu apa yang terjadi dengan band
kalian?” tanya Aldo.
“Nama band kami—Dual Tone, sudah
masuk salah satu studio rekaman nasional. Memang, Pak Tanu Wijaya, manajer kami,
waktu itu mengatakan jika kalian ingin bertahan di pasar musik Indonesia, kami
harus mengikuti selera pasar. Dan jika perlu kami harus mengganti genre band. Tiga
personil band Dual Tone sudah berdiskusi dengan kami berdua karena mereka tahu
kami berdualah yang mengusung genre hard
rock dalam band itu. Kami berdua bersikeras tidak ingin mengubah genre band
itu dan lagipula hard rock sudah
menjadi idealisme band kami. Tapi demi uang dan selera pasar, tiga personil band
Dual Tone rela mendepak kami dari band.” Jimmy mengakhiri ceritanya mengenai
band Dual Tone yang pernah membesarkan nama Riky dan Jimmy.
“Kalau boleh tahu, siapa vokalis
dalam band Dual Tone itu?” Fidel menyingkirkan gelas kaca yang sudah kosong.
“Kau bilang kau pernah melihat kami
berdua bermain alat musik di taman kampus, bukan? Seharusnya kau bisa menebak
siapa di antara kami berdua yang menjadi vokalis di band itu.” Jimmy menggeser
poni rambutnya ke kiri.
“Riky?” tebak Fidel. Jimmy
mengangguk pelan, membenarkan jawaban Vinno.
“Dan bagaimana jawabanmu sekarang?
Apakah kau ingin bergabung dengan band kami? Kita buat mereka yang sudah
menyia-nyiakan dan membuang kita, menyesal akan keputusan mereka. Kita akan
mengibarkan nama kita di kancah musik nasional tanpa harus mengubah genre band
kita. Kita akan menjadi inspirasi bagi mereka yang ingin berkarya di bidang
musik. Itulah yang ingin kuwujudkan ketika aku ingin membentuk band musik.” Aldo begitu antusias dan membara ketika ia mengutarakan
alasannya memgajak Riky bergabung dalam band-nya.
Jimmy mengulas senyum kecil di
bibirnya begitu mendengar alasan yang diutarakan Aldo. “Kau dan impianmu itu memang naif, Aldo, tapi itu bukan alasan untuk tidak bisa
mewujudkannya. Aku tertarik dengan apa yang kau katakan tapi bisakah kau
memberikan aku waktu sekaligus membujuk Riky siapa tahu dia mau bergabung?
Paling lama dua hari,” respon Jimmy.
“Baiklah kalau begitu. Kau punya kontak
yang bisa dihubungi?” Aldo mengeluarkan handphone.
Jimmy juga mengeluarkan handphone dari dalam kantong. Ia membuka kontak nomor lalu bertukar nomor.
“Thanks, Bro. Gua nunggu jawaban lo,”
pamit Aldo sambil menyuruh Fidel berpaling dari hadapan
Jimmy.
*
“Yap ini sudah tiga hari dan kita
belum juga mendapat jawaban dari Jimmy. Gua
rasa si Jimmy memang enggak berniat bergabung dengan kita...,” simpul Fidel
pada Aldo yang sedang terpekur di depan pelantang.
Aldo hanya mengangguk dua kali menyetujui perkataan
Fidel. Terlihat tatapan mata kecewa dan kulum bibir melengkung ke bawah.
Padahal tiga hari yang lalu, ia sudah mengatakan apa motivasi yang menggerakkan
dirinya membentuk band. Dan ternyata
hal itu belum bisa menggerakkan hati Jimmy bergabung dengan mereka.
Sekian lama termenung, mereka
tersentak begitu ada orang yang mengetuk pintu studio.
“Siapa di sana?” tanya Fidel.
“Ini kami, Jimmy dan Riky,” jawab
orang yang berada di luar studio.
Kini kekagetan Aldo dan Fidel bertambah saat keduanya mengetahui bagaimana
bisa Jimmy dan Riky bisa tahu keberadaan mereka. Tapi mereka memilih membuka
pintu studio terlebih dahulu sebelum menjawab tanda tanya yang masih mengambang
di pikiran mereka.
Begitu pintu terbuka, Jimmy dan Riky
langsung menghampiri drum dan bass yang masih teronggok diam di atas lantai.
“Bagaimana kalian bisa tahu kami ada
di sini?” tanya Aldo, langsung.
“Orang bilang kalian sering datang
ke studio ini. Jadi kami tinggal menyusul kalian dan akhirnya kita bertemu,”
jawab Riky.
“Jadi... kalian setuju untuk bergabung
dengan kami?” tanya Aldo sambil tangan
kanannya memegang batang mic.
Jimmy dan Riky sudah stand by dengan alat musik yang dipegang
mereka. Mereka berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan dari Aldo.
“Jika kami berdua sudah menyusul
kalian ke tempat ini, pasti kalian sudah tahu apa jawaban kami, ‘kan? Dan
sekarang, katakan apa lagu yang ingin kita nyanyikan saat ini,” balas Jimmy
sambil menyetem bass.
Aldo mengulum senyum bahagia. Ia berterimakasih pada
Tuhan karena pintu hati mereka sudah dibukakan untuk bergabung dengan mereka.
Tadi mereka sempat putus asa karena Jimmy tak kunjung menjawab tawaran mereka.
Dan Aldo pun yakin kalau Fidel juga turut senang dengan keadaan ini.
“Hey, kita main lagu apa?” tanya
Riky pada ketiga lelaki di depannya.

No comments:
Post a Comment