Friday, 20 July 2018

DUAL - 8


Pengintaian
            Alvaro memicingkan kelopak mata sebelah kiri. Ia sedang mengukur presisi antara jarak bola dengan jarak lubang sebelah kiri bawah. Setelah mendapatkan posisi pas untuk memukul, lelaki itu menyiapkan ancang-ancang badan dan teknik sodokan untuk memukul bola putih. Begitu Alvaro menolakkan tongkat pemukul, bola keras berjumlah 16 itu berbenturan satu sama lain. Bola ungu nomor 6 yang menjadi sasaran nya hanya membentur bola nomor 2 dan 5 dan berhenti tepat di tengah meja biliar.
            “Ah sial,” maki Alvaro seraya mengentakkan tongkat pemukulnya ke lantai keramik.
            “Gimana nih, masih mau dilanjutkan enggak?” tanya lelaki berwajah tirus mengenakan kaus hitam. Ia tersenyum kecil melihat kekesalan Alvaro.
            Dia mengamati bola-bola yang tersisa di meja biliar. Hanya tinggal tiga bola lagi. Dan untuk urusan menghabiskan tiga bola itu, Alvaro ragu kalau dia bisa memasukkan ketiga bola itu. Lagipula dirinya sudah berselisih tiga poin dengan skor 2-5.
            “Oke, aku kalah,” aku Alvaro sambil meletakkan tongkat pemukul di rak kayu. Ia menyerahkan selembar uang lima puluh ribu pada temannya.
            “Tapi gimana dengan yang  gua bilang barusan? Elo mau bantu gua kan, Rud?” tanya Alvaro sambil membuka pengungkit minuman bir kalengan.
            Rudi, lelaki berwajah tirus berkaus hitam itu tengah memikirkan apa yang dikatakan oleh temannya. Memang sebelum bermain, Alvaro sudah membicarakan hal itu padanya. Lelaki itu bilang kepada Alvaro kalau dia akan menjawab permintaan temannya kalau dia mau bertaruh dengannya bermain biliar. Sekarang tiba waktunya Rudi untuk menjawabnya.
            Elo yakin mau menerima tawaran dari bos? Target elo itu mantan pimpinan angkatan darat. Kalau elo gagal, taruhannya antara nyawa loe dan organisasi ini, Al,” tanya Rudi sarat keraguan.
            “Jadi korban-korban yang selama ini menjadi target kita juga ada yang tentara, polisi aparatur pemerintahan, bukan? Dan selama ini semua berjalan lancar kok,” balas Alvaro atas keraguan temannya.
            “Itu sebabnya gua menyuruh elo untuk ikut bersama gua. Kita akan melakukan pengintaian selama tiga hari untuk menentukan bagaimana cara menghabisi dia. Kalau untuk urusan membunuh target, biar gua dan Aretha yang urus.”
            Rudi tak tahu lagi apa yang harus dia katakan. Temannya satu ini memang sulit dinasihati. Ia berkata seperti itu karena polisi sudah mulai mengincar temannya. Dan kalau sudah tertangkap, nasib dirinya dan organisasi mereka akan segera menemui celaka.
            “Oke gua ikut. Kapan kita intai dia?”
            “Besok aja. Kita bertiga akan meluncur ke alamat rumah yang ada di kartu identitas ini.” Alvaro menunjukkan kartu identitas sang target pada Rudi.
***
            Nada alarm handphone Aretha mengusik tidurnya pagi ini. Di kamar berukuran 5x3 meter itu perempuan berwajah oval itu mengistirahatkan badan ragawi selama satu malam. Ia meraih handphone yang tergeletak di atas lemari kecil. Waktu menunjukkan pukul 05.20. Perempuan berambut hitam lurus itu beringsut dari ranjang empuk menuju kamar mandi. Ia meraih handuk yang tergantung di dinding luar kamar mandi. Aretha membilaskan air sebanyak tiga kali mengusir sisa-sisa kantuk dan kotoran yang menyangkut di kedua sudut kelopak mata.
            Sesudah dari kamar mandi, Aretha menggelar  tikar di lantai kamarnya lalu mengambil buku kidung pujian di lemari kecilnya. Ia melihat sarung di bagian pinggang lalu duduk seperti orang yang beribadah. Ia berdoa terlebih dahulu mengucapkan puji syukur dan terimakasih pada Sang Tuhan. Setelah berdoa, perempuan itu mencari satu ayat lagu pujian lalu membaca satu ayat alkitab.
            Namun timbul tanda tanya dalam hati, apakah semua yang dia lakukan selama ini berkenan di hadapan-Nya? Karena selama hidupnya tidak ada pekerjaan yang lebih memuliakan hati Tuhan selain membunuh dan membunuh. Ia selalu bergumul dengan dosa dan dosa. Ia pernah berpikir untuk lepas dari semua ini akan tetapi godaan iblis lebih kuat daripada keinginannya untuk berubah. Ketika ia berhasil mengantarkan satu nyawa ke hadapan Sang Pencipta, ada kegirangan tersendiri dalam batinnya. Air mata, penderitaan dan darah dari para korban memberikan semacam asupan nutrisi bagi iblis-iblis bersemayam di hati Aretha. Mereka bersukacita, melompat girang apabila Arteha berhasil melaksanakan apa yang mereka inginkan. Akan tetapi hal itu juga sejalan dengan rasa takut dan rasa bersalah yang timbul dalam hati. Sampai-sampai terbawa dalam alam mimpi.
            Ditambah lagi kematian ayah, ibu dan kakaknya, Arsyad. Wajah mereka masih nyaman berdiam dalam pikiran Arteha. Memberikan semacam dorongan untuk mencari dan membalas dendam atas kematian mereka yang menurutnya tidak wajar. Keinginan balas dendam dan keinginan membunuh terus menerus berkecamuk dalam pikiran Aretha. Ia hampir saja kehilangan kendali atas dirinya. Dan untuk melawan itu semua, dinding kamarnya menjadi saksi jikalau perempuan itu selalu membenturkan kepala untuk mengendalikan diri. Terkadang juga ia menangis tersedu-sedu hingga membuat pembantu di kediamannya panik.
            Begitu lelahnya perempuan itu sampai-sampai ia tidak sadar kalau dirinya tertidur di lantai kamar. Aretha mengerjapkan kelopak mata pelan-pelan ketika ia mendengar nada panggilan mengganggu tidurnya. Mungkin sudah keempat kali ia mendengar nada itu. Ia menjulurkan tangan kanan meraih handphone yang tergeletak di kasur.
            “Halo, Al,” jawab Aretha.
            “Aretha, kamu lagi di rumah ‘kan?”
            “Iya kenapa?”
            “Aku dan Rudi sedang menuju ke rumah. Kita akan melakukan pengintaian terhadap Dedy Rahmad Yadi pagi ini,” balas Alvaro.
            “Pengintaian? Oke baiklah. Kalau begitu, aku akan segera bersiap-siap.” Begitu mendapat kepastian dari rekannya, Alvaro menutup panggilan. Bersamaan dengan itu, Aretha sudah bangkirt dari tidurnya. Ia melakukan sedikit peregangan kemudian melangkah ke kamar mandi bersama dengan handuk biru muda di pundak kiri.
            Lima belas menit ia menghabiskan waktu di kamar mandi. Sekarang dirinya sedang membuka lemari kayu, memilih pakaian apa yang akan dikenakan. Ia melirik ke arah kaus berlengan panjang bermotif garis-garis ungu dan celana training berbahan kain parasut. Setelah memberikan vitamin rambut dan menyisirnya, Aretha mengikat rambut hitam panjangnya dengan jepitan rambut kecil. Tidak lupa dengan tas kecil model sandang, sepucuk pistol dan pisau dimasukkan ke dalam tas.
            Aretha melirik sedikit ke arah arloji dan tepat ketika jarum pendek menunjuk ke angka sepuluh, decit roda Camry cokelat karamel tiba di depan gerbang rumahnya.
            “Tumben lo mau keluar pagi-pagi begini?” tanya Arteha sambil meletakkan tas kecil di belakang pundaknya.
            “Gua lihat target kita sedang kampanye di balai kesenian kota. Gua ingin lihat aja bagaimana profil target kita dan pengawalnya secara lebih dekat,” jelas Alvaro.
            “Aretha...,elo kelihatan lebih sexy dan attractive dengan model pakaian kayak begini,” goda Rudi yang berada di samping Alvaro. Ia mengamati detil-detil bentuk tubuh Aretha mulai dari wajah sampai bagian selangkangan.
            “Bukain pintunya, Al. Gua mau masuk.” Aretha tidak menghiraukan pujian dari Rudi. Ia memilih masuk dan duduk di jok belakang. Alvaro mengencangkan laju kendaraan.
            Sambil berfokus pada setir, Alvaro membuka percakapan basa-basi pada Aretha. “Elo sudah makan kan?”               
            “Belum. Ada rencana meneraktir?” Aretha balik bertanya.
            “Ayah belum mencairkan gaji kita. Mungkin Rudi berniat membayar kita makan.”
            “Tapi uangku hanya cukup meneraktir Aretha,” respons Rudi sambil ekor matanya melirik pada Arteha. Perempuan itu tidak memberikan respons atas tawaran terselubungnya. Kali ini taktik yang digunakan Rudi untuk menggaet hati Aretha gagal. Untuk menutupi rasa malunya, ia mengalihkan topik pembicaraan pada tujuan awal mereka.
            “Oh ya, omong-omong, apakah Ayah sudah memberikan keterangan mengenai target yang akan kita intai?”
            Alvaro mengangguk sekali lalu Rudi melanjutkan lagi, “bagaimana dengan para pengawalnya?”
            “Kita bisa lihat nanti di acara kampanyenya.”
            Setelah melewati kemacetan di jalan raya Cakung Barat, Alvaro mengarahkan kemudi ke arah kerumunan. Ia mengambil jarak parkir sekitar lima puluh meter dari keramaian masyarakat yang sedang menjabarkan janji-janji politik kepada masyarakat bawah.
            “Aku dan Aretha akan turun. Rudi, kau, berjagalah di dalam saja,” perintah Alvaro sambil menekan kenop pintu.
            “Baiklah. Tetap waspada dan tetap aktifkan handphone kalian.” Arteha dan Alvaro sudah turun dari mobil. Rudi bergesar ke arah kemudi seraya mengamati pergerakan kedua temannya.
            Keduanya mulai berjalan mendekati kerumunan itu. Sambil melihat kiri kanan memastikan apakah ada seseorang atau pihak kepolisian juga tengah memata-matai mereka.
            “Tidak ada tanda-tanda polisi?”
            Sambil menggerakkan leher mereka, keduanya mengedarkan pandangan ke kanan dan kiri kemudian Aretha menjawab, “tidak ada.”
            “Kalau begitu ayo kita lihat lebih dekat lagi,” ajak Alvaro pada rekannya. Sebelum pasangan calon gubenur dan wakil gubernur berkampanye, mereka berdua mengajak masyarakat yang berada di balai kota untuk menyanyikan Indonesia Raya.
            Setelah menyanyikan lagu Indonesia Raya, pasangan gubernur dan wakil gubernur Jawa Barat, Dedi Rahmad Yadi dan Moes Aradjek Syah mengucapkan salam pembuka.
            Alhamdullilah, masyarakat Jawa Barat bisa berkumpul di sini menyaksikan kami pasangan calon gubernur dan wakil gubernur nomor urut 1 memaparkan janji-janji kampanye kami apabila kami sah terpilih sebagai gubernur dan wakil gubernur dalam pemilihan kepala daerah tanggal 9 Desember 2017. Kami mempunyai visi dan misi dalam pengembangan  Jawa Barat sebagai kota religius, sejahtera, sehat dan cerdas. Maka dari itu kami akan berjanji akan mengadakan kegiatan keagamaan seperti lomba membaca Al-quran tingkat SD, SMP dan SMA. Kami juga akan memberikan bantuan berupa pemerataan sarana dan prasarana pada pesantren-pesantren yang ada di seluruh kota Jawa Barat.” Calon gubernur menguraikan program mereka dalam bidang keagamaan. Alvaro memberikan respons berupa tatapan datar dan dengus napas pendek.
            Pengamatannya tertuju pada dua orang berjaket kulit dan kain parasut berdiri di sudut panggung. Badan mereka tegap. Otot kedua lengan dan badan mereka kokoh dibalut dengan kaus oblong hitam dan cokelat. Alvaro sudah menemukan para pengawal target mereka.
            “Sepertinya aku sudah menemukan dua pengawal dari target kita,” ujar Alvaro.
            “Di mana mereka?” tanya Aretha seraya mengalihkan pandangannya dari handphone-nya.
            “Kau bisa lihat dua orang laki-laki yang berdiri di sudut panggung?”
            “Yang berdiri di sudut kiri belakang panggung, memakai jaket kulit dan memakai kacamata hitam dan cokelat?” tanya Aretha memastikan apa yang dimaksud oleh rekannya.
            “Tepat. Kita tunggu saja di mobil sampai acara kampanye ini selesai. Mungkin setengah jam lagi selesai.” Keduanya angkat kaki dari sana mendatangi Rudi yang sudah lama menunggu mereka.
***
            Sesuai yang dikatakan bos besar mereka di grup, Anggara dan Fiolina akan menemui seorang wanita di kota Tangerang Selatan. Kota itu lebih pantas dikatakan kawasan desa semi kota. Kota itu masih banyak warga berprofesi sebagai petani. Para penduduk di sana kebanyakan menanam  padi dan singkong. Tapi titik temu mereka dengan klien tidak berada di pemukiman penduduk. Sang klien menyuruh mereka bertemu di sebuah warteg. Dari keterangan yang diberikan oleh bos mereka, klien mereka memakai hijab cokelat muda, mengenakan dress panjang khas ibu-ibu dan sendal jepit jingga Swallow.
            “Coba chat bos apa nama warteg-nya soalnya sudah setengah jam kita berkeliling mencari warteg.”
            Fiolina mengetikkan huruf per huruf pada layar sentuh di grup HOVTA. Kebetulan bos mereka sedang online. Tak butuh waktu lama bos mereka membalas pesan.
            Warteg Ibu Rofiah. Itulah balasan pertanyaan Aretha lalu ia memberitahukan nama warteg itu pada Alvaro.
            “Warteg Ibu Rofiah, kata bos.”
            “Warteg Ibu Rofiah? Oh berarti benar dugaanku. Kita harus berbalik arah.” Lelaki berambut agak pirang itu menekan pedal rem pelan. Tekstur kasar ban bergesekan dengan aspal hitam menimbulkan suara decitan. Dari tiga warteg yang dilihatnya, warteg Ibu Rofiah lebih mirip rumah makan padang. Tidak banyak orang-orang yang makan di warteg itu. Begitu diamati baik-baik, ternyata orang yang mereka cari sudah berdiri tak jauh dari warteg itu.
            Anggara dan Fiolina turun dari mobil guna memastikan apakah benar wanita yang berdiri itu merupakan orang yang mereka cari.
            “Ini ibu Suratmi?” Alvaro menamakan nama itu pada wanita setengah baya di hadapannya.
            “Iya benar, apakah kalian—“
            “Saya Anggara dan ini rekan saya, Fiolina. Lebih baik kita bicarakan saja hal ini di  dalam mobil.” Anggara mengajak perempuan paruh baya itu ke dalam mobil. Ia tidak mau pembicaraan mereka berdua dengan klien didengar orang banyak.
            Sempat keheningan mendominasi pembicaraan mereka bertiga. Fiolina melirik sedikit ke arah gantungan kaca kecil memantulkan wajah perempuan paruh baya itu.
            “Bu Suratmi,” sapa Fiolina.
            “Kalau saya boleh tahu, apa pekerjaan Ibu?”
            “Saya seorang buruh harian di pabrik tekstil, Dek,” jawab ibu Suratmi.
            “Kalau suami ibu?” lanjut Fiolina.
            “Suami saya seorang kuli bangunan.”
            “Apa Ibu sudah yakin dengan apa yang ibu lakukan?” Giliran Anggara bertanya pada ibu Suratmi. Perempuan berumur awal empat puluh tahunan itu mengangguk mantap.
            “Apa yang membuat Ibu benar-benar sudah yakin?” tanya Alvaro sambil berkonsentrasi dengan kemudi.
            “Anak saya sudah empat hari opname di rumah sakit. Kami kesulitan biaya untuk menembus obat yang diresepkan pihak rumah sakit. Tidak ada yang mau memberikan utang pada saya. Inilah jalan satu-satunya untuk menolong anak saya,” ungkap ibu Suratmi dengan mata berkaca-kaca. Fiolina bisa melihat kilatan cahaya melapisi bola mata perempuan itu.
            Meskipun Fiolina dan Anggara hidup tanpa kasih sayang orang tua kandung, mereka bisa merasakan ketulusan hati dan pengorbanan ibu Suratmi. Setidaknya semua kasih sayang itu sudah didapatkan ketika mereka berdua diasuh oleh ibu Saras. Namun mereka berdua harus menahan perasaan mereka agar tidak larut dalam kesedihan perempuan paruh baya itu.
            Anggara menekan pedal gas kemudian menaikan persneling untuk menambah kecepatan. Memang memakan waktu kira-kira dua jam untuk sampai di markas. Markas HOVTA terletak di kawasan bekas apartemen yang tidak lagi dipedulikan pemiliknya. Apartemen tingkat duapuluh itu menjelma menjadi tempat tinggal para anggota sekaligus rumah bedah organ tubuh. Belum pernah ada oknum kepolisian atau organisasi masyarakat setempat berani menjamah apartemen itu. Bos besar HOVTA sudah menyumpal mulut pejabat tinggi daerah dan kepolisian dengan uang sekoper.
            Lelaki berambut agak pirang itu menekan pedal rem secara perlahan-lahan hingga mengeluarkan suara gesekan angin. Sebenarnya mereka bisa saja melakukan pembedahan di tempat lain tapi karena keduanya tidak melihat tempat yang cocok makanya mereka melakukan pembedahan di markas besar. Anggara memarkirkan mobilnya di lantai dasar. Ketiganya langsung turun dari mobil.
            “Ikuti kami, Bu Suratmi.” Tak jauh dari tempat parkir, mereka melangkahkan kaki menuju lift. Kamar bedah berada di lantai dua. Anggara menekan tombol nomor dua supaya lift bergerak menuju lantai lima.
            Suasana kamar yang berada di koridor lantai lima tidak bisa dibilang bersih. Keranjang sampah memuat banyak sampah hingga sisanya berjatuhan ke lantai. Banyak sendal dan sepatu berserakan. Tidak disusun pada rak yang telah disediakan.
            “Para petugas layanan kebersihan sedang cuti dua minggu lalu. Jadi beginilah keadaan apartemen ini,” ucap Fiolina pada ibu Suratmi. Dia merespon tatapan mata kliennya yang mengamati tiap-tiap kamar di sana.
            Ibu Suratmi tidak merespon apa yang dikatakan Fiolina. Ia mengalihkan pembicaraan dengan topik lain.
            “Jadi pimpinan  kalian tinggal di sini juga?”
            “Benar. Tapi saat ini bos kami sedang berada di luar negeri. Iasedang ada pertemuan dengan organisasi induk di Hongkong.” Ibu Suratmi tidak terlalu mengerti apa yang dimaksud dengan organisasi induk. Yang terpenting kapan ia akan menerima uang hasil jual ginjalnya.
            Mereka bertiga sudah berada di depan pintu merah kecokelatan. Di atas pintu itu bertuliskan Kamar Bedah. Anggara merogoh kantungguna mengambil kunci kamar. Begitu mendapatkannya, Anggara menekan gagang pintu ke bawah kemudian mendorongnya pelan. Ibu Suratmi dipersilakan masuk terlebih dahulu. Ruangan itu memiliki empat unit ranjang beroda. Sebuah lemari pendingin ukuran besar berfungsi pengawetan sementara organ tubuh sebelum dibeli oleh orang atau pihak rumah sakit yang memerlukan donor organ secara mendadak.
            Anggara menyuruh perempuan separuh baya itu berbaring di atas ranjang beroda yang berada di depannya. Ibu Suratmi menempelkan bagian belakang tubuhnya di atas ranjang. Perempuan itu sedang mengamati Anggara dan Fiolina memakai dress panjang hijau dan sarung tangan karet. Tidak lupa dengan masker yang jadi penutup hidung dan mulut.
            Keduanya sudah menyiapkan peralatan bedah. Lampu sorot besar sudah dinyalakan. Sebelum melakukan anestesi,  Anggara bertanya sekali lagi pada Ibu Suratmi.
            “Apakah Ibu sudah siap?”
            “Saya siap.” Ketika sudah mendapatkan jawaban, Fiolina mengoleskan sedikit alkohol 90% pada lengan kanan perempuan itu lalu menginjeksi anestesis ke dalam pembuluh darah. Perlahan-lahan, Ibu Suratmi mulai merasakan pusing-pusing. Pandangan matanya mengabur kemudian berputar-putar. Butuh waktu lima menit supaya efek obat itu bekerja maksimal.
            Setelah yakin bahwa Ibu Suratmi sudah tidak sadarkan diri, Fiolina mulai menggores pisau secara horizontal di bagian perut perempuan paruh baya itu. Anggara sudah menyiapkan gunting di tangan kanannya.
***
            Ternyata mereka bertiga harus menunggu di luar perkiraan mereka. Acara kampanye itu berlangsung selama seratus lima puluh menit. Hampir saja mereka bertiga ketiduran. Akan tetapi mata Aretha masih awas mengamati jalannya acara sampai selesai. Melihata target mereka sudah menuruni panggung, tangan perempuan itu menggoyang-goyangkan tubuh Alvaro dan Rudi.
            “Hei, bangun, bangun. Target kita sudah turun dari panggung,”
            Saat mendengar perkataan Aretha, kedua bola mata Alvaro dan Rudi terbeliak. Dedy Rahmad Yadi dan calon wakil gubernur segera menuju parkiran mobil. Entah ke mana tujuan mereka berdua saat ini, yang terpenting mereka tidak boleh kehilangan jejak target mereka.
            Bersamaan dengan naiknya calon  pasangan kepala daerah, Dedy Rahmad Yadi danMoes Aradjek Syah ke dalam mobil, Rudi bersiap-siap dengan menyalakan mesin mobil.
            “Oke mereka sudah berangkat. Seperti misi kita dari awal, kita ikuti dia dari belakang. Tapi ingat,Rudi, jangan sampai membuat mereka curiga atau tahu kalau meeka sedang dibuntuti. Tetap jaga jarak,” intruksi Alvaro pada rekannya, Rudi.
            Mobil yang membawa target intaian mereka mulai meninggalkan keramaian. Sementara itu Alvaro dan kedua rekannya mengikuti dari kejauhan.

Tuesday, 17 July 2018

DUAL - 7

Perekrutan
            Sudah satu jam yang lalu mereka menghubungi nomor yang tertera di kartu nama. Mereka masih menunggu kedatangan para pedagang organ tubuh manusia ilegal. Para pengamen melihat Anggara dengan tatapan jeri. Sementara itu, Fiolina yang berada di dekatnya mempertanyakan keputusan temannya.
            “Kau yakin mau berurusan dengan mereka? Kita tidak mengenal mereka sama sekali. Dan kau setuju begitu saja dengan ide perempuan itu...,”
            “Aku yakin dengan apa yang kulakukan. Dan lagi pula, uang hasil penjualan bisa dibagi-bagi pada teman-teman kita.”
            Suara decit ban mobil bergesekan dengan aspal mengarahkan konsentrasi mereka ke luar. Para pengamen berbondong-bondong melihat ke arah gorden guna memastikan apa yang mereka tunggu sudah tiba. Tiga orang berpakaian formal kemeja putih lengan panjang, mengenakan jas safari, keluar dari mobil. Salah satu dari mereka mengeluarkan handphone dari saku celana satin. Tiba-tiba saja handphone Maulana berbunyi. Anggara langusng mengangkat panggilan itu.    
            “Halo, kami sudah tiba di depan rumah Anda.”
            Anggara sigap membuka pintu luar. Ketiga lelaki itu yakin kalau mereka tidak salah alamat. Anggara mempersilakan mereka masuk. Ketiga lelaki yang berusia kira-kira 25 tahun sampai dengan 27 tahun memasuki ruang tamu.
            “Mana mayat yang kamu bilang itu?” Laki-laki berkacamata hitam bersuara alto sanggup membuat perhatian para pengamen itu tertuju padanya. Mereka bergeming, tak berani merespons apapun. Mereka menyerahkan urusan mayat bos mereka sepenuhnya pada Anggara dan ketiga lelaki misterius itu.
              “Iya berada di dapur,” jawab Anggara sekenanya. Mereka langsung menuju ke sana didampingi dengan Anggara. Mayat Maulana ditutup dengan sebuah selimut hijau tebal dari ujung kaki hingga kepala. Ketiga lelaki itu mengambil posisi masing-masing. Satu berada di sebelah kiri dan dua lagi berada di sebelah kanan mayat itu.
            Anggara hanya mengamati kegiatan ketiga lelaki itu dari kejauhan. Mereka sudah membuka sebuah koper berisi alat-alat membedah atau mengoperasi tubuh manusia. Tiga botol alkohol, kapas, jarum, gunting dan berbagai alat bedah tubuh sudah lengkap di koper itu. Ketiga lelaki itu sudah mengenakan baju hijau yang sering dipakai para dokter bedah.
            Langkah pertama, mereka mulai mendesain sketsa sayatan di bagian perut, dada dan tengkorak. Begitu mendapat bentuk sayatan yang tepat dan akurat, mereka mulai menuangkan alkohol berkadar 90% di bagian perut dan dada. Pandangan Anggara seakan tak bisa lepas dari aktivitas ketiga lelaki itu. Dengan pisau yang mereka sudah pegang, sayatan dilakukan di perut. Ujung pisau yang tajam mulai menembus daging Maulana hingga terlihat uraf saraf yang menempel di dalam daging itu.
             Teman-teman Anggara menggeleng ngeri dan tidak percaya kalau lelaki berusia lima belas tahun itu begitu menikmati tontonan horor itu.
            “Setan apa yang merasuki jiwa Anggara hingga dia tidak mengedipkan matanya melihat mereka?” Fiolina menggeleng tidak tahu menanggapi pertanyaan dari Yanto.
            Sudah satu setengah jam berlalu, ketiga lelaki itu sudah memperoleh ginjal, hati dan pankreas dari mayat Maulana. Mereka menuangkan sedikit alkohol ke tubuh lelaki paruh baya itu. Ketiganya melakukan pemotongan dengan menyayat dada secara vertikal hingga batas tulang selangka.
            Mereka mengoleskan alkohol berkadar rendah di bagian yang akan diambil agar pendarahan tidak begitu fatal. Organ tubuh yang akan mereka ambil yakni paru-paru. Semacam pipa bercabang dua  yang menjadi tempat bergantung sepasang paru-paru hitam itu, mulai diiris perlahan-lahan hingga satu buah paru-paru sudah lepas.    
              Kini tiba gilirannya di bagian jantung. Para ‘dokter bedah’ mulai melakukan pemotongan pembuluh darah arteri dan vena. Mereka iris pelan-pelan, begitu hati-hati hingga jantung itu siap diletakkan di atas nampan berwarna perak mengilap.
            Bulir-bulir keringat menghiasi kening ketika lelaki itu. Mereka melepas masker yang menutupi bagian hidung dan mulut. Pengambilan organ tubuh sampai penjahitan kembali memakan waktu hampir empat jam. Ketiganya menanyakan letak kamar mandi guna mencuci sarung tangan karet yang mereka kenakan. Ketiga lelaki yang masih mengenakan pakaian hijau itu, meminta segelas air minum pada Fiolina. Perempuan berkulit cokelat muda agak gemetar meletakkan gelas itu pada mereka. Perasaan ngeri dan takut masih menguasai dirinya. Apalagi melihat tatap mata mereka begitu dingin dan mungkin tanpa perasaan.
            Ketiga lelaki itu melepaskan daster hijau milik mereka dan dilipat kembali. Segala alat bedah dan daster hijau dimasukkan ke dalam tas. Organ tubuh yang sudah diambil disimpan sementara dalam lemari pendingin mini agar bertahan lama. Begitu semua beres, mereka bertiga segera beranjak dari ruang tamu menuju mobil. Namun tangan mereka menyentuh gagang pintu, salah satu dari mereka mengecek kondisi di luar guna memastikan tidak ada yang memergoki mereka.
              Setelah kondisi dirasa aman, mereka bertiga mempercepat langkah menuju mobil. Akan tetapi, Anggara langsung menghampiri, berdiri di hadapan mereka.
            “Ada apa, Nak?”
             Kelu dan gagu mengunci lidah dan mulut Anggara. Padahal semua kata-kata yang ingin disampaikan kepada mereka sudah tersusun begitu sistematid dan jelas. Entah mengapa pada saat dirinya mengatakan itu di depan mereka, semua itu malah buyar.
            “Oh ya aku lupa.” Lelaki berkacamata ala mafia itu membuka kenop lalu menggapai koper yang tergeletak di karpet mobil. Sebelum diberikan kepada anak laki-laki itu, ia menghitung uang terlebih dahulu. Ia mengambil lima ikat uang nominal seratus ribu rupiah kemudian diberikan pada Anggara.
            “Rp 30.000.000,00. Pergunakan uang ini sebaik mungkin. Sekarang pergilah.” Lelaki berkacamata itu menyodorkan koper pada lelaki remaja itu. Anggara menggenggam  koper itu. Tetapi sebelum apa yang dia katakan belum tersampaikan, ia belum mau pergi dari sana.
            “Ada apa lagi, Nak? Kami sudah memberikan apa yang kau butuhkan,” tanya lelaki berjaket kulit hitam pada Anggara.
            “Bo-bolehkah aku bergabung dengan kalian?” Kallimat penuh keberanian itu akhirnya bisa keluar dari mulut lelaki berusia lima belas tahun itu.
            Awalnya mereka sontak terkejut mendengar perkataan anak itu. Mereka diam cukup lama lalu berpandangan satu sama lain. Tak disangka mereka tertawa terbahak-bahak. Mungkin bagi mereka, apa yang dikatakan anak itu tidak lebih dari gurauan seorang anak TK..
            “Lelucon yang bagus, Nak. Kau lebih cocok bergabung dengan grup lawak garing yang sering muncul di TV,” respon lelaki yang sudah di duduk di jok tengah. Ia mengenakan anting dan tindik di bagian bibir bawah.
            “Aku serius! Aku ingin bergabung dengan kalian!” seru Anggara. Keyakinan besar dan membara tergambar jelas dari tatap matanya.
            Secara perlahan ketiga lelaki itu menghentikan tawa mereka. Mereka balas menatap Anggara dengan dingin dan serius. “Hei anak kecil, dengarkan aku. Ini bukan organisasi sembarangan seperti OSIS, Pramuka atau UKS. Ini adalah organisasi transaksi jual beli organ manusia. Organisasi ini juga sudah terafiliasi dengan jaringan internasional. Kami merekrut orang-organ yang berkompenten dengan masalah perdagangan ataupun transplasi organ tubuh ilegal. Mana mungkin kami merekrut anak-anak seperti kalian. Dan lagi pula apa tujuanmu bergabung dengan kami?”
            Ditanya mengenai apa tujuannya bergabung dengan mereka, Anggara tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya. Ia memilih bungkam daripada menjadi bahan tertawaan atau cemoohan mereka.
            “Lebih baik kau pikirkan matang-matang jika kau ingin bergabung dengan kami,” pungkas lelaki berkacamata ala mafia itu sambil memutar kunci, menekan pedal gas. Mobil Avanza hitam melaju cepat meninggalkan Anggara dan rumah besar itu.