Monday, 18 June 2018

DUAL - 5




Target
            Senin, 24 Oktober 2017
            Aretha dan Alvaro masih berada di ranjang yang sama. Di ranjang yang menjadi tempat mereka melampiaskan gelora berahi yang menggebu-gebu. Selimut hijau muda masih menutup rapat raga mereka yang tak tertutupi sehelai benang pun. Tak lama Alvaro langsung  menggeser selimut yang menudungi badannya ketika mendengar ponsel dalam kantong celananya berbunyi.
            “Halo ayah,” jawab Alvaro.
            “Kalian berdua di mana sekarang? Kita ada pekerjaan baru.”
            “Kami sedang berada di Museum Fatahillah,” karang Alvaro pada ayahnya.
            “Kalau begitu cepat datang ke sini. Ayah akan tunjukkan siapa target kita.”
            Alvaro menekan tombol merah mengakhiri panggilan. Aretha sudah bangun dari tidurnya, sudah berada di samping lelaki berambut cepak itu lalu bertanya, “Dari ayah?”
            “Ya. Dia punya pekerjaan baru untuk kita.”
            “Uh dia itu punya banyak anak buah tapi kenapa tugas-tugas seperti ini lebih sering diberikan kepada kita?” ketus Aretha dengan melipat bibir ke bawah.
            “Mungkin kita adalah anak kesayangannya. Mungkin juga pekerjaan yang kita kerjakan merupakan pekerjaan sulit.” Alvaro mengutarakan beberapa jawaban atas keluhan perempuan itu. Sambil berbicara, lelaki berjakun sedang itu mengenakan kembali kemeja lengan panjang warna putih dan mengencangkan ikat pinggang. Sementara itu, Aretha tampil anggun  mengenakan rok span merah tua dan kemeja lengan panjang merah tua bermotif garis vertikal tipis.
            “Alasan klise,” tanggap Aretha sambil menyisir pelan-pelan rambutnya. Perempuan itu memercikkan Eskulin ke bagian dada, “ayo kita pergi. Aku yakin ayah Fahnan sudah menunggu kita begitu lama”
***
            Alvaro mengendarai Pajero Sport dengan kecepatan 60 km/jam. Dengan pembawaan tenang, lelaki itu mencoba membuka pembicaraan dengan perempuan di sebelahnya. Akan tetapi, malah Aretha memulai percakapan dengan memanggil namanya.
            “ Alvaro...”
            “Apa?”
            “Kau yakin dengan kalau dua orang itu bisa diajak kerja sama?”
            “Siapa yang kau maksud?”
            “Dua anggota sindikat HOVTA, Anggara dan Fiolina.”
            Lelaki sekilasmemalingkan mata ke arah jalan di hadapannya kemudian membalas pertanyaan Aretha, “Aku yakin.”
            “Seberapa besar keyakinanmu? Apa buktinya?” Aretha menimpali Alavaro dengan pertanyaan baru.
            “Kau akan tahu sendiri. Dan saat-saat yang kau inginkan akan datang. Kau bisa langsung berhadapan dengannya. Kita perlu mempercayai mereka sebab sindikat HOVTA disarati dengan orang-orang mengerikan. Kita berdua tidak akan sanggup jika berhadapan dengan mereka secara langsung,” jelas Alvaro sambil memutar setir memasuki kawasan apartemen tingkat dua puluh lima.
            Aretha memilih diam. Dalam hati ia masih mempercayai perkataan Alvaro kalau rencananya akan berjalan sesuai keinginan. Alvaro menekan pedal rem tepat di halaman depan rukan berlantai tiga. Suasana di luar rukan didominasi beberapa rukan serupa dan ruko beru belumberpenghuni. Alvaro merogoh kunci dari saku, membuka pintu besi di hadapannya. Seraya memasuki lantai satu, mereka sudah maklum dengan pemandangan para anggota sindikat Killer Order memenuhi tiga meja judi dan juga para penonton setia melihat permainan mereka. Tiga meja biliar juga penuh dengan bunyi sodokan stik kayu menumbuk bola keras itu.
            “Alvaro, ayok main. Kita taruhan 1 plat dua ratus ribu,” ujar salah satu pemain biliar pada Alvaro.
            “Istirahat dulu kita, Bro. Bos punya tugas buat gua,” balas Alvaro, lugas. Pemain biliar yang mengajaknya mengacungkan ibu jari pada Alvaro begitu ia mendengar keduanya ada tugas dari bos.
            Alvaro dan Aretha terus berjalan tanpa mempedulikan suara musik khas diskotik kota menggetarkan jantung mereka. Keduanya melangkah menaiki anak tangga disusun berjajar mulai dari dasar lantai dua sampai ke pintu depan lantai tiga. Mereka membuka daun pintu sedikit. Suasana di sana begitu sepi. Tidak ada kebisingan mengganggu indra pendengaran. Lantai tiga memang dikhususkan sebagai ruang rapat atau ruang bicara para anggota Killer Order. Dalam ruangan itu, terdapat tiga sofa berbeledu coklat muda disusun seperti huruf U. Saat mereka berdua membuka pintu, mereka menemukan seorang wanita keluar dari ruangan bos mereka. Wanita itu berjaket jins. Bertanktop warna merah. Payudaranyaseakan memberontak keluar dari bra yang dia kenakan. Alvaro menerka umur wanita itu sekitar 20 sampai 22tahun.
            “Lonte dari siapa yang kau pakai itu, Ayah?” Alvaro dan Aretha memasuki kantor pribadi ayahnya sambil menduduki kursi putar yang telah disediakan.
            “Biasalah. Semalam aku menelepon Jeng Vera. Kusuruh dia mendatangkan satu perek pilihannya ke kantor ini. Kau tahu libidoku sedang naik-naiknya,” ungkap Fahnan sambil merapikan pinggang pinggang dan menaikkan resleting celana.
            Alvaro sudah lama mengetahui kebiasaan sang ayah suka membawa wanita tuna susila ke kantor pribadinya. Lelaki itu juga tahu kalau Fahnan memiliki gairah seks lumayan tinggi. Jika sedang ingin bercinta, lelaki berusia hampir setengah abad itu bisa berhubungan intim dengan tiga wanita dalam satu waktu. Begitu semua sudah rapi, Fahnan duduk di atas kursi miliknya.
            “Jadi, apa tugas yang akan kami kerjakan?” sambung Aretha sambil menatap tak senang.
            Lelaki berkumis hitam bercampur putih itu membuka laci meja. Ia mengambil sebuah dua lembar foto dan data berhubungan dengan target mereka.
            “Dedy Rahmad Yadi. Usia 55 tahun. Purnawirawan perwira TNI AD. Pangkat terakhir Mayor. Saat ini dia sedang mencalonkan diri sebagai calon gubernur dalam pilkada Jawa Barat.” Fahnan mendeskripsikan singkat hal penting terkait target mereka.
            Alvaro dan Aretha mengamati ciri-ciri target mereka dari foto dan data yang diberikan sang ayah. Keduanya mengangguk pelan lalu Alvaro berkata lagi, “Ada hal lain yang perlu kami perhatikan?”
            “Oh ya. Klien kita bilang buat seolah target kita meninggal karena bunuh diri atau kecelakaan. Usahakan lakukan aksi kalian di tempat sepi dan tanpa pengawasan pengawal pribadinya. Dia punya dua pengawal pribadi,” tambah sambil meruncingkan telunjuk ke arah mereka berdua.
            “Kami mengerti,” jawab mereka serempak sambil mengangguk setuju. Alvaro dan Aretha mengangkat bokong mereka dari kursi. Begitu ayah selesai memberikan petunjuk dan arahan mengenai target mereka, keduanya angkat kaki dari ruangan itu.
            “Si tua bangka itu masih saja doyan sama daun muda,” ucap Aretha sinis.
            “Begitulah ayah, Aretha. Itu sebabnya ibuku menceraikan ayah karena tidak tahan melihat tingkah laku ayah doyan bermain perempuan,” bisik Alvaro seraya kedua kakinya tetap menginjak anak tangga.
            “Ke mana kita sekarang?”
            “Kantor polisi, mungkin. Di sana kita bisa menyerahkan diri dan mengungkapkan kejahatan kita dan organisasi ini. Gimana?” usul Arteha seraya menutup senyum manisnya.
            “Kalau begitu kau harus di penjara dalam satu sel yang sama denganku,” balas Alvaro sambil menyikut lengan Aretha. Kedua manusia beda jenis kelamin itu tertawa lepas mendengar lelucon mereka sendiri. Kedua kaki mereka tetap satu  tujuan menuju Pajero Sport yang mereka parkir di luar.
***
            Suara Taylor Swift mampu menyihir para pengunjung kafe 339 untuk tetap nyaman di bangku dan sofa yang disediakan pihak pengelola kafe. Ukiran kayu membentuk pagar, patung serta menara terkenal di dunia begitu juga lampu hias warna-warni menggantung di atap asbes kafe, memperindah juga menambah kesan istimewa dan eksklusif kafe itu. Akan tetapi lelaki dan perempuan yang berada di lantai atas tepatnya di bagian luar kafe terlihat tegang dan tengah memikirkan sesuatu.
            “Jangan terlihat emosional begitu, Fio. Kau tadi bisa membuat bos Haris dan si Jonas wibu itu tambah curiga pada kita. Tenang saja,”  ungkap Anggara pada partnernya, Fiolina. Sudah dua jam mereka berada di kafe itu tapi jus alpukat dan mochacino pesanan mereka belum habis setengah gelas.
            “Kau yakin kalau Chyntia tidak akan mengkhianati kita?” tanya Fiolina sanksi.
            “Kalau dia memang bertujuan mengkhianti kita, aku sendiri akan memutilasinya hidup-hidup dan isi perutnya akan kucampakkan ke kandang singa tapi sejauh ini, kelihatannya dia bisa dipercaya,” sanggah Alvaro seraya menyesap jus alpukatnya.
            “Kau...yakin masih mau membantu memuluskan rencana mereka?”
            Awalnya Alvaro bingung dengan maksud pertanyaan Aretha. Tetapi jaringan saraf di otaknya cepat merespons begitu mendapatkan kata kunci dari perkataan perempuan itu.
            “Mereka itu simbiosis mutualisme untuk kita. Mereka memberikan kita akses masuk pada bos Killer Order begitu juga dengan kita. Dalam jangka empat tahun kita berhasil menyingkirkan satu per satu orang-orang berbahaya Killer Order dan mereka pun begitu. Mungkin ini saatnya kita menghadapi bos besar Killer Order,” jabar Alvaro.
            “Aku juga tidak sabar untuk menghabisi si keparat yang sudah membunuh dan menghancurkan hidup kita di masa lalu.” Fiolina menyeruput minumannya begitu cepat hingga tersisa seperempat lagi.
            “Oh ya bos Haris menyuruh kita menemui ini.” Perempuan berkulit kuning langsat itu membuka aplikasi Whatsapp lalu membuka notifikasi grup Human Organ Vital Trafficking Association atau bisa disingkat dengan HOVTA. Fiolina menunjukkan sebuah pesan yang ditujukan pada mereka berdua untuk segera dilaksanakan.
            “Semua peralatan sudah berada di mobil kan?” Fiolina mengangguk pelan mengiyakan pertanyaan Anggara. Lelaki itu memalingkan kepala melihat arloji Mount Blanc di lengannya. Keduanya menghabiskan minuman sampai gelas kosong kemudian menuju meja kasir. Begitu semua sudah dibayar, Anggara dan Fiolina bergegas meninggalkan kafe itu menuju parkiran mobil.
            Lelaki berkaos oblong biru tosca dan perempuan berambut sebahu sedang mencatat apa yang mereka amati barusan. Mereka berdua memastikan apakah laki-laki berjaket kulit coklat, berambut gondrong dan perempuan bertanktop kuning jeruk, mengenakan celana pendek di atas lima sentimeter itu merupakan orang yang mereka cari.
            “Apakah itu memang orang yang dicari komandan kita?” tanya perempuan yang mengenakan lambang satu lekukan seperti huruf M di kerahnya.
            “Tidak salah lagi. Kita sudah mendapatkan masing-masing dua orang penting di salah satu sindikat berbahaya di kota ini. Sekarang kita harus melaporkan hasil pengintaian kita pada komandan. Ayo,” tutup lelaki berkaos oblong biru tosca itu sambil menutup buku agenda tempatnya melukis sketsa wajah mereka. 

Monday, 11 June 2018

DUAL - 4



[D]Evil
            Suasana pagi di rumah Haris diliputi keributan ketika mereka mengetahui keponakan mereka meninggalkan rumah tanpa permisi sama sekali. Dan sayangnya tak ada sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk ke mana keponakan mereka pergi. Aretha meninggalkan telepon genggam miliknya di kamar tidur tapi di atas ranjang, perempuan itu menuliskan sebuah surat singkat pada paman dan bibinya.
            Aku pergi, Paman, Bibi. Aku ingin mencari kehidupan baru.
            Keponakan kalian,
            Aretha.
            “Jadi kita harus bagaimana, Haris? Kau tahu ‘kan Aretha masih anak-anak. Dan dia masih berada di masa labilnya. Aku takut seseorang akan memanfaatkan dia untuk hal-hal yang tidak inginkan,” ujar bibi Tanta penuh khawatir dan prasangka buruk.
            “Aku juga enggak tahu, Tanta. Tapi aku akan menelepon polisi untuk mencari ke mana anak itu,” balas paman Haris sambil meredam kekhawatiran istrinya mengenai keponakan mereka.
***
            Aretha masih mengamati arloji bermotif Mickey Mouse melingkar di kulit pergelangan tangannya yang mulus. Sejak tadi malam, ia sudah merencanakan kepergiannya dari kediaman pamannya. Ia sudah menyusun beberapa pakaian yang akan dibawa dalam pelarian. Ketika paman, bibi serta penjaga gerbang sedang lengah, Aretha akan menggunakan kunci cadangan yang diam-diam diambilnya dari kamar pamannya.
            Dari pukul 22. 00 malam sampai dengan 03.20 dini hari, Aretha tetap terjaga dalam tidurnya. Ia tak bisa membenamkan diri dalam dunia mimpi. Bayang-bayang kepergian ayah, ibu dan Arsyad menggentayangi pikiran. Ia merasa ada sesuatu ganjil dari kematian mereka. Kematian mereka masih mengundang tanda tanya dalam benak Aretha. Tapi Aretha sendiri pun tidak mampu membuktikan apa keganjilan yang dimaksudnya itu. Ia memilih pergi sambil berharap bisa menemukan titik terang penyebab kematian ayah, ibu dan Arsyad suatu hari nanti.
            Aretha sudah memantapkan tekad untuk pergi. Di depan pintu kamar, ia memutar kunci kamar secara hati-hati agar tidak menimbulkan suara berisik mencurigakan yang bisa saja terdengar oleh paman dan bibinya. Begitu berada di luar kamar, Aretha pelan-pelan mengangkat kaki, menuruni tangga lantai dua. Sudah berada di lantai dasar, Aretha harus melangkah lagi ke depan pintu tamu. Momen mendebarkan bagi Aretha ketika ia akan membuka pintu depan ruang tamu. Tangan kanannya berusaha memutar kunci seraya menempelkan perutnya untuk meredam suara engsel.
            Bulir keringat menetes lebih deras ketika perempuan itu mendengar jemari menekan stop kontak dari arah kamar pamannya. Aretha berhenti sesaat memastikan pamannya tidak mendengar suara mencurigakan dari ruang depan. Aretha mengembuskan napas lega ketika pamannya kembali menekan tombol stop kontak dan kamar kembali gelap.
            Perempuan berkulit sawo matang itu menekan gagang pintu sambil menyingkapkan sedikit daun pintu. Ekor matanya mengamati penjaga gerbang tidur begitu nyenyak sampai mengeluarkan suara ngorok mengganggu. Ini kesempatan bagus, ujar batin Aretha. Ia pelan-pelan menarik gagap pintu sambil melepas perlahan hingga pintu tertutup rapat. Ia  berjinjit dari teras sampai tembok pembatas rumah.
            Ia sudah sampai di depan tembok. Aretha mengamati tinggi tembok itu dengan dirinya berselisih 60 sentimeter. Agak mustahil jika ia menggapai ujung tembok dengan sekadar melompat saja. Namun ia tidak menyerah. Ia masih berpikir. Aretha memundurkan langkah sejauh satu dua meter dari jarak tembok itu dengan dirinya. Kepalanya menoleh sekilas ke arah penjaga gerbang. Ternyata penjaga gerbang masih terlelap dalam dunia mimpi. Begitu mendapatkan ancang-ancang yang pas, Aretha berlari menuju tembok kemudian melompat setinggi mungkin meraih ujung tembok dan berhasil. Satu tangannya berhasil menggapai ujung tembok. Aretha menaikkan satu tangannya lagi lalu mengangkat badan ke atas. Ia melempar tas sambil mempersiapkan napas dan ancang-ancang untuk mendarat ke tanah.
***
            Aretha sudah berada dalam bus selama enam jam. Ia masih berpikir ke mana ia akan pergi. Sempat berpikir untuk kembali saja ke rumah paman tapi hal itu diurungkannya. Ia tetap bersikeras pergi mencari kehidupan baru. Ketika ia sedang asyik menikmati panorama jalan yang dilewatinya, kondektur bus sudah berada di hadapannya sambil merentangkan tangan kanan.
            “Hei Dek, ongkosmu,” ujar kondektur bus pada Aretha.
            Aretha memberikan selembar uang nominal seratus ribu rupiah pada sang kondektur lalu berkata, “Apakah bus ini akan mengantarku sampai ke Jakarta?”
            “Kau salah naik kendaraan, Dek. Kalau mau ke Jakarta, seharusnya kau naik pesawat terbang atau tidak kapal laut. Lagipula trayek bus ini cuma sampai di Palembang. Jadi ke mana tujuanmu sekarang?”
            Aretha salah mengira kalau dia akan diantarkan sampai ke pulau Jawa. Sekarang ia sendiri pun bingung di mana dan mau ke mana tujuannya. Lalu ia bertanya lagi pada kondektur bus, “Kalau boleh tahu, kita sedang berada di mana saat ini?”
            “Kandis. Kau mau turun di sini?” Aretha mengangguk pelan, “kurang dua puluh ribu lagi, Dek.” Aretha memberikan selembar uang lima puluh ribu lalu bergantian tangan sang kondektur memberikan uang kembalian.
            Sambil mengucap ‘terimakasih’, perempuan itu sudah turun dari bus. Yang terpampang sekarang adalah sebuah suasana kota kecil yang mirip dengan kota Tebing Tinggi. Beruntung dia diturunkan di depan sebuah rumah makan Padang. Seraya berjalan ke rumah makan, Aretha menghitung uang yang tersisa di tangannya—Rp 280.000,00. Terlintas dalam benak perempuan itu bagaimana dia bisa hidup dua sampai tiga hari ke depan dengan uang yang tersisa saat ini? Memikirkan hal itu membuat perutnya mengeluarkan suara aneh.
            Aretha memesan satu porsi nasi ditambah ayam goreng dan kuah kari. Ia melahap nasi itu amat cepat karena tak biasa Aretha menahan lapar sampai dengan pukul satu siang. Ketika masih bersekolah, perempuan itu membawa bekal makanan dari rumah untuk dimakan pada jam istrihat tapi sekarang itu tinggal kenangan saja. Sangking laparnya, perempuan itu meminta satu porsi nasi lagi pada pelayan rumah makan. Didukung dengan cuaca kota yang panas, Aretha memesan satu gelas teh manis dingin. Ia menyedot teh itu secara terus menerus hingga tersisa setengah gelas.
            Aretha bersendawa ketika ia menyeka mulut yang masih terdapat sisa percikan kuah kari dan sebutirnasi lengket di pinggir bibirnya. Tapi ketika ia sedang mengistirahatkan perutnya, Aretha mulai berpikir apa yang akan dilakukan dan mau ke mana dirinya setelah ini. Ia bangkit dari kursi menuju meja kasir.
            Setelah keluar dari rumah makan, yang dilakukan Aretha adalah mengitari kota Kandis sambil mencari orang yang mau menerimanya menumpang hidup sementara. Akan tetapi sudah lima jam lebih, Aretha tidak menjumpai tempat pas untuk dijadikan tempat tinggal sementara. Tidak ada sanak saudara yang dia dikenali di kota itu dan tidak ada yang mau menerima dirinya bekerja. Kata mereka tubuh Aretha masih terlalu muda dan lemah untuk ditempatkan pada pekerjaan yang mengandalkan otot dan tenaga. Tubuhnya sudah dikuasai rasa lelah amat menyiksa. Air minum yang tersisa tinggal seperempat lagi.
            Ia memilih merebahkan tubuhnya di atas lantai semen sebuah ruko yang ditutup. Aretha menjadikan tas ranselnya sebagai alas kepala. Ia memiringkan badannya menghadap pintu luar ruko yang tertutup rapat. Dalam pembaringan, ia memutar kenangan di dalam kepakanya tentang masa kecilnya. Ketika ayahnya meninabobokan dengan membacakan dongeng dan menggelitik tubuhnya. Sungguh kenangan yang manis, ucap batin Aretha.
            Ketika dirinya sudah beranjak usia 10 tahun dan saat itu, ia bertengkar dengan kakaknya, Arsyad, perihal pemilihan penempatan kamar tidur. Aretha bersikeras ia memilih kamar tidur di lantai dua yang juga dipilih oleh kakaknya. Akhirnya ibunya membujuk Arsyad untuk mengalah pada adiknya dan kamar tidur di lantai dua diberikan pada Aretha.
            “Owh kenapa Tuhan begitu cepat mengambil semua yang kupunya?” gumam Aretha sambil berlinang air mata mengingat semua puing-puing kenangan ketika keluarganya masih ada di sisinya.
            Aretha tertidur begitu pulas sampai-sampai ia tidak tahu dua orang sedang menjamah-jamah permukaan tubuhnya. Aretha sedikit demi sedikit mulai merasakan sentuhan tangan itu aktif meraba kulit sawo matangnya. Ia mengerdipkan kelopak matanya pelan-pelan dan masih dalam kondisi setengah sadar, dirinya melihat tiga orang laki-laki berumuran sekitar 18-19 tahun sudah berada di balik punggungnya.
            “Hah, mau apa kalian?! Kalian siapa?!” Aretha terperanjat hebat. Ia bangkit dari rebahannya kemudian secepat kilat ia menggeser tubuhnya menjauhi dua pemuda itu.
              “Cantik juga dia, Yud. Coba lihat bodinya. Wow! Paten punya. Cikal bakal artis bokep ini cewek.” Bola mata ketiga pemuda itu aktif menjelajahi tiap jengkal tubuh Aretha terbungkus kaos oblong merah tua, jaket jins serta celana jins biru dongker. Mereka melontarkan perkataan berbau mesum dan merendahkan martabatnya sebagai seorang perempuan.
            “Kalau kalian sampai macam-macam, aku bakalan teriak,” ancam Aretha pada mereka.
            Ketiga pemuda itu saling tatap sebentar kemudian tertawa terbahak-bahak. Salah satu dari mereka berkata pada Aretha, “Teriak saja, gadis manis. Di sini tidak akan ada orang yang mau menolong orang asing seperti kamu.”
            Mereka bertiga benar. Aretha tidak mengamati lalu lalang satu manusia pun melewati daerah itu. Seketika perempuan itu perlahan dikuasai rasa takut. Salah satu dari pemuda itu memegang botol minuman keras. Bisa jadi ketiga pemuda itu baru saja selesai mabuk-mabukan. Dan bisa gawat kalau mereka nekat menghabisi dirinya dengan botol kaca yang dipegangnya.
            Aretha berusaha mencari celah dari mereka bertiga. Perempuan itu melebarkan sedikit kelopak mata ketika ia melihat celah kosong dari lelaki yang berada di sebelah kiri. Aretha pelan-pelan menaikkan badan sekaligus mengambil ancang-ancang melarikan diri. Akan tetapi, ketiga pemuda itu semakin merapatkan diri mereka pada Aretha. Oh sial, mereka makin mendekat, rutuk perempuan itu dalam hati. Namun celah yang dia incar untuk melarikan diri tetap ada.
            Dengan gerakan menerjang tiba-tiba, Aretha menunduk lewat celah tangan pemuda di sebelah kirinya. Tapi sial bagi Aretha. Pemuda berambut keriting itu berhasil mendekap perutnya. Sambil menahan pergerakan Aretha, tangan kiri pemuda itu sedang mencoba membuka kancing jins milik gadis rambut berkepang kuda. Aretha yang panik melakukan perlawanan dengan mengacungkan dua jarinya ke arah bola mata pemuda itu seraya menggigit lengannya.
            Perlawanan Aretha sukses membuatnya terlepas dan memanfaatkan situasi ini untuk berlari sekencang mungkin. Tak mau mangsa mereka lepas begitu saja, mereka berlari menyusul gadis itu. Aretha mengerahkan seluruh tenaga agar ia bisa lolos dari ketiga pemuda itu. Meski dalam kondisi setengah mabuk, lari mereka begitu kencang. Aretha semakin cemas kalau salah satu dari mereka berhasil menangkapnya. Sedikit lagi, kira-kira lima puluh meter lagi Aretha akan sampai pemukiman penduduk. Namun naas. Napas perempuan itu mulai melemah dan secara tak sadar tubuhnya mulai memperlambat kecepatannya berlari.
            Hal ini dimanfaatkan pemuda berkumis tipis untuk menjatuhkan Aretha dengan menekel mata kakinya. Tekelan pemuda itu telak mengenai mata kaki perempuan itu. Aretha kehilangan keseimbangan tubuhnya. Ia jatuh terjerembab. Dagu datarnya menubruk permukaan keras jalanan aspal. Aretha meringis menahan nyeri di dagu, sikut dan lutut kaki. Ketika ia mencoba bangkit berdiri, para pemuda itu sudah berada di depannya. Gadis itu menangis pasrah, membiarkan para pemuda itu menggotong dan membawa tubuh lemahnya ke sebuah ruko kosong.   
***
            Aretha masih berbaring menikmati dinginnya permukaan lantai semen. Pelan-pelan dirinya membuka kelopak matanya yang masih terasa perih dan sakit. Tapi bukan kelopak matanya merasakan sakit teramat menyiksa. Seluruh tulang belulang yang melekat pada otot dan daging serasa rontok, ingin menyeruak dari tubuhnya. Jika membayangkan bagaimana wajah-wajah setan penuh nafsu kebinatangan menggerayanginya tadi malam, ingin rasanya Aretha berteriak sekuat tenaga, membiarkan air mata dan tangisannya menjadi jeritan lantang mengutuk dunia yang memperlakukan dirinya begitu kejam dan tidak manusiawi. Tapi ia cuma bisa meratap dalam hening sambil menyalahkan diri yang tak mampu melawan kenyataan yang melecehkan tubuh pemberian sang Tuhan dengan cara menjijikan.
            Namun semua telah telanjur terjadi. Aretha mengambil kaos merah tua di sampingnya, membersihkan darah kering di bagian hidung dan sela bibir. Ia juga menggunakan kaos merah tua itu untuk mengelap darah dan cairan putih menjijikan  mengotori sekitar perut dan alat kelaminnya.
            Aretha keluar dari ruko itu setelah ia mengamati tak banyak orang berlalu lalang di sana. Ia berusaha memperbaiki cara berjalannya sewajar mungkin meskipun rasa nyeri dan pedih di selangkangan begitu menyakitkan. Dengan kondisi wajah kumal dan serba acak-acakan, Aretha menjauhkan diri dari ruko itu. Ia tak tahu mau ke mana lagi. Ia membiarkan tatap hampa, langkah kaki dan arah mata angin membawa dirinya. Ia tak peduli dengan sorot dan tatap mata dari orang-orang lewat dan berpapasan singkat dengannya. Ia hanya ingin pergi ke mana saja. Soal arah dan tujuan itu urusan persetan dan masa bodoh. 
            Aretha ingin mencari surga. Surga yang menjadi tempat peristirahatan abadi ayah, ibu dan kakaknya. Dalam hatinya, dunia yang selama ini dianggapnya selalu baik kepada orang-orang baik dan selalu membalaskan hal-hal baik kepada orang baik sudah runtuh. Dunia ini memang dikutuk untuk menyiksa orang-orang baik dengan kenyataan pahit getir, tak pernah menjadikan kemauan manusia sesuai dengan apa yang dipikirkan dan diinginkan.
            Aretha membalikkan badan ke arah jalan raya. Di antara kendaraan bermesin melaju cepat di permukaan jalan, alam bawah sadar Aretha memproyeksikan bayangan ayah, ibu dan Arsyad sedang berdiri di tengah jalan. Roman mereka begitu teduh. Akan tetapi torehan senyum bibir merah muda mereka tidak menunjukkan kalau mereka bahagia. Lebih mengarah pada senyum hampa dan muram. Apa yang mereka rasakan saat ini terhubung dengan perasaan Aretha. Ia meneteskan air mata mengetahui bahwa orang tua dan kakaknya tidak bahagia di akhirat sana. Ia harus mendekati mereka, mengadu tentang kenyataan yang telah menodai tubuh sucinya. Dan memberitahu kalau ia bersedia dan rela membalaskan dendam mereka.
            Aretha menggerakkan kedua kakinya ke tengah jalan raya. Ia terus berjalan tanpa peduli kalau kap depan mobil Nissan Juke sudah menyentuh begitu keras pingganya hingga ia terlempar sejauh tiga meter dari jarak mobil itu. Perempuan itu masih sadar untuk beberapa detik sebelum akhirnya ia memejamkan mata dan kepalanya mengeluarkan darah segar.
***
            Gadis itu tidak tahu mengapa ia bisa bertemu lagi dengan tiga pemuda yang memperkosanya tadi malam. Ia tidak bisa lari ke mana pun. Pintu keluar sudah tertutup erat. Ia hanya bisa memalingkan wajah dan menutup erat kedua kelopak mata ketika pemuda berambut gondrong sedang mabuk berahi menikmati tubuhnya.
            Aretha menangis begitu keras sampai akhirnya ia bisa membuka kedua bola matanya. Dirinya baru tahu kalau iasedang dirawat di ruang ICU. Tangan kiri tertancap selang infus yang memberikan nutrisi melalui nadi arteri. Bagian dada ditempelkan dua perekat alat pendeteksi detak jantung. Tapi Aretha masih dalam kondisi lemah. Ia melihat dua orang laki-laki berjaket kulit cokelat menjaga dirinya.
            “Syukurlah, Nak, kamu sudah sadar. Kami sempat cemas kalau kamu tidak kunjung sadar selama tujuh jam. Apa sebenarnya yang terjadi denganmu?” tanya seorang lelaki berusia empat puluh lima tahun itu pada Aretha. Ia terlihat berwibawa dengan cukuran kumis tipis dan jenggot hitam masih tumbuh pendek.
            Aretha menghadapkan pandangan ke arah asbes rumah sakit lalu berkata tanpa menoleh ke arah lelaki paruh baya itu, “Hidupku sudah tidak ada artinya. Aku ingin mati. Aku ingin menyusul ayah, ibu dan kakakkudi sana. Tapi kenapa aku belum juga mati?”
            Lelaki remaja yang berdiri di samping lelaki dewasa itu menatap Aretha penuh tanda tanya. Kemudia ia bertanya lagi pada perempuan itu, “Apa yang terjadi denganmu? Mungkin kami bisa membantumu.”       
            Aretha mengubah sorot matanya penuh benci dan dendam. Ia meneteskan air mata lagi sambil berucap, “Mereka... mereka para lelaki bertampang busuk dan bernafsu setan itu, mereka harus mati! Mereka harus mati!”
            Aretha sempat histeris ketika disuruh mengingat kejadian yang dialami tadi malam. Lelaki remaja itu mencoba menenangkan Aretha dengan menyentuh lembut pundaknya akan tetapi perempuan itu malah menghardik keras, mencegah tindakan lelaki itu. Lelaki paruh baya yang berada di sebelahnya berkata pada lelaki remaja itu mungkin dia butuh waktu mengendalikan diri.
            “Nak, kami akan kembali lagi ketika kamu benar-benar sudah sembuh. Administrasi dan uang pengobatanmu sudah kami tanggung semuanya. Jika kau perlu kami, ini kartu nama saya,” simpul lelaki paruh baya itu sambil memberikan kartu identitas miliknya. Mereka berdua undur diri dari hadapan Aretha.
***
            Aretha masih berdiri di depan gerbang rumah sakit. Ia menyangkutkan ranselnya di pundak sebelah kiri. Ia masih menunggu tumpangan yang akan datang kira-kira sepuluh menit lagi.
            “Ini sudah dua belas menit. Dan kata mereka lewat telepon, mereka akan sampai sepuluh menit lagi,” gerutu Aretha sambil melirik arloji di lengannya.
            Ia menyilangkan kedua tangan sambil menginjak-injak tanah pekarangan rumah sakit berupaya membunuh kebosanan. Tak lama dia melakukan kegiatan itu, Nissan Juke merah marun sudah berada di hadapannya. Begitu tiba, seseorang membukakan pintu belakang sebelah kiri.
            “Apakah kami sudah terlambat?” tanya lelaki paruh baya itu.
            “Kalian terlambat tiga menit dari waktu yang kalian janjikan,” jawab Aretha sambil masuk ke dalam mobil. Begitu ia sudah berada di dalam, ia menarik kenop hingga pintu belakang tertutup erat. Sang pengemudi melajukan mobil ketika tumpangan mereka sudah menduduki jok.
            Sambil berfokus pada setir, lelaki paruh baya itu bertanya pada perempuan yang duduk di belakang, “Kalau boleh tahu namamu siapa, Nak?”
            “Namaku Aretha Lili Meiliana. Kalian bisa memangggilku Aretha,” jawab Aretha sambil menengok pemandangan jalan di sebelah kirinya.
            “Untuk perkenalanku, kurasa aku tidak perlu mengatakannya. Kau sudah lihat ‘kan di kartu identitasku?”
            “Itu terserah Om mau memperkenalkan diri atau tidak,” balas Aretha tanpa basa basi.
            “Hehehe begitu ya. Baiklah, namaku Fahnan Afrizal Chaniago. Kau bisa memanggilku ayah atau bapak Fahnan. Kau bilang kau tidak punya orang tua lagi ‘kan? Mulai sekarang aku akan menjadi ibu sekaligus ayahmu. Dan sebagai orang tuamu, aku akan memberi pelajaran kepada orang yang menyakiti putriku.”
            Meskipun Fahnan berkata bahwa dia akan menjadi orang tua baru baginya, Aretha sendiri berkata dalam hati, tak ada yang bisa menggantikan Jansen Martua Manurung dan Lasnita Tiolisa Harahap sebagai orang tuaku. Perempuan itu belum bisa menerima kehadiran Fahnan yang ingin menggantikan posisi mereka di hatinya. Mana mungkin ada seorang anak mau begitu saja melupakan orang tua kandung yang telah bersama mereka selama bertahun-tahun.
            Fahnan dengan kaca kecil yang melekat di atasnya, bisa melihat respons Aretha lewat bahasa tubuhnya. Ia pun mengerti bahwa dirinya tak bisa begitu saja menggantikan orang tua kandung yang selama ini menghidupi dan memberi kasih sayang padanya selama bertahun-tahun.
            “Aretha berapa umurmu saat ini?”
            “Empat belas tahun.”
            “Pasti sangat sulit bagimu mengikhlaskan kepergian orang tua kandungmu ‘kan?” Aretha mengganguk pelan menjawab pertanyaan dari Fahnan. Bola matanya masih bertahan melihat ke arah kaca sebelah kanan.
            “Oh ya aku lupa memperkenalkan putraku padamu, Aretha. Namanya Alvaro Ramdani Chaniago. Kau bisa memanggilnya Alvaro. Putraku masih berusia 18 tahun,” ujar Fahnan sambil menyuruh putranya memalingkan wajah pada Aretha. Alvaro menatap perempuan itu dengan mengulas senyum tipis sambil menundukkan kepala menandakan salam perkenalan. 
            “Aretha...,” panggil Fahnan dari depan.
            “Ya Om,” sapa Aretha.
            “Kau masih mengingat tampang para pemuda yang memperkosamu dua hari yang lalu?”
            “Untuk apa Om menanyakan hal itu?”
            “Untuk membalaskan dendammu, Nak. Kau mau ‘kan?” Awalnya Aretha masih terguncang ketika lelaki paruh baya itu menanyakan karakteristik wajah pemuda yang memperkosanya. Tetapi begitu Fahnan menawarkan sesuatu berupa pembalasan, antara ragu dan yakin ingin menerima tawaran dari lelaki itu.
            “Balas dendam apa yang kau maksud?” tanya Aretha seakan-akan tak mengerti.
            “Nanti kau juga akan merasakannya,” jawab Fahnan sambil menyimpul senyum penuh misteri.
            Aretha menyuruh Fahnan mengarahkan setir ke daerah pemukiman di sekitaran rumah kosong tempat gadis itu bertemu dengan tiga pemuda itu para pemuda itu. Fahnan menurunkan kecepatan mobil seraya mengamati bangunan dan rumah-rumah di pinggir jalan. Aretha menunjukkan jarinya ke arah sebuah kedai kopi. Ia menyuruh Fahnan dan Alvaro mengamati dua orang pemuda yang sedang menikmati lontong pecal dan kopi susu.
            “Lelaki berambut gondrong dan cepak itu yang kamu maksud, Aretha?” tunjuk Fahnan dari dalam mobil. Aretha mengangguk pelan membenarkan ciri-ciri pemuda yang ditunjuk Fahnan.
            “Mereka cuma berdua. Laki-laki satunya lagi?” sambung Alvaro.
            “Nanti malam pemuda yang satunya lagi pasti muncul. Tapi sekarang kita sudah dapatkan target kita.”
***
            Salah satu dari pemuda itu sudah siuman dari tidur mereka. Pemuda berambut gondrong menyadari bahwa ia dan dua temannya berada di sebuah ruko kosong dan tanpa lampu penerangan. Ketika ia akan menggerakkan badan, ia merasakan nyeri dan sakit di kedua telapak tangan. Lelaki itu terkejut ngeri begitu melihat kedua tangannya sudah dipaku di dinding. Kedua tungkai kakinya diikat erat dengan tali tambang. Dan keadaan yang sama dialami kedua temannya.
            “Hei siapa kalian, hah? Mau apa kalian pada kami?” jerit pemuda berambut gondrong itu.
            Pemuda itu mendengar seseorang tengah menyalakan korek api. Ia melihat ujung korek itu memercikkan api lalu di dekat pada sumbu lampu semprong. Kini pemuda itu bisa melihat jelas sosok yang memegang lampu semprong.
            “Ternyata itu kamu ya, gadis manis. Kau datang untuk melayani kami lagi?” tanya pemuda gondrong itu sambil mengulas senyum cabul.
            “Sebaiknya kau mengarahkan matamu ke sebelah kiri dan kanan,” suruh Aretha pada pemuda itu. Lelaki berambut gondrong itu refleks memekik ketika melihat kedua temannya bermandikan darah segar. Kematian mengerikan menjemput mereka dengan sayatan memanjang di bagian leher dan tusukan bertubi-tubi di bagian perut dan dada. Dan bagian paling mengerikan dari itu semua—batang kelamin dan buah zakar mereka sudah dipotong.
            Tinggal pemuda gondrong itu yang tersisa. Ia sendiri pun dalam kondisi tidak mengenakan sehelai benang pun. Pemuda gondrong itu melihat dua orang lelaki sudah berdiri di samping gadis itu. Satu memegang jerigen berisi bensin dan satunya lagi mengenakan sarung tangan karet, memegang sebuah pisau bedah. Alvaro yang memegang pisau bedah tanpa babibu memotong batang kemaluan pemuda gondrong itu. Pemuda itu merasa sayatan pisau sedang merenggut separuh nyawanya. Ia memekik kencang. Ia tak bisa membedakan mana rasa sakit, mana penyiksaan. Semua rata dan sama.
            Darah terus mengalir bak aliran air banjir. Sekujur tubuh lelaki gondrong itu memutih seputih tisu. Ia tak punya sedikit pun daya menggerakkan tubuh atau mendesis. Fahnan mengguyur bensin dalam jerigen ke seluruh tubuh pemuda itu.
            “Lakukan saja, Aretha. Mereka harus merasakan bagaimana penderitaan yang mereka lakukan padamu,” ucap Fahnan pada Aretha. Perkataan itu mengalir begitu mudah ke dalam saraf otaknya hingga diproses menjadi sebuah perintah nyata. Aretha melemparkan lampu semprong itu hingga api menyambar tubuh lemah pemuda itu.
            “Sepertinya yang kita cari sudah ada di sini, Ayah,” ucap Alvaro dingin.
            “Selamat datang di Killer Order, Aretha,” sambut Aretha dengan seringai lebar diterangi kobaran api semakin membesar.