Perekrutan
Sudah
satu jam yang lalu mereka menghubungi nomor yang tertera di kartu nama. Mereka
masih menunggu kedatangan para pedagang organ tubuh manusia ilegal. Para
pengamen melihat Anggara dengan tatapan jeri. Sementara itu, Fiolina yang
berada di dekatnya mempertanyakan keputusan temannya.
“Kau
yakin mau berurusan dengan mereka? Kita tidak mengenal mereka sama sekali. Dan
kau setuju begitu saja dengan ide perempuan itu...,”
“Aku
yakin dengan apa yang kulakukan. Dan lagi pula, uang hasil penjualan bisa dibagi-bagi
pada teman-teman kita.”
Suara
decit ban mobil bergesekan dengan aspal mengarahkan konsentrasi mereka ke luar.
Para pengamen berbondong-bondong melihat ke arah gorden guna memastikan apa
yang mereka tunggu sudah tiba. Tiga orang berpakaian formal kemeja putih lengan
panjang, mengenakan jas safari, keluar dari mobil. Salah satu dari mereka
mengeluarkan handphone dari saku
celana satin. Tiba-tiba saja handphone Maulana
berbunyi. Anggara langusng mengangkat panggilan itu.
“Halo,
kami sudah tiba di depan rumah Anda.”
Anggara
sigap membuka pintu luar. Ketiga lelaki itu yakin kalau mereka tidak salah
alamat. Anggara mempersilakan mereka masuk. Ketiga lelaki yang berusia
kira-kira 25 tahun sampai dengan 27 tahun memasuki ruang tamu.
“Mana
mayat yang kamu bilang itu?” Laki-laki berkacamata hitam bersuara alto sanggup
membuat perhatian para pengamen itu tertuju padanya. Mereka bergeming, tak
berani merespons apapun. Mereka menyerahkan urusan mayat bos mereka sepenuhnya
pada Anggara dan ketiga lelaki misterius itu.
“Iya
berada di dapur,” jawab Anggara sekenanya. Mereka langsung menuju ke sana
didampingi dengan Anggara. Mayat Maulana ditutup dengan sebuah selimut hijau
tebal dari ujung kaki hingga kepala. Ketiga lelaki itu mengambil posisi
masing-masing. Satu berada di sebelah kiri dan dua lagi berada di sebelah kanan
mayat itu.
Anggara
hanya mengamati kegiatan ketiga lelaki itu dari kejauhan. Mereka sudah membuka
sebuah koper berisi alat-alat membedah atau mengoperasi tubuh manusia. Tiga
botol alkohol, kapas, jarum, gunting dan berbagai alat bedah tubuh sudah
lengkap di koper itu. Ketiga lelaki itu sudah mengenakan baju hijau yang sering
dipakai para dokter bedah.
Langkah
pertama, mereka mulai mendesain sketsa sayatan di bagian perut, dada dan tengkorak.
Begitu mendapat bentuk sayatan yang tepat dan akurat, mereka mulai menuangkan
alkohol berkadar 90% di bagian perut dan dada. Pandangan Anggara seakan tak
bisa lepas dari aktivitas ketiga lelaki itu. Dengan pisau yang mereka sudah
pegang, sayatan dilakukan di perut. Ujung pisau yang tajam mulai menembus
daging Maulana hingga terlihat uraf saraf yang menempel di dalam daging itu.
Teman-teman Anggara menggeleng ngeri dan tidak
percaya kalau lelaki berusia lima belas tahun itu begitu menikmati tontonan
horor itu.
“Setan
apa yang merasuki jiwa Anggara hingga dia tidak mengedipkan matanya melihat
mereka?” Fiolina menggeleng tidak tahu menanggapi pertanyaan dari Yanto.
Sudah
satu setengah jam berlalu, ketiga lelaki itu sudah memperoleh ginjal, hati dan
pankreas dari mayat Maulana. Mereka menuangkan sedikit alkohol ke tubuh lelaki
paruh baya itu. Ketiganya melakukan pemotongan dengan menyayat dada secara
vertikal hingga batas tulang selangka.
Mereka
mengoleskan alkohol berkadar rendah di bagian yang akan diambil agar pendarahan
tidak begitu fatal. Organ tubuh yang akan mereka ambil yakni paru-paru. Semacam
pipa bercabang dua yang menjadi tempat
bergantung sepasang paru-paru hitam itu, mulai diiris perlahan-lahan hingga
satu buah paru-paru sudah lepas.
Kini tiba gilirannya di bagian jantung. Para
‘dokter bedah’ mulai melakukan pemotongan pembuluh darah arteri dan vena.
Mereka iris pelan-pelan, begitu hati-hati hingga jantung itu siap diletakkan di
atas nampan berwarna perak mengilap.
Bulir-bulir
keringat menghiasi kening ketika lelaki itu. Mereka melepas masker yang
menutupi bagian hidung dan mulut. Pengambilan organ tubuh sampai penjahitan
kembali memakan waktu hampir empat jam. Ketiganya menanyakan letak kamar mandi
guna mencuci sarung tangan karet yang mereka kenakan. Ketiga lelaki yang masih
mengenakan pakaian hijau itu, meminta segelas air minum pada Fiolina. Perempuan
berkulit cokelat muda agak gemetar meletakkan gelas itu pada mereka. Perasaan
ngeri dan takut masih menguasai dirinya. Apalagi melihat tatap mata mereka
begitu dingin dan mungkin tanpa perasaan.
Ketiga
lelaki itu melepaskan daster hijau milik mereka dan dilipat kembali. Segala
alat bedah dan daster hijau dimasukkan ke dalam tas. Organ tubuh yang sudah
diambil disimpan sementara dalam lemari pendingin mini agar bertahan lama.
Begitu semua beres, mereka bertiga segera beranjak dari ruang tamu menuju
mobil. Namun tangan mereka menyentuh gagang pintu, salah satu dari mereka
mengecek kondisi di luar guna memastikan tidak ada yang memergoki mereka.
Setelah
kondisi dirasa aman, mereka bertiga mempercepat langkah menuju mobil. Akan
tetapi, Anggara langsung menghampiri, berdiri di hadapan mereka.
“Ada
apa, Nak?”
Kelu dan gagu mengunci lidah dan mulut
Anggara. Padahal semua kata-kata yang ingin disampaikan kepada mereka sudah
tersusun begitu sistematid dan jelas. Entah mengapa pada saat dirinya
mengatakan itu di depan mereka, semua itu malah buyar.
“Oh
ya aku lupa.” Lelaki berkacamata ala mafia itu membuka kenop lalu menggapai koper
yang tergeletak di karpet mobil. Sebelum diberikan kepada anak laki-laki itu,
ia menghitung uang terlebih dahulu. Ia mengambil lima ikat uang nominal seratus
ribu rupiah kemudian diberikan pada Anggara.
“Rp
30.000.000,00. Pergunakan uang ini sebaik mungkin. Sekarang pergilah.” Lelaki
berkacamata itu menyodorkan koper pada lelaki remaja itu. Anggara
menggenggam koper itu. Tetapi sebelum
apa yang dia katakan belum tersampaikan, ia belum mau pergi dari sana.
“Ada
apa lagi, Nak? Kami sudah memberikan apa yang kau butuhkan,” tanya lelaki
berjaket kulit hitam pada Anggara.
“Bo-bolehkah
aku bergabung dengan kalian?” Kallimat penuh keberanian itu akhirnya bisa
keluar dari mulut lelaki berusia lima belas tahun itu.
Awalnya
mereka sontak terkejut mendengar perkataan anak itu. Mereka diam cukup lama
lalu berpandangan satu sama lain. Tak disangka mereka tertawa terbahak-bahak.
Mungkin bagi mereka, apa yang dikatakan anak itu tidak lebih dari gurauan
seorang anak TK..
“Lelucon
yang bagus, Nak. Kau lebih cocok bergabung dengan grup lawak garing yang sering
muncul di TV,” respon lelaki yang sudah di duduk di jok tengah. Ia mengenakan
anting dan tindik di bagian bibir bawah.
“Aku
serius! Aku ingin bergabung dengan kalian!” seru Anggara. Keyakinan besar dan
membara tergambar jelas dari tatap matanya.
Secara
perlahan ketiga lelaki itu menghentikan tawa mereka. Mereka balas menatap
Anggara dengan dingin dan serius. “Hei anak kecil, dengarkan aku. Ini bukan
organisasi sembarangan seperti OSIS, Pramuka atau UKS. Ini adalah organisasi
transaksi jual beli organ manusia. Organisasi ini juga sudah terafiliasi dengan
jaringan internasional. Kami merekrut orang-organ yang berkompenten dengan
masalah perdagangan ataupun transplasi organ tubuh ilegal. Mana mungkin kami
merekrut anak-anak seperti kalian. Dan lagi pula apa tujuanmu bergabung dengan
kami?”
Ditanya
mengenai apa tujuannya bergabung dengan mereka, Anggara tidak pernah memikirkan
hal itu sebelumnya. Ia memilih bungkam daripada menjadi bahan tertawaan atau
cemoohan mereka.
“Lebih
baik kau pikirkan matang-matang jika kau ingin bergabung dengan kami,” pungkas
lelaki berkacamata ala mafia itu sambil memutar kunci, menekan pedal gas. Mobil
Avanza hitam melaju cepat meninggalkan Anggara dan rumah besar itu.

No comments:
Post a Comment