Target
Senin, 24 Oktober 2017
Aretha
dan Alvaro masih berada di ranjang yang sama. Di ranjang yang menjadi tempat
mereka melampiaskan gelora berahi yang menggebu-gebu. Selimut hijau muda masih
menutup rapat raga mereka yang tak tertutupi sehelai benang pun. Tak lama
Alvaro langsung menggeser selimut yang
menudungi badannya ketika mendengar ponsel dalam kantong celananya berbunyi.
“Halo
ayah,” jawab Alvaro.
“Kalian
berdua di mana sekarang? Kita ada pekerjaan baru.”
“Kami
sedang berada di Museum Fatahillah,” karang Alvaro pada ayahnya.
“Kalau
begitu cepat datang ke sini. Ayah akan tunjukkan siapa target kita.”
Alvaro
menekan tombol merah mengakhiri panggilan. Aretha sudah bangun dari tidurnya,
sudah berada di samping lelaki berambut cepak itu lalu bertanya, “Dari ayah?”
“Ya.
Dia punya pekerjaan baru untuk kita.”
“Uh
dia itu punya banyak anak buah tapi kenapa tugas-tugas seperti ini lebih sering
diberikan kepada kita?” ketus Aretha dengan melipat bibir ke bawah.
“Mungkin
kita adalah anak kesayangannya. Mungkin juga pekerjaan yang kita kerjakan
merupakan pekerjaan sulit.” Alvaro mengutarakan beberapa jawaban atas keluhan
perempuan itu. Sambil berbicara, lelaki berjakun sedang itu mengenakan kembali
kemeja lengan panjang warna putih dan mengencangkan ikat pinggang. Sementara
itu, Aretha tampil anggun mengenakan rok
span merah tua dan kemeja lengan panjang merah tua bermotif garis vertikal
tipis.
“Alasan
klise,” tanggap Aretha sambil menyisir pelan-pelan rambutnya. Perempuan itu
memercikkan Eskulin ke bagian dada, “ayo kita pergi. Aku yakin ayah Fahnan
sudah menunggu kita begitu lama”
***
Alvaro
mengendarai Pajero Sport dengan kecepatan 60 km/jam. Dengan pembawaan tenang,
lelaki itu mencoba membuka pembicaraan dengan perempuan di sebelahnya. Akan
tetapi, malah Aretha memulai percakapan dengan memanggil namanya.
“
Alvaro...”
“Apa?”
“Kau
yakin dengan kalau dua orang itu bisa diajak kerja sama?”
“Siapa
yang kau maksud?”
“Dua
anggota sindikat HOVTA, Anggara dan Fiolina.”
Lelaki
sekilasmemalingkan mata ke arah jalan di hadapannya kemudian membalas
pertanyaan Aretha, “Aku yakin.”
“Seberapa
besar keyakinanmu? Apa buktinya?” Aretha menimpali Alavaro dengan pertanyaan
baru.
“Kau
akan tahu sendiri. Dan saat-saat yang kau inginkan akan datang. Kau bisa
langsung berhadapan dengannya. Kita perlu mempercayai mereka sebab sindikat
HOVTA disarati dengan orang-orang mengerikan. Kita berdua tidak akan sanggup
jika berhadapan dengan mereka secara langsung,” jelas Alvaro sambil memutar
setir memasuki kawasan apartemen tingkat dua puluh lima.
Aretha
memilih diam. Dalam hati ia masih mempercayai perkataan Alvaro kalau rencananya
akan berjalan sesuai keinginan. Alvaro menekan pedal rem tepat di halaman depan
rukan berlantai tiga. Suasana di luar rukan didominasi beberapa rukan serupa
dan ruko beru belumberpenghuni. Alvaro merogoh kunci dari saku, membuka pintu
besi di hadapannya. Seraya memasuki lantai satu, mereka sudah maklum dengan
pemandangan para anggota sindikat Killer Order memenuhi tiga meja judi dan juga
para penonton setia melihat permainan mereka. Tiga meja biliar juga penuh dengan
bunyi sodokan stik kayu menumbuk bola keras itu.
“Alvaro,
ayok main. Kita taruhan 1 plat dua ratus ribu,” ujar salah satu pemain biliar
pada Alvaro.
“Istirahat
dulu kita, Bro. Bos punya tugas buat gua,” balas Alvaro, lugas. Pemain biliar
yang mengajaknya mengacungkan ibu jari pada Alvaro begitu ia mendengar keduanya
ada tugas dari bos.
Alvaro
dan Aretha terus berjalan tanpa mempedulikan suara musik khas diskotik kota
menggetarkan jantung mereka. Keduanya melangkah menaiki anak tangga disusun
berjajar mulai dari dasar lantai dua sampai ke pintu depan lantai tiga. Mereka
membuka daun pintu sedikit. Suasana di sana begitu sepi. Tidak ada kebisingan
mengganggu indra pendengaran. Lantai tiga memang dikhususkan sebagai ruang
rapat atau ruang bicara para anggota Killer Order. Dalam ruangan itu, terdapat
tiga sofa berbeledu coklat muda disusun seperti huruf U. Saat mereka berdua
membuka pintu, mereka menemukan seorang wanita keluar dari ruangan bos mereka.
Wanita itu berjaket jins. Bertanktop warna merah. Payudaranyaseakan memberontak
keluar dari bra yang dia kenakan. Alvaro menerka umur wanita itu sekitar 20 sampai
22tahun.
“Lonte
dari siapa yang kau pakai itu, Ayah?” Alvaro dan Aretha memasuki kantor pribadi
ayahnya sambil menduduki kursi putar yang telah disediakan.
“Biasalah.
Semalam aku menelepon Jeng Vera. Kusuruh dia mendatangkan satu perek pilihannya
ke kantor ini. Kau tahu libidoku sedang naik-naiknya,” ungkap Fahnan sambil
merapikan pinggang pinggang dan menaikkan resleting celana.
Alvaro
sudah lama mengetahui kebiasaan sang ayah suka membawa wanita tuna susila ke
kantor pribadinya. Lelaki itu juga tahu kalau Fahnan memiliki gairah seks
lumayan tinggi. Jika sedang ingin bercinta, lelaki berusia hampir setengah abad
itu bisa berhubungan intim dengan tiga wanita dalam satu waktu. Begitu semua
sudah rapi, Fahnan duduk di atas kursi miliknya.
“Jadi,
apa tugas yang akan kami kerjakan?” sambung Aretha sambil menatap tak senang.
Lelaki
berkumis hitam bercampur putih itu membuka laci meja. Ia mengambil sebuah dua
lembar foto dan data berhubungan dengan target mereka.
“Dedy
Rahmad Yadi. Usia 55 tahun. Purnawirawan perwira TNI AD. Pangkat terakhir
Mayor. Saat ini dia sedang mencalonkan diri sebagai calon gubernur dalam
pilkada Jawa Barat.” Fahnan mendeskripsikan singkat hal penting terkait target
mereka.
Alvaro
dan Aretha mengamati ciri-ciri target mereka dari foto dan data yang diberikan
sang ayah. Keduanya mengangguk pelan lalu Alvaro berkata lagi, “Ada hal lain yang
perlu kami perhatikan?”
“Oh
ya. Klien kita bilang buat seolah target kita meninggal karena bunuh diri atau
kecelakaan. Usahakan lakukan aksi kalian di tempat sepi dan tanpa pengawasan
pengawal pribadinya. Dia punya dua pengawal pribadi,” tambah sambil
meruncingkan telunjuk ke arah mereka berdua.
“Kami
mengerti,” jawab mereka serempak sambil mengangguk setuju. Alvaro dan Aretha
mengangkat bokong mereka dari kursi. Begitu ayah selesai memberikan petunjuk
dan arahan mengenai target mereka, keduanya angkat kaki dari ruangan itu.
“Si
tua bangka itu masih saja doyan sama daun muda,” ucap Aretha sinis.
“Begitulah
ayah, Aretha. Itu sebabnya ibuku menceraikan ayah karena tidak tahan melihat
tingkah laku ayah doyan bermain perempuan,” bisik Alvaro seraya kedua kakinya
tetap menginjak anak tangga.
“Ke
mana kita sekarang?”
“Kantor
polisi, mungkin. Di sana kita bisa menyerahkan diri dan mengungkapkan kejahatan
kita dan organisasi ini. Gimana?” usul Arteha seraya menutup senyum manisnya.
“Kalau
begitu kau harus di penjara dalam satu sel yang sama denganku,” balas Alvaro
sambil menyikut lengan Aretha. Kedua manusia beda jenis kelamin itu tertawa
lepas mendengar lelucon mereka sendiri. Kedua kaki mereka tetap satu tujuan menuju Pajero Sport yang mereka parkir
di luar.
***
Suara
Taylor Swift mampu menyihir para pengunjung kafe 339 untuk tetap nyaman di
bangku dan sofa yang disediakan pihak pengelola kafe. Ukiran kayu membentuk
pagar, patung serta menara terkenal di dunia begitu juga lampu hias warna-warni
menggantung di atap asbes kafe, memperindah juga menambah kesan istimewa dan
eksklusif kafe itu. Akan tetapi lelaki dan perempuan yang berada di lantai atas
tepatnya di bagian luar kafe terlihat tegang dan tengah memikirkan sesuatu.
“Jangan
terlihat emosional begitu, Fio. Kau tadi bisa membuat bos Haris dan si Jonas wibu itu tambah curiga pada kita. Tenang
saja,” ungkap Anggara pada partnernya,
Fiolina. Sudah dua jam mereka berada di kafe itu tapi jus alpukat dan mochacino pesanan mereka belum habis
setengah gelas.
“Kau
yakin kalau Chyntia tidak akan mengkhianati kita?” tanya Fiolina sanksi.
“Kalau
dia memang bertujuan mengkhianti kita, aku sendiri akan memutilasinya hidup-hidup
dan isi perutnya akan kucampakkan ke kandang singa tapi sejauh ini,
kelihatannya dia bisa dipercaya,” sanggah Alvaro seraya menyesap jus
alpukatnya.
“Kau...yakin
masih mau membantu memuluskan rencana mereka?”
Awalnya
Alvaro bingung dengan maksud pertanyaan Aretha. Tetapi jaringan saraf di
otaknya cepat merespons begitu mendapatkan kata kunci dari perkataan perempuan
itu.
“Mereka
itu simbiosis mutualisme untuk kita. Mereka memberikan kita akses masuk pada
bos Killer Order begitu juga dengan kita. Dalam jangka empat tahun kita
berhasil menyingkirkan satu per satu orang-orang berbahaya Killer Order dan
mereka pun begitu. Mungkin ini saatnya kita menghadapi bos besar Killer Order,”
jabar Alvaro.
“Aku
juga tidak sabar untuk menghabisi si keparat yang sudah membunuh dan
menghancurkan hidup kita di masa lalu.” Fiolina menyeruput minumannya begitu
cepat hingga tersisa seperempat lagi.
“Oh
ya bos Haris menyuruh kita menemui ini.” Perempuan berkulit kuning langsat itu
membuka aplikasi Whatsapp lalu membuka notifikasi grup Human Organ Vital Trafficking Association atau bisa disingkat
dengan HOVTA. Fiolina menunjukkan sebuah pesan yang ditujukan pada mereka
berdua untuk segera dilaksanakan.
“Semua
peralatan sudah berada di mobil kan?” Fiolina mengangguk pelan mengiyakan
pertanyaan Anggara. Lelaki itu memalingkan kepala melihat arloji Mount Blanc di
lengannya. Keduanya menghabiskan minuman sampai gelas kosong kemudian menuju
meja kasir. Begitu semua sudah dibayar, Anggara dan Fiolina bergegas
meninggalkan kafe itu menuju parkiran mobil.
Lelaki
berkaos oblong biru tosca dan perempuan berambut sebahu sedang mencatat apa
yang mereka amati barusan. Mereka berdua memastikan apakah laki-laki berjaket
kulit coklat, berambut gondrong dan perempuan bertanktop kuning jeruk,
mengenakan celana pendek di atas lima sentimeter itu merupakan orang yang
mereka cari.
“Apakah
itu memang orang yang dicari komandan kita?” tanya perempuan yang mengenakan lambang
satu lekukan seperti huruf M di kerahnya.
“Tidak
salah lagi. Kita sudah mendapatkan masing-masing dua orang penting di salah
satu sindikat berbahaya di kota ini. Sekarang kita harus melaporkan hasil
pengintaian kita pada komandan. Ayo,” tutup lelaki berkaos oblong biru tosca
itu sambil menutup buku agenda tempatnya melukis sketsa wajah mereka.

No comments:
Post a Comment