Sunday, 1 July 2018

DUAL - 6


Fiolina dan Anggara
9 tahun yang lalu                   

            Tidak ada satu pun manusia yang bisa memilih bagaimana dan siapa melahirkan mereka. Lahir tanpa orang tua pun juga bukan salah satu pilihan yang diinginkan siapapun. Terkecuali dua manusia ini. Mereka sudah lama tinggal di sebuah rumah berplangkat Panti Asuhan Kasih Kita. Sebuah rumah besar bercat jingga tingkat dua berukuran 20x30x10 meter. Panti itu sudah lima belas tahun menerima anak-anak yang tidak diakui lagi atau tidak diinginkan keberadaannya di lingkungan keluarga atau masyarakat.
            Sejak umur tiga bulan, mereka berdua sudah menghabiskan waktu mereka sebagai penghuni tetap panti asuhan itu. Mereka juga bergaul bersama dengan anak-anak yang bernasib serupa. Akan tetapi mereka tidak menyesali secara berlebihan nasib mereka yang tidak diakui atau tidak diinginkan keberadaannya. Mereka tetap bersemangat menjalani hari-hari sambil mewujudkan cita-cita agar suatu keberadaan mereka bisa diterima di masyarakat kelak.
            Akan tetapi anak-anak penghuni panti mulai merasakan gelombang kecemasan dan kekhawatiran ketika mendengar isu bahwa tempat yang menjadi saksi pertumbuhan dan perkembangan mereka akan digusur dan dijadikan hotel.
            “Kau tahu dari mana, Ang, kalau panti ini mau jadi hotel? Jangan sembarangan ngomong deh,” tanya salah satu anak panti berkulit coklat gelap.
            “Begini, waktu aku mau ngambil air ke dapur, aku mendengar Ibu Saras dan laki-laki pakai jas hitam lagi ngobrol di ruang tamu. Kau tahu mereka ngobrolnya serius banget dan aku bisa lihat kalau ibu Saras bersikeras tinggal memberikan izin pada laki-laki itu,” jelas Anggara lelaki berkulit putih berambut agak pirang itu.
            “Aku enggak setuju kalau tempat ini jadi hotel. Terus kita akan tinggal di mana?” ungkap seorang gadis berambut ikal bergelombang kulit sawo matang.
            “Apa kita tanya aja langsung sama Ibu Saras ya?” usul laki-laki berbadan kurus dan tinggi itu.
            “Ide bagus tuh tapi nanti malam aja ya. Soalnya ibu lagi belanja ke pasar,” dukung Anggara seraya diikuti anggukan teman-temannya.
***
            Pukul 20.00. Begitulah jam yang ditunjukkan dua jarum berputar maju itu. Usai makan malam, anak-anak panti menghampiri ibu asuh mereka yang sedang berada di dalam kamar pribadinya. Anak-anak asuh ibu Saras berjumlah dua puluh orang sedang berdiskusi siapakah di antara mereka yang akan mengetuk pintu kamar.
            “Siapa yang mau mengetuk pintunya?” tanya Anggara pada teman-temannya. Sudah ditunggu satu menit, tak satu pun dari mereka yang ingin melakukan hal itu.
            “Lo, mana, tidak ada yang mau?” tanya laki-laki berambut lurus agak pirang itu.
            “Kau ajalah, Ang. Lagipula dari segi umur, kaau paling tua di antara kami,” tunjuk lelaki berbadan kurus itu pada Anggara.
            “Eh Chock, kan kau yang punya ide dan seharusnya kau yang mengetuk pintu bukannya aku.” Anggara membela dirinya.
            Ketika Anggara dan Chocky bersiteru tentang siapa yang mengetuk pintu, anak-anak panti tak terkecuali Anggara sontak menoleh ke arah pintu kamar ibu asuh mereka yang terbuka dari dalam. Ibu Saras terheran-heran melihat anak-anak asuhnya berada di depan kamar.
            “Lho, kalian ngapain ada di sini? Seharusnya jam segini kalian sudah harus belajar,” tanya ibu Saras sambil menolehkan kepala mengamati jam dinding yang menunjukkan pukul 20.23.
            Menanggapi pertanyaan dari ibu asuh mereka, anak-anak panti saling melemparkan pandangan mata satu sama lain. Mereka sedang memilih siapa yang cocok untuk menyampaikan permasalahan yang mereka dengar akhir-akhir ini mengenai panti mereka. Akhirnya Anggara merelakan diri untuk membuka percakapan.
            “Ibu... Apa benar... kalau... panti ini akan dijadikan hotel?” tanya Anggara penuh kehati-hatian.
            Perempuan paruh baya yang sudah menampakkan uban di antara rambut hitamnya diam sejenak. Dalam hati, memang cepat atau lambat hal ini akan segera diketahui anak asuhnya. Dirinya dan pihak pengelola panti sedang berusaha melakukan negoisasi untuk menghentikan rencana penggusuran panti menjadi hotel bintang lima. Akan tetapi belum juga menampakkan titik terang atau solusi untuk permasalahan ini.
            Ibu Saras menyuruh anak-anak asuhnya duduk bersila di atas lantai keramik putih. Begitu mereka sudah duduk tenang, perempuan itu mengambil kursi kecil dari dalam kamarnya lalu duduk di hadapan mereka.
            “Ibu sedang berusaha semaksimal mungkin agar tempat ini akan selalu ada. Tempat kita berkumpul dan berbagi. Tempat kita menemukan teman-teman senasib. Tempat kita mewujudkan cita-cita dan impian kita masing-masing. Untuk itu kalian tidak perlu khawatir. Kalian harus menjaga satu sama lain. Terutama untuk kamu Anggara. Kamu adalah anak paling tua dalam segi umur.” Ibu Saras memberikan nasihat untuk menenangkan dan menguatkan perasaan mereka. Namun di lain sisi, terselip kekhawatiran jikalau negosiasi tidak kunjung menemukan solusi. Dan bos besar PT. Bintang Perkasa melakukan tindakan nekat untuk memuluskan ambisinya.     
            “Lebih baik kalian tidur. Karena seperti biasa kita akan ibadah pagi. Jangan lupa berdoa sebelum tidur,” ucap Ibu Saras seraya menaikkan tungkai kaki beranjak dari hadapan anak-anak asuhnya. Anak-anak pun membubarkan diri dari tempat itu. Mereka tampak lega ketika mereka sudah mendapat kejelasan mengenai isu yang mereka dengar. Tapi tidak dengan Anggara. Ia merasa ada sesuatu disembunyikan ibu asuhnya. Ia ingin sekali memaksa agar ibu asuhnya jujur mengenai isu itu tetapi ia juga segan.
            “Ada apa, Gara? Mukamu kelihatan aneh,” tanya Fiolina sambil berjalan bersama di sampingnya,
            “Tidak ada apa-apa, Fio. Semua baik-baik saja,” balas Anggara sambil menyimpul senyum pada Fiolina. Perempuan berbadan agak kurus itu mengangguk pelan.
            “Kalau begitu aku duluan.” Perempuan itu menuruni jejeran anak tangga menuju kamar perempuan yang berada di lantai satu.
            Kamar Anggara berserta kamar kawan-kawannya berada di lantai dua. Berjarak tiga kamar dari kamar ibu asuh mereka. Sebelum lelaki itu memasuki kamar, Anggara sempat melihat sekilas roman ibu asuhnya kelihatan resah.
            Tuhan lindungi kami.
***
            Alam mimpi Anggara menampakkan kejadian ketika orang-orang tidak dikenal dan bersenjata tajam menghabisi teman-temannya secara brutal. Ada yang diiris bagai memotong leher ayam hingga darah mereka muncrat ke mana-mana. Ada pula yang ditusuk secara membabi buta di bagian perut dan dada. Dan bagian terburuk dari itu semua, ibu asuh dari anak-anak panti itu diberondong timah panas berkali-kali hingga nyawanya benar-benar sudah berada di tangan Tuhan. 
            Anggara hanya bisa menjerit histeris melihat kematian teman-temannya di depan matanya. Ia mengucap sumpah serapah mengutuk perbuatan mereka yang sudah di luar batas kemanusiaan. Para pembunuh itu menyeringai seram padanya. Salah satu dari para pembunuh yang juga terlihat seperti bos mereka mengacungkan revolver bersilinder panjang pada Anggara.
            Anggara mencelikkan kelopak mata secara cepat ketika teman satu kamar mereka mengoyang-goyangkan badannya.
            “Anggara, bangun,” suruh Chocky padanya.
            “Ada apa?” tanya Anggara sambil membangkitkan badannya dari kasur.
            Lelaki berbadan kurus berwajah agak tirus itu merapatkan bibir sambil menaruh jari telunjuk vertikal di depan mulut lalu berkata, “Pelankan suaramu. Aku mendengar suara gaduh di lantai satu. Aku takut kalau hal buruk terjadi di sana.”
            “Aku tidak mengerti apa yang kau katakan, Chocky. Bicaralah yang jelas.”
            Chocky bingung sendiri harus memulai bercerita darimana. Mulutnya kelu. Tak mampu mengeluarkan sepatah kata untuk diceritakan pada Anggara. Akan tetapi tetes air mata dari sudut kelopak mata Chocky,  membuat Anggara semakin merasa sesak di dada. Tangisan lelaki itu masih juga mengganggal di tenggorokan. Ini makin menguatkan perasaannya kalau sesuatu yang buruk sedang menimpa ibu asuh dan teman-temannya. Anggara langsung beringsut dari ranjang menuju pintu kamar.
            “Kamu mau ke mana, Ang?”
            Lelaki berambut agak pirang itu tidak mempedulikan pertanyaan temannya. Anggara terus memutar kunci hingga pintu bisa dibuka. Tanpa menyalakan lampu, kedua kaki Anggara begitu cepat menuruni anak tangga menuju lantai satu. Begitu tombol lampu lantai ditekan, mimpi buruk berupa kenyataan mengerikan terpampang begitu vulgar di depan matanya.
            Lelehan darah segar menutupi permukaan lantai keramik. Darah-darah itu lebih banyak berasal dari darah ibu asuh anak-anak panti dan anak-anak perempuan yang begitu disiap dinikmati kemolekan tubuhnya, langsung dieksekusi dengan letupan timah panas di bagian dada, kepala atau perut berkali-kali. Ibu Saras tergeletak tak bernyawa dengan posisi menelungkup mencium permukaan keramik. Kondisi anak perempuan tak kalah menyedihkan. Mereka ditemukan dengan kondisi setengah telanjang. Piama mereka tersingkap ke atas dan celana pendek diperolotkan hingga menyentuh tumit kaki. Mayat anak laki-laki juga bergelimpangan tak beraturan atas lantai. Kehidupan mereka diakhiri dengan tembakan bertubi-tubi dan tikaman senjata tajam di leher, perut dan kepala.  
            Kelopak mata Anggara tidak berkedip sekali. Seakan-akan dipaksa untuk memonton pertunjukan penuh darah dan tragedi dilakoni begitu sempurna oleh ibu asuh dan teman-temannya. Luapan amarah dan ketidakrelaan masih terganjal di dada. Anggara bingung pada siapa ia melampiaskan semua ini. Tapi ada satu hal yang dia ingat.
            “Mana Fiolina?” tanya Anggara panik. Ia langsung berlari menuju kamar yang berada dekat tangga. Ia tidak menemukan Fiolina di sana. Kepala dan bola mata Anggara bergerak liar ke kiri dan kanan. Pandangnya tertuju pada lemari kayu letaknya menyudut di kamar itu.
            Dengan tangan bergetar bercampur gigil, Anggara hati-hati membuka pintu lemari. Ia menemukan Fiolina sedang menekukkan tungkai kaki seperti berjongkok dan posisi tangan dilipat di atas lutut kaki. Hati Anggara berkali lipat hancurnya mendengar ratapan Fiolina. Ketika perempuan itu tahu siapa yang berada di depannya, ia langsung melebarkan rentangan tangannya merengkuh badan Anggara. Perempuan kurus itu menangis begitu pilu. Ia tak mampu mengatakan apa-apa. Ia tetap tekun dalam tangis. Lelaki itu memeluk erat perempuan yang berada dalam dekapannya. Ia juga terisak. Keduanya berbalasan tangis. Bagai alunan elegi di malam suram dan kelam.         
***
            Keduanya sudah memutuskan pergi dari sana. Memang mereka sudah menelepon pihak kepolisian akan tetapi tak ada tanda kedatangan satu pun mobil polisi hingga pukul lima dini hari. Dengan berat hati dan keterbatasan tenaga, Anggara dan Fiolina membiarkan mayat ibu asuh dan teman-temannya tetap berdiam di lantai. Hanya saja mereka berdua menggunakan selimut dan sprei menutupi tubuh dan wajah menyedihkan ibu asuh dan teman-teman mereka. Anggara dibantu dengan Fiolina juga sudah menurunkan mayat Chocky ditemukan tergantung di salah satu cabang pohon mangga. Cuma mayat Chocky saja yang bisa mereka kuburkan. Itu pun seadanya saja.
             Mereka berdua bagai orang yang sudah hilang separuh kesadaran dan kerasionalan mereka. Kaki dan pikiran mereka digerakkan oleh angin dan insting mereka sendiri. Tak ada tempat yang ingin mereka tuju. Bekal mereka dan persiapan mereka pun amat terbatas. Masing-masing membawa empat stel baju dan celana beserta pakaian dalam. Persediaan air minum hanya empat botol Aqua berukuran 1,5 liter.
            “Ke mana kita pergi, Gara?” tanya Fiolina pada Anggara. Setelah menempuh perjalanan sejauh lima kilometer tanpa tumpangan angkutan, keduanya memutuskan istirahat di pinggir jalan raya.
            “Entahlah. Kau tahu, aku masih merasa bayang-bayang kematian ibu asuh dan teman-teman kita masih melekat di saraf otakku, Fio. Mereka menggentayangi dan menggerayangi alam sadar pikiranku. Mereka bilang kita harus membalaskan rasa sakit dan penderitaan atas kematian mereka.” Usai bicara, Anggara menarik resleting ranselnya ke atas, menarik botol Aqua dari dalam tas. Meneguk air setengahnya.
            Fiolina sendiri juga merasakan kesedihan yang dirasakan temannya. Melihat teman-temannya diperlakukan bak binatang oleh orang-orang bertopeng aneh, perempuan itu hanya bisa menangis sambil mengutuki kelemahan dirinya. Ia tak mampu berbuat apa-apa. Namun tubuhnya memberikan reaksi begitu hebat saat mendengar lolongan panjang memilukan dan jerit kesakitan teman-temannya. Fiolina menutup serapat mungkin kedua lubang telinganya. Tetapi suara-suara menakutkan itu terlalu kuat untuk tidak didengarkan. Mereka membuat hati perempuan itu makin meradang. Makin sengsara. Hingga yang bisa diluapkan hanya isak tangis tertahan.
            Keduanya diam begitu lama. Fiolina tidak berani merespons perkataan Anggara. Ia memilih bungkam, berusaha mencari topik pembicaraan yang lain. Kedua bola mata mereka tertuju pada para pengamen yang bermain gitar pada para pengendara mobil yang terjebak macet. Para pengamen terus bernyanyi dengan replika tamborin dari pipihan tutup botol dan keroncong di tangan mereka.
            Mereka terus bernyanyi walau konsentrasi para pengemudi tertuju pada tiang rambu lalu lintas. Setelah ditunggu selama 30 detik akhirnya lampu lalu lintas berganti warna hijau. Sebelum melesat lebih kencang, pengendara mobil itu melemparkan uang nominal lima ribu rupiah pada pengamen itu. Mereka mengucap terimakasih sambil menyeberang ke trotoar.
            Lama Anggara dan Fiolina mengamati gerak-gerik para pengamen itu. Fiolina menoleh pada Anggara, berkata, “Apakah lebih baik kalau kita menghampiri mereka dan bertanya, apakah kita bisa tinggal bersama mereka? Kau tahu ‘kan kita sudah tidak punya apa-apa lagi dan tak punya siapa-siapa lagi.”
            Lelaki berambut agak pirang itu sedang memikirkan usulan dari temannya, “Boleh juga. Ayo.” Anggara mengangguk setuju pada usul gadis berambut ikal itu. Mereka beranjak dari tempat peristirahatan menuju para pengamen terlihat sibuk menghitung uang hasil mengamen.
            Lelaki berhidung mancung dan perempuan kurus itu tepat berada di hadapan para pengamen itu. Mereka terlihat bersikap awas dan cepat-cepat menyimpan uang hasil mengamen ke dalam bungkus permen. Mana tahu kalau orang yang berada di hadapan mereka ingin merampas hasil jerih payah mereka.
            Tanpa disangka Anggara dan Fiolina mengangsurkan tangan mereka pada para pengamen itu seraya berkata, “Namaku Anggara,” lalu disusul perempuan di sebelahnya, “Aku Fiolina.”
            Ketiga pengamen itu membalas jabat tangan Anggara dan Fiolina agak sungkan. Ketiganya mengamati dua orang asing itu dengan tatap curiga dan janggal.
            “Kamu tidak bermaksud apa-apa pada kalian. Kami hanya ingin menumpang tempat tinggal bersama kalian. Kami adalah anak-anak panti asuhan Kasih Kita yang ada di jalan Gatot Subroto lima kilometer dari Cibitung Utara. Kalian tahu panti asuhan itu?” Anggara menjelaskan asal-usul mereka pada ketiga pengamen yang terlihat seumuran dengannya.
            Begitu lama mereka diam, salah satu dari tiga pengamen itu memberanikan diri merespons Anggara. “Ya kami tahu. Tapi, kami tidak yakin membiarkan kalian berdua ikut bersama dengan kami. Kami bertiga takut bos kami tidak memberikan izin membiarkan orang luar masuk ke kelompok ini,” ujar lelaki kurus berkulit cokelat itu. Ia mengenakan topi hitam berbau apek dan kusam oleh debu dan abu jalanan.
            “Kami akan membantu kalian ikut mengamen. Tapi tolong biarkan kami ikut bersama kalian. Kami tidak punya siapa-siapa lagi. Kami tidak punya tempat tinggal lagi. Sekali lagi biarkan kami ikut bersama kalian,” mohon Fiolina dengan merapatkan kedua telapak tangan ke atas.
            Ketiga pengamen berusia dua belas dan tiga belas tahun itu saling melihat satu sama lain. Dalam hati mereka sangat sulit meredam amarah bos mereka kalau tahu mereka membawa dua orang asing itu ikut bersama mereka. Anggara dan Fiolina menatap ketiga pengamen itu penuh harap dan belas kasihan.
            “Baiklah, kalian bisa ikut dengan kami. Tapi jika bos kami bertanya kenapa kalian bisa ikut bersama dengan kami, kalian harus membantu kami memberikan alasan atau setidaknya memohon agar bos mau menerima kalian.” Lelaki berambut hitam lebat berkuping kecil itu meluluskan permintaan Anggara dan Fiolina. Dua pengamen yang merupakan teman lelaki itu hanya bisa diam sambil menghela napas pasrah.
            Anggara dan Fiolina mengepalkan tangan kanan mereka. Wajah keduanya tampak berseri-seri dan bersemangat.
            “Kalau boleh tahu tahu siapa nama kalian bertiga?”
            “Aku Slamet. Aku Dwi. Aku Yanto.” Anggara kini sudah mengetahui nama teman baru mereka.
***
            Bola api raksasa sudah berada di ufuk timur. Ia menenggelamkan diri untuk segera berganti tugas dengan sang malam. Di bawah kaki langit sore, lima anak-anak berusia remaja pulang dengan wajah ceria. Kaki-kaki mereka begitu cepat melangkah menuju sebuah ruko tingkat dua yang kelihatan terbengkalai. Mereka mengantungi uang cukup banyak dari hasil mengamen sampai jam lima sore.
            “Ini tempat tinggal kalian?” tanya Anggara sambil menunjuk ruko bercat hijau gelap itu.
            Slamet mengangguk pelan. Ia juga menjawab bahsa Indonesia berlogat jawa, “Ini sekaligus tempat bos kami. Dia yang mengatur jadwal kami mengamen dan di daerah mana saja kami bisa bebas mengamen tanpa harus digusur satpol PP.”
            “Tapi apakah uang hasil mengamen kalian itu seratus persen untuk kalian?” tanya Fiolina lagi.
            “Bos hanya memberikan sepuluh persen dari hasil kami mengamen. Itu pun diberikan dua kali seminggu, “ balas perempuan berwajah tirus kulit cokelat tua itu.
            “Tunggu dulu. Sepeluh persen itu diberikan per satu orang atau sepuluh persen dibagi lagi ke kalian semua?” tanya Anggara lebih dalam lagi mengenai sistem penggajian para pengamen jalanan yang menjadi teman mereka sekarang.
            “Bos kami memperkerjakan sembilan orang pengamen. Kami merupakan tiga dari sembilan pengamen itu. Kami  menerima sepuluh persen dari hasil kerja kami. Sepuluh persen itu kami bagi secara adil dengan memperhitungkan kebutuhan kami sehari-hari,” jabar Yanto serius.
            “Apakah itu benar-benar cukup untuk kalian?” lanjut Fiolina.
            “Sebenarnya sih tidak. Itulah sebabnya kami harus putar otak bagaimana cara kami bisa memenuhi kebutuhan kami. Dan salah satunya dengan ini.” Yanto menunjukkan dua dompet kulit buatan berwarna hitam dan cokelat muda pada Fiolina dan Anggara lalu dimasukkan kembali ke dalam saku celana.
            “Itu dia bos kami. Sebaiknya kalian berada di belakang kami,” ujar Yanto seraya menyuruh mereka pindah ke belakang.
            Seorang lelaki bertubuh gempal, berambut tangan lebat, perut menonjol ke depan serta rambut hitam beruban, duduk di depan sebuah meja kerja. Ia mengenakan kaus merah tua dipadu dengan jaket kulit cokelat. Di jemarinya terdapat masing-masing tiga batu akik bervariasi jenis dan warna. Dengan wajah sangar dan muram, ia meminta setoran dari hasil kerja para pengamen di depannya.
            “Cuma ini setoran kamu?” Lelaki itu mengibaskan uang pemberian ketiga anak itu di depan wajah mereka.
            “I-iya, Pak,” jawab ketiga pengamen itu gugup.
            Lelaki bertubuh gempal itu mendengus kesal sambil memegangi kepalanya. Untuk memastikan kalau mereka tidak berbohong, lelaki itu menyuruh seorang pengawal pribadinya untuk merogoh kantung celana tiga pengamen itu.
            “Jay, coba kamu rogoh kantung celana anak-anak keparat ini. Siapa tahu mereka mau main curang dengan setoran,” suruh lelaki paruh baya itu.
            Sang pengawal pribadi mengangguk takzim, melaksanakan perintah dari bosnya. Tangan kekar sang pengawal mulai memasuki kantung celana tiga pengamen itu, mencari uang yang mungkin mereka simpan secara sembunyi-sembunyi. Setelah diperiksa beberapa menit, sang pengawal menemukan dua lembar uang nominal lima puluh ribu dan selembar uang dua puluh ribu dari saku celana mereka.
            Lelaki yang merupakan bos mereka bangkit dari kursi. Dengan tatap mata penuh amarah dan kekesalan, ia berdiri di hadapan ketiga pengamen itu.
            “Apa maksudnya ini? Kalian mau mencurangi saya?!” bentak lelaki paruh baya dengan suara tenor membuat ketiga pengamen itu tak bisa bergerak sedikit pun sangking takutnya.
            “I-i-itu—“ tak sempat menjelaskan perihal uang yang ada di kantungnya, bos mereka melayangkan telapak tangan ke arah pipi salah satu pengamen yang hendak menjelaskan tentang uang itu.
            Tubuh lemahnya tersungkur menubruk lantai. Ia terpental setengah meter karena kuat dan kencangnya tamparan dari bos mereka. Pengamen laki-laki yang menjadi korban kekerasan dan hukuman dari bosnya, cuma bisa menangis tersedu-sedu sambil mengelap tetesan darah yang mengalir dari dua lubang hidungnya.
            “Ini juga peringatan bagi kalian semua! Siapa yang berani bermain curang dengan uang setoran, hukuman kalian akan lebih parah daripada anak ini. Mengerti?!”  
            Para pengamen di sana mengangguk takut dan gentar ketika mendengar peringatan keras dari bos mereka. Namun Anggara yang berdiri di belakang tiga teman tidak membenarkan perlakuan bos mereka yang sewenang-wenang dan kejam itu. Tapi ia sadar kalau ia merupakan orang asing di organisasi ini. Ia tidak dapat berbuat banyak selain menahan emosi.
            Sekarang tibalah giliran Slamet, Dwi dan Yanto. Yanto—lelaki berbadan tegap, potongan rambut pendek khas tentara memberikan setoran hasil mengamen mereka selama seharian pada bos mereka.
            “Bagus. Kerja kalian bertiga memang selalu bagus tapi...” puji bos mereka sesaat. Akan tetapi, pandangan matanya tertuju pada seorang laki-laki dan perempuan asing di belakang mereka bertiga, “siapa dua orang ini?”
            “Mereka adalah teman baru kami, Pak Maulana. Mereka ingin bergabung dengan kita sebagai pengamen. Mereka tidak punya tempat tinggal dan siapa-siapa lagi. Jadi biarkanlah mereka bergabung dengan kita,” bujuk Yanto pada bosnya.
            “Goblok! Kamu pikir kamu siapa bisa memerintah saya, menyuruh orang asing tinggal bersama kita, hah?!” damprat lelaki bernama Maulana itu pada Yanto seraya jari telunjuknya mendorong jidat anak itu.  
            “Kalian berdua, ke sini,” perintah Maulana pada Anggara dan Fiolina.
            Keduanya melangkah begitu hati-hati. Mereka menjaga tingkah laku dan gerak-gerik agar bos besar dari para pengamen itu menghajar mereka seperti anak yang barusan mereka lihat. Fiolina dan Anggara berjalan sambil menundukkan kepala, tak berani melihat sosok lelaki yang ada di hadapan mereka.
            “Coba sebutkan siapa nama kalian?”
            “Fiolina.”
            “Anggara.”
            “Apa betul kalian tidak punya keluarga dan tidak punya tempat tinggal lagi? interogasi sang bos pada mereka.
            “Benar, Pak. Kami anak-anak dari panti—“
            “Saya tidak tanya kalian berasal darimana. Yang saya tanyakan, apa kalian tidak punya keluarga atau tempat tinggal lagi?” senggak Maulana sambil menepuk meja kerjanya. Keduanya mengangguk pelan menjawab pertanyaan dari lelaki bertampang sangar dan muram itu.
            Maulana berpikir sebentar sembari menimbang-nimbang apakah mereka berdua bisa tinggal dan bekerja bersama dengan dia. Sempat terlintas di pikiran kalau ia tidak menerima akan menerima mereka berdua untuk bergabung. Namun begitu melihat wajah Fiolina yang manis, menggemaskan juga memiliki daya tarik seksual, membuat bos besar para pengamen itu berubah pikiran.
            “Baiklah kalau begitu. Kalian berdua saya terima bergabung dengan kami. Untuk kamu, Anggara, kamu harus bergabung dengan mereka, cari uang sebanyak  mungkin dengan cara mengamen. Kamu, Fiolina, kamu saya butuh kamu sebagai juru kebersihan rumah ini. Omong-omong, kamu bisa memasak?”
            “Tidak terlalu, Pak.”
            “Tidak apa-apa. Kamu tidak usah ikut mengamen. Kamu tinggal di rumah ini saja. Bantu pekerjaan para pembantu saya,” ujar Maulana sambil mengulas senyum.                        
            Mendengar keputusan dari bos mereka saat ini, membuat Anggara jadi was-was. Sorot matanya mengarah  pada Maulana. Jangan sampai dia berani-beraninya menyentuh Fiolina, ucap batin Anggara.
***
            Empat hari berlalu begitu saja. Anggara berkutat dengan pekerjaan barunya sebagai pengamen jalanan. Begitu pula dengan Fiolina. Ia terlihat cekatan dan terampil dalam mengurus kebersihan kediaman bos Maulana. Lelaki paruh baya itu sering kali melontar pujian mengenai hasil kerjaa gadis itu. Dan diam-diam, Maulana sering berfantasi liar jika ia sedang bersetubuh dengan gadis remaja 14 tahun itu. Membayangkan kedua tangan kukuhnya memegangi pinggul gadis itu. Menikmati goyangan tubuh kurus gadis itu seirama dengan hentakan yang dia berikan dari belakang. Menghayalkan bagaimana kalau dia dan gadis itu sama-sama mengekspresikan kepuasan melalui suara lenguhan panjang. Oh tak terkira nikmatnya, pikir Maulana.    
            Kelihatan Dewi Fortuna memberikan kesempatan itu pada Maulana ketika Fiolina sedang mengelap meja makan di dapur. Lelaki paruh baya itu tak dapat menahan letupan berahi di dalam kepala yang ingin dilampiaskan pada gadis itu. Ia melangkah hati-hati menuju dapur.
            “Fio, sudah kamu bersihkan lantai dapur ini?” tanya Maulana sambil berpura-pura menatap lantai akan tetapi fokusnya pada gerakan pinggul gadis itu.
            “Sudah, Pak. Fio tidak membersihkan meja dan mempersiapkan menu makan siang,” jawab gadis kurus itu.
            Maulana terus melangkah sampai ia sudah berada di belakang Fiolina. Kini ia tak bisa melepaskan tatapan bola matanya mengamati liukan pantat dan pinggul gadis itu yang mulai menggoda akal sehatnya. Ia perlahan mendekati gadis itu namun Fiolina mulai menyadari tingkah aneh lelaki paruh baya itu.
            “Pak Maulana, mau ngapain ya?” tanya gadis manis hidung mancung itu sambil menggeser badan memberi jarak pada Maulana agar tidak terlalu dekat.
            “Saya cuma ingin lihat hasil kerja kamu saja, Fio,” Akan tetapi semakin Fiolina menjauh, Maulana semakin dekat. Hingga ia tak bisa menahan luap gejolak berahi, Maulana yang sudah dikuasai nafsu mendekap kencang gadis itu hingga keduanya terjatuh.
            Fiolina terus memberontak dengan memberikan pukulan di wajah dan badan lelaki itu akan tetapi tak sedikit pun rasa sakit dirasakan Maulana. Ia tetap berusaha menciumi wajah, bibir dan leher gadis itu. Fiolina mulai mengendurkan perlawanannya. Percuma saja. Ia kalah dalam segi tenaga. Tidak tidak dapat berbuat apa-apa lagi selain menyerahkan tubuhnya untuk memuaskan nafsu binatang lelaki itu.
            Ketika Maulana hendak membuka celana jinsnya, ia melihat lelehan darah mengalir tempurung bagian belakang. Dia melihat sosok lelaki yang sudah dikenalnya dengan sorot mata nyala, penuh amarah memegang guci porselen yang tidak utuh lagi bentuknya.
             “Kau... ANAK BRENGSEK!!!” Maulana menerjang tubuh Anggara hingga punggungnya berdebuk keras menimpa permukaan lantai. Lelaki berkumis lebat itu memberikan bogem mentah berulang kali ke wajah Anggara sampai titik darah muncul dari lubang hidung dan bibir yang tersobek. Sialnya lelaki remaja itu tak bisa memberikan serangan balasan karena dia sendiri dalam posisi terjepit. Maulana duduk di atas perutnya sambil tangan kiri mencekik lehernya.
            Anggara hampir mencapai batasnya untuk bertahan. Ia mulai merasakan sesak di leher dan dada. Hela napasnya tercekat satu-satu. Pandangan mata mulai mengabur, berkunang-kunang. Ketika sakratul maut hendak memanggil dirinya, Anggara dikejutkan dengan suara rintih kesakitan dari Maulana. Sekilas ia melihat bosnya memegangi lehernya yang sudah bersimbah darah. Maulana bangkit dari tubuh Anggara lalu berpaling ke arah Fiolina yang sedang menggenggam sebilah pisau.
            Tubuh Fiolina gemetar hebat ketika Maulana mendekat padanya. Sorot mata Maulana yang nanar seolah memberitahu kalau ia akan segera menghabisi gadis itu secepat mungkin. Dalam posisi panik dan buntu, Fiolina jadi tidak bisa melakukan apa-apa walau pisau itu masih tergenggam erat di tangan. Ia merasakan kalau otot lengannya tidak kuasa mengangkat pisau itu memberikan sejumlah tusukan di bagian perut.
            Tiba-tiba Maulana berhenti begitu saja di hadapannya. Fiolina melirik ke arah perut sebelah kiri bosnya ditembus sebuah mata parang lancip. Lelaki berkumis tipis itu  membeliakkan bola mata sampai terlihat bagian paling putih. Maulana mengeluarkan suara rintihan kesakitan begitu dalam untuk terakhir kalinya sebelum tubuh gempalnya ambruk menimpa lantai keramik.
            Sekonyong-konyong para pengamen berkerumun menyaksikan bos mereka sudah tak bernyawa di tangan Anggara. Mereka masih tak percaya kalau Anggara dan Fiolina sudah membunuh orang yang telah menampung dan memberi mereka mata pencaharian.
            “Apa yang telah kalian lakukan pada bos?!” ucap salah satu pengamen laki-laki yang berada di sana, keras.
            “Dia... bajingan ini mau memperkosa Fiolina dan dia... berusaha ingin membunuhku,” jawab Anggara dengan embus napas tersengal. Dalam hati, ia masih tidak menyangka bagaimana dia bisa berbuat sejauh itu pada bos Maulana.
            “Jadi apa yang mesti kita lakukan pada mayat bos kita? Kalau sampai berita ini menyebar kita bisa ditangkap oleh polisi,” sambung seorang lelaki berwajah agak kekotakkan berdagu datar.   
            “Bagaimana kalau kita jual mayat bos ke pasar gelap?” usul salah seorang perempuan berambut kepang kuda.
            Semua orang yang berada di sana dikejutkan dengan ide perempuan itu lalu Anggara menanggapi usul perempuan itu, “ Pasar gelap? Maksudmu kita menjual bos ke pedagang organ tubuh ilegal? Dari mana kau punya jaringan ke sana?”
            “Dua minggu yang lalu, aku didatangi seseorang yang tidak kukenal dan ia bilang ‘kalau kau ingin menjual sesuatu untuk memenuhi kebutuhan hidupmu, kau bisa menghubungiku di kartu nama ini’. Dan begitu aku melihat profil kartu namanya, ia ternyata seorang... pedagang organ tubuh manusia...”  
            Semuanya sempat terdiam dan tersentak mendengar penjelasan perempuan kalau mereka akan menjual bos mereka pada orang-orang berbahaya. Akan tetapi Anggara memberikan reaksi mengejutkan dengan berkata, Siapa namamu? Berikan aku kartu namanya... Kita akan menjual bos Maulana padanya...”

No comments:

Post a Comment