Pengintaian
Alvaro
memicingkan kelopak mata sebelah kiri. Ia sedang mengukur presisi antara jarak
bola dengan jarak lubang sebelah kiri bawah. Setelah mendapatkan posisi pas
untuk memukul, lelaki itu menyiapkan ancang-ancang badan dan teknik sodokan
untuk memukul bola putih. Begitu Alvaro menolakkan tongkat pemukul, bola keras berjumlah
16 itu berbenturan satu sama lain. Bola ungu nomor 6 yang menjadi sasaran nya
hanya membentur bola nomor 2 dan 5 dan berhenti tepat di tengah meja biliar.
“Ah
sial,” maki Alvaro seraya mengentakkan tongkat pemukulnya ke lantai keramik.
“Gimana
nih, masih mau dilanjutkan enggak?” tanya lelaki berwajah tirus mengenakan kaus
hitam. Ia tersenyum kecil melihat kekesalan Alvaro.
Dia
mengamati bola-bola yang tersisa di meja biliar. Hanya tinggal tiga bola lagi.
Dan untuk urusan menghabiskan tiga bola itu, Alvaro ragu kalau dia bisa
memasukkan ketiga bola itu. Lagipula dirinya sudah berselisih tiga poin dengan
skor 2-5.
“Oke,
aku kalah,” aku Alvaro sambil meletakkan tongkat pemukul di rak kayu. Ia
menyerahkan selembar uang lima puluh ribu pada temannya.
“Tapi
gimana dengan yang gua bilang barusan? Elo mau bantu gua kan, Rud?” tanya Alvaro sambil membuka pengungkit minuman bir
kalengan.
Rudi,
lelaki berwajah tirus berkaus hitam itu tengah memikirkan apa yang dikatakan
oleh temannya. Memang sebelum bermain, Alvaro sudah membicarakan hal itu
padanya. Lelaki itu bilang kepada Alvaro kalau dia akan menjawab permintaan
temannya kalau dia mau bertaruh dengannya bermain biliar. Sekarang tiba
waktunya Rudi untuk menjawabnya.
“Elo yakin mau menerima tawaran dari bos?
Target elo itu mantan pimpinan angkatan darat. Kalau elo gagal, taruhannya
antara nyawa loe dan organisasi ini, Al,” tanya Rudi sarat keraguan.
“Jadi
korban-korban yang selama ini menjadi target kita juga ada yang tentara, polisi
aparatur pemerintahan, bukan? Dan selama ini semua berjalan lancar kok,” balas
Alvaro atas keraguan temannya.
“Itu
sebabnya gua menyuruh elo untuk ikut bersama gua. Kita akan melakukan
pengintaian selama tiga hari untuk menentukan bagaimana cara menghabisi dia.
Kalau untuk urusan membunuh target, biar gua dan Aretha yang urus.”
Rudi
tak tahu lagi apa yang harus dia katakan. Temannya satu ini memang sulit dinasihati.
Ia berkata seperti itu karena polisi sudah mulai mengincar temannya. Dan kalau
sudah tertangkap, nasib dirinya dan organisasi mereka akan segera menemui
celaka.
“Oke
gua ikut. Kapan kita intai dia?”
“Besok
aja. Kita bertiga akan meluncur ke alamat rumah yang ada di kartu identitas
ini.” Alvaro menunjukkan kartu identitas sang target pada Rudi.
***
Nada
alarm handphone Aretha mengusik
tidurnya pagi ini. Di kamar berukuran 5x3 meter itu perempuan berwajah oval itu
mengistirahatkan badan ragawi selama satu malam. Ia meraih handphone yang tergeletak di atas lemari kecil. Waktu menunjukkan
pukul 05.20. Perempuan berambut hitam lurus itu beringsut dari ranjang empuk
menuju kamar mandi. Ia meraih handuk yang tergantung di dinding luar kamar
mandi. Aretha membilaskan air sebanyak tiga kali mengusir sisa-sisa kantuk dan
kotoran yang menyangkut di kedua sudut kelopak mata.
Sesudah
dari kamar mandi, Aretha menggelar tikar
di lantai kamarnya lalu mengambil buku kidung pujian di lemari kecilnya. Ia
melihat sarung di bagian pinggang lalu duduk seperti orang yang beribadah. Ia
berdoa terlebih dahulu mengucapkan puji syukur dan terimakasih pada Sang Tuhan.
Setelah berdoa, perempuan itu mencari satu ayat lagu pujian lalu membaca satu
ayat alkitab.
Namun
timbul tanda tanya dalam hati, apakah semua yang dia lakukan selama ini
berkenan di hadapan-Nya? Karena selama hidupnya tidak ada pekerjaan yang lebih
memuliakan hati Tuhan selain membunuh dan membunuh. Ia selalu bergumul dengan
dosa dan dosa. Ia pernah berpikir untuk lepas dari semua ini akan tetapi godaan
iblis lebih kuat daripada keinginannya untuk berubah. Ketika ia berhasil mengantarkan
satu nyawa ke hadapan Sang Pencipta, ada kegirangan tersendiri dalam batinnya.
Air mata, penderitaan dan darah dari para korban memberikan semacam asupan
nutrisi bagi iblis-iblis bersemayam di hati Aretha. Mereka bersukacita,
melompat girang apabila Arteha berhasil melaksanakan apa yang mereka inginkan. Akan
tetapi hal itu juga sejalan dengan rasa takut dan rasa bersalah yang timbul
dalam hati. Sampai-sampai terbawa dalam alam mimpi.
Ditambah
lagi kematian ayah, ibu dan kakaknya, Arsyad. Wajah mereka masih nyaman berdiam
dalam pikiran Arteha. Memberikan semacam dorongan untuk mencari dan membalas
dendam atas kematian mereka yang menurutnya tidak wajar. Keinginan balas dendam
dan keinginan membunuh terus menerus berkecamuk dalam pikiran Aretha. Ia hampir
saja kehilangan kendali atas dirinya. Dan untuk melawan itu semua, dinding
kamarnya menjadi saksi jikalau perempuan itu selalu membenturkan kepala untuk
mengendalikan diri. Terkadang juga ia menangis tersedu-sedu hingga membuat
pembantu di kediamannya panik.
Begitu
lelahnya perempuan itu sampai-sampai ia tidak sadar kalau dirinya tertidur di
lantai kamar. Aretha mengerjapkan kelopak mata pelan-pelan ketika ia mendengar
nada panggilan mengganggu tidurnya. Mungkin sudah keempat kali ia mendengar
nada itu. Ia menjulurkan tangan kanan meraih handphone yang tergeletak di kasur.
“Halo,
Al,” jawab Aretha.
“Aretha,
kamu lagi di rumah ‘kan?”
“Iya
kenapa?”
“Aku
dan Rudi sedang menuju ke rumah. Kita akan melakukan pengintaian terhadap Dedy
Rahmad Yadi pagi ini,” balas Alvaro.
“Pengintaian?
Oke baiklah. Kalau begitu, aku akan segera bersiap-siap.” Begitu mendapat
kepastian dari rekannya, Alvaro menutup panggilan. Bersamaan dengan itu, Aretha
sudah bangkirt dari tidurnya. Ia melakukan sedikit peregangan kemudian melangkah
ke kamar mandi bersama dengan handuk biru muda di pundak kiri.
Lima
belas menit ia menghabiskan waktu di kamar mandi. Sekarang dirinya sedang
membuka lemari kayu, memilih pakaian apa yang akan dikenakan. Ia melirik ke
arah kaus berlengan panjang bermotif garis-garis ungu dan celana training berbahan kain parasut. Setelah
memberikan vitamin rambut dan menyisirnya, Aretha mengikat rambut hitam
panjangnya dengan jepitan rambut kecil. Tidak lupa dengan tas kecil model
sandang, sepucuk pistol dan pisau dimasukkan ke dalam tas.
Aretha
melirik sedikit ke arah arloji dan tepat ketika jarum pendek menunjuk ke angka
sepuluh, decit roda Camry cokelat karamel tiba di depan gerbang rumahnya.
“Tumben
lo mau keluar pagi-pagi begini?” tanya Arteha sambil meletakkan tas kecil di
belakang pundaknya.
“Gua
lihat target kita sedang kampanye di balai kesenian kota. Gua ingin lihat aja
bagaimana profil target kita dan pengawalnya secara lebih dekat,” jelas Alvaro.
“Aretha...,elo kelihatan lebih sexy dan attractive
dengan model pakaian kayak begini,” goda Rudi yang berada di samping Alvaro. Ia
mengamati detil-detil bentuk tubuh Aretha mulai dari wajah sampai bagian
selangkangan.
“Bukain
pintunya, Al. Gua mau masuk.” Aretha tidak menghiraukan pujian dari Rudi. Ia
memilih masuk dan duduk di jok belakang. Alvaro mengencangkan laju kendaraan.
Sambil
berfokus pada setir, Alvaro membuka percakapan basa-basi pada Aretha. “Elo
sudah makan kan?”
“Belum.
Ada rencana meneraktir?” Aretha balik bertanya.
“Ayah
belum mencairkan gaji kita. Mungkin Rudi berniat membayar kita makan.”
“Tapi
uangku hanya cukup meneraktir Aretha,” respons Rudi sambil ekor matanya melirik
pada Arteha. Perempuan itu tidak memberikan respons atas tawaran
terselubungnya. Kali ini taktik yang digunakan Rudi untuk menggaet hati Aretha
gagal. Untuk menutupi rasa malunya, ia mengalihkan topik pembicaraan pada
tujuan awal mereka.
“Oh
ya, omong-omong, apakah Ayah sudah memberikan keterangan mengenai target yang
akan kita intai?”
Alvaro
mengangguk sekali lalu Rudi melanjutkan lagi, “bagaimana dengan para pengawalnya?”
“Kita
bisa lihat nanti di acara kampanyenya.”
Setelah
melewati kemacetan di jalan raya Cakung Barat, Alvaro mengarahkan kemudi ke
arah kerumunan. Ia mengambil jarak parkir sekitar lima puluh meter dari
keramaian masyarakat yang sedang menjabarkan janji-janji politik kepada
masyarakat bawah.
“Aku
dan Aretha akan turun. Rudi, kau, berjagalah di dalam saja,” perintah Alvaro
sambil menekan kenop pintu.
“Baiklah.
Tetap waspada dan tetap aktifkan handphone
kalian.” Arteha dan Alvaro sudah turun dari mobil. Rudi bergesar ke arah kemudi
seraya mengamati pergerakan kedua temannya.
Keduanya
mulai berjalan mendekati kerumunan itu. Sambil melihat kiri kanan memastikan
apakah ada seseorang atau pihak kepolisian juga tengah memata-matai mereka.
“Tidak
ada tanda-tanda polisi?”
Sambil
menggerakkan leher mereka, keduanya mengedarkan pandangan ke kanan dan kiri
kemudian Aretha menjawab, “tidak ada.”
“Kalau
begitu ayo kita lihat lebih dekat lagi,” ajak Alvaro pada rekannya. Sebelum
pasangan calon gubenur dan wakil gubernur berkampanye, mereka berdua mengajak
masyarakat yang berada di balai kota untuk menyanyikan Indonesia Raya.
Setelah
menyanyikan lagu Indonesia Raya, pasangan gubernur dan wakil gubernur Jawa
Barat, Dedi Rahmad Yadi dan Moes Aradjek Syah mengucapkan salam pembuka.
“Alhamdullilah, masyarakat Jawa Barat
bisa berkumpul di sini menyaksikan kami pasangan calon gubernur dan wakil
gubernur nomor urut 1 memaparkan janji-janji kampanye kami apabila kami sah
terpilih sebagai gubernur dan wakil gubernur dalam pemilihan kepala daerah
tanggal 9 Desember 2017. Kami mempunyai visi dan misi dalam pengembangan Jawa Barat sebagai kota religius, sejahtera,
sehat dan cerdas. Maka dari itu kami akan berjanji akan mengadakan kegiatan
keagamaan seperti lomba membaca Al-quran tingkat SD, SMP dan SMA. Kami juga
akan memberikan bantuan berupa pemerataan sarana dan prasarana pada
pesantren-pesantren yang ada di seluruh kota Jawa Barat.” Calon gubernur
menguraikan program mereka dalam bidang keagamaan. Alvaro memberikan respons
berupa tatapan datar dan dengus napas pendek.
Pengamatannya
tertuju pada dua orang berjaket kulit dan kain parasut berdiri di sudut
panggung. Badan mereka tegap. Otot kedua lengan dan badan mereka kokoh dibalut
dengan kaus oblong hitam dan cokelat. Alvaro sudah menemukan para pengawal
target mereka.
“Sepertinya
aku sudah menemukan dua pengawal dari target kita,” ujar Alvaro.
“Di
mana mereka?” tanya Aretha seraya mengalihkan pandangannya dari handphone-nya.
“Kau
bisa lihat dua orang laki-laki yang berdiri di sudut panggung?”
“Yang
berdiri di sudut kiri belakang panggung, memakai jaket kulit dan memakai
kacamata hitam dan cokelat?” tanya Aretha memastikan apa yang dimaksud oleh
rekannya.
“Tepat.
Kita tunggu saja di mobil sampai acara kampanye ini selesai. Mungkin setengah
jam lagi selesai.” Keduanya angkat kaki dari sana mendatangi Rudi yang sudah
lama menunggu mereka.
***
Sesuai
yang dikatakan bos besar mereka di grup, Anggara dan Fiolina akan menemui
seorang wanita di kota Tangerang Selatan. Kota itu lebih pantas dikatakan
kawasan desa semi kota. Kota itu masih banyak warga berprofesi sebagai petani.
Para penduduk di sana kebanyakan menanam
padi dan singkong. Tapi titik temu mereka dengan klien tidak berada di
pemukiman penduduk. Sang klien menyuruh mereka bertemu di sebuah warteg. Dari
keterangan yang diberikan oleh bos mereka, klien mereka memakai hijab cokelat
muda, mengenakan dress panjang khas ibu-ibu dan sendal jepit jingga Swallow.
“Coba
chat bos apa nama warteg-nya soalnya
sudah setengah jam kita berkeliling mencari warteg.”
Fiolina
mengetikkan huruf per huruf pada layar sentuh di grup HOVTA. Kebetulan bos
mereka sedang online. Tak butuh waktu
lama bos mereka membalas pesan.
Warteg Ibu Rofiah. Itulah balasan
pertanyaan Aretha lalu ia memberitahukan nama warteg itu pada Alvaro.
“Warteg
Ibu Rofiah, kata bos.”
“Warteg
Ibu Rofiah? Oh berarti benar dugaanku. Kita harus berbalik arah.” Lelaki
berambut agak pirang itu menekan pedal rem pelan. Tekstur kasar ban bergesekan
dengan aspal hitam menimbulkan suara decitan. Dari tiga warteg yang dilihatnya,
warteg Ibu Rofiah lebih mirip rumah makan padang. Tidak banyak orang-orang yang
makan di warteg itu. Begitu diamati baik-baik, ternyata orang yang mereka cari
sudah berdiri tak jauh dari warteg itu.
Anggara
dan Fiolina turun dari mobil guna memastikan apakah benar wanita yang berdiri
itu merupakan orang yang mereka cari.
“Ini
ibu Suratmi?” Alvaro menamakan nama itu pada wanita setengah baya di hadapannya.
“Iya
benar, apakah kalian—“
“Saya
Anggara dan ini rekan saya, Fiolina. Lebih baik kita bicarakan saja hal ini
di dalam mobil.” Anggara mengajak
perempuan paruh baya itu ke dalam mobil. Ia tidak mau pembicaraan mereka berdua
dengan klien didengar orang banyak.
Sempat
keheningan mendominasi pembicaraan mereka bertiga. Fiolina melirik sedikit ke
arah gantungan kaca kecil memantulkan wajah perempuan paruh baya itu.
“Bu
Suratmi,” sapa Fiolina.
“Kalau
saya boleh tahu, apa pekerjaan Ibu?”
“Saya
seorang buruh harian di pabrik tekstil, Dek,” jawab ibu Suratmi.
“Kalau
suami ibu?” lanjut Fiolina.
“Suami
saya seorang kuli bangunan.”
“Apa
Ibu sudah yakin dengan apa yang ibu lakukan?” Giliran Anggara bertanya pada ibu
Suratmi. Perempuan berumur awal empat puluh tahunan itu mengangguk mantap.
“Apa
yang membuat Ibu benar-benar sudah yakin?” tanya Alvaro sambil berkonsentrasi
dengan kemudi.
“Anak
saya sudah empat hari opname di rumah sakit. Kami kesulitan biaya untuk
menembus obat yang diresepkan pihak rumah sakit. Tidak ada yang mau memberikan
utang pada saya. Inilah jalan satu-satunya untuk menolong anak saya,” ungkap
ibu Suratmi dengan mata berkaca-kaca. Fiolina bisa melihat kilatan cahaya
melapisi bola mata perempuan itu.
Meskipun
Fiolina dan Anggara hidup tanpa kasih sayang orang tua kandung, mereka bisa
merasakan ketulusan hati dan pengorbanan ibu Suratmi. Setidaknya semua kasih
sayang itu sudah didapatkan ketika mereka berdua diasuh oleh ibu Saras. Namun
mereka berdua harus menahan perasaan mereka agar tidak larut dalam kesedihan
perempuan paruh baya itu.
Anggara
menekan pedal gas kemudian menaikan persneling untuk menambah kecepatan. Memang
memakan waktu kira-kira dua jam untuk sampai di markas. Markas HOVTA terletak
di kawasan bekas apartemen yang tidak lagi dipedulikan pemiliknya. Apartemen
tingkat duapuluh itu menjelma menjadi tempat tinggal para anggota sekaligus
rumah bedah organ tubuh. Belum pernah ada oknum kepolisian atau organisasi
masyarakat setempat berani menjamah apartemen itu. Bos besar HOVTA sudah
menyumpal mulut pejabat tinggi daerah dan kepolisian dengan uang sekoper.
Lelaki
berambut agak pirang itu menekan pedal rem secara perlahan-lahan hingga
mengeluarkan suara gesekan angin. Sebenarnya mereka bisa saja melakukan
pembedahan di tempat lain tapi karena keduanya tidak melihat tempat yang cocok
makanya mereka melakukan pembedahan di markas besar. Anggara memarkirkan
mobilnya di lantai dasar. Ketiganya langsung turun dari mobil.
“Ikuti
kami, Bu Suratmi.” Tak jauh dari tempat parkir, mereka melangkahkan kaki menuju
lift. Kamar bedah berada di lantai dua. Anggara menekan tombol nomor dua supaya
lift bergerak menuju lantai lima.
Suasana
kamar yang berada di koridor lantai lima tidak bisa dibilang bersih. Keranjang
sampah memuat banyak sampah hingga sisanya berjatuhan ke lantai. Banyak sendal
dan sepatu berserakan. Tidak disusun pada rak yang telah disediakan.
“Para
petugas layanan kebersihan sedang cuti dua minggu lalu. Jadi beginilah keadaan
apartemen ini,” ucap Fiolina pada ibu Suratmi. Dia merespon tatapan mata
kliennya yang mengamati tiap-tiap kamar di sana.
Ibu
Suratmi tidak merespon apa yang dikatakan Fiolina. Ia mengalihkan pembicaraan
dengan topik lain.
“Jadi
pimpinan kalian tinggal di sini juga?”
“Benar.
Tapi saat ini bos kami sedang berada di luar negeri. Iasedang ada pertemuan
dengan organisasi induk di Hongkong.” Ibu Suratmi tidak terlalu mengerti apa
yang dimaksud dengan organisasi induk. Yang terpenting kapan ia akan menerima
uang hasil jual ginjalnya.
Mereka
bertiga sudah berada di depan pintu merah kecokelatan. Di atas pintu itu
bertuliskan Kamar Bedah. Anggara merogoh kantungguna mengambil kunci kamar.
Begitu mendapatkannya, Anggara menekan gagang pintu ke bawah kemudian mendorongnya
pelan. Ibu Suratmi dipersilakan masuk terlebih dahulu. Ruangan itu memiliki
empat unit ranjang beroda. Sebuah lemari pendingin ukuran besar berfungsi
pengawetan sementara organ tubuh sebelum dibeli oleh orang atau pihak rumah
sakit yang memerlukan donor organ secara mendadak.
Anggara
menyuruh perempuan separuh baya itu berbaring di atas ranjang beroda yang
berada di depannya. Ibu Suratmi menempelkan bagian belakang tubuhnya di atas
ranjang. Perempuan itu sedang mengamati Anggara dan Fiolina memakai dress panjang hijau dan sarung tangan
karet. Tidak lupa dengan masker yang jadi penutup hidung dan mulut.
Keduanya
sudah menyiapkan peralatan bedah. Lampu sorot besar sudah dinyalakan. Sebelum
melakukan anestesi, Anggara bertanya
sekali lagi pada Ibu Suratmi.
“Apakah
Ibu sudah siap?”
“Saya
siap.” Ketika sudah mendapatkan jawaban, Fiolina mengoleskan sedikit alkohol
90% pada lengan kanan perempuan itu lalu menginjeksi anestesis ke dalam
pembuluh darah. Perlahan-lahan, Ibu Suratmi mulai merasakan pusing-pusing.
Pandangan matanya mengabur kemudian berputar-putar. Butuh waktu lima menit
supaya efek obat itu bekerja maksimal.
Setelah
yakin bahwa Ibu Suratmi sudah tidak sadarkan diri, Fiolina mulai menggores
pisau secara horizontal di bagian perut perempuan paruh baya itu. Anggara sudah
menyiapkan gunting di tangan kanannya.
***
Ternyata
mereka bertiga harus menunggu di luar perkiraan mereka. Acara kampanye itu
berlangsung selama seratus lima puluh menit. Hampir saja mereka bertiga
ketiduran. Akan tetapi mata Aretha masih awas mengamati jalannya acara sampai
selesai. Melihata target mereka sudah menuruni panggung, tangan perempuan itu
menggoyang-goyangkan tubuh Alvaro dan Rudi.
“Hei,
bangun, bangun. Target kita sudah turun dari panggung,”
Saat
mendengar perkataan Aretha, kedua bola mata Alvaro dan Rudi terbeliak. Dedy
Rahmad Yadi dan calon wakil gubernur segera menuju parkiran mobil. Entah ke
mana tujuan mereka berdua saat ini, yang terpenting mereka tidak boleh
kehilangan jejak target mereka.
Bersamaan
dengan naiknya calon pasangan kepala
daerah, Dedy Rahmad Yadi danMoes Aradjek Syah ke dalam mobil, Rudi bersiap-siap
dengan menyalakan mesin mobil.
“Oke
mereka sudah berangkat. Seperti misi kita dari awal, kita ikuti dia dari
belakang. Tapi ingat,Rudi, jangan sampai membuat mereka curiga atau tahu kalau
meeka sedang dibuntuti. Tetap jaga jarak,” intruksi Alvaro pada rekannya, Rudi.
Mobil
yang membawa target intaian mereka mulai meninggalkan keramaian. Sementara itu
Alvaro dan kedua rekannya mengikuti dari kejauhan.

