Monday, 4 June 2018

DUAL - 3



Suram
            Ayah... Ibu... aku akan mencari mereka sampai ke lubang semut sekalipun..
            8 tahun yang lalu...
            Aretha Andini fokus mengamati deretan huruf dan angka pada buku paket Matematika kelas VIII SMP. Perempuan berambut lurus melewati bahu itu sedang berlatih soal-soal Aljabar. Ia sudah menemukan lima soal berbeda dari halaman berbeda kemudian dikerjakan pada kertas buram. Aretha sedang mencari rumus yang tepat untuk menyelesaikan kelima soal itu. Lima belas menit berkonsentrasi pada rumus, perempuan itu mendongakkan kepala begitu mendengar suara bel elektronik berdering.
            Ayah sudah pulang..., ujar hati Aretha. Ia cepat-cepat menutup bukunya lalu berlari menuju ruang tamu. Terlebih dulu, Aretha menengok jam dinding yang menggantung di atas dinding—pukul 22.50. Di sana dia menemukan ayahnya sedang duduk di sofa.
            “Ayah baru pulang?” sapa Aretha dengan wajah ramah.
            “Yah begitulah, Etha. Biasa, Ayah ambil lembur, hehehe,” jelas ayahnya seraya tertawa garing.
            “Ayah mau kuambil air hangat?” tanya perempuan itu. Ayahnya mengangguk pelan menandakan ‘ya’.
            Aretha berpaling dari hadapan sang ayah. Ia mengambil cangkir kaca lalu menuangkan terlebih dahulu air dingin baru ditambahkan air panas dari termos. Aretha sudah kembali dari dapur kemudian menyodorkan gelas kaca berisi air hangat itu pada ayahnya.
            “Terimakasih, Nak.” Sang ayah meraih gelas kaca itu dari tangan putrinya kemudian mengisap sedikit demi sedikit air itu hingga seperempatnya lalu diletakkan di atas meja. Aretha duduk di sebelah kanan sang ayah dan ibunya di sebelah kiri.
            “Lo, Aretha kamu kok belum tidur? Ini sudah hampir jam sebelas malam. Kamu enggak sekolah?” tanya sang ayah sambil memperhatikan jam dinding.
            “Iya Ayah. Etha sedang belajar untuk ujian UTS minggu depan. Lagi pula besok ‘kan libur,” jawab Aretha, semangat.
            “Meskipun besok libur, kamu harus tidur cepat, Etha. Kita sudah sepakat soal disiplin waktu di rumah ini ‘kan?” Aretha mengangguk pelan. Kepalanya menunduk dengan roman wajah tertekuk. Perempuan itu kelihatan sedih karena melanggar aturan yang telah disepakati keluarga mereka.
            Melihat ekspresi putri kecilnya begitu menyesali perbuatannya, sang ayah mulai membujuk putrinya, “Kali ini, Ayah maafkan perbuatanmu tapi kalau kamu melakukannya sekali lagi, sebagai hukumannya, Ayah akan memotong uang jajanmu. Paham?” Aretha mengangguk takzim menanggapi peringatan dari ayahnya.
            Keheningan tercipta untuk beberapa detik di ruang tamu sampai sang ayah berkata, “Ibu, coba lihat apa Arsyad juga sudah tidur?”
            “Sebentar ya. Ibu cek sebentar.” Sang ibu bangkit dari sofa menuju kamar putranya yang tak jauh dari ruang tamu. Tangan perempuan paruh baya yang mengenakan cincin perak di tangan kanannya menekan kenop pintu kemudian didorong agak pelan. Sang ibu melihat seorang laki-laki berperawakan tinggi tegap dengan tinggi 169 sentimeter terbuai dalam tidur nyenyaknya. Tahu kalau putranya sedang terlelap, sang ibu menarik kenop pintu pelan-pelan hingga daun pintu tertutup rapat.
            “Arsyad sudah tidur, Pak,” ujar sang Ibu.
            “Kalau begitu besok pagi saja dibicarakan. Saat sarapan pagi. Lebih baik kita semua tidur saja. Ini sudah malam,” tutup sang ayah sambil berdiri dari sofa, meninggalkan ruang tamu. Aretha pun sigap menuju tangga untuk sampai di kamar tidurnya.
***
            Kedua kelopak mata Aretha masih menutup erat. Tapi suara bel elektronik itu terus berkumandang di telinganya. Namun  Aretha bukan tidak tahu apa fungsi bel itu berada dalam rumahnya.
            Selain ingin membiasakan anak-anaknya bangun tepat waktu, ayahnya juga punya kebiasaan beribadah pagi. Kegiatan kerohanian itu dilakukan setiap hari. Dan itulah sebabnya ayahnya selalu menyuruh Aretha dan abangnya untuk tidur jam 10 malam tepat. Akan tetapi sang ayah juga memberi batas waktu 20 menit apabila kedua anak mereka sedang sibuk mengerjakan PR.
            Sebelum ibadah pagi, mereka berempat menggelar tikar di lantai ruangan tamu. Begitu tikar terbentang, keluarga Aretha duduk membentuk lingkaran kecil. Pertama kali mereka menyanyikan satu lagu pujian kemudian membaca satu pasal dari Alkitab. Usai membaca Alkitab, sang ayah menunjuk salah satu anaknya untuk berdoa dan sang ayah menunjuk Aretha.
            Kenapa aku sih? tanya batin perempuan itu. Ada sedikit keengganan tapi akhirnya Aretha mau membawakan doa.
            Dua jam berlalu. Jam dinding menunjukkan pukul 08.10. Sang ayah, Aretha dan Arsyad berkumpul di meja makan. Sang ibu telah menyajikan segelas teh manis untuk sang ayah dan dua gelas susu untuk Aretha dan Arsyad. Di hadapan ketiganya tersedia semangkuk bubur kacang hijau sebagai sarapan pagi.
            “Ayo dimakan selagi masih hangat,” ujar ibu pada ketiganya.
            Ketiganya mencicipi bubur kacang hijau dengan nikmat. Bubur kacang hijau milik sang ayah tersisa setengah mangkuk. Lelaki paruhb baya itu menghentikan kegiatan makan sebentar kemudian berbicara, “Apa rencana liburan kita hari Minggu ini?”
            Mendengar kata ‘liburan’ dari mulut sang ayah, sontak Aretha bersuara, “Ke penangkaran gajah Aek Nauli, Pak. Pemandangan di sana bagus-bagus. Sekaligus aku mau lihat gajah.”
            Sang ayah menyendok lagi bubur kacang hijau miliknya lalu diarahkan ke mulut. Sambil menguyah bubur dan mengecap rasa, lelaki bertahi lalat kecil di pipi kanan bawah tampak berpikir.
            “Hmm ide bagus. Bagaimana dengan kamu, Arsyad?” tanya sang ayah pada lelaki berwajah bulat kekotakan yang berada di sebelah kirinya.
            “Kalau aku sih maunya ke Air Terjun Sipiso-piso tapi idenya Aretha bagus juga sih,” ungkap Arsyad seraya mendukung ide dari adiknya.
            “Kalau begitu kita fix ke penangkaran gajah Aek Nauli ya.” Kesimpulan dari sang ayah disetujui oleh kedua anaknya dengan anggukan kepala.
            “Tapi ini hari libur Kenaikan Yesus Kristus kan?” Sang Ibu, Arteha dan Arsyad menggangguk pelan.
            “Kita pergi ke sana setelah pulang gereja.”
***
            Arloji yang melekat di lengan sang Ayah menunjukkan pukul 09.48. Ayah, Ibu serta Arsyad sudah bersiap di depan mobil Avanza hitam. Mereka masih menunggu satu orang lagi untuk pergi bersama mereka.
            “Aretha cepatlah. Ibadah pagi sebentar lagi gereja akan mulai ibadah,” desak Arsyad. Perempuan bergaun biru dongker tergesa-gesa mengenakan high heels miliknya ke dalam kaki. Setelah bersusah payah dengan high heels-nya, Aretha berlari menuju mereka yang sedang menunggu di depan mobil.
            “Kamu lama sekali, Aretha. Kamu ngapain saja sih?” omel ibunya.
            “I-iya, Bu, tadi aku cari-cari anting kesayanganku. Kupikir hilang eh tahu-tahunya ada di bawah bantalku.” Aretha mengutarakan alasannya.
            “Ya sudah kalau begitu ayo kita berangkat,” pungkas sang ayah. Mereka berempa sudah menduduki posisi masing-masing dalam mobil. Begitu mobil sudah di luar, lelaki paruh baya itu menekan gas lalu menarik tuas persneling, meninggalkan kediamannnya.
            Lima belas menit mereka bergumul di jalan yang mulai diramaikan dengan suara sepeda motor, mobil serta angkutan umum berlaga dengan pengemudi angkutan lain yang beda trayek penumpangnya.
            “Untung baru masuk. Ayo.” Ketika sudah turun dari jok mobil, mereka berempat bergegas menuju ke dalam gereja. Terlihat bangku-bangku sudah terisi ratusan jemaat  akan memulai pembukaan ibadah.
            Sang ayah melihat ada satu bangku kosong di baris kelima sebelah kiri. Ia menuntun keluarga untuk duduk di sana.
            Dua jam sudah berlalu. Mereka sudah keluar dari gereja menuju mobil yang terparkir di halaman gereja. Ketika hendak meraih kenop pintu, lelaki paruh baya itu merasakan ada panggilan masuk ke telepon genggam miliknya. Merasa terganggu dengan panggilan itu, lelaki itu menekan tombol hijau di sebelah kiri.
            “Halo,” jawab lelaki itu dengan nada datar.
            “Kau sedang ada di rumah, Jansen?” balas dari si penelepon.
            “Tidak. Saat ini aku sedang jalan-jalan bersama keluargaku ke Aek Nauli,” jawab lelaki paruh baya beruban pirang itu.
            “Kapan aku bisa menemuimu? Ini hal penting mengenai—“
            “Tidak! Jangan hari ini!” potong Jansen, cepat. Ia langsung menutup panggilan setelah itu memasukkan telepon genggamnya ke dalam saku celana. Jansen melangkah menuju anak-anak serta istrinya yang menunggu tak jauh dari tempatnya bertelepon.
            “Siapa yang menelepon ayah?” tanya Aretha.
            “Biasa, paman Haris. Ayo cepat naik ke mobil supaya kita bergegas ke Aek Nauli,” balas Jansen sambil mengalihkan perhatian putrinya agak tidak bertanya macam-macam.
***
            Satu hari cukup melelahkan sekaligus menyenangkan. Di dalam mobil, Aretha terus memandangi foto-fotonya bersama dengan gajah di penangkaran Aek Nauli. Perempuan itu juga berpose indah di kawasan hutan pinus di sana. Kedua bola matamya tak luput memandangi layar gawai milik kakaknya, Arsyad.
            “Sudah selesai memandangi fotonya, Etha?” tanya kakaknya.
            “Iya tunggu, Kak.”
            “Cepatlah, Dek. Kakak mau membalas obrolan dari teman Kakak,” suruh Arsyad dengan sedikit memaksa.
            Ketika Aretha sedang asyik memandangi foto, tak sengaja pandangannya tertuju pada mobil yang terparkir di depan gerbang rumah mereka.
            Bukannya itu mobilnya paman Haris? pikir Aretha.
            “Pak, Abang Haris ngapain ya datang ke rumah?” tanya sang istri.
            Jansen hanya diam sesaat lalu mengumpat pelan, memukul bulatan setir. Sebelum menemui saudaranya, lelaki itu memarkirkan mobil terlebih dahulu. Ternyata saudaranya sudah menunggu di depan pintu ruang tamu.
            “Ngapain kamu datang ke sini?” tanya Jansen begitu dia turun dari mobilnya.
            “Ini soal bisnis kita,” jawab Haris sambil menatap lekat ke bola mata saudaranya.
            “Kita bicarakan saja di ruang pribadiku,” ajak Jansen pada saudaranya, Haris. Lelaki berambut pirang itu membuka pintu terlebih dahulu untuk saudaranya. Lalu, mereka berdua menaiki anak-anak tangga menuju lantai dua tepatnya di ruang pribadi Jansen.
            “Ibu, ayah dan paman Haris kenapa ya? Mereka kok kelihatan kayak mau bertengkar?” tanya Aretha sambil mendongakkan kepala, melihat wajah ibunya.
            “Ibu juga enggak tahu apa yang terjadi dengan ayah dan pamanmu. Kita berdoa saja semoga semua baik-baik saja,” ujar sang ibu sambil menenangkan putrinya.
            Sang ibu, Lasmita, menuntun anak-anaknya ke kamar mereka masing-masing kemudan disusul dirinya menuju ke kamar tidur juga. Perempuan berambut panjang nan hitam itu bertanya-tanya dalam hati, apa gerangan masalah terjadi antara suami dan abang iparnya. Dilihat dari ekspresi sang suami, sepertinya lelakiitu merasa tidak senang dengan kehadiran abangnya yang datang tanpa pemberitahuan.
            Tuhan lindungilah keluarga kami, doa Lasmita dalam hati. Ia mengambil pakaian ganti setelah itu membuka pintu kamar mandi.
***
            Aretha baru menaikkan badan dari ranjang peristirahatannya. Perempuan itu merentangkan tangan sambil mendesah lega. Ia merasa tidurnya tadi malam cukup puas. Namun bersamaan dengan itu, ada hal janggal terlintas di pikirannya.
            Lo tadi pagi tidak beribadah ya? tanya batin Aretha. Ia bangkit dari kasur seraya memakai selop yang terletak di dekat kaki ranjangnya. Sesudah dikenakan di kedua kakinya, perempuan itu menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Dilihatnya jam beker yang berada di atas lemari hias menunjukkan pukul 06.20.
            Usai membersihkan wajah dari air liur kering dan belek, Aretha meletakkan handuk di tiang jemuran yang diletakkan khusus di kamarnya. Perempuan itu melangkah menuruni anak-anak tangga disusun spiral hingga ke bawah. Ia menjumpai ibunya merenung tak jelas di depan televisi yang menyala.
            “Lho Ibu kenapa melamun? Dan mana ayah? Tidak biasanya Ayah pergi sepagi ini?” Aretha mencecar ibunya dengan berbagai pertanyaan yang satu pun belum dijawab ibunya.
            “Tadi Ayahmu bertingkah aneh, Nak. Kamu tahu ‘kan biasanya kalau pagi sekitar jam 5.30 kita ada ibadah tapi ketika Ibu mengingatkan Ayahmu, ia sama sekali tidak merespons. Ia terus tidur. Dan lagi ketika sarapan, Ayahmu hanya diam dan diam. Ibu yakin kejadian tadi malam pasti ada hubungannya dengan sikap Ayah mendadak aneh,” jabar Lasmita sambil menoleh pada putrinya.
            “Jadi ayah sudah pergi kerja?” Sang ibu mengangguk pelan.
            Aretha berharap dalam hati semoga hal-hal buruk tidak menimpa keluarganya. Ia berusaha menenangkan haticemas ibunya dengan memberi kata-kata penguatan. Sang ibu mengangguk takzim sambil memeluk putri kesayangannya.
            “Tapi ngomong-ngomong, Kak Arsyad mana, Bu?”
            “Dia sedang main game online di kamarnya. Dia tidak sekolah karena kelas X s/d XI diliburkan karena kelas XII sedang mengikuti UN mulai hari senin sampai hari kamis,” jawab sang ibu seraya mengusap rambut anak perempuannya.
            Perempuan berkulit kuning langsat itu menoleh sekilas ke arah jam dinding yang terpaku di atas dinding rumahnya. Aretha terperanjat dari sofa karena dalam waktu lima belas menit lagi, bel tanda memasuki pelajaran akan segera dimulai.
            Waduh, aku terlambat, omel Aretha pada dirinya sendiri. Ia bangkit dari tempat duduknya sambil berlari menaiki tangga menuju kamarnya. Begitu sampai di kamar, ia langsung meraih handuk yang tergantung di tiang jemuran lalu bergegas dari pintu kamarnya ke kamar mandi.
            Sudah tujuh menit berlalu. Aretha keluar dari kamar mandi dengan lilitan handuk menutup bagian dada. Ketika akan mengenakan seragam, perempuan berambut lurus panjang itu melepas lilitan handuk kemudian mengenakan seragam putih birunya. Seragam telah selesai dipakai. Aretha tergesa-gesa menuju cermin hias  menempel di lemari pakaian. Ia menggosok-gosok rambutnya yang masih lembab selama lima detik. Saat rambutnya agak kering, ia menggosokkan sedikit minyak zaitun ke rambut lalu disisir perlahan-lahan.
            Perempuan itu keluar dari kamar sambil menenteng tas punggung di kedua pundak. Kedua tungkai kaki Aretha bergantian begitu cepat menuruni anak tangga. Ia meraih kunci sepeda motor digantung di atas televisi. Sebelum Aretha menaiki sepeda motornya, sang ibu berhasil mencegatnya.
            “Kamu melupakan sesuatu,” ucap sang ibu sambil memberikan kotak bekal makanan. Aretha menyingkap sedikit penutup bekal makanan milik untuk mengetahui apa yang diberikan ibunya padanya.
            “Terimakasih Ibu,” balas Aretha sambil menyunggingkan senyum senang. Sebelum menyalakan sepeda motor, perempuan berpostur sedang itu menyalami tangan ibunya penuh hormat sambil berucap ‘aku pamit ya, Bu.’ kemudian menekan electric stater motor.
            Dalam perjalanan, Aretha memilih tidak menoleh sedikit pun ke arah arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Ia sudah tahu kalau dia sudah terlambat. Ia memilih mencurahkan konsentrasi terhadap jalan raya di depannya sambil mengatur kecepatan tali gas motornya.
            Tepat di depan gerbang sekolah, Aretha akhirnya melihat ke arah arloji—07. 25. Pagi ini ia mendengar bimbingan dan arah dari wakil kepala sekolah bidang kesiswaan yang terkenal sebagai guru killer, Pak Tangkas Silalahi. Aretha memilih menunggu di depan gerbang yang tertutup sambil menunggu apel pagi selesai.
            Pukul 07.32. Terdengar wakil kepala sekolah membubarkan barisan para siswa. Salah satu guru mendatangi satpam, menyuruh satpam itu untuk membukakan gerbang.
            “Taruh sepeda motor kalian ke parkiran setelah itu kalian berbaris di lapangan basket. Jangan coba kabur. Yang kabur, saya kan beri SP 3 ke orang tua kalian,” ujar guru perempuan berkacamata itu pada kami.
            Kami mengiyakan perintah dari guru itu. Aretha beserta dengan teman-temanku yang terlambat mendorong kereta sampai di tempat parkir yang disediakan lalu berbaris di tempat yang telah disediakan. Semua siswa yang terlambat sudah berkumpul di lapangan basket. Para siswa yang terlambat ditanyai satu per satu perihal penyebab keterlambat dan sudah berapa kali kami terlambat.
            Dan menurut aturan, batas keterlambatan para siswa masuk ke sekolah minimal5 kali dalam rentang tiga bulan. Aretha menghela napas lega karena dia baru dua kali terlambat masuk sekolah. Memang ada tiga orang yang dipanggil ke ruang BK untuk menerima surat panggilan untuk diberikan kepada orang tua. Aretha dan teman-teman yang lain disuruh mencabut rumput dan mengutip sampah di sekitar pekarangan sekolah.
            Usai menjalani hukuman, Aretha langsung mengambil tas ransel dan cepat menuju ruang kelasnya VIII 3. Begitu tiba di depan kelas, ia melihat, Pak BP, guru sosiologi berceramah mengenai penyimpangan sosial.
            “Permisi, Pak,” ujar Aretha dengan suara pelan.
            “Mau ngapain?” tanya lelaki berkepala botak tapi di bagian depan kepala.
            “Mau masuk, Pak.”
            Sambil melihat arloji di lengan, lelaki itu berkata, “10 menit lagi ya. Tunggu saja di situ.”
            Aretha cuma bisa bersandar di dinding luar ruang kelasnya. Sudah kena hukuman dari Pak Tangkas, dapat hukuman pula dari guru sosiologi. Sambil menjalani hukuman, Aretha mengambil kesempatan memikirkan apa yang dibicarakan ibunya tentang ayahnya. Perempuan itu mencurigai bahwa sikap sang ayah yang mendadak aneh dikarenakan ulah pamannya, Haris. Mungkin pamannya mengatakan sesuatu menyakiti hati ayahnya tapi apa?
            Hal itu masih menjadi tanda tanya besar dalam alam pikir Aretha. Aretha melirik sedikit ke arah pergelangan tangannya. Sudah lewat sepuluh menit. Terdengar pula suara guru sosiologi memanggil nama ‘Aretha’ dari dalam kelas. Begitu kaki kanan Aretha akan menginjak lantai kelas, perempuan itu melihat wali kelas dan seseorang yang sangat dikenalnya menghampiri dirinya.
            “Bu, saya meminta izin pulang keponakan saya, Aretha Lili Meiliani,” ucap paman Haris pada wali kelas Aretha. Mendengar apa yang dikatakan sang paman, tiba-tiba gelisah dan resah mengusik pikiran Aretha. Detak jantung berdegup lebih kencang. Tidak biasanya.
***
            Gadis itu tak bisa menahan derasnya air mata membasahi wajah. Akan tetapi, jika hati dan otak Aretha punya pita suara, mungkin mereka akan menangis sekuat dan sekencang mungkin melihat nestapa yang terjadi di depan mata. Aretha masih histeris di depan rumahnya yang sedang dilalap si jago merah. Tangis disertai suara teriakan parau membuat perih dan pilu di hati para tetangga yang berada di lokasi kebakaran. Sambil meratap, Aretha berusaha meronta melepaskan pelukan paman Haris. Sang paman melakukan itu karena Aretha sempat nekat masuk ke dalam kobaran api. Untung lelaki berumur 40 tahun itu sigap menangkap tangan dan pinggul gadis itu kemudian mendekap tubuh Aretha seerat mungkin.
            “IBU, KAK ARSYAD!!! LEPASKAN PAMAN! IBU DAN KAK ARSYAD ADA DI DALAM!!!” jerit Aretha sekuat tenaga. Aretha merasa Tuhan dan kenyataan hidup sedang berusaha mengambil sesuatu berharga dalam hidupnya. Dan ia harus melakukan sesuatu sebelumnya semuanya terlambat
            “Jangan ke sana, Aretha. Berbahaya!” hardik sang paman.
            “LEPASKAN PAMAN! IBU DAN KAK ARSYAD ADA DI DALAM!!!” balas Aretha sambil memberontakkan badan berharap pelukan paman Haris bisa melonggar. Tapi ternyata paman Haris lebih kuat dalam segi tenaga.
            Tubuh Aretha merosot perlahan-lahan. Ia hanya bisa menangis dan menyesali diri mengapa ia tidak bisa menyelamatkan ibu dan kakaknya. Aretha menangis tersedu-sedu menyadari bahwa Tuhan dan kenyataan berhasil mengambil sesuatu berharga yang seharusnya menjadi miliknya. Perempuan itu hanya mengeluarkan isak pilu dan tatap mata kosong dan hampa melihat rumah yang menjadi saksi pertumbuhan dan perkembangan dirinya luluh lantak dilalap jago merah.
            Dua jam barulah pemadam kebakaran berhasil menghentikan api yang menghabisi rumah Aretha. Tidak ada lagi yang tersisa. Rumah itu sudah menjadi arang bercampur aroma gosong tubuh manusia yang terjebak di dalam rumah. Polisi yang bekerjasama dengan puslabfor sedang mencari dua korban yang terjebak dalam rumah serta melakukan olah TKP untuk menyelidiki penyebab kebakaran itu.
            Saat ini, Aretha sedang berada di rumah paman Haris. Ia masih memandang tubuh sang ayah terbujur kaku di dalam peti mati. Aretha mengelus-elus kening sang ayah yang sudah tak bisa bersamannya lagi di kehidupan nyata.
            Sebelum mendengar kabar bahwa rumahnya kebakaran, paman Haris memberitahu Aretha bahwa ayah dari perempuan itu mengalami kecelakan di jalan tol Tebing Tinggi-Medan. Lelaki itu mengatakan kalau kecelakaan itu terjadi akibat mobil yang dikendarai ayah Aretha tidak dapat mengendalikan kecepatan hingga menerobos beton pembatas jalan tol kemudian menabrak pohon besar.  
            Sambil menatap sang ayah, Aretha berpikir entah apa dosa yang dilakukan dirinya hingga Tuhan memberikan hukuman semenyakitkan ini padanya. Aretha masih menepis dalam alam khayalan bahwa ini adalah mimpi buruk yang benar-benar mengerikan dan berharap Tuhan akan membangunkan dirinya dari mimpi ini.
            “Ini mimpi. Pasti mimpi kan ayah? Beritahu aku kalau ini mimpi,” kata Aretha pada ayahnya. Lelaki paruh baya berjanggut pendek itu mendekati perempuan yang sedang mengobrol dengan mayat ayahnya. Ia menatap iba pada gadis malang yang berada di sebelahnya.
            “Aretha..., sebentar lagi... jenazah Ibu dan Arsyad akan tiba ke sini lima belas menit lagi,” ujar paman Haris pelan pada Aretha. Gadis itu menolehkan kepala secara cepat pada lelaki yang ada di sampingnya. Sorot matanya yang tadi hampa berubah penuh benci dan amarah membalas perkataan sang paman, “APA YANG PAMAN BICARAKAN PADA AYAH TADI MALAM?!!! PAMAN TAHU, AKU SUDAH TIDAK PUNYA APA-APA LAGI! AKU YATIM PIATU! AKU HANCUR! PAMAN PIKIR KALAU PAMAN MEMBAWA IBU DAN KAK ARSYAD KE SINI, AKU BAKALAN KUAT, HAH?!!”
            Aretha melepaskan energi negatif dengan melampiaskan semua amarah yang tergugus di hati pada paman Haris. Lelaki berjanggut itu diam seribu bahasa dengan kepala tertunduk. Aretha melekatkan pandangan pada merupakan paman kandungnya dengan emosi berapi-api. Dengus napas keluar masuk tak beraturan. Istri dari paman Haris, Tanta Koesnowati, memeluk erat tubuh gadis itu tanpa berkata apa-apa. Lagi-lagi tangis Aretha pecah di ruang tamu kediaman Haris. Perempuan yang sedang dipeluk oleh tantenya tidak tahu apa yang bisa dilakukannya untuk menghadapi kenyataan pahit ini selain menangis dan merutuki diri.
***
            Gadis itu masih bergeming di atas kursi yang berada di balkon tingkat dua rumah pamannya. Yang dia lakukan saat ini hanyalah menatap langit malam. Akan tetapi alam bawah sadarnya menerawang jauh, memutar kembali kenangan masalalu ketika ayah, ibu dan kakaknya masih hidup.
            Ketika Aretha  sedang menikmati lamunan indahnya, suara kenop pintu terbuka memecah konsentrasi.
            “Aretha... kamu sedang apa di sana?” tanya bibi Aretha, Tanta Koesnowati padanya.
            Perempuan itu memilih tidak menjawab sama sekali. Ia melanjutkan kembali lamunannya. Ia memutar kembali ingatannya saat ayah, ibu dan kakaknya memuji pencapaian peringkat satu umum yang didapatkan Aretha ketika ia masih kelas VII SMP.
            “Kamu enggak tidur, Nak? Ini sudah pukul 22.00 malam,” kata bibi Tanta seraya duduk di samping Aretha.
            Aretha tersentak begitu bibinya mengingatkan dirinya kalau waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 malam. Kalau saja yang mengingatkan dirinya adalah ayah dan ibunya, pasti Aretha akan berlari cepat ke kasur. Namun ayah dan ibunya telah tiada untuk selamanya.
            “Tidak. Aku belum ngantuk,” tepis Aretha. Kedua bola matanya tetap mengarah pada langit gelap yang hanya menampakkan sedikit bintang kecil bersinar redup.
            “Besok adalah acara pemakaman ayah, ibu dan kakakmu. Ini merupakan pertemuan terakhirmu dengan mereka—“ Aretha langsung bangkit dari kursi dan secepat mungkin, meninggalkan bibinya yang terkejut dengan perbuatan keponakannya. Sambil berurai airmata, Aretha menuju kamar tidur yang telah disediakan untuknya.
***
            Tepat pukul 09.00 pagi, jenazah ayah, ibu dan kakaknya Aretha sudah ditimbun tanah merah. Sekarang, roh mereka sudah tinggal dunia akhirat sedangkan tubuh fana mereka akan diurai tanah dan cacing-cacing sampai tersisa tulang belulang. Tetes air mata para pelayat terus mengalir bersamaan dengan alunan isak tangis yang terdengar pelan dan pilu. Aretha kini sedang membayangkan bagaimana kehidupan selanjutnya ketika orang-orang yang dicintainya tidak bersama lagi dengan dirinya. Tidak ada yang melihat kesuksesan yang dia capai ketika dirinya sudah beranjak dewasa. Tiada lagi pelukan, tempat mengadu tentang berat, pahit dan sakitnya kehidupan. Tidak ada lagi pertengkaran kecil dan omelan yang sering dilakoni bersama kakaknya. Memikirkan hal itu saja membuat tangis Aretha semakin kencang. Air mata semakin deras membasahi wajah mulusnya. Kedua lutut kaki lemas seketika tak sanggup menahan berat beban pikiran yang ditanggung.
            Saat lutut Aretha akan menyentuh permukaan tanah, dengan sigap bibi Tanta mendekap pundak keponakannya. Perempuan paruh baya itu membalikkan badan gadis itu, memeluk Aretha dengan erat. Bibinya paham bagi gadis seperti Aretha akan sangat berat menghadapi kenyataan bahwa dirinya sudah kehilangan orang yang disayangi untuk selama-lamanya. Bibi Tanta masih memeluk keponakannya memberikan efek afeksi yang bisa sedikit meringankan penderitaan yang ditanggung gadis itu.
            Acara pemakaman sudah selesai satu jam lalu. Di rumah paman Haris, sudah berkumpul keluarga dari saudara ayahnya. Mereka memberikan penghiburan pada gadis itu agar ia tetap kuat menjalani hari-harinya. Tetapi semua kata-kata penghiburan itu hanya numpang lewat saja di telinga. Aretha masih berkonsentrasi dengan kesedihan di hatinya. Dalam alam bawah sadarnya, ia bertanya-tanya tentang apa yang akan dilakukan selanjutnya.
            Aku ingin pergi... tapi kemana?

No comments:

Post a Comment