[D]Evil
Suasana
pagi di rumah Haris diliputi keributan ketika mereka mengetahui keponakan
mereka meninggalkan rumah tanpa permisi sama sekali. Dan sayangnya tak ada
sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk ke mana keponakan mereka pergi. Aretha
meninggalkan telepon genggam miliknya di kamar tidur tapi di atas ranjang,
perempuan itu menuliskan sebuah surat singkat pada paman dan bibinya.
Aku
pergi, Paman, Bibi. Aku ingin mencari kehidupan baru.
Keponakan
kalian,
Aretha.
“Jadi
kita harus bagaimana, Haris? Kau tahu ‘kan Aretha masih anak-anak. Dan dia
masih berada di masa labilnya. Aku takut seseorang akan memanfaatkan dia untuk
hal-hal yang tidak inginkan,” ujar bibi Tanta penuh khawatir dan prasangka buruk.
“Aku
juga enggak tahu, Tanta. Tapi aku akan menelepon polisi untuk mencari ke mana
anak itu,” balas paman Haris sambil meredam kekhawatiran istrinya mengenai
keponakan mereka.
***
Aretha
masih mengamati arloji bermotif Mickey Mouse melingkar di kulit pergelangan
tangannya yang mulus. Sejak tadi malam, ia sudah merencanakan kepergiannya dari
kediaman pamannya. Ia sudah menyusun beberapa pakaian yang akan dibawa dalam
pelarian. Ketika paman, bibi serta penjaga gerbang sedang lengah, Aretha akan
menggunakan kunci cadangan yang diam-diam diambilnya dari kamar pamannya.
Dari
pukul 22. 00 malam sampai dengan 03.20 dini hari, Aretha tetap terjaga dalam
tidurnya. Ia tak bisa membenamkan diri dalam dunia mimpi. Bayang-bayang
kepergian ayah, ibu dan Arsyad menggentayangi pikiran. Ia merasa ada sesuatu ganjil
dari kematian mereka. Kematian mereka masih mengundang tanda tanya dalam benak
Aretha. Tapi Aretha sendiri pun tidak mampu membuktikan apa keganjilan yang
dimaksudnya itu. Ia memilih pergi sambil berharap bisa menemukan titik terang
penyebab kematian ayah, ibu dan Arsyad suatu hari nanti.
Aretha
sudah memantapkan tekad untuk pergi. Di depan pintu kamar, ia memutar kunci
kamar secara hati-hati agar tidak menimbulkan suara berisik mencurigakan yang
bisa saja terdengar oleh paman dan bibinya. Begitu berada di luar kamar, Aretha
pelan-pelan mengangkat kaki, menuruni tangga lantai dua. Sudah berada di lantai
dasar, Aretha harus melangkah lagi ke depan pintu tamu. Momen mendebarkan bagi
Aretha ketika ia akan membuka pintu depan ruang tamu. Tangan kanannya berusaha
memutar kunci seraya menempelkan perutnya untuk meredam suara engsel.
Bulir
keringat menetes lebih deras ketika perempuan itu mendengar jemari menekan stop
kontak dari arah kamar pamannya. Aretha berhenti sesaat memastikan pamannya
tidak mendengar suara mencurigakan dari ruang depan. Aretha mengembuskan napas
lega ketika pamannya kembali menekan tombol stop kontak dan kamar kembali
gelap.
Perempuan
berkulit sawo matang itu menekan gagang pintu sambil menyingkapkan sedikit daun
pintu. Ekor matanya mengamati penjaga gerbang tidur begitu nyenyak sampai
mengeluarkan suara ngorok mengganggu. Ini
kesempatan bagus, ujar batin Aretha. Ia pelan-pelan menarik gagap pintu
sambil melepas perlahan hingga pintu tertutup rapat. Ia berjinjit dari teras sampai tembok pembatas
rumah.
Ia
sudah sampai di depan tembok. Aretha mengamati tinggi tembok itu dengan dirinya
berselisih 60 sentimeter. Agak mustahil jika ia menggapai ujung tembok dengan
sekadar melompat saja. Namun ia tidak menyerah. Ia masih berpikir. Aretha
memundurkan langkah sejauh satu dua meter dari jarak tembok itu dengan dirinya.
Kepalanya menoleh sekilas ke arah penjaga gerbang. Ternyata penjaga gerbang
masih terlelap dalam dunia mimpi. Begitu mendapatkan ancang-ancang yang pas,
Aretha berlari menuju tembok kemudian melompat setinggi mungkin meraih ujung
tembok dan berhasil. Satu tangannya berhasil menggapai ujung tembok. Aretha
menaikkan satu tangannya lagi lalu mengangkat badan ke atas. Ia melempar tas
sambil mempersiapkan napas dan ancang-ancang untuk mendarat ke tanah.
***
Aretha
sudah berada dalam bus selama enam jam. Ia masih berpikir ke mana ia akan pergi.
Sempat berpikir untuk kembali saja ke rumah paman tapi hal itu diurungkannya.
Ia tetap bersikeras pergi mencari kehidupan baru. Ketika ia sedang asyik
menikmati panorama jalan yang dilewatinya, kondektur bus sudah berada di
hadapannya sambil merentangkan tangan kanan.
“Hei
Dek, ongkosmu,” ujar kondektur bus pada Aretha.
Aretha
memberikan selembar uang nominal seratus ribu rupiah pada sang kondektur lalu
berkata, “Apakah bus ini akan mengantarku sampai ke Jakarta?”
“Kau
salah naik kendaraan, Dek. Kalau mau ke Jakarta, seharusnya kau naik pesawat
terbang atau tidak kapal laut. Lagipula trayek bus ini cuma sampai di
Palembang. Jadi ke mana tujuanmu sekarang?”
Aretha
salah mengira kalau dia akan diantarkan sampai ke pulau Jawa. Sekarang ia
sendiri pun bingung di mana dan mau ke mana tujuannya. Lalu ia bertanya lagi
pada kondektur bus, “Kalau boleh tahu, kita sedang berada di mana saat ini?”
“Kandis.
Kau mau turun di sini?” Aretha mengangguk pelan, “kurang dua puluh ribu lagi,
Dek.” Aretha memberikan selembar uang lima puluh ribu lalu bergantian tangan
sang kondektur memberikan uang kembalian.
Sambil
mengucap ‘terimakasih’, perempuan itu sudah turun dari bus. Yang terpampang
sekarang adalah sebuah suasana kota kecil yang mirip dengan kota Tebing Tinggi.
Beruntung dia diturunkan di depan sebuah rumah makan Padang. Seraya berjalan ke
rumah makan, Aretha menghitung uang yang tersisa di tangannya—Rp 280.000,00.
Terlintas dalam benak perempuan itu bagaimana dia bisa hidup dua sampai tiga
hari ke depan dengan uang yang tersisa saat ini? Memikirkan hal itu membuat
perutnya mengeluarkan suara aneh.
Aretha
memesan satu porsi nasi ditambah ayam goreng dan kuah kari. Ia melahap nasi itu
amat cepat karena tak biasa Aretha menahan lapar sampai dengan pukul satu siang.
Ketika masih bersekolah, perempuan itu membawa bekal makanan dari rumah untuk
dimakan pada jam istrihat tapi sekarang itu tinggal kenangan saja. Sangking
laparnya, perempuan itu meminta satu porsi nasi lagi pada pelayan rumah makan.
Didukung dengan cuaca kota yang panas, Aretha memesan satu gelas teh manis
dingin. Ia menyedot teh itu secara terus menerus hingga tersisa setengah gelas.
Aretha
bersendawa ketika ia menyeka mulut yang masih terdapat sisa percikan kuah kari
dan sebutirnasi lengket di pinggir bibirnya. Tapi ketika ia sedang
mengistirahatkan perutnya, Aretha mulai berpikir apa yang akan dilakukan dan
mau ke mana dirinya setelah ini. Ia bangkit dari kursi menuju meja kasir.
Setelah
keluar dari rumah makan, yang dilakukan Aretha adalah mengitari kota Kandis
sambil mencari orang yang mau menerimanya menumpang hidup sementara. Akan
tetapi sudah lima jam lebih, Aretha tidak menjumpai tempat pas untuk dijadikan
tempat tinggal sementara. Tidak ada sanak saudara yang dia dikenali di kota itu
dan tidak ada yang mau menerima dirinya bekerja. Kata mereka tubuh Aretha masih
terlalu muda dan lemah untuk ditempatkan pada pekerjaan yang mengandalkan otot
dan tenaga. Tubuhnya sudah dikuasai rasa lelah amat menyiksa. Air minum yang
tersisa tinggal seperempat lagi.
Ia
memilih merebahkan tubuhnya di atas lantai semen sebuah ruko yang ditutup.
Aretha menjadikan tas ranselnya sebagai alas kepala. Ia memiringkan badannya
menghadap pintu luar ruko yang tertutup rapat. Dalam pembaringan, ia memutar
kenangan di dalam kepakanya tentang masa kecilnya. Ketika ayahnya meninabobokan
dengan membacakan dongeng dan menggelitik tubuhnya. Sungguh kenangan yang manis, ucap batin Aretha.
Ketika
dirinya sudah beranjak usia 10 tahun dan saat itu, ia bertengkar dengan kakaknya,
Arsyad, perihal pemilihan penempatan kamar tidur. Aretha bersikeras ia memilih
kamar tidur di lantai dua yang juga dipilih oleh kakaknya. Akhirnya ibunya
membujuk Arsyad untuk mengalah pada adiknya dan kamar tidur di lantai dua
diberikan pada Aretha.
“Owh
kenapa Tuhan begitu cepat mengambil semua yang kupunya?” gumam Aretha sambil
berlinang air mata mengingat semua puing-puing kenangan ketika keluarganya
masih ada di sisinya.
Aretha
tertidur begitu pulas sampai-sampai ia tidak tahu dua orang sedang menjamah-jamah
permukaan tubuhnya. Aretha sedikit demi sedikit mulai merasakan sentuhan tangan
itu aktif meraba kulit sawo matangnya. Ia mengerdipkan kelopak matanya
pelan-pelan dan masih dalam kondisi setengah sadar, dirinya melihat tiga orang
laki-laki berumuran sekitar 18-19 tahun sudah berada di balik punggungnya.
“Hah,
mau apa kalian?! Kalian siapa?!” Aretha terperanjat hebat. Ia bangkit dari
rebahannya kemudian secepat kilat ia menggeser tubuhnya menjauhi dua pemuda
itu.
“Cantik juga dia, Yud. Coba lihat bodinya.
Wow! Paten punya. Cikal bakal artis bokep ini cewek.” Bola mata ketiga pemuda
itu aktif menjelajahi tiap jengkal tubuh Aretha terbungkus kaos oblong merah
tua, jaket jins serta celana jins biru dongker. Mereka melontarkan perkataan
berbau mesum dan merendahkan martabatnya sebagai seorang perempuan.
“Kalau
kalian sampai macam-macam, aku bakalan teriak,” ancam Aretha pada mereka.
Ketiga
pemuda itu saling tatap sebentar kemudian tertawa terbahak-bahak. Salah satu
dari mereka berkata pada Aretha, “Teriak saja, gadis manis. Di sini tidak akan
ada orang yang mau menolong orang asing seperti kamu.”
Mereka
bertiga benar. Aretha tidak mengamati lalu lalang satu manusia pun melewati
daerah itu. Seketika perempuan itu perlahan dikuasai rasa takut. Salah satu
dari pemuda itu memegang botol minuman keras. Bisa jadi ketiga pemuda itu baru
saja selesai mabuk-mabukan. Dan bisa gawat kalau mereka nekat menghabisi
dirinya dengan botol kaca yang dipegangnya.
Aretha
berusaha mencari celah dari mereka bertiga. Perempuan itu melebarkan sedikit
kelopak mata ketika ia melihat celah kosong dari lelaki yang berada di sebelah
kiri. Aretha pelan-pelan menaikkan badan sekaligus mengambil ancang-ancang
melarikan diri. Akan tetapi, ketiga pemuda itu semakin merapatkan diri mereka
pada Aretha. Oh sial, mereka makin
mendekat, rutuk perempuan itu dalam hati. Namun celah yang dia incar untuk
melarikan diri tetap ada.
Dengan
gerakan menerjang tiba-tiba, Aretha menunduk lewat celah tangan pemuda di
sebelah kirinya. Tapi sial bagi Aretha. Pemuda berambut keriting itu berhasil
mendekap perutnya. Sambil menahan pergerakan Aretha, tangan kiri pemuda itu
sedang mencoba membuka kancing jins milik gadis rambut berkepang kuda. Aretha
yang panik melakukan perlawanan dengan mengacungkan dua jarinya ke arah bola
mata pemuda itu seraya menggigit lengannya.
Perlawanan
Aretha sukses membuatnya terlepas dan memanfaatkan situasi ini untuk berlari
sekencang mungkin. Tak mau mangsa mereka lepas begitu saja, mereka berlari
menyusul gadis itu. Aretha mengerahkan seluruh tenaga agar ia bisa lolos dari
ketiga pemuda itu. Meski dalam kondisi setengah mabuk, lari mereka begitu
kencang. Aretha semakin cemas kalau salah satu dari mereka berhasil
menangkapnya. Sedikit lagi, kira-kira lima puluh meter lagi Aretha akan sampai
pemukiman penduduk. Namun naas. Napas perempuan itu mulai melemah dan secara
tak sadar tubuhnya mulai memperlambat kecepatannya berlari.
Hal
ini dimanfaatkan pemuda berkumis tipis untuk menjatuhkan Aretha dengan menekel
mata kakinya. Tekelan pemuda itu telak mengenai mata kaki perempuan itu. Aretha
kehilangan keseimbangan tubuhnya. Ia jatuh terjerembab. Dagu datarnya menubruk
permukaan keras jalanan aspal. Aretha meringis menahan nyeri di dagu, sikut dan
lutut kaki. Ketika ia mencoba bangkit berdiri, para pemuda itu sudah berada di
depannya. Gadis itu menangis pasrah, membiarkan para pemuda itu menggotong dan
membawa tubuh lemahnya ke sebuah ruko kosong.
***
Aretha
masih berbaring menikmati dinginnya permukaan lantai semen. Pelan-pelan dirinya
membuka kelopak matanya yang masih terasa perih dan sakit. Tapi bukan kelopak
matanya merasakan sakit teramat menyiksa. Seluruh tulang belulang yang melekat
pada otot dan daging serasa rontok, ingin menyeruak dari tubuhnya. Jika
membayangkan bagaimana wajah-wajah setan penuh nafsu kebinatangan menggerayanginya
tadi malam, ingin rasanya Aretha berteriak sekuat tenaga, membiarkan air mata
dan tangisannya menjadi jeritan lantang mengutuk dunia yang memperlakukan
dirinya begitu kejam dan tidak manusiawi. Tapi ia cuma bisa meratap dalam
hening sambil menyalahkan diri yang tak mampu melawan kenyataan yang melecehkan
tubuh pemberian sang Tuhan dengan cara menjijikan.
Namun
semua telah telanjur terjadi. Aretha mengambil kaos merah tua di sampingnya, membersihkan
darah kering di bagian hidung dan sela bibir. Ia juga menggunakan kaos merah
tua itu untuk mengelap darah dan cairan putih menjijikan mengotori sekitar perut dan alat kelaminnya.
Aretha
keluar dari ruko itu setelah ia mengamati tak banyak orang berlalu lalang di
sana. Ia berusaha memperbaiki cara berjalannya sewajar mungkin meskipun rasa
nyeri dan pedih di selangkangan begitu menyakitkan. Dengan kondisi wajah kumal
dan serba acak-acakan, Aretha menjauhkan diri dari ruko itu. Ia tak tahu mau ke
mana lagi. Ia membiarkan tatap hampa, langkah kaki dan arah mata angin membawa
dirinya. Ia tak peduli dengan sorot dan tatap mata dari orang-orang lewat dan
berpapasan singkat dengannya. Ia hanya ingin pergi ke mana saja. Soal arah dan
tujuan itu urusan persetan dan masa bodoh.
Aretha
ingin mencari surga. Surga yang menjadi tempat peristirahatan abadi ayah, ibu
dan kakaknya. Dalam hatinya, dunia yang selama ini dianggapnya selalu baik
kepada orang-orang baik dan selalu membalaskan hal-hal baik kepada orang baik
sudah runtuh. Dunia ini memang dikutuk untuk menyiksa orang-orang baik dengan
kenyataan pahit getir, tak pernah menjadikan kemauan manusia sesuai dengan apa
yang dipikirkan dan diinginkan.
Aretha
membalikkan badan ke arah jalan raya. Di antara kendaraan bermesin melaju cepat
di permukaan jalan, alam bawah sadar Aretha memproyeksikan bayangan ayah, ibu
dan Arsyad sedang berdiri di tengah jalan. Roman mereka begitu teduh. Akan
tetapi torehan senyum bibir merah muda mereka tidak menunjukkan kalau mereka
bahagia. Lebih mengarah pada senyum hampa dan muram. Apa yang mereka rasakan
saat ini terhubung dengan perasaan Aretha. Ia meneteskan air mata mengetahui
bahwa orang tua dan kakaknya tidak bahagia di akhirat sana. Ia harus mendekati
mereka, mengadu tentang kenyataan yang telah menodai tubuh sucinya. Dan
memberitahu kalau ia bersedia dan rela membalaskan dendam mereka.
Aretha
menggerakkan kedua kakinya ke tengah jalan raya. Ia terus berjalan tanpa peduli
kalau kap depan mobil Nissan Juke sudah menyentuh begitu keras pingganya hingga
ia terlempar sejauh tiga meter dari jarak mobil itu. Perempuan itu masih sadar
untuk beberapa detik sebelum akhirnya ia memejamkan mata dan kepalanya
mengeluarkan darah segar.
***
Gadis
itu tidak tahu mengapa ia bisa bertemu lagi dengan tiga pemuda yang
memperkosanya tadi malam. Ia tidak bisa lari ke mana pun. Pintu keluar sudah
tertutup erat. Ia hanya bisa memalingkan wajah dan menutup erat kedua kelopak
mata ketika pemuda berambut gondrong sedang mabuk berahi menikmati tubuhnya.
Aretha
menangis begitu keras sampai akhirnya ia bisa membuka kedua bola matanya. Dirinya
baru tahu kalau iasedang dirawat di ruang ICU. Tangan kiri tertancap selang
infus yang memberikan nutrisi melalui nadi arteri. Bagian dada ditempelkan dua
perekat alat pendeteksi detak jantung. Tapi Aretha masih dalam kondisi lemah.
Ia melihat dua orang laki-laki berjaket kulit cokelat menjaga dirinya.
“Syukurlah,
Nak, kamu sudah sadar. Kami sempat cemas kalau kamu tidak kunjung sadar selama
tujuh jam. Apa sebenarnya yang terjadi denganmu?” tanya seorang lelaki berusia
empat puluh lima tahun itu pada Aretha. Ia terlihat berwibawa dengan cukuran
kumis tipis dan jenggot hitam masih tumbuh pendek.
Aretha
menghadapkan pandangan ke arah asbes rumah sakit lalu berkata tanpa menoleh ke
arah lelaki paruh baya itu, “Hidupku sudah tidak ada artinya. Aku ingin mati.
Aku ingin menyusul ayah, ibu dan kakakkudi sana. Tapi kenapa aku belum juga
mati?”
Lelaki
remaja yang berdiri di samping lelaki dewasa itu menatap Aretha penuh tanda
tanya. Kemudia ia bertanya lagi pada perempuan itu, “Apa yang terjadi denganmu?
Mungkin kami bisa membantumu.”
Aretha
mengubah sorot matanya penuh benci dan dendam. Ia meneteskan air mata lagi
sambil berucap, “Mereka... mereka para lelaki bertampang busuk dan bernafsu
setan itu, mereka harus mati! Mereka harus mati!”
Aretha
sempat histeris ketika disuruh mengingat kejadian yang dialami tadi malam.
Lelaki remaja itu mencoba menenangkan Aretha dengan menyentuh lembut pundaknya
akan tetapi perempuan itu malah menghardik keras, mencegah tindakan lelaki itu.
Lelaki paruh baya yang berada di sebelahnya berkata pada lelaki remaja itu
mungkin dia butuh waktu mengendalikan diri.
“Nak,
kami akan kembali lagi ketika kamu benar-benar sudah sembuh. Administrasi dan
uang pengobatanmu sudah kami tanggung semuanya. Jika kau perlu kami, ini kartu
nama saya,” simpul lelaki paruh baya itu sambil memberikan kartu identitas
miliknya. Mereka berdua undur diri dari hadapan Aretha.
***
Aretha
masih berdiri di depan gerbang rumah sakit. Ia menyangkutkan ranselnya di
pundak sebelah kiri. Ia masih menunggu tumpangan yang akan datang kira-kira
sepuluh menit lagi.
“Ini
sudah dua belas menit. Dan kata mereka lewat telepon, mereka akan sampai
sepuluh menit lagi,” gerutu Aretha sambil melirik arloji di lengannya.
Ia
menyilangkan kedua tangan sambil menginjak-injak tanah pekarangan rumah sakit
berupaya membunuh kebosanan. Tak lama dia melakukan kegiatan itu, Nissan Juke
merah marun sudah berada di hadapannya. Begitu tiba, seseorang membukakan pintu
belakang sebelah kiri.
“Apakah
kami sudah terlambat?” tanya lelaki paruh baya itu.
“Kalian
terlambat tiga menit dari waktu yang kalian janjikan,” jawab Aretha sambil
masuk ke dalam mobil. Begitu ia sudah berada di dalam, ia menarik kenop hingga
pintu belakang tertutup erat. Sang pengemudi melajukan mobil ketika tumpangan
mereka sudah menduduki jok.
Sambil
berfokus pada setir, lelaki paruh baya itu bertanya pada perempuan yang duduk
di belakang, “Kalau boleh tahu namamu siapa, Nak?”
“Namaku
Aretha Lili Meiliana. Kalian bisa memangggilku Aretha,” jawab Aretha sambil
menengok pemandangan jalan di sebelah kirinya.
“Untuk
perkenalanku, kurasa aku tidak perlu mengatakannya. Kau sudah lihat ‘kan di
kartu identitasku?”
“Itu
terserah Om mau memperkenalkan diri atau tidak,” balas Aretha tanpa basa basi.
“Hehehe
begitu ya. Baiklah, namaku Fahnan Afrizal Chaniago. Kau bisa memanggilku ayah
atau bapak Fahnan. Kau bilang kau tidak punya orang tua lagi ‘kan? Mulai
sekarang aku akan menjadi ibu sekaligus ayahmu. Dan sebagai orang tuamu, aku
akan memberi pelajaran kepada orang yang menyakiti putriku.”
Meskipun
Fahnan berkata bahwa dia akan menjadi orang tua baru baginya, Aretha sendiri
berkata dalam hati, tak ada yang bisa
menggantikan Jansen Martua Manurung dan Lasnita Tiolisa Harahap sebagai orang
tuaku. Perempuan itu belum bisa menerima kehadiran Fahnan yang ingin
menggantikan posisi mereka di hatinya. Mana mungkin ada seorang anak mau begitu
saja melupakan orang tua kandung yang telah bersama mereka selama
bertahun-tahun.
Fahnan
dengan kaca kecil yang melekat di atasnya, bisa melihat respons Aretha lewat
bahasa tubuhnya. Ia pun mengerti bahwa dirinya tak bisa begitu saja
menggantikan orang tua kandung yang selama ini menghidupi dan memberi kasih
sayang padanya selama bertahun-tahun.
“Aretha
berapa umurmu saat ini?”
“Empat
belas tahun.”
“Pasti
sangat sulit bagimu mengikhlaskan kepergian orang tua kandungmu ‘kan?” Aretha
mengganguk pelan menjawab pertanyaan dari Fahnan. Bola matanya masih bertahan
melihat ke arah kaca sebelah kanan.
“Oh
ya aku lupa memperkenalkan putraku padamu, Aretha. Namanya Alvaro Ramdani
Chaniago. Kau bisa memanggilnya Alvaro. Putraku masih berusia 18 tahun,” ujar
Fahnan sambil menyuruh putranya memalingkan wajah pada Aretha. Alvaro menatap
perempuan itu dengan mengulas senyum tipis sambil menundukkan kepala menandakan
salam perkenalan.
“Aretha...,”
panggil Fahnan dari depan.
“Ya
Om,” sapa Aretha.
“Kau
masih mengingat tampang para pemuda yang memperkosamu dua hari yang lalu?”
“Untuk
apa Om menanyakan hal itu?”
“Untuk
membalaskan dendammu, Nak. Kau mau ‘kan?” Awalnya Aretha masih terguncang
ketika lelaki paruh baya itu menanyakan karakteristik wajah pemuda yang
memperkosanya. Tetapi begitu Fahnan menawarkan sesuatu berupa pembalasan,
antara ragu dan yakin ingin menerima tawaran dari lelaki itu.
“Balas
dendam apa yang kau maksud?” tanya Aretha seakan-akan tak mengerti.
“Nanti
kau juga akan merasakannya,” jawab Fahnan sambil menyimpul senyum penuh
misteri.
Aretha
menyuruh Fahnan mengarahkan setir ke daerah pemukiman di sekitaran rumah kosong
tempat gadis itu bertemu dengan tiga pemuda itu para pemuda itu. Fahnan
menurunkan kecepatan mobil seraya mengamati bangunan dan rumah-rumah di pinggir
jalan. Aretha menunjukkan jarinya ke arah sebuah kedai kopi. Ia menyuruh Fahnan
dan Alvaro mengamati dua orang pemuda yang sedang menikmati lontong pecal dan
kopi susu.
“Lelaki
berambut gondrong dan cepak itu yang kamu maksud, Aretha?” tunjuk Fahnan dari
dalam mobil. Aretha mengangguk pelan membenarkan ciri-ciri pemuda yang ditunjuk
Fahnan.
“Mereka
cuma berdua. Laki-laki satunya lagi?” sambung Alvaro.
“Nanti
malam pemuda yang satunya lagi pasti muncul. Tapi sekarang kita sudah dapatkan
target kita.”
***
Salah
satu dari pemuda itu sudah siuman dari tidur mereka. Pemuda berambut gondrong
menyadari bahwa ia dan dua temannya berada di sebuah ruko kosong dan tanpa
lampu penerangan. Ketika ia akan menggerakkan badan, ia merasakan nyeri dan
sakit di kedua telapak tangan. Lelaki itu terkejut ngeri begitu melihat kedua
tangannya sudah dipaku di dinding. Kedua tungkai kakinya diikat erat dengan
tali tambang. Dan keadaan yang sama dialami kedua temannya.
“Hei
siapa kalian, hah? Mau apa kalian pada kami?” jerit pemuda berambut gondrong
itu.
Pemuda
itu mendengar seseorang tengah menyalakan korek api. Ia melihat ujung korek itu
memercikkan api lalu di dekat pada sumbu lampu semprong. Kini pemuda itu bisa melihat
jelas sosok yang memegang lampu semprong.
“Ternyata
itu kamu ya, gadis manis. Kau datang untuk melayani kami lagi?” tanya pemuda
gondrong itu sambil mengulas senyum cabul.
“Sebaiknya
kau mengarahkan matamu ke sebelah kiri dan kanan,” suruh Aretha pada pemuda
itu. Lelaki berambut gondrong itu refleks memekik ketika melihat kedua temannya
bermandikan darah segar. Kematian mengerikan menjemput mereka dengan sayatan
memanjang di bagian leher dan tusukan bertubi-tubi di bagian perut dan dada.
Dan bagian paling mengerikan dari itu semua—batang kelamin dan buah zakar
mereka sudah dipotong.
Tinggal
pemuda gondrong itu yang tersisa. Ia sendiri pun dalam kondisi tidak mengenakan
sehelai benang pun. Pemuda gondrong itu melihat dua orang lelaki sudah berdiri di
samping gadis itu. Satu memegang jerigen berisi bensin dan satunya lagi
mengenakan sarung tangan karet, memegang sebuah pisau bedah. Alvaro yang memegang
pisau bedah tanpa babibu memotong batang kemaluan pemuda gondrong itu. Pemuda
itu merasa sayatan pisau sedang merenggut separuh nyawanya. Ia memekik kencang.
Ia tak bisa membedakan mana rasa sakit, mana penyiksaan. Semua rata dan sama.
Darah
terus mengalir bak aliran air banjir. Sekujur tubuh lelaki gondrong itu memutih
seputih tisu. Ia tak punya sedikit pun daya menggerakkan tubuh atau mendesis.
Fahnan mengguyur bensin dalam jerigen ke seluruh tubuh pemuda itu.
“Lakukan
saja, Aretha. Mereka harus merasakan bagaimana penderitaan yang mereka lakukan
padamu,” ucap Fahnan pada Aretha. Perkataan itu mengalir begitu mudah ke dalam
saraf otaknya hingga diproses menjadi sebuah perintah nyata. Aretha melemparkan
lampu semprong itu hingga api menyambar tubuh lemah pemuda itu.
“Sepertinya
yang kita cari sudah ada di sini, Ayah,” ucap Alvaro dingin.
“Selamat
datang di Killer Order, Aretha,” sambut Aretha dengan seringai lebar diterangi
kobaran api semakin membesar.