Suram
Ayah... Ibu... aku akan mencari mereka
sampai ke lubang semut sekalipun..
8 tahun yang lalu...
Aretha
Andini fokus mengamati deretan huruf dan angka pada buku paket Matematika kelas
VIII SMP. Perempuan berambut lurus melewati bahu itu sedang berlatih soal-soal
Aljabar. Ia sudah menemukan lima soal berbeda dari halaman berbeda kemudian
dikerjakan pada kertas buram. Aretha sedang mencari rumus yang tepat untuk
menyelesaikan kelima soal itu. Lima belas menit berkonsentrasi pada rumus,
perempuan itu mendongakkan kepala begitu mendengar suara bel elektronik berdering.
Ayah sudah pulang..., ujar hati Aretha.
Ia cepat-cepat menutup bukunya lalu berlari menuju ruang tamu. Terlebih dulu,
Aretha menengok jam dinding yang menggantung di atas dinding—pukul 22.50. Di
sana dia menemukan ayahnya sedang duduk di sofa.
“Ayah
baru pulang?” sapa Aretha dengan wajah ramah.
“Yah
begitulah, Etha. Biasa, Ayah ambil lembur, hehehe,” jelas ayahnya seraya
tertawa garing.
“Ayah
mau kuambil air hangat?” tanya perempuan itu. Ayahnya mengangguk pelan
menandakan ‘ya’.
Aretha
berpaling dari hadapan sang ayah. Ia mengambil cangkir kaca lalu menuangkan
terlebih dahulu air dingin baru ditambahkan air panas dari termos. Aretha sudah
kembali dari dapur kemudian menyodorkan gelas kaca berisi air hangat itu pada
ayahnya.
“Terimakasih,
Nak.” Sang ayah meraih gelas kaca itu dari tangan putrinya kemudian mengisap
sedikit demi sedikit air itu hingga seperempatnya lalu diletakkan di atas meja.
Aretha duduk di sebelah kanan sang ayah dan ibunya di sebelah kiri.
“Lo,
Aretha kamu kok belum tidur? Ini sudah hampir jam sebelas malam. Kamu enggak
sekolah?” tanya sang ayah sambil memperhatikan jam dinding.
“Iya
Ayah. Etha sedang belajar untuk ujian UTS minggu depan. Lagi pula besok ‘kan
libur,” jawab Aretha, semangat.
“Meskipun
besok libur, kamu harus tidur cepat, Etha. Kita sudah sepakat soal disiplin
waktu di rumah ini ‘kan?” Aretha mengangguk pelan. Kepalanya menunduk dengan
roman wajah tertekuk. Perempuan itu kelihatan sedih karena melanggar aturan
yang telah disepakati keluarga mereka.
Melihat
ekspresi putri kecilnya begitu menyesali perbuatannya, sang ayah mulai membujuk
putrinya, “Kali ini, Ayah maafkan perbuatanmu tapi kalau kamu melakukannya
sekali lagi, sebagai hukumannya, Ayah akan memotong uang jajanmu. Paham?”
Aretha mengangguk takzim menanggapi peringatan dari ayahnya.
Keheningan
tercipta untuk beberapa detik di ruang tamu sampai sang ayah berkata, “Ibu,
coba lihat apa Arsyad juga sudah tidur?”
“Sebentar
ya. Ibu cek sebentar.” Sang ibu bangkit dari sofa menuju kamar putranya yang
tak jauh dari ruang tamu. Tangan perempuan paruh baya yang mengenakan cincin
perak di tangan kanannya menekan kenop pintu kemudian didorong agak pelan. Sang
ibu melihat seorang laki-laki berperawakan tinggi tegap dengan tinggi 169
sentimeter terbuai dalam tidur nyenyaknya. Tahu kalau putranya sedang terlelap,
sang ibu menarik kenop pintu pelan-pelan hingga daun pintu tertutup rapat.
“Arsyad
sudah tidur, Pak,” ujar sang Ibu.
“Kalau
begitu besok pagi saja dibicarakan. Saat sarapan pagi. Lebih baik kita semua
tidur saja. Ini sudah malam,” tutup sang ayah sambil berdiri dari sofa,
meninggalkan ruang tamu. Aretha pun sigap menuju tangga untuk sampai di kamar
tidurnya.
***
Kedua
kelopak mata Aretha masih menutup erat. Tapi suara bel elektronik itu terus
berkumandang di telinganya. Namun Aretha
bukan tidak tahu apa fungsi bel itu berada dalam rumahnya.
Selain
ingin membiasakan anak-anaknya bangun tepat waktu, ayahnya juga punya kebiasaan
beribadah pagi. Kegiatan kerohanian itu dilakukan setiap hari. Dan itulah
sebabnya ayahnya selalu menyuruh Aretha dan abangnya untuk tidur jam 10 malam
tepat. Akan tetapi sang ayah juga memberi batas waktu 20 menit apabila kedua
anak mereka sedang sibuk mengerjakan PR.
Sebelum
ibadah pagi, mereka berempat menggelar tikar di lantai ruangan tamu. Begitu
tikar terbentang, keluarga Aretha duduk membentuk lingkaran kecil. Pertama kali
mereka menyanyikan satu lagu pujian kemudian membaca satu pasal dari Alkitab.
Usai membaca Alkitab, sang ayah menunjuk salah satu anaknya untuk berdoa dan sang
ayah menunjuk Aretha.
Kenapa aku sih? tanya batin perempuan
itu. Ada sedikit keengganan tapi akhirnya Aretha mau membawakan doa.
Dua
jam berlalu. Jam dinding menunjukkan pukul 08.10. Sang ayah, Aretha dan Arsyad
berkumpul di meja makan. Sang ibu telah menyajikan segelas teh manis untuk sang
ayah dan dua gelas susu untuk Aretha dan Arsyad. Di hadapan ketiganya tersedia
semangkuk bubur kacang hijau sebagai sarapan pagi.
“Ayo
dimakan selagi masih hangat,” ujar ibu pada ketiganya.
Ketiganya
mencicipi bubur kacang hijau dengan nikmat. Bubur kacang hijau milik sang ayah
tersisa setengah mangkuk. Lelaki paruhb baya itu menghentikan kegiatan makan
sebentar kemudian berbicara, “Apa rencana liburan kita hari Minggu ini?”
Mendengar
kata ‘liburan’ dari mulut sang ayah, sontak Aretha bersuara, “Ke penangkaran
gajah Aek Nauli, Pak. Pemandangan di sana bagus-bagus. Sekaligus aku mau lihat
gajah.”
Sang
ayah menyendok lagi bubur kacang hijau miliknya lalu diarahkan ke mulut. Sambil
menguyah bubur dan mengecap rasa, lelaki bertahi lalat kecil di pipi kanan
bawah tampak berpikir.
“Hmm
ide bagus. Bagaimana dengan kamu, Arsyad?” tanya sang ayah pada lelaki berwajah
bulat kekotakan yang berada di sebelah kirinya.
“Kalau
aku sih maunya ke Air Terjun Sipiso-piso tapi idenya Aretha bagus juga sih,”
ungkap Arsyad seraya mendukung ide dari adiknya.
“Kalau
begitu kita fix ke penangkaran gajah
Aek Nauli ya.” Kesimpulan dari sang ayah disetujui oleh kedua anaknya dengan
anggukan kepala.
“Tapi
ini hari libur Kenaikan Yesus Kristus kan?” Sang Ibu, Arteha dan Arsyad
menggangguk pelan.
“Kita
pergi ke sana setelah pulang gereja.”
***
Arloji
yang melekat di lengan sang Ayah menunjukkan pukul 09.48. Ayah, Ibu serta
Arsyad sudah bersiap di depan mobil Avanza hitam. Mereka masih menunggu satu
orang lagi untuk pergi bersama mereka.
“Aretha
cepatlah. Ibadah pagi sebentar lagi gereja akan mulai ibadah,” desak Arsyad.
Perempuan bergaun biru dongker tergesa-gesa mengenakan high heels miliknya ke dalam kaki. Setelah bersusah payah dengan high heels-nya, Aretha berlari menuju mereka
yang sedang menunggu di depan mobil.
“Kamu
lama sekali, Aretha. Kamu ngapain saja sih?” omel ibunya.
“I-iya,
Bu, tadi aku cari-cari anting kesayanganku. Kupikir hilang eh tahu-tahunya ada
di bawah bantalku.” Aretha mengutarakan alasannya.
“Ya
sudah kalau begitu ayo kita berangkat,” pungkas sang ayah. Mereka berempa sudah
menduduki posisi masing-masing dalam mobil. Begitu mobil sudah di luar, lelaki
paruh baya itu menekan gas lalu menarik tuas persneling, meninggalkan
kediamannnya.
Lima
belas menit mereka bergumul di jalan yang mulai diramaikan dengan suara sepeda
motor, mobil serta angkutan umum berlaga dengan pengemudi angkutan lain yang
beda trayek penumpangnya.
“Untung
baru masuk. Ayo.” Ketika sudah turun dari jok mobil, mereka berempat bergegas
menuju ke dalam gereja. Terlihat bangku-bangku sudah terisi ratusan jemaat akan memulai pembukaan ibadah.
Sang
ayah melihat ada satu bangku kosong di baris kelima sebelah kiri. Ia menuntun
keluarga untuk duduk di sana.
Dua
jam sudah berlalu. Mereka sudah keluar dari gereja menuju mobil yang terparkir
di halaman gereja. Ketika hendak meraih kenop pintu, lelaki paruh baya itu merasakan
ada panggilan masuk ke telepon genggam miliknya. Merasa terganggu dengan
panggilan itu, lelaki itu menekan tombol hijau di sebelah kiri.
“Halo,”
jawab lelaki itu dengan nada datar.
“Kau
sedang ada di rumah, Jansen?” balas dari si penelepon.
“Tidak.
Saat ini aku sedang jalan-jalan bersama keluargaku ke Aek Nauli,” jawab lelaki
paruh baya beruban pirang itu.
“Kapan
aku bisa menemuimu? Ini hal penting mengenai—“
“Tidak!
Jangan hari ini!” potong Jansen, cepat. Ia langsung menutup panggilan setelah
itu memasukkan telepon genggamnya ke dalam saku celana. Jansen melangkah menuju
anak-anak serta istrinya yang menunggu tak jauh dari tempatnya bertelepon.
“Siapa
yang menelepon ayah?” tanya Aretha.
“Biasa,
paman Haris. Ayo cepat naik ke mobil supaya kita bergegas ke Aek Nauli,” balas
Jansen sambil mengalihkan perhatian putrinya agak tidak bertanya macam-macam.
***
Satu
hari cukup melelahkan sekaligus menyenangkan. Di dalam mobil, Aretha terus
memandangi foto-fotonya bersama dengan gajah di penangkaran Aek Nauli.
Perempuan itu juga berpose indah di kawasan hutan pinus di sana. Kedua bola
matamya tak luput memandangi layar gawai milik kakaknya, Arsyad.
“Sudah
selesai memandangi fotonya, Etha?” tanya kakaknya.
“Iya
tunggu, Kak.”
“Cepatlah,
Dek. Kakak mau membalas obrolan dari teman Kakak,” suruh Arsyad dengan sedikit
memaksa.
Ketika
Aretha sedang asyik memandangi foto, tak sengaja pandangannya tertuju pada
mobil yang terparkir di depan gerbang rumah mereka.
Bukannya itu mobilnya paman Haris? pikir
Aretha.
“Pak,
Abang Haris ngapain ya datang ke rumah?” tanya sang istri.
Jansen
hanya diam sesaat lalu mengumpat pelan, memukul bulatan setir. Sebelum menemui
saudaranya, lelaki itu memarkirkan mobil terlebih dahulu. Ternyata saudaranya
sudah menunggu di depan pintu ruang tamu.
“Ngapain
kamu datang ke sini?” tanya Jansen begitu dia turun dari mobilnya.
“Ini
soal bisnis kita,” jawab Haris sambil menatap lekat ke bola mata saudaranya.
“Kita
bicarakan saja di ruang pribadiku,” ajak Jansen pada saudaranya, Haris. Lelaki
berambut pirang itu membuka pintu terlebih dahulu untuk saudaranya. Lalu, mereka
berdua menaiki anak-anak tangga menuju lantai dua tepatnya di ruang pribadi
Jansen.
“Ibu,
ayah dan paman Haris kenapa ya? Mereka kok kelihatan kayak mau bertengkar?”
tanya Aretha sambil mendongakkan kepala, melihat wajah ibunya.
“Ibu
juga enggak tahu apa yang terjadi dengan ayah dan pamanmu. Kita berdoa saja
semoga semua baik-baik saja,” ujar sang ibu sambil menenangkan putrinya.
Sang
ibu, Lasmita, menuntun anak-anaknya ke kamar mereka masing-masing kemudan
disusul dirinya menuju ke kamar tidur juga. Perempuan berambut panjang nan
hitam itu bertanya-tanya dalam hati, apa gerangan masalah terjadi antara suami
dan abang iparnya. Dilihat dari ekspresi sang suami, sepertinya lelakiitu merasa
tidak senang dengan kehadiran abangnya yang datang tanpa pemberitahuan.
Tuhan lindungilah keluarga kami, doa
Lasmita dalam hati. Ia mengambil pakaian ganti setelah itu membuka pintu kamar
mandi.
***
Aretha
baru menaikkan badan dari ranjang peristirahatannya. Perempuan itu merentangkan
tangan sambil mendesah lega. Ia merasa tidurnya tadi malam cukup puas. Namun
bersamaan dengan itu, ada hal janggal terlintas di pikirannya.
Lo tadi pagi tidak beribadah ya? tanya
batin Aretha. Ia bangkit dari kasur seraya memakai selop yang terletak di dekat
kaki ranjangnya. Sesudah dikenakan di kedua kakinya, perempuan itu menuju kamar
mandi untuk mencuci muka. Dilihatnya jam beker yang berada di atas lemari hias
menunjukkan pukul 06.20.
Usai
membersihkan wajah dari air liur kering dan belek, Aretha meletakkan handuk di
tiang jemuran yang diletakkan khusus di kamarnya. Perempuan itu melangkah
menuruni anak-anak tangga disusun spiral hingga ke bawah. Ia menjumpai ibunya
merenung tak jelas di depan televisi yang menyala.
“Lho
Ibu kenapa melamun? Dan mana ayah? Tidak biasanya Ayah pergi sepagi ini?”
Aretha mencecar ibunya dengan berbagai pertanyaan yang satu pun belum dijawab
ibunya.
“Tadi
Ayahmu bertingkah aneh, Nak. Kamu tahu ‘kan biasanya kalau pagi sekitar jam
5.30 kita ada ibadah tapi ketika Ibu mengingatkan Ayahmu, ia sama sekali tidak
merespons. Ia terus tidur. Dan lagi ketika sarapan, Ayahmu hanya diam dan diam.
Ibu yakin kejadian tadi malam pasti ada hubungannya dengan sikap Ayah mendadak
aneh,” jabar Lasmita sambil menoleh pada putrinya.
“Jadi
ayah sudah pergi kerja?” Sang ibu mengangguk pelan.
Aretha
berharap dalam hati semoga hal-hal buruk tidak menimpa keluarganya. Ia berusaha
menenangkan haticemas ibunya dengan memberi kata-kata penguatan. Sang ibu
mengangguk takzim sambil memeluk putri kesayangannya.
“Tapi
ngomong-ngomong, Kak Arsyad mana, Bu?”
“Dia
sedang main game online di kamarnya. Dia
tidak sekolah karena kelas X s/d XI diliburkan karena kelas XII sedang
mengikuti UN mulai hari senin sampai hari kamis,” jawab sang ibu seraya
mengusap rambut anak perempuannya.
Perempuan
berkulit kuning langsat itu menoleh sekilas ke arah jam dinding yang terpaku di
atas dinding rumahnya. Aretha terperanjat dari sofa karena dalam waktu lima
belas menit lagi, bel tanda memasuki pelajaran akan segera dimulai.
Waduh, aku terlambat, omel Aretha pada
dirinya sendiri. Ia bangkit dari tempat duduknya sambil berlari menaiki tangga
menuju kamarnya. Begitu sampai di kamar, ia langsung meraih handuk yang
tergantung di tiang jemuran lalu bergegas dari pintu kamarnya ke kamar mandi.
Sudah
tujuh menit berlalu. Aretha keluar dari kamar mandi dengan lilitan handuk
menutup bagian dada. Ketika akan mengenakan seragam, perempuan berambut lurus
panjang itu melepas lilitan handuk kemudian mengenakan seragam putih birunya.
Seragam telah selesai dipakai. Aretha tergesa-gesa menuju cermin hias menempel di lemari pakaian. Ia
menggosok-gosok rambutnya yang masih lembab selama lima detik. Saat rambutnya
agak kering, ia menggosokkan sedikit minyak zaitun ke rambut lalu disisir
perlahan-lahan.
Perempuan
itu keluar dari kamar sambil menenteng tas punggung di kedua pundak. Kedua
tungkai kaki Aretha bergantian begitu cepat menuruni anak tangga. Ia meraih
kunci sepeda motor digantung di atas televisi. Sebelum Aretha menaiki sepeda
motornya, sang ibu berhasil mencegatnya.
“Kamu
melupakan sesuatu,” ucap sang ibu sambil memberikan kotak bekal makanan. Aretha
menyingkap sedikit penutup bekal makanan milik untuk mengetahui apa yang
diberikan ibunya padanya.
“Terimakasih
Ibu,” balas Aretha sambil menyunggingkan senyum senang. Sebelum menyalakan
sepeda motor, perempuan berpostur sedang itu menyalami tangan ibunya penuh
hormat sambil berucap ‘aku pamit ya, Bu.’ kemudian menekan electric stater motor.
Dalam
perjalanan, Aretha memilih tidak menoleh sedikit pun ke arah arloji yang
melingkar di pergelangan tangannya. Ia sudah tahu kalau dia sudah terlambat. Ia
memilih mencurahkan konsentrasi terhadap jalan raya di depannya sambil mengatur
kecepatan tali gas motornya.
Tepat
di depan gerbang sekolah, Aretha akhirnya melihat ke arah arloji—07. 25. Pagi
ini ia mendengar bimbingan dan arah dari wakil kepala sekolah bidang kesiswaan
yang terkenal sebagai guru killer,
Pak Tangkas Silalahi. Aretha memilih menunggu di depan gerbang yang tertutup
sambil menunggu apel pagi selesai.
Pukul
07.32. Terdengar wakil kepala sekolah membubarkan barisan para siswa. Salah
satu guru mendatangi satpam, menyuruh satpam itu untuk membukakan gerbang.
“Taruh
sepeda motor kalian ke parkiran setelah itu kalian berbaris di lapangan basket.
Jangan coba kabur. Yang kabur, saya kan beri SP 3 ke orang tua kalian,” ujar
guru perempuan berkacamata itu pada kami.
Kami
mengiyakan perintah dari guru itu. Aretha beserta dengan teman-temanku yang
terlambat mendorong kereta sampai di tempat parkir yang disediakan lalu
berbaris di tempat yang telah disediakan. Semua siswa yang terlambat sudah
berkumpul di lapangan basket. Para siswa yang terlambat ditanyai satu per satu
perihal penyebab keterlambat dan sudah berapa kali kami terlambat.
Dan
menurut aturan, batas keterlambatan para siswa masuk ke sekolah minimal5 kali
dalam rentang tiga bulan. Aretha menghela napas lega karena dia baru dua kali
terlambat masuk sekolah. Memang ada tiga orang yang dipanggil ke ruang BK untuk
menerima surat panggilan untuk diberikan kepada orang tua. Aretha dan
teman-teman yang lain disuruh mencabut rumput dan mengutip sampah di sekitar
pekarangan sekolah.
Usai
menjalani hukuman, Aretha langsung mengambil tas ransel dan cepat menuju ruang
kelasnya VIII 3. Begitu tiba di depan kelas, ia melihat, Pak BP, guru sosiologi
berceramah mengenai penyimpangan sosial.
“Permisi,
Pak,” ujar Aretha dengan suara pelan.
“Mau
ngapain?” tanya lelaki berkepala botak tapi di bagian depan kepala.
“Mau
masuk, Pak.”
Sambil
melihat arloji di lengan, lelaki itu berkata, “10 menit lagi ya. Tunggu saja di
situ.”
Aretha
cuma bisa bersandar di dinding luar ruang kelasnya. Sudah kena hukuman dari Pak
Tangkas, dapat hukuman pula dari guru sosiologi. Sambil menjalani hukuman,
Aretha mengambil kesempatan memikirkan apa yang dibicarakan ibunya tentang
ayahnya. Perempuan itu mencurigai bahwa sikap sang ayah yang mendadak aneh
dikarenakan ulah pamannya, Haris. Mungkin pamannya mengatakan sesuatu menyakiti
hati ayahnya tapi apa?
Hal
itu masih menjadi tanda tanya besar dalam alam pikir Aretha. Aretha melirik
sedikit ke arah pergelangan tangannya. Sudah lewat sepuluh menit. Terdengar
pula suara guru sosiologi memanggil nama ‘Aretha’ dari dalam kelas. Begitu kaki
kanan Aretha akan menginjak lantai kelas, perempuan itu melihat wali kelas dan
seseorang yang sangat dikenalnya menghampiri dirinya.
“Bu,
saya meminta izin pulang keponakan saya, Aretha Lili Meiliani,” ucap paman
Haris pada wali kelas Aretha. Mendengar apa yang dikatakan sang paman,
tiba-tiba gelisah dan resah mengusik pikiran Aretha. Detak jantung berdegup
lebih kencang. Tidak biasanya.
***
Gadis
itu tak bisa menahan derasnya air mata membasahi wajah. Akan tetapi, jika hati
dan otak Aretha punya pita suara, mungkin mereka akan menangis sekuat dan
sekencang mungkin melihat nestapa yang terjadi di depan mata. Aretha masih
histeris di depan rumahnya yang sedang dilalap si jago merah. Tangis disertai
suara teriakan parau membuat perih dan pilu di hati para tetangga yang berada
di lokasi kebakaran. Sambil meratap, Aretha berusaha meronta melepaskan pelukan
paman Haris. Sang paman melakukan itu karena Aretha sempat nekat masuk ke dalam
kobaran api. Untung lelaki berumur 40 tahun itu sigap menangkap tangan dan
pinggul gadis itu kemudian mendekap tubuh Aretha seerat mungkin.
“IBU,
KAK ARSYAD!!! LEPASKAN PAMAN! IBU DAN KAK ARSYAD ADA DI DALAM!!!” jerit Aretha
sekuat tenaga. Aretha merasa Tuhan dan kenyataan hidup sedang berusaha mengambil
sesuatu berharga dalam hidupnya. Dan ia harus melakukan sesuatu sebelumnya
semuanya terlambat
“Jangan
ke sana, Aretha. Berbahaya!” hardik sang paman.
“LEPASKAN
PAMAN! IBU DAN KAK ARSYAD ADA DI DALAM!!!” balas Aretha sambil memberontakkan
badan berharap pelukan paman Haris bisa melonggar. Tapi ternyata paman Haris
lebih kuat dalam segi tenaga.
Tubuh
Aretha merosot perlahan-lahan. Ia hanya bisa menangis dan menyesali diri
mengapa ia tidak bisa menyelamatkan ibu dan kakaknya. Aretha menangis tersedu-sedu
menyadari bahwa Tuhan dan kenyataan berhasil mengambil sesuatu berharga yang
seharusnya menjadi miliknya. Perempuan itu hanya mengeluarkan isak pilu dan
tatap mata kosong dan hampa melihat rumah yang menjadi saksi pertumbuhan dan
perkembangan dirinya luluh lantak dilalap jago merah.
Dua
jam barulah pemadam kebakaran berhasil menghentikan api yang menghabisi rumah
Aretha. Tidak ada lagi yang tersisa. Rumah itu sudah menjadi arang bercampur
aroma gosong tubuh manusia yang terjebak di dalam rumah. Polisi yang
bekerjasama dengan puslabfor sedang mencari dua korban yang terjebak dalam
rumah serta melakukan olah TKP untuk menyelidiki penyebab kebakaran itu.
Saat
ini, Aretha sedang berada di rumah paman Haris. Ia masih memandang tubuh sang
ayah terbujur kaku di dalam peti mati. Aretha mengelus-elus kening sang ayah
yang sudah tak bisa bersamannya lagi di kehidupan nyata.
Sebelum
mendengar kabar bahwa rumahnya kebakaran, paman Haris memberitahu Aretha bahwa
ayah dari perempuan itu mengalami kecelakan di jalan tol Tebing Tinggi-Medan.
Lelaki itu mengatakan kalau kecelakaan itu terjadi akibat mobil yang dikendarai
ayah Aretha tidak dapat mengendalikan kecepatan hingga menerobos beton pembatas
jalan tol kemudian menabrak pohon besar.
Sambil
menatap sang ayah, Aretha berpikir entah apa dosa yang dilakukan dirinya hingga
Tuhan memberikan hukuman semenyakitkan ini padanya. Aretha masih menepis dalam
alam khayalan bahwa ini adalah mimpi buruk yang benar-benar mengerikan dan
berharap Tuhan akan membangunkan dirinya dari mimpi ini.
“Ini
mimpi. Pasti mimpi kan ayah? Beritahu aku kalau ini mimpi,” kata Aretha pada
ayahnya. Lelaki paruh baya berjanggut pendek itu mendekati perempuan yang
sedang mengobrol dengan mayat ayahnya. Ia menatap iba pada gadis malang yang
berada di sebelahnya.
“Aretha...,
sebentar lagi... jenazah Ibu dan Arsyad akan tiba ke sini lima belas menit lagi,”
ujar paman Haris pelan pada Aretha. Gadis itu menolehkan kepala secara cepat
pada lelaki yang ada di sampingnya. Sorot matanya yang tadi hampa berubah penuh
benci dan amarah membalas perkataan sang paman, “APA YANG PAMAN BICARAKAN PADA
AYAH TADI MALAM?!!! PAMAN TAHU, AKU SUDAH TIDAK PUNYA APA-APA LAGI! AKU YATIM
PIATU! AKU HANCUR! PAMAN PIKIR KALAU PAMAN MEMBAWA IBU DAN KAK ARSYAD KE SINI,
AKU BAKALAN KUAT, HAH?!!”
Aretha
melepaskan energi negatif dengan melampiaskan semua amarah yang tergugus di
hati pada paman Haris. Lelaki berjanggut itu diam seribu bahasa dengan kepala
tertunduk. Aretha melekatkan pandangan pada merupakan paman kandungnya dengan emosi
berapi-api. Dengus napas keluar masuk tak beraturan. Istri dari paman Haris,
Tanta Koesnowati, memeluk erat tubuh gadis itu tanpa berkata apa-apa. Lagi-lagi
tangis Aretha pecah di ruang tamu kediaman Haris. Perempuan yang sedang dipeluk
oleh tantenya tidak tahu apa yang bisa dilakukannya untuk menghadapi kenyataan
pahit ini selain menangis dan merutuki diri.
***
Gadis
itu masih bergeming di atas kursi yang berada di balkon tingkat dua rumah
pamannya. Yang dia lakukan saat ini hanyalah menatap langit malam. Akan tetapi
alam bawah sadarnya menerawang jauh, memutar kembali kenangan masalalu ketika
ayah, ibu dan kakaknya masih hidup.
Ketika
Aretha sedang menikmati lamunan
indahnya, suara kenop pintu terbuka memecah konsentrasi.
“Aretha...
kamu sedang apa di sana?” tanya bibi Aretha, Tanta Koesnowati padanya.
Perempuan
itu memilih tidak menjawab sama sekali. Ia melanjutkan kembali lamunannya. Ia
memutar kembali ingatannya saat ayah, ibu dan kakaknya memuji pencapaian
peringkat satu umum yang didapatkan Aretha ketika ia masih kelas VII SMP.
“Kamu
enggak tidur, Nak? Ini sudah pukul 22.00 malam,” kata bibi Tanta seraya duduk
di samping Aretha.
Aretha
tersentak begitu bibinya mengingatkan dirinya kalau waktu sudah menunjukkan
pukul 22.00 malam. Kalau saja yang mengingatkan dirinya adalah ayah dan ibunya,
pasti Aretha akan berlari cepat ke kasur. Namun ayah dan ibunya telah tiada
untuk selamanya.
“Tidak.
Aku belum ngantuk,” tepis Aretha. Kedua bola matanya tetap mengarah pada langit
gelap yang hanya menampakkan sedikit bintang kecil bersinar redup.
“Besok
adalah acara pemakaman ayah, ibu dan kakakmu. Ini merupakan pertemuan
terakhirmu dengan mereka—“ Aretha langsung bangkit dari kursi dan secepat
mungkin, meninggalkan bibinya yang terkejut dengan perbuatan keponakannya.
Sambil berurai airmata, Aretha menuju kamar tidur yang telah disediakan
untuknya.
***
Tepat
pukul 09.00 pagi, jenazah ayah, ibu dan kakaknya Aretha sudah ditimbun tanah
merah. Sekarang, roh mereka sudah tinggal dunia akhirat sedangkan tubuh fana
mereka akan diurai tanah dan cacing-cacing sampai tersisa tulang belulang.
Tetes air mata para pelayat terus mengalir bersamaan dengan alunan isak tangis
yang terdengar pelan dan pilu. Aretha kini sedang membayangkan bagaimana
kehidupan selanjutnya ketika orang-orang yang dicintainya tidak bersama lagi
dengan dirinya. Tidak ada yang melihat kesuksesan yang dia capai ketika dirinya
sudah beranjak dewasa. Tiada lagi pelukan, tempat mengadu tentang berat, pahit
dan sakitnya kehidupan. Tidak ada lagi pertengkaran kecil dan omelan yang
sering dilakoni bersama kakaknya. Memikirkan hal itu saja membuat tangis Aretha
semakin kencang. Air mata semakin deras membasahi wajah mulusnya. Kedua lutut
kaki lemas seketika tak sanggup menahan berat beban pikiran yang ditanggung.
Saat
lutut Aretha akan menyentuh permukaan tanah, dengan sigap bibi Tanta mendekap
pundak keponakannya. Perempuan paruh baya itu membalikkan badan gadis itu,
memeluk Aretha dengan erat. Bibinya paham bagi gadis seperti Aretha akan sangat
berat menghadapi kenyataan bahwa dirinya sudah kehilangan orang yang disayangi
untuk selama-lamanya. Bibi Tanta masih memeluk keponakannya memberikan efek
afeksi yang bisa sedikit meringankan penderitaan yang ditanggung gadis itu.
Acara
pemakaman sudah selesai satu jam lalu. Di rumah paman Haris, sudah berkumpul
keluarga dari saudara ayahnya. Mereka memberikan penghiburan pada gadis itu
agar ia tetap kuat menjalani hari-harinya. Tetapi semua kata-kata penghiburan
itu hanya numpang lewat saja di telinga. Aretha masih berkonsentrasi dengan
kesedihan di hatinya. Dalam alam bawah sadarnya, ia bertanya-tanya tentang apa
yang akan dilakukan selanjutnya.
Aku ingin pergi... tapi kemana?

No comments:
Post a Comment