Fiolina dan
Anggara
9 tahun yang
lalu
Tidak
ada satu pun manusia yang bisa memilih bagaimana dan siapa melahirkan mereka.
Lahir tanpa orang tua pun juga bukan salah satu pilihan yang diinginkan
siapapun. Terkecuali dua manusia ini. Mereka sudah lama tinggal di sebuah rumah
berplangkat Panti Asuhan Kasih Kita. Sebuah rumah besar bercat jingga tingkat
dua berukuran 20x30x10 meter. Panti itu sudah lima belas tahun menerima
anak-anak yang tidak diakui lagi atau tidak diinginkan keberadaannya di
lingkungan keluarga atau masyarakat.
Sejak
umur tiga bulan, mereka berdua sudah menghabiskan waktu mereka sebagai penghuni
tetap panti asuhan itu. Mereka juga bergaul bersama dengan anak-anak yang
bernasib serupa. Akan tetapi mereka tidak menyesali secara berlebihan nasib
mereka yang tidak diakui atau tidak diinginkan keberadaannya. Mereka tetap
bersemangat menjalani hari-hari sambil mewujudkan cita-cita agar suatu
keberadaan mereka bisa diterima di masyarakat kelak.
Akan
tetapi anak-anak penghuni panti mulai merasakan gelombang kecemasan dan
kekhawatiran ketika mendengar isu bahwa tempat yang menjadi saksi pertumbuhan
dan perkembangan mereka akan digusur dan dijadikan hotel.
“Kau
tahu dari mana, Ang, kalau panti ini mau jadi hotel? Jangan sembarangan ngomong
deh,” tanya salah satu anak panti berkulit coklat gelap.
“Begini,
waktu aku mau ngambil air ke dapur, aku mendengar Ibu Saras dan laki-laki pakai
jas hitam lagi ngobrol di ruang tamu. Kau tahu mereka ngobrolnya serius banget
dan aku bisa lihat kalau ibu Saras bersikeras tinggal memberikan izin pada laki-laki
itu,” jelas Anggara lelaki berkulit putih berambut agak pirang itu.
“Aku
enggak setuju kalau tempat ini jadi hotel. Terus kita akan tinggal di mana?”
ungkap seorang gadis berambut ikal bergelombang kulit sawo matang.
“Apa
kita tanya aja langsung sama Ibu Saras ya?” usul laki-laki berbadan kurus dan
tinggi itu.
“Ide
bagus tuh tapi nanti malam aja ya.
Soalnya ibu lagi belanja ke pasar,” dukung Anggara seraya diikuti anggukan
teman-temannya.
***
Pukul
20.00. Begitulah jam yang ditunjukkan dua jarum berputar maju itu. Usai makan
malam, anak-anak panti menghampiri ibu asuh mereka yang sedang berada di dalam
kamar pribadinya. Anak-anak asuh ibu Saras berjumlah dua puluh orang sedang
berdiskusi siapakah di antara mereka yang akan mengetuk pintu kamar.
“Siapa
yang mau mengetuk pintunya?” tanya Anggara pada teman-temannya. Sudah ditunggu
satu menit, tak satu pun dari mereka yang ingin melakukan hal itu.
“Lo,
mana, tidak ada yang mau?” tanya laki-laki berambut lurus agak pirang itu.
“Kau
ajalah, Ang. Lagipula dari segi umur, kaau paling tua di antara kami,” tunjuk
lelaki berbadan kurus itu pada Anggara.
“Eh
Chock, kan kau yang punya ide dan seharusnya kau yang mengetuk pintu bukannya
aku.” Anggara membela dirinya.
Ketika
Anggara dan Chocky bersiteru tentang siapa yang mengetuk pintu, anak-anak panti
tak terkecuali Anggara sontak menoleh ke arah pintu kamar ibu asuh mereka yang
terbuka dari dalam. Ibu Saras terheran-heran melihat anak-anak asuhnya berada
di depan kamar.
“Lho,
kalian ngapain ada di sini? Seharusnya jam segini kalian sudah harus belajar,”
tanya ibu Saras sambil menolehkan kepala mengamati jam dinding yang menunjukkan
pukul 20.23.
Menanggapi
pertanyaan dari ibu asuh mereka, anak-anak panti saling melemparkan pandangan
mata satu sama lain. Mereka sedang memilih siapa yang cocok untuk menyampaikan
permasalahan yang mereka dengar akhir-akhir ini mengenai panti mereka. Akhirnya
Anggara merelakan diri untuk membuka percakapan.
“Ibu...
Apa benar... kalau... panti ini akan dijadikan hotel?” tanya Anggara penuh
kehati-hatian.
Perempuan
paruh baya yang sudah menampakkan uban di antara rambut hitamnya diam sejenak.
Dalam hati, memang cepat atau lambat hal ini akan segera diketahui anak
asuhnya. Dirinya dan pihak pengelola panti sedang berusaha melakukan negoisasi
untuk menghentikan rencana penggusuran panti menjadi hotel bintang lima. Akan
tetapi belum juga menampakkan titik terang atau solusi untuk permasalahan ini.
Ibu
Saras menyuruh anak-anak asuhnya duduk bersila di atas lantai keramik putih.
Begitu mereka sudah duduk tenang, perempuan itu mengambil kursi kecil dari dalam
kamarnya lalu duduk di hadapan mereka.
“Ibu
sedang berusaha semaksimal mungkin agar tempat ini akan selalu ada. Tempat kita
berkumpul dan berbagi. Tempat kita menemukan teman-teman senasib. Tempat kita
mewujudkan cita-cita dan impian kita masing-masing. Untuk itu kalian tidak
perlu khawatir. Kalian harus menjaga satu sama lain. Terutama untuk kamu
Anggara. Kamu adalah anak paling tua dalam segi umur.” Ibu Saras memberikan
nasihat untuk menenangkan dan menguatkan perasaan mereka. Namun di lain sisi,
terselip kekhawatiran jikalau negosiasi tidak kunjung menemukan solusi. Dan bos
besar PT. Bintang Perkasa melakukan tindakan nekat untuk memuluskan
ambisinya.
“Lebih
baik kalian tidur. Karena seperti biasa kita akan ibadah pagi. Jangan lupa berdoa
sebelum tidur,” ucap Ibu Saras seraya menaikkan tungkai kaki beranjak dari
hadapan anak-anak asuhnya. Anak-anak pun membubarkan diri dari tempat itu.
Mereka tampak lega ketika mereka sudah mendapat kejelasan mengenai isu yang
mereka dengar. Tapi tidak dengan Anggara. Ia merasa ada sesuatu disembunyikan
ibu asuhnya. Ia ingin sekali memaksa agar ibu asuhnya jujur mengenai isu itu
tetapi ia juga segan.
“Ada
apa, Gara? Mukamu kelihatan aneh,” tanya Fiolina sambil berjalan bersama di
sampingnya,
“Tidak
ada apa-apa, Fio. Semua baik-baik saja,” balas Anggara sambil menyimpul senyum
pada Fiolina. Perempuan berbadan agak kurus itu mengangguk pelan.
“Kalau
begitu aku duluan.” Perempuan itu menuruni jejeran anak tangga menuju kamar
perempuan yang berada di lantai satu.
Kamar
Anggara berserta kamar kawan-kawannya berada di lantai dua. Berjarak tiga kamar
dari kamar ibu asuh mereka. Sebelum lelaki itu memasuki kamar, Anggara sempat
melihat sekilas roman ibu asuhnya kelihatan resah.
Tuhan lindungi kami.
***
Alam
mimpi Anggara menampakkan kejadian ketika orang-orang tidak dikenal dan
bersenjata tajam menghabisi teman-temannya secara brutal. Ada yang diiris bagai
memotong leher ayam hingga darah mereka muncrat ke mana-mana. Ada pula yang
ditusuk secara membabi buta di bagian perut dan dada. Dan bagian terburuk dari
itu semua, ibu asuh dari anak-anak panti itu diberondong timah panas
berkali-kali hingga nyawanya benar-benar sudah berada di tangan Tuhan.
Anggara
hanya bisa menjerit histeris melihat kematian teman-temannya di depan matanya.
Ia mengucap sumpah serapah mengutuk perbuatan mereka yang sudah di luar batas
kemanusiaan. Para pembunuh itu menyeringai seram padanya. Salah satu dari para
pembunuh yang juga terlihat seperti bos mereka mengacungkan revolver
bersilinder panjang pada Anggara.
Anggara
mencelikkan kelopak mata secara cepat ketika teman satu kamar mereka
mengoyang-goyangkan badannya.
“Anggara,
bangun,” suruh Chocky padanya.
“Ada
apa?” tanya Anggara sambil membangkitkan badannya dari kasur.
Lelaki
berbadan kurus berwajah agak tirus itu merapatkan bibir sambil menaruh jari
telunjuk vertikal di depan mulut lalu berkata, “Pelankan suaramu. Aku mendengar
suara gaduh di lantai satu. Aku takut kalau hal buruk terjadi di sana.”
“Aku
tidak mengerti apa yang kau katakan, Chocky. Bicaralah yang jelas.”
Chocky
bingung sendiri harus memulai bercerita darimana. Mulutnya kelu. Tak mampu
mengeluarkan sepatah kata untuk diceritakan pada Anggara. Akan tetapi tetes air
mata dari sudut kelopak mata Chocky, membuat Anggara semakin merasa sesak di dada.
Tangisan lelaki itu masih juga mengganggal di tenggorokan. Ini makin menguatkan
perasaannya kalau sesuatu yang buruk sedang menimpa ibu asuh dan
teman-temannya. Anggara langsung beringsut dari ranjang menuju pintu kamar.
“Kamu
mau ke mana, Ang?”
Lelaki
berambut agak pirang itu tidak mempedulikan pertanyaan temannya. Anggara terus
memutar kunci hingga pintu bisa dibuka. Tanpa menyalakan lampu, kedua kaki
Anggara begitu cepat menuruni anak tangga menuju lantai satu. Begitu tombol
lampu lantai ditekan, mimpi buruk berupa kenyataan mengerikan terpampang begitu
vulgar di depan matanya.
Lelehan
darah segar menutupi permukaan lantai keramik. Darah-darah itu lebih banyak
berasal dari darah ibu asuh anak-anak panti dan anak-anak perempuan yang begitu
disiap dinikmati kemolekan tubuhnya, langsung dieksekusi dengan letupan timah
panas di bagian dada, kepala atau perut berkali-kali. Ibu Saras tergeletak tak
bernyawa dengan posisi menelungkup mencium permukaan keramik. Kondisi anak
perempuan tak kalah menyedihkan. Mereka ditemukan dengan kondisi setengah
telanjang. Piama mereka tersingkap ke atas dan celana pendek diperolotkan
hingga menyentuh tumit kaki. Mayat anak laki-laki juga bergelimpangan tak
beraturan atas lantai. Kehidupan mereka diakhiri dengan tembakan bertubi-tubi
dan tikaman senjata tajam di leher, perut dan kepala.
Kelopak
mata Anggara tidak berkedip sekali. Seakan-akan dipaksa untuk memonton
pertunjukan penuh darah dan tragedi dilakoni begitu sempurna oleh ibu asuh dan
teman-temannya. Luapan amarah dan ketidakrelaan masih terganjal di dada.
Anggara bingung pada siapa ia melampiaskan semua ini. Tapi ada satu hal yang
dia ingat.
“Mana
Fiolina?” tanya Anggara panik. Ia langsung berlari menuju kamar yang berada
dekat tangga. Ia tidak menemukan Fiolina di sana. Kepala dan bola mata Anggara
bergerak liar ke kiri dan kanan. Pandangnya tertuju pada lemari kayu letaknya
menyudut di kamar itu.
Dengan
tangan bergetar bercampur gigil, Anggara hati-hati membuka pintu lemari. Ia
menemukan Fiolina sedang menekukkan tungkai kaki seperti berjongkok dan posisi
tangan dilipat di atas lutut kaki. Hati Anggara berkali lipat hancurnya
mendengar ratapan Fiolina. Ketika perempuan itu tahu siapa yang berada di
depannya, ia langsung melebarkan rentangan tangannya merengkuh badan Anggara.
Perempuan kurus itu menangis begitu pilu. Ia tak mampu mengatakan apa-apa. Ia
tetap tekun dalam tangis. Lelaki itu memeluk erat perempuan yang berada dalam
dekapannya. Ia juga terisak. Keduanya berbalasan tangis. Bagai alunan elegi di
malam suram dan kelam.
***
Keduanya
sudah memutuskan pergi dari sana. Memang mereka sudah menelepon pihak
kepolisian akan tetapi tak ada tanda kedatangan satu pun mobil polisi hingga
pukul lima dini hari. Dengan berat hati dan keterbatasan tenaga, Anggara dan
Fiolina membiarkan mayat ibu asuh dan teman-temannya tetap berdiam di lantai.
Hanya saja mereka berdua menggunakan selimut dan sprei menutupi tubuh dan wajah
menyedihkan ibu asuh dan teman-teman mereka. Anggara dibantu dengan Fiolina
juga sudah menurunkan mayat Chocky ditemukan tergantung di salah satu cabang
pohon mangga. Cuma mayat Chocky saja yang bisa mereka kuburkan. Itu pun seadanya
saja.
Mereka berdua bagai orang yang sudah hilang
separuh kesadaran dan kerasionalan mereka. Kaki dan pikiran mereka digerakkan
oleh angin dan insting mereka sendiri. Tak ada tempat yang ingin mereka tuju.
Bekal mereka dan persiapan mereka pun amat terbatas. Masing-masing membawa empat
stel baju dan celana beserta pakaian dalam. Persediaan air minum hanya empat
botol Aqua berukuran 1,5 liter.
“Ke
mana kita pergi, Gara?” tanya Fiolina pada Anggara. Setelah menempuh perjalanan
sejauh lima kilometer tanpa tumpangan angkutan, keduanya memutuskan istirahat
di pinggir jalan raya.
“Entahlah.
Kau tahu, aku masih merasa bayang-bayang kematian ibu asuh dan teman-teman kita
masih melekat di saraf otakku, Fio. Mereka menggentayangi dan menggerayangi alam
sadar pikiranku. Mereka bilang kita harus membalaskan rasa sakit dan
penderitaan atas kematian mereka.” Usai bicara, Anggara menarik resleting
ranselnya ke atas, menarik botol Aqua dari dalam tas. Meneguk air setengahnya.
Fiolina
sendiri juga merasakan kesedihan yang dirasakan temannya. Melihat
teman-temannya diperlakukan bak binatang oleh orang-orang bertopeng aneh,
perempuan itu hanya bisa menangis sambil mengutuki kelemahan dirinya. Ia tak
mampu berbuat apa-apa. Namun tubuhnya memberikan reaksi begitu hebat saat
mendengar lolongan panjang memilukan dan jerit kesakitan teman-temannya.
Fiolina menutup serapat mungkin kedua lubang telinganya. Tetapi suara-suara
menakutkan itu terlalu kuat untuk tidak didengarkan. Mereka membuat hati
perempuan itu makin meradang. Makin sengsara. Hingga yang bisa diluapkan hanya
isak tangis tertahan.
Keduanya
diam begitu lama. Fiolina tidak berani merespons perkataan Anggara. Ia memilih
bungkam, berusaha mencari topik pembicaraan yang lain. Kedua bola mata mereka
tertuju pada para pengamen yang bermain gitar pada para pengendara mobil yang
terjebak macet. Para pengamen terus bernyanyi dengan replika tamborin dari
pipihan tutup botol dan keroncong di tangan mereka.
Mereka
terus bernyanyi walau konsentrasi para pengemudi tertuju pada tiang rambu lalu
lintas. Setelah ditunggu selama 30 detik akhirnya lampu lalu lintas berganti
warna hijau. Sebelum melesat lebih kencang, pengendara mobil itu melemparkan
uang nominal lima ribu rupiah pada pengamen itu. Mereka mengucap terimakasih
sambil menyeberang ke trotoar.
Lama
Anggara dan Fiolina mengamati gerak-gerik para pengamen itu. Fiolina menoleh
pada Anggara, berkata, “Apakah lebih baik kalau kita menghampiri mereka dan
bertanya, apakah kita bisa tinggal bersama mereka? Kau tahu ‘kan kita sudah
tidak punya apa-apa lagi dan tak punya siapa-siapa lagi.”
Lelaki
berambut agak pirang itu sedang memikirkan usulan dari temannya, “Boleh juga. Ayo.” Anggara mengangguk setuju
pada usul gadis berambut ikal itu. Mereka beranjak dari tempat peristirahatan
menuju para pengamen terlihat sibuk menghitung uang hasil mengamen.
Lelaki
berhidung mancung dan perempuan kurus itu tepat berada di hadapan para pengamen
itu. Mereka terlihat bersikap awas dan cepat-cepat menyimpan uang hasil
mengamen ke dalam bungkus permen. Mana tahu kalau orang yang berada di hadapan
mereka ingin merampas hasil jerih payah mereka.
Tanpa
disangka Anggara dan Fiolina mengangsurkan tangan mereka pada para pengamen itu
seraya berkata, “Namaku Anggara,” lalu disusul perempuan di sebelahnya, “Aku
Fiolina.”
Ketiga
pengamen itu membalas jabat tangan Anggara dan Fiolina agak sungkan. Ketiganya
mengamati dua orang asing itu dengan tatap curiga dan janggal.
“Kamu
tidak bermaksud apa-apa pada kalian. Kami hanya ingin menumpang tempat tinggal
bersama kalian. Kami adalah anak-anak panti asuhan Kasih Kita yang ada di jalan
Gatot Subroto lima kilometer dari Cibitung Utara. Kalian tahu panti asuhan
itu?” Anggara menjelaskan asal-usul mereka pada ketiga pengamen yang terlihat
seumuran dengannya.
Begitu
lama mereka diam, salah satu dari tiga pengamen itu memberanikan diri merespons
Anggara. “Ya kami tahu. Tapi, kami tidak yakin membiarkan kalian berdua ikut
bersama dengan kami. Kami bertiga takut bos kami tidak memberikan izin
membiarkan orang luar masuk ke kelompok ini,” ujar lelaki kurus berkulit
cokelat itu. Ia mengenakan topi hitam berbau apek dan kusam oleh debu dan abu
jalanan.
“Kami
akan membantu kalian ikut mengamen. Tapi tolong biarkan kami ikut bersama
kalian. Kami tidak punya siapa-siapa lagi. Kami tidak punya tempat tinggal
lagi. Sekali lagi biarkan kami ikut bersama kalian,” mohon Fiolina dengan
merapatkan kedua telapak tangan ke atas.
Ketiga
pengamen berusia dua belas dan tiga belas tahun itu saling melihat satu sama
lain. Dalam hati mereka sangat sulit meredam amarah bos mereka kalau tahu
mereka membawa dua orang asing itu ikut bersama mereka. Anggara dan Fiolina
menatap ketiga pengamen itu penuh harap dan belas kasihan.
“Baiklah,
kalian bisa ikut dengan kami. Tapi jika bos kami bertanya kenapa kalian bisa
ikut bersama dengan kami, kalian harus membantu kami memberikan alasan atau
setidaknya memohon agar bos mau menerima kalian.” Lelaki berambut hitam lebat
berkuping kecil itu meluluskan permintaan Anggara dan Fiolina. Dua pengamen
yang merupakan teman lelaki itu hanya bisa diam sambil menghela napas pasrah.
Anggara
dan Fiolina mengepalkan tangan kanan mereka. Wajah keduanya tampak berseri-seri
dan bersemangat.
“Kalau
boleh tahu tahu siapa nama kalian bertiga?”
“Aku
Slamet. Aku Dwi. Aku Yanto.” Anggara kini sudah mengetahui nama teman baru
mereka.
***
Bola
api raksasa sudah berada di ufuk timur. Ia menenggelamkan diri untuk segera
berganti tugas dengan sang malam. Di bawah kaki langit sore, lima anak-anak
berusia remaja pulang dengan wajah ceria. Kaki-kaki mereka begitu cepat
melangkah menuju sebuah ruko tingkat dua yang kelihatan terbengkalai. Mereka
mengantungi uang cukup banyak dari hasil mengamen sampai jam lima sore.
“Ini
tempat tinggal kalian?” tanya Anggara sambil menunjuk ruko bercat hijau gelap
itu.
Slamet
mengangguk pelan. Ia juga menjawab bahsa Indonesia berlogat jawa, “Ini
sekaligus tempat bos kami. Dia yang mengatur jadwal kami mengamen dan di daerah
mana saja kami bisa bebas mengamen tanpa harus digusur satpol PP.”
“Tapi
apakah uang hasil mengamen kalian itu seratus persen untuk kalian?” tanya
Fiolina lagi.
“Bos
hanya memberikan sepuluh persen dari hasil kami mengamen. Itu pun diberikan dua
kali seminggu, “ balas perempuan berwajah tirus kulit cokelat tua itu.
“Tunggu
dulu. Sepeluh persen itu diberikan per satu orang atau sepuluh persen dibagi
lagi ke kalian semua?” tanya Anggara lebih dalam lagi mengenai sistem
penggajian para pengamen jalanan yang menjadi teman mereka sekarang.
“Bos
kami memperkerjakan sembilan orang pengamen. Kami merupakan tiga dari sembilan
pengamen itu. Kami menerima sepuluh
persen dari hasil kerja kami. Sepuluh persen itu kami bagi secara adil dengan
memperhitungkan kebutuhan kami sehari-hari,” jabar Yanto serius.
“Apakah
itu benar-benar cukup untuk kalian?” lanjut Fiolina.
“Sebenarnya
sih tidak. Itulah sebabnya kami harus putar otak bagaimana cara kami bisa
memenuhi kebutuhan kami. Dan salah satunya dengan ini.” Yanto menunjukkan dua
dompet kulit buatan berwarna hitam dan cokelat muda pada Fiolina dan Anggara
lalu dimasukkan kembali ke dalam saku celana.
“Itu
dia bos kami. Sebaiknya kalian berada di belakang kami,” ujar Yanto seraya
menyuruh mereka pindah ke belakang.
Seorang
lelaki bertubuh gempal, berambut tangan lebat, perut menonjol ke depan serta
rambut hitam beruban, duduk di depan sebuah meja kerja. Ia mengenakan kaus
merah tua dipadu dengan jaket kulit cokelat. Di jemarinya terdapat
masing-masing tiga batu akik bervariasi jenis dan warna. Dengan wajah sangar
dan muram, ia meminta setoran dari hasil kerja para pengamen di depannya.
“Cuma
ini setoran kamu?” Lelaki itu mengibaskan uang pemberian ketiga anak itu di
depan wajah mereka.
“I-iya,
Pak,” jawab ketiga pengamen itu gugup.
Lelaki
bertubuh gempal itu mendengus kesal sambil memegangi kepalanya. Untuk
memastikan kalau mereka tidak berbohong, lelaki itu menyuruh seorang pengawal
pribadinya untuk merogoh kantung celana tiga pengamen itu.
“Jay,
coba kamu rogoh kantung celana anak-anak keparat ini. Siapa tahu mereka mau
main curang dengan setoran,” suruh lelaki paruh baya itu.
Sang
pengawal pribadi mengangguk takzim, melaksanakan perintah dari bosnya. Tangan
kekar sang pengawal mulai memasuki kantung celana tiga pengamen itu, mencari
uang yang mungkin mereka simpan secara sembunyi-sembunyi. Setelah diperiksa
beberapa menit, sang pengawal menemukan dua lembar uang nominal lima puluh ribu
dan selembar uang dua puluh ribu dari saku celana mereka.
Lelaki
yang merupakan bos mereka bangkit dari kursi. Dengan tatap mata penuh amarah
dan kekesalan, ia berdiri di hadapan ketiga pengamen itu.
“Apa
maksudnya ini? Kalian mau mencurangi saya?!” bentak lelaki paruh baya dengan
suara tenor membuat ketiga pengamen itu tak bisa bergerak sedikit pun sangking
takutnya.
“I-i-itu—“
tak sempat menjelaskan perihal uang yang ada di kantungnya, bos mereka
melayangkan telapak tangan ke arah pipi salah satu pengamen yang hendak
menjelaskan tentang uang itu.
Tubuh
lemahnya tersungkur menubruk lantai. Ia terpental setengah meter karena kuat
dan kencangnya tamparan dari bos mereka. Pengamen laki-laki yang menjadi korban
kekerasan dan hukuman dari bosnya, cuma bisa menangis tersedu-sedu sambil
mengelap tetesan darah yang mengalir dari dua lubang hidungnya.
“Ini
juga peringatan bagi kalian semua! Siapa yang berani bermain curang dengan uang
setoran, hukuman kalian akan lebih parah daripada anak ini. Mengerti?!”
Para
pengamen di sana mengangguk takut dan gentar ketika mendengar peringatan keras
dari bos mereka. Namun Anggara yang berdiri di belakang tiga teman tidak
membenarkan perlakuan bos mereka yang sewenang-wenang dan kejam itu. Tapi ia
sadar kalau ia merupakan orang asing di organisasi ini. Ia tidak dapat berbuat
banyak selain menahan emosi.
Sekarang
tibalah giliran Slamet, Dwi dan Yanto. Yanto—lelaki berbadan tegap, potongan
rambut pendek khas tentara memberikan setoran hasil mengamen mereka selama
seharian pada bos mereka.
“Bagus.
Kerja kalian bertiga memang selalu bagus tapi...” puji bos mereka sesaat. Akan
tetapi, pandangan matanya tertuju pada seorang laki-laki dan perempuan asing di
belakang mereka bertiga, “siapa dua orang ini?”
“Mereka
adalah teman baru kami, Pak Maulana. Mereka ingin bergabung dengan kita sebagai
pengamen. Mereka tidak punya tempat tinggal dan siapa-siapa lagi. Jadi
biarkanlah mereka bergabung dengan kita,” bujuk Yanto pada bosnya.
“Goblok!
Kamu pikir kamu siapa bisa memerintah saya, menyuruh orang asing tinggal
bersama kita, hah?!” damprat lelaki bernama Maulana itu pada Yanto seraya jari
telunjuknya mendorong jidat anak itu.
“Kalian
berdua, ke sini,” perintah Maulana pada Anggara dan Fiolina.
Keduanya
melangkah begitu hati-hati. Mereka menjaga tingkah laku dan gerak-gerik agar bos
besar dari para pengamen itu menghajar mereka seperti anak yang barusan mereka
lihat. Fiolina dan Anggara berjalan sambil menundukkan kepala, tak berani
melihat sosok lelaki yang ada di hadapan mereka.
“Coba
sebutkan siapa nama kalian?”
“Fiolina.”
“Anggara.”
“Apa
betul kalian tidak punya keluarga dan tidak punya tempat tinggal lagi?
interogasi sang bos pada mereka.
“Benar,
Pak. Kami anak-anak dari panti—“
“Saya
tidak tanya kalian berasal darimana. Yang saya tanyakan, apa kalian tidak punya
keluarga atau tempat tinggal lagi?” senggak Maulana sambil menepuk meja
kerjanya. Keduanya mengangguk pelan menjawab pertanyaan dari lelaki bertampang
sangar dan muram itu.
Maulana
berpikir sebentar sembari menimbang-nimbang apakah mereka berdua bisa tinggal
dan bekerja bersama dengan dia. Sempat terlintas di pikiran kalau ia tidak
menerima akan menerima mereka berdua untuk bergabung. Namun begitu melihat
wajah Fiolina yang manis, menggemaskan juga memiliki daya tarik seksual,
membuat bos besar para pengamen itu berubah pikiran.
“Baiklah
kalau begitu. Kalian berdua saya terima bergabung dengan kami. Untuk kamu,
Anggara, kamu harus bergabung dengan mereka, cari uang sebanyak mungkin dengan cara mengamen. Kamu, Fiolina,
kamu saya butuh kamu sebagai juru kebersihan rumah ini. Omong-omong, kamu bisa
memasak?”
“Tidak
terlalu, Pak.”
“Tidak
apa-apa. Kamu tidak usah ikut mengamen. Kamu tinggal di rumah ini saja. Bantu
pekerjaan para pembantu saya,” ujar Maulana sambil mengulas senyum.
Mendengar
keputusan dari bos mereka saat ini, membuat Anggara jadi was-was. Sorot matanya
mengarah pada Maulana. Jangan sampai dia berani-beraninya menyentuh
Fiolina, ucap batin Anggara.
***
Empat
hari berlalu begitu saja. Anggara berkutat dengan pekerjaan barunya sebagai
pengamen jalanan. Begitu pula dengan Fiolina. Ia terlihat cekatan dan terampil
dalam mengurus kebersihan kediaman bos Maulana. Lelaki paruh baya itu sering
kali melontar pujian mengenai hasil kerjaa gadis itu. Dan diam-diam, Maulana
sering berfantasi liar jika ia sedang bersetubuh dengan gadis remaja 14 tahun
itu. Membayangkan kedua tangan kukuhnya memegangi pinggul gadis itu. Menikmati
goyangan tubuh kurus gadis itu seirama dengan hentakan yang dia berikan dari
belakang. Menghayalkan bagaimana kalau dia dan gadis itu sama-sama
mengekspresikan kepuasan melalui suara lenguhan panjang. Oh tak terkira nikmatnya,
pikir Maulana.
Kelihatan
Dewi Fortuna memberikan kesempatan itu pada Maulana ketika Fiolina sedang
mengelap meja makan di dapur. Lelaki paruh baya itu tak dapat menahan letupan
berahi di dalam kepala yang ingin dilampiaskan pada gadis itu. Ia melangkah
hati-hati menuju dapur.
“Fio,
sudah kamu bersihkan lantai dapur ini?” tanya Maulana sambil berpura-pura
menatap lantai akan tetapi fokusnya pada gerakan pinggul gadis itu.
“Sudah,
Pak. Fio tidak membersihkan meja dan mempersiapkan menu makan siang,” jawab
gadis kurus itu.
Maulana
terus melangkah sampai ia sudah berada di belakang Fiolina. Kini ia tak bisa
melepaskan tatapan bola matanya mengamati liukan pantat dan pinggul gadis itu
yang mulai menggoda akal sehatnya. Ia perlahan mendekati gadis itu namun
Fiolina mulai menyadari tingkah aneh lelaki paruh baya itu.
“Pak
Maulana, mau ngapain ya?” tanya gadis manis hidung mancung itu sambil menggeser
badan memberi jarak pada Maulana agar tidak terlalu dekat.
“Saya
cuma ingin lihat hasil kerja kamu saja, Fio,” Akan tetapi semakin Fiolina
menjauh, Maulana semakin dekat. Hingga ia tak bisa menahan luap gejolak berahi,
Maulana yang sudah dikuasai nafsu mendekap kencang gadis itu hingga keduanya
terjatuh.
Fiolina
terus memberontak dengan memberikan pukulan di wajah dan badan lelaki itu akan
tetapi tak sedikit pun rasa sakit dirasakan Maulana. Ia tetap berusaha menciumi
wajah, bibir dan leher gadis itu. Fiolina mulai mengendurkan perlawanannya.
Percuma saja. Ia kalah dalam segi tenaga. Tidak tidak dapat berbuat apa-apa
lagi selain menyerahkan tubuhnya untuk memuaskan nafsu binatang lelaki itu.
Ketika
Maulana hendak membuka celana jinsnya, ia melihat lelehan darah mengalir
tempurung bagian belakang. Dia melihat sosok lelaki yang sudah dikenalnya dengan
sorot mata nyala, penuh amarah memegang guci porselen yang tidak utuh lagi
bentuknya.
“Kau... ANAK BRENGSEK!!!” Maulana menerjang
tubuh Anggara hingga punggungnya berdebuk keras menimpa permukaan lantai.
Lelaki berkumis lebat itu memberikan bogem mentah berulang kali ke wajah
Anggara sampai titik darah muncul dari lubang hidung dan bibir yang tersobek.
Sialnya lelaki remaja itu tak bisa memberikan serangan balasan karena dia
sendiri dalam posisi terjepit. Maulana duduk di atas perutnya sambil tangan
kiri mencekik lehernya.
Anggara
hampir mencapai batasnya untuk bertahan. Ia mulai merasakan sesak di leher dan
dada. Hela napasnya tercekat satu-satu. Pandangan mata mulai mengabur,
berkunang-kunang. Ketika sakratul maut hendak memanggil dirinya, Anggara
dikejutkan dengan suara rintih kesakitan dari Maulana. Sekilas ia melihat
bosnya memegangi lehernya yang sudah bersimbah darah. Maulana bangkit dari
tubuh Anggara lalu berpaling ke arah Fiolina yang sedang menggenggam sebilah
pisau.
Tubuh
Fiolina gemetar hebat ketika Maulana mendekat padanya. Sorot mata Maulana yang
nanar seolah memberitahu kalau ia akan segera menghabisi gadis itu secepat
mungkin. Dalam posisi panik dan buntu, Fiolina jadi tidak bisa melakukan
apa-apa walau pisau itu masih tergenggam erat di tangan. Ia merasakan kalau
otot lengannya tidak kuasa mengangkat pisau itu memberikan sejumlah tusukan di
bagian perut.
Tiba-tiba
Maulana berhenti begitu saja di hadapannya. Fiolina melirik ke arah perut
sebelah kiri bosnya ditembus sebuah mata parang lancip. Lelaki berkumis tipis
itu membeliakkan bola mata sampai
terlihat bagian paling putih. Maulana mengeluarkan suara rintihan kesakitan
begitu dalam untuk terakhir kalinya sebelum tubuh gempalnya ambruk menimpa
lantai keramik.
Sekonyong-konyong
para pengamen berkerumun menyaksikan bos mereka sudah tak bernyawa di tangan
Anggara. Mereka masih tak percaya kalau Anggara dan Fiolina sudah membunuh
orang yang telah menampung dan memberi mereka mata pencaharian.
“Apa
yang telah kalian lakukan pada bos?!” ucap salah satu pengamen laki-laki yang
berada di sana, keras.
“Dia...
bajingan ini mau memperkosa Fiolina dan dia... berusaha ingin membunuhku,”
jawab Anggara dengan embus napas tersengal. Dalam hati, ia masih tidak
menyangka bagaimana dia bisa berbuat sejauh itu pada bos Maulana.
“Jadi
apa yang mesti kita lakukan pada mayat bos kita? Kalau sampai berita ini
menyebar kita bisa ditangkap oleh polisi,” sambung seorang lelaki berwajah agak
kekotakkan berdagu datar.
“Bagaimana
kalau kita jual mayat bos ke pasar gelap?” usul salah seorang perempuan
berambut kepang kuda.
Semua
orang yang berada di sana dikejutkan dengan ide perempuan itu lalu Anggara
menanggapi usul perempuan itu, “ Pasar gelap? Maksudmu kita menjual bos ke
pedagang organ tubuh ilegal? Dari mana kau punya jaringan ke sana?”
“Dua
minggu yang lalu, aku didatangi seseorang yang tidak kukenal dan ia bilang
‘kalau kau ingin menjual sesuatu untuk memenuhi kebutuhan hidupmu, kau bisa
menghubungiku di kartu nama ini’. Dan begitu aku melihat profil kartu namanya,
ia ternyata seorang... pedagang organ tubuh manusia...”
Semuanya
sempat terdiam dan tersentak mendengar penjelasan perempuan kalau mereka akan
menjual bos mereka pada orang-orang berbahaya. Akan tetapi Anggara memberikan
reaksi mengejutkan dengan berkata, Siapa namamu? Berikan aku kartu namanya...
Kita akan menjual bos Maulana padanya...”

No comments:
Post a Comment