Monday, 18 June 2018

DUAL - 5




Target
            Senin, 24 Oktober 2017
            Aretha dan Alvaro masih berada di ranjang yang sama. Di ranjang yang menjadi tempat mereka melampiaskan gelora berahi yang menggebu-gebu. Selimut hijau muda masih menutup rapat raga mereka yang tak tertutupi sehelai benang pun. Tak lama Alvaro langsung  menggeser selimut yang menudungi badannya ketika mendengar ponsel dalam kantong celananya berbunyi.
            “Halo ayah,” jawab Alvaro.
            “Kalian berdua di mana sekarang? Kita ada pekerjaan baru.”
            “Kami sedang berada di Museum Fatahillah,” karang Alvaro pada ayahnya.
            “Kalau begitu cepat datang ke sini. Ayah akan tunjukkan siapa target kita.”
            Alvaro menekan tombol merah mengakhiri panggilan. Aretha sudah bangun dari tidurnya, sudah berada di samping lelaki berambut cepak itu lalu bertanya, “Dari ayah?”
            “Ya. Dia punya pekerjaan baru untuk kita.”
            “Uh dia itu punya banyak anak buah tapi kenapa tugas-tugas seperti ini lebih sering diberikan kepada kita?” ketus Aretha dengan melipat bibir ke bawah.
            “Mungkin kita adalah anak kesayangannya. Mungkin juga pekerjaan yang kita kerjakan merupakan pekerjaan sulit.” Alvaro mengutarakan beberapa jawaban atas keluhan perempuan itu. Sambil berbicara, lelaki berjakun sedang itu mengenakan kembali kemeja lengan panjang warna putih dan mengencangkan ikat pinggang. Sementara itu, Aretha tampil anggun  mengenakan rok span merah tua dan kemeja lengan panjang merah tua bermotif garis vertikal tipis.
            “Alasan klise,” tanggap Aretha sambil menyisir pelan-pelan rambutnya. Perempuan itu memercikkan Eskulin ke bagian dada, “ayo kita pergi. Aku yakin ayah Fahnan sudah menunggu kita begitu lama”
***
            Alvaro mengendarai Pajero Sport dengan kecepatan 60 km/jam. Dengan pembawaan tenang, lelaki itu mencoba membuka pembicaraan dengan perempuan di sebelahnya. Akan tetapi, malah Aretha memulai percakapan dengan memanggil namanya.
            “ Alvaro...”
            “Apa?”
            “Kau yakin dengan kalau dua orang itu bisa diajak kerja sama?”
            “Siapa yang kau maksud?”
            “Dua anggota sindikat HOVTA, Anggara dan Fiolina.”
            Lelaki sekilasmemalingkan mata ke arah jalan di hadapannya kemudian membalas pertanyaan Aretha, “Aku yakin.”
            “Seberapa besar keyakinanmu? Apa buktinya?” Aretha menimpali Alavaro dengan pertanyaan baru.
            “Kau akan tahu sendiri. Dan saat-saat yang kau inginkan akan datang. Kau bisa langsung berhadapan dengannya. Kita perlu mempercayai mereka sebab sindikat HOVTA disarati dengan orang-orang mengerikan. Kita berdua tidak akan sanggup jika berhadapan dengan mereka secara langsung,” jelas Alvaro sambil memutar setir memasuki kawasan apartemen tingkat dua puluh lima.
            Aretha memilih diam. Dalam hati ia masih mempercayai perkataan Alvaro kalau rencananya akan berjalan sesuai keinginan. Alvaro menekan pedal rem tepat di halaman depan rukan berlantai tiga. Suasana di luar rukan didominasi beberapa rukan serupa dan ruko beru belumberpenghuni. Alvaro merogoh kunci dari saku, membuka pintu besi di hadapannya. Seraya memasuki lantai satu, mereka sudah maklum dengan pemandangan para anggota sindikat Killer Order memenuhi tiga meja judi dan juga para penonton setia melihat permainan mereka. Tiga meja biliar juga penuh dengan bunyi sodokan stik kayu menumbuk bola keras itu.
            “Alvaro, ayok main. Kita taruhan 1 plat dua ratus ribu,” ujar salah satu pemain biliar pada Alvaro.
            “Istirahat dulu kita, Bro. Bos punya tugas buat gua,” balas Alvaro, lugas. Pemain biliar yang mengajaknya mengacungkan ibu jari pada Alvaro begitu ia mendengar keduanya ada tugas dari bos.
            Alvaro dan Aretha terus berjalan tanpa mempedulikan suara musik khas diskotik kota menggetarkan jantung mereka. Keduanya melangkah menaiki anak tangga disusun berjajar mulai dari dasar lantai dua sampai ke pintu depan lantai tiga. Mereka membuka daun pintu sedikit. Suasana di sana begitu sepi. Tidak ada kebisingan mengganggu indra pendengaran. Lantai tiga memang dikhususkan sebagai ruang rapat atau ruang bicara para anggota Killer Order. Dalam ruangan itu, terdapat tiga sofa berbeledu coklat muda disusun seperti huruf U. Saat mereka berdua membuka pintu, mereka menemukan seorang wanita keluar dari ruangan bos mereka. Wanita itu berjaket jins. Bertanktop warna merah. Payudaranyaseakan memberontak keluar dari bra yang dia kenakan. Alvaro menerka umur wanita itu sekitar 20 sampai 22tahun.
            “Lonte dari siapa yang kau pakai itu, Ayah?” Alvaro dan Aretha memasuki kantor pribadi ayahnya sambil menduduki kursi putar yang telah disediakan.
            “Biasalah. Semalam aku menelepon Jeng Vera. Kusuruh dia mendatangkan satu perek pilihannya ke kantor ini. Kau tahu libidoku sedang naik-naiknya,” ungkap Fahnan sambil merapikan pinggang pinggang dan menaikkan resleting celana.
            Alvaro sudah lama mengetahui kebiasaan sang ayah suka membawa wanita tuna susila ke kantor pribadinya. Lelaki itu juga tahu kalau Fahnan memiliki gairah seks lumayan tinggi. Jika sedang ingin bercinta, lelaki berusia hampir setengah abad itu bisa berhubungan intim dengan tiga wanita dalam satu waktu. Begitu semua sudah rapi, Fahnan duduk di atas kursi miliknya.
            “Jadi, apa tugas yang akan kami kerjakan?” sambung Aretha sambil menatap tak senang.
            Lelaki berkumis hitam bercampur putih itu membuka laci meja. Ia mengambil sebuah dua lembar foto dan data berhubungan dengan target mereka.
            “Dedy Rahmad Yadi. Usia 55 tahun. Purnawirawan perwira TNI AD. Pangkat terakhir Mayor. Saat ini dia sedang mencalonkan diri sebagai calon gubernur dalam pilkada Jawa Barat.” Fahnan mendeskripsikan singkat hal penting terkait target mereka.
            Alvaro dan Aretha mengamati ciri-ciri target mereka dari foto dan data yang diberikan sang ayah. Keduanya mengangguk pelan lalu Alvaro berkata lagi, “Ada hal lain yang perlu kami perhatikan?”
            “Oh ya. Klien kita bilang buat seolah target kita meninggal karena bunuh diri atau kecelakaan. Usahakan lakukan aksi kalian di tempat sepi dan tanpa pengawasan pengawal pribadinya. Dia punya dua pengawal pribadi,” tambah sambil meruncingkan telunjuk ke arah mereka berdua.
            “Kami mengerti,” jawab mereka serempak sambil mengangguk setuju. Alvaro dan Aretha mengangkat bokong mereka dari kursi. Begitu ayah selesai memberikan petunjuk dan arahan mengenai target mereka, keduanya angkat kaki dari ruangan itu.
            “Si tua bangka itu masih saja doyan sama daun muda,” ucap Aretha sinis.
            “Begitulah ayah, Aretha. Itu sebabnya ibuku menceraikan ayah karena tidak tahan melihat tingkah laku ayah doyan bermain perempuan,” bisik Alvaro seraya kedua kakinya tetap menginjak anak tangga.
            “Ke mana kita sekarang?”
            “Kantor polisi, mungkin. Di sana kita bisa menyerahkan diri dan mengungkapkan kejahatan kita dan organisasi ini. Gimana?” usul Arteha seraya menutup senyum manisnya.
            “Kalau begitu kau harus di penjara dalam satu sel yang sama denganku,” balas Alvaro sambil menyikut lengan Aretha. Kedua manusia beda jenis kelamin itu tertawa lepas mendengar lelucon mereka sendiri. Kedua kaki mereka tetap satu  tujuan menuju Pajero Sport yang mereka parkir di luar.
***
            Suara Taylor Swift mampu menyihir para pengunjung kafe 339 untuk tetap nyaman di bangku dan sofa yang disediakan pihak pengelola kafe. Ukiran kayu membentuk pagar, patung serta menara terkenal di dunia begitu juga lampu hias warna-warni menggantung di atap asbes kafe, memperindah juga menambah kesan istimewa dan eksklusif kafe itu. Akan tetapi lelaki dan perempuan yang berada di lantai atas tepatnya di bagian luar kafe terlihat tegang dan tengah memikirkan sesuatu.
            “Jangan terlihat emosional begitu, Fio. Kau tadi bisa membuat bos Haris dan si Jonas wibu itu tambah curiga pada kita. Tenang saja,”  ungkap Anggara pada partnernya, Fiolina. Sudah dua jam mereka berada di kafe itu tapi jus alpukat dan mochacino pesanan mereka belum habis setengah gelas.
            “Kau yakin kalau Chyntia tidak akan mengkhianati kita?” tanya Fiolina sanksi.
            “Kalau dia memang bertujuan mengkhianti kita, aku sendiri akan memutilasinya hidup-hidup dan isi perutnya akan kucampakkan ke kandang singa tapi sejauh ini, kelihatannya dia bisa dipercaya,” sanggah Alvaro seraya menyesap jus alpukatnya.
            “Kau...yakin masih mau membantu memuluskan rencana mereka?”
            Awalnya Alvaro bingung dengan maksud pertanyaan Aretha. Tetapi jaringan saraf di otaknya cepat merespons begitu mendapatkan kata kunci dari perkataan perempuan itu.
            “Mereka itu simbiosis mutualisme untuk kita. Mereka memberikan kita akses masuk pada bos Killer Order begitu juga dengan kita. Dalam jangka empat tahun kita berhasil menyingkirkan satu per satu orang-orang berbahaya Killer Order dan mereka pun begitu. Mungkin ini saatnya kita menghadapi bos besar Killer Order,” jabar Alvaro.
            “Aku juga tidak sabar untuk menghabisi si keparat yang sudah membunuh dan menghancurkan hidup kita di masa lalu.” Fiolina menyeruput minumannya begitu cepat hingga tersisa seperempat lagi.
            “Oh ya bos Haris menyuruh kita menemui ini.” Perempuan berkulit kuning langsat itu membuka aplikasi Whatsapp lalu membuka notifikasi grup Human Organ Vital Trafficking Association atau bisa disingkat dengan HOVTA. Fiolina menunjukkan sebuah pesan yang ditujukan pada mereka berdua untuk segera dilaksanakan.
            “Semua peralatan sudah berada di mobil kan?” Fiolina mengangguk pelan mengiyakan pertanyaan Anggara. Lelaki itu memalingkan kepala melihat arloji Mount Blanc di lengannya. Keduanya menghabiskan minuman sampai gelas kosong kemudian menuju meja kasir. Begitu semua sudah dibayar, Anggara dan Fiolina bergegas meninggalkan kafe itu menuju parkiran mobil.
            Lelaki berkaos oblong biru tosca dan perempuan berambut sebahu sedang mencatat apa yang mereka amati barusan. Mereka berdua memastikan apakah laki-laki berjaket kulit coklat, berambut gondrong dan perempuan bertanktop kuning jeruk, mengenakan celana pendek di atas lima sentimeter itu merupakan orang yang mereka cari.
            “Apakah itu memang orang yang dicari komandan kita?” tanya perempuan yang mengenakan lambang satu lekukan seperti huruf M di kerahnya.
            “Tidak salah lagi. Kita sudah mendapatkan masing-masing dua orang penting di salah satu sindikat berbahaya di kota ini. Sekarang kita harus melaporkan hasil pengintaian kita pada komandan. Ayo,” tutup lelaki berkaos oblong biru tosca itu sambil menutup buku agenda tempatnya melukis sketsa wajah mereka. 

No comments:

Post a Comment