Lelaki
berjubah putih berkilau berdiri tegak penuh keagungan, mengawasi sesuatu yang
sedang terjadi di bawah permukaan bumi sana. Lelaki itu tak sedikit pun ingin
melewatkan gerak-gerik anak manusia yang sedang diawasinya.
“Kau mau tunggu apa lagi darinya,
Kilua? Kita sudah diperintahkan untuk menjemput anak manusia itu. Kau tidak mau
‘kan Deux menghukum kita?” Seorang lelaki berjubah putih bercahaya,
membentangkan sepasang sayap putih nan kokoh pada lelaki yang sedang
dihampirinya.
“Aku tahu itu, Xeoscha. Anak manusia
itu memohon padaku sambil menitikkan air mata penuh ketulusan. Dia tahu
waktunya di Bumi sudah habis. Akan tetapi, dia berkata dia masih punya sedikit
waktu untuk menyelesaikan masalahnya di Bumi sana” jelas Kilua pada Xeoscha.
Aura wajah malaikat laki-laki—Xeoscha, berpendar melebihi cahaya bulan purnama.
“Kau selalu saja bertindak di luar
pikiran para malaikat lainnya, Kilua,” balas Xeoscha sambil menggeleng kepala
dua kali.
“Bukankah Deaux Maha Pengasih dan
Pemaaf, Xeo? Dia dengan segala kemurahan hati-Nya memberi kesempatan bagi para
manusia untuk kembali ke jalan yang benar? Kita pun harus meniru sikap Tuan
kita. Lagipula, aku sudah memberikan jangka waktu untuknya di muka Bumi sana.
Jika dia bertindak di luar jangka waktu yang telah ditentukan, aku akan
menariknya secara paksa.”
*
Leo mengerjapkan kedua kelopak
matanya begitu dia bangun dari tidur panjangnya. Ia sendiri tidak tahu sudah
berapa lama dia tergeletak di jalan sana. Beraspal hitam legam dengan garis
putih memanjang, menjadi pemisah jalan beraspal itu.
Jalan tol Cikampek terlihat sepi dan
lengang tidak banyak kendaraan bermotor melewati jalan itu. Sedangkan Leo masih
mencaritahu bagaimana dia bisa tertidur di jalan tol itu.
Leo sudah bangkit berdiri
sepenuhnya. Ia melirik kiri dan kanan. Mencari bantuan dari orang-orang lewat.
“Apa yang sebenarnya terjadi
denganku? Aduh!” Leo merasa sedikit pening di bagian kepala. Ia meraba kening
dan mendapati darah merah setengah kering mengotori tangannya.
“Ada darah di kepalaku? Oh ya, aku
harus mencari di mana sepeda motorku dan koper itu. Itu untuk keperluan istri
dan anak-anakku.” Leo tersentak begitu dia ingat sesuatu yang begitu penting
baginya.
Dengan langkah kaki agak terpincang,
Leo coba menyusuri jalan tol itu. Lelaki berambut ikal itu mengerahkan seluruh
fokus dan perhatian guna menemukan dua benda berharga itu.
Ketika Leo berada 50 meter dari
tempatnya berdiri, dia tidak bisa menghentikan kengerian yang dilihatnya saat
ini. Kelopak mata melebar. Bola mata seakan mencuat kuat. Ingin lepas saja dari
rongga mata. Gamang dan ingin tahu bercampur aduk dalam batin Leo. Ia melihat
mayat seorang lelaki berkubang darah. Posisi wajah mencium aspal. Serta posisi
tangan dan kaki tidak lagi lurus.
Namun dilihat dari perawakan mayat
itu, Leo seperti mengenal identitas mayat yang mati mengenaskan itu. Dengan
sedikit keberanian bercampur gemetar, Leo coba membalikkan tubuh mayat itu agar
dia bisa mengetahui identitasnya.
Leo terperanjat hingga pantatnya
jatuh menimpa aspal. Air mata menetes deras intens dengan suara tangisanya. Ia
tak menyangka sama sekali kalau mayat malang yang ada di depannya adalah
mayatnya sendiri. Ia terus mengingkari dan beranggapan kalau mayat itu bukanlah
mayatnya. Untuk lebih meyakinkan kalau itu bukan mayat dirinya, Leo mencoba
mencengkeram leher tubuh itu tapi tembus, tak terpegang. Dia belum menyerah. Ia
mencoba merebahkan diri di atas mayat itu akan tetapi tubuh dan rohnya tak bisa menyatu.
Lelaki berwajah bulat kekotakan itu
merutuki diri sambil memukul-mukul tangan ke aspal. Meratapi nasib buruk yang
menimpanya saat ini.
“Tidak perlu meratap semenyedihkan begitu,
Leo. Tuhan sudah memilih engkau untuk dipanggil ke akhirat. Kau harus
mempertanggungjawabkan apa yang kau perbuat selama di dunia,” ujar lelaki
berjubah putih dengan tatapan dingin itu.
“Heh kau siapa?! Dari mana kau bisa
tahu namaku?” balas Leo. Air mukanya merah bercampur amarah.
Sekarang lelaki berjubah putih itu
tidak sendirian. Ia sudah ditemani lelaki dengan wujud serupa pula. Tapi yang
membedakan pendaraan wajahnya menyilaukan mata Leo.
“Sebut saja Kilua Aku bisatahu dari
sini, Buku Kehidupan. Coba kita lihat namamu di sini—Leo Adra Samanta. Umur 31
tahun. Seorang lelaki penuh tipu muslihat. Serigala berbulu domba. Lelaki ini
sering beribadah ke gereja. Selalu mengambil posisi song leader maupun organis di gereja. Tapi sayang di balik itu
semua, dia merupakan seorang pencuri sekaligus penipu ulung. Seorang penggelap
investasi emas. Dia sudah membuat banyak orang menderita kerugian. Itulah yang
tertulis di sini. Dan sudah waktunya kami menjemputmu,” urai malaikat bernama
Kilua sambil menutup Buku Kehidupan lalu buku itu lenyap sekedip mata.
“Itu tidak mungkin. Kalian mau
menipu ‘kan?” elak Leo lagi.
“Lihat penampilan kami dan Buku
Kehidupan yang bisa muncul dan hilang secara gaib. Tidak cukupkah membuktikan
kalau kami ini malaikat yang akan membawamu ke akhirat? Dan atas semua
perbuatan yang kau lakukan di dunia, kau akan mendapatkan tempat peristirahatan kekal dan selamanya,” Kilua menyeringai pada
Leo.
Leo tidak bisa menyanggah apa yang
tertulis di Buku Kehidupan. Semua benar. Tapi yang membuat dia bingung saat ini
dia tidak tahu apa yang akan dia lakukan. Dan dia tahu tempat peristirahatan
yang pantas bagi dirinya sebagai balasan dari semua perbuatannya di dunia.
Lelaki itu bangkit berdiri lalu
berlari sekuat tenaga, meninggalkan kedua malaikat itu.
“Larilah sejauh mungkin. Larilah,”
ucap malaikat yang ada di samping Kilua, Xeoscha.
Leo berlari sekencang mungkin
meninggalkan kedua malaikat itu. Akan tetapi, dia merasa jalan yang dilalui
semakin lama semakin panjang. Tenaga terkuras namun ia belum jauh dari kedua
malaikat yang masih memandang nestapa padanya.
“Percuma saja. Menyerahlah.”
Sekarang Xeoscha sudah berada di hadapan Leo.
“Jangan halangi aku,” sergah Leo
sambil menyiapkan kuda-kuda untuk menyerang Xeoscha.
Belum sempat melancarkan serangan,
tangan Xeoscha sudah memegang gada emas, bersiap dihantamkan ke betis Leo. Leo
terpelanting terkena hantaman gada milik malaikat itu. Wajah lelaki itu begitu
keras menubruk permukaan jalan aspal.
Leo belum mau menyerah. Ia bangkit
berdiri meskipun kaki kanan pincang. Melihat lelaki yang di depannya belum
menyerah, Xeoscha mengayunkan gada emasnya ke ulu hati Leo.
Lelaki berkulit cokelat muda itu
terlempar keras sampai punggungnya membentur pembatas jalan. Ia mengaduh
kesakitan sambil memegang punggungnya.
Lelaki itu sudah kehabisan tenaga.
Tak punya kekuatan untuk berdiri lagi. Terpaksa ia menyeret badan mendekati
Xeoscha.
“Kau anak manusia yang tangguh tapi
sayangnya...” Xeoscha mengangkat tinggi-tinggi gada emas di tangannya. Sekarang
gada itu sudah diselubungi kobaran api. Dalam hati Leo, dia yakin malaikat itu
akan segera mengirimnya ke neraka.
“Hentikan, Xeoscha!” cegah Kilua
sambil memegang gada yang diselimuti kobaran api itu.
“Apa yang kau lakukan, Kilua? Dia
mencoba melawan takdir yang diputuskan Deaux kepadanya dan dia ingin menyerang
kita,” sanggah Xeoscha sambil menoleh ke arah Kilua.
“Aku mohon berikan aku hidup sekali
lagi. Aku takut masuk neraka. Aku mohon berikan aku kesempatan itu. Aku akan menebus semua
kejahatan yang kulakukan dan aku akan bertobat dan hidup di jalan Tuhan,” mohon
Leo sambil menundukkan kepala hingga menyentuh aspal. Air mata tak henti
berderai agar pinta yang diinginkan segera dikabulkan.
“Aku tidak bisa mengembalikan
nyawamu ke ragamu lagi tapi kau bisa melakukan sesuatu agar kau bisa terbebas
dari hukuman neraka. Tapi dengan batas waktu satu jam.”
“Apa yang kau la—“ Perkataan Xeoschalangsung
dipotong oleh Kilua.
“Tapi jika kau lewat dari batas
waktu yang kutentukan atau kau berbuat jahat lagi, aku akan menarik paksa rohmu
dan melemparkanmu ke neraka,” sambung Kilua.
“Sa-satu jam? Ya baiklah. Aku akan
melakukan sesuatu yang bisa mengurangi hukumanku di akhirat sana. Aku akan
berusaha.” Awalnya Leo ragu dengan batas waktu yang diberikan Kilua tapi dengan
pemikiran matang, akhirnya Leo menyanggupi itu.
“Kalau begitu kami akan kembali ke
surga. Sekaligus melihat apa yang kau lakukan dengan sisa waktu yang kuberikan.
Ayo Xeoscha,” pungkas Kilua sambil memegang tangan Xeoscha. Dengan dua kali
kepakan sayap, mereka sudah jauh dari Leo.
“Kenapa kau memberikan dia kesempatan,
Kilua? Kau terlalu naif,” tanya Xeoscha pada Kilua dengan kesal.
Kilua hanya tersenyum sambil
mengepakkan sayap, menembus kegelapan langit malam.
Belum selesai kekhawatiran Leo. Satu
jam. Apa yang bisa dia lakukan dalam waktu satu jam? Ia harus berpikir ekstra
keras. Ya tas itu. Dan ternyata tas itu berada 20 meter dari tempatnya berdiri.
Ia bergegas menuju tas itu. Namun sialnya ia tidak bisa memegang tas itu.
“Astaga ada mayat! Aku harus
menelepon polisi.” Tak disangka, ada seorang supir taksi tepat berdiri di
hadapan mayatnya.
Leo berlari sambil menerjang raga
sang supir taksi. Ia mencoba merasuki tubuh sang supir dan berhasil. Rohnya
menyatu dengan tubuh sang supir. Ia sigap mengambil koper itu lalu mengambil
pistol yang terselip di pinggang mayatnya.
“Maafkan aku,” lirih Leo di depan
mayatnya lalu bergegas menaiki taksi itu.
“Itu dia kopernya. Ayo cepat kita
kejar.” Leo menolah ke belakang dan sadar kau dia sedang dikejar dua pengendara
sepeda motor. Ia menutup pintu samping lalu memutar kunci menjauh dari sana.
Dengan kecepatan 60 km/jam, Leo
mencoba menjauhi dua pengejarnya. Sebenarnya dia sadar kalau koper yang berada
di tangannya saat ini merupakan koper curian milik seorang pejabat daerah. Dan
dia kenal betul dengan pejabat itu. Hasyim Rukmana, seorang kabid humas proyek
jalan tol Semanggi.
Dan uang itu merupakan hasil korupsi
proyek sebesar 200 miliar rupiah. Ketika dia mencuri koper itu dari kediaman
Hasyim Rukmana, dia dipergoki salah satu pengawal pribadi sang pejabat. Dia
buru-buru meninggalkan kediaman sang pejabat. Leo baru ingat dia melaju dengan
kecepatan 80 km/jam kemudian sebuah truk diesel menyenggol sepeda motornya
dengan kecepatan maksimum. Tragedi itulah yang menyebabkan nyawanya melayang.
Leo buru-buru membuyarkan lamunannya
ketika dua pengendara sepeda motor itu sudah berada di samping mobil taksinya.
“Hei cepat turun! Kembalikan koper
itu!” bentak pengendara motor di sebelah kanan Leo. Kemudian Leo membuka kaca
samping lalu menembakkan butir-butir peluru ke ban pengendara motor di sebelah
kiri. Motor beserta pengendara terpelanting, tergeletak mencium permukaan aspal.
Leo tidak mau tahu apakah mereka mati atau tidak. Sekarang pengendara di sebelah
kirinya, menembakkan peluru ke arahnya tapi Leo berhasil menghindar dan
mengarahkan pistol ke tangan si pengendara motor.
Para pengejar sudah berhasil
dilumpuhkan. Leo bisa sedikit bernapas lega lalu ia menoleh arloji. Waktu
tersisa tinggal 20 menit lagi. Sedangkan kantor polisi masih menempuh jarak 15
kilometer lagi dan butuh waktu 20 menit lagi. dan bahan bakar mendekati garis
E.
“Masih sempatkah? Masih adakah waktu
untukku mengucap salam perpisahan kepada istriku dan anak-anakku?” Leo
menundukkan kepalanya di atas bulatan setir. Ia tidak tahu apa yang mesti
dilakukan. Kemudian ia menegakkan kepala lalu menghirup napas sebanyak mungkin.
Memejamkan mata sambil berdoa dalam hati. Memasrahkan diri atas apa yang
terjadi padanya saat ini.
Ada kekuatan ajaib membuat mobil taksi
melaju sampai kecepatan 120 km/jam. Dan lebih aneh lagi bensin tidak berkurang
sedikit pun padahal mobil sudah melaju dengan kecepatan “turbo”. Dia hanya
menempuh waktu sekitar 7 menit untuk tiba di depan halaman kantor polisi.
“Selamat malam, Pak, ada yang bisa
saya bantu?” sapa seeorang polisi dengan perawakan tinggi, agak kurus. Lelaki
itu tampak sibuk memperhatikan gawai pribadi miliknya.
“Saya menemukan koper berisi uang
sebesar 100 miliar di jalan tol Semanggi KM 89,” jelas Leo sambil menyerahkan
koper itu kepada sang polisi.
“Oh begitu. Tapi bagaimana Anda bisa
tahu nominal uang di dalamnya?” tanya sang polisi agak menginterogasi.
“Bapak lihat saja di balik koper
itu. Di situ sudah tertera nominal dan nama institusi pemilik uang itu,” jawab
Leo sambil berpaling dari hadapan sang polisi.
“Boleh saya tahu nama Anda?”
“Leo Adra Samantha. Saya permisi
dulu.” Leo bergegas menuju taksi seraya melirik arloji di lengan. Tinggal 10
menit lagi. Syukurlah. Dia masih punya waktu mengucapkan salam perpisahan
kepada istri dan anaknya.
Leo sudah tiba di rumahnya. Sekarang
arloji menunjukkan pukul dua dini hari. Sudah cukup dia menempati raga sang
supir lalu meninggalkan raga sang supir. Ia memasuki rumah dengan wujud roh. Ia
menembus dinding rumah dan langsung menuju kamar anaknya.
Ia memandang lekat wajah anak
laki-laki dan perempuan tengah tertidur pulas dibuai mimpi indah mereka.
“Maafkan Bapak, Nak. Selama ini
Bapak menghidupi kalian dengan uang haram dan sekarang Bapak harus pergi ke akhirat.
Mempertanggungjawabkan apa yang telah Bapak perbuat selama di dunia. Tolong
jaga ibu kalian ya,” pinta Leo terakhir kali sambil mencium kening kedua
anaknya.
Dan sekarang Leo sudah berada di
kamar istrinya. Ia menatap wajah ayu nan polos Natasha untuk terakhir kalinya
lalu berkata,” Maafkan aku, Natasha. Aku belum bisa menjadi suami sekaligus
ayah yang baik untukmu dan anak kita. Kau bisa memakai tabungan milikku untuk
mengganti kerugian para investor kita. Aku yakin itu cukup.Dan... aku yakin,
kau akan bersedih tapi aku percaya kau akan menemukan lelaki baik lebih
dariku... Selamat tinggal.” Perlahan Leo mulai menjauhi Natasha dengan linangan
air mata membasahi pipi. Tak disangka
Kilua sudah muncul di hadapan Leo.
“Aku
sudah selesai dengan urusanku, Kilua. Bawa aku pergi.” Dalam satu kedip mata
Kilua dan Leo sudah menghilang dari kamar Natasha. Kini yang tersisa hanya
kelengangan dan igauan Natasha yang tak reladitinggalkan Leo untuk selamanya.

No comments:
Post a Comment