Tuesday, 17 July 2018

DUAL - 7

Perekrutan
            Sudah satu jam yang lalu mereka menghubungi nomor yang tertera di kartu nama. Mereka masih menunggu kedatangan para pedagang organ tubuh manusia ilegal. Para pengamen melihat Anggara dengan tatapan jeri. Sementara itu, Fiolina yang berada di dekatnya mempertanyakan keputusan temannya.
            “Kau yakin mau berurusan dengan mereka? Kita tidak mengenal mereka sama sekali. Dan kau setuju begitu saja dengan ide perempuan itu...,”
            “Aku yakin dengan apa yang kulakukan. Dan lagi pula, uang hasil penjualan bisa dibagi-bagi pada teman-teman kita.”
            Suara decit ban mobil bergesekan dengan aspal mengarahkan konsentrasi mereka ke luar. Para pengamen berbondong-bondong melihat ke arah gorden guna memastikan apa yang mereka tunggu sudah tiba. Tiga orang berpakaian formal kemeja putih lengan panjang, mengenakan jas safari, keluar dari mobil. Salah satu dari mereka mengeluarkan handphone dari saku celana satin. Tiba-tiba saja handphone Maulana berbunyi. Anggara langusng mengangkat panggilan itu.    
            “Halo, kami sudah tiba di depan rumah Anda.”
            Anggara sigap membuka pintu luar. Ketiga lelaki itu yakin kalau mereka tidak salah alamat. Anggara mempersilakan mereka masuk. Ketiga lelaki yang berusia kira-kira 25 tahun sampai dengan 27 tahun memasuki ruang tamu.
            “Mana mayat yang kamu bilang itu?” Laki-laki berkacamata hitam bersuara alto sanggup membuat perhatian para pengamen itu tertuju padanya. Mereka bergeming, tak berani merespons apapun. Mereka menyerahkan urusan mayat bos mereka sepenuhnya pada Anggara dan ketiga lelaki misterius itu.
              “Iya berada di dapur,” jawab Anggara sekenanya. Mereka langsung menuju ke sana didampingi dengan Anggara. Mayat Maulana ditutup dengan sebuah selimut hijau tebal dari ujung kaki hingga kepala. Ketiga lelaki itu mengambil posisi masing-masing. Satu berada di sebelah kiri dan dua lagi berada di sebelah kanan mayat itu.
            Anggara hanya mengamati kegiatan ketiga lelaki itu dari kejauhan. Mereka sudah membuka sebuah koper berisi alat-alat membedah atau mengoperasi tubuh manusia. Tiga botol alkohol, kapas, jarum, gunting dan berbagai alat bedah tubuh sudah lengkap di koper itu. Ketiga lelaki itu sudah mengenakan baju hijau yang sering dipakai para dokter bedah.
            Langkah pertama, mereka mulai mendesain sketsa sayatan di bagian perut, dada dan tengkorak. Begitu mendapat bentuk sayatan yang tepat dan akurat, mereka mulai menuangkan alkohol berkadar 90% di bagian perut dan dada. Pandangan Anggara seakan tak bisa lepas dari aktivitas ketiga lelaki itu. Dengan pisau yang mereka sudah pegang, sayatan dilakukan di perut. Ujung pisau yang tajam mulai menembus daging Maulana hingga terlihat uraf saraf yang menempel di dalam daging itu.
             Teman-teman Anggara menggeleng ngeri dan tidak percaya kalau lelaki berusia lima belas tahun itu begitu menikmati tontonan horor itu.
            “Setan apa yang merasuki jiwa Anggara hingga dia tidak mengedipkan matanya melihat mereka?” Fiolina menggeleng tidak tahu menanggapi pertanyaan dari Yanto.
            Sudah satu setengah jam berlalu, ketiga lelaki itu sudah memperoleh ginjal, hati dan pankreas dari mayat Maulana. Mereka menuangkan sedikit alkohol ke tubuh lelaki paruh baya itu. Ketiganya melakukan pemotongan dengan menyayat dada secara vertikal hingga batas tulang selangka.
            Mereka mengoleskan alkohol berkadar rendah di bagian yang akan diambil agar pendarahan tidak begitu fatal. Organ tubuh yang akan mereka ambil yakni paru-paru. Semacam pipa bercabang dua  yang menjadi tempat bergantung sepasang paru-paru hitam itu, mulai diiris perlahan-lahan hingga satu buah paru-paru sudah lepas.    
              Kini tiba gilirannya di bagian jantung. Para ‘dokter bedah’ mulai melakukan pemotongan pembuluh darah arteri dan vena. Mereka iris pelan-pelan, begitu hati-hati hingga jantung itu siap diletakkan di atas nampan berwarna perak mengilap.
            Bulir-bulir keringat menghiasi kening ketika lelaki itu. Mereka melepas masker yang menutupi bagian hidung dan mulut. Pengambilan organ tubuh sampai penjahitan kembali memakan waktu hampir empat jam. Ketiganya menanyakan letak kamar mandi guna mencuci sarung tangan karet yang mereka kenakan. Ketiga lelaki yang masih mengenakan pakaian hijau itu, meminta segelas air minum pada Fiolina. Perempuan berkulit cokelat muda agak gemetar meletakkan gelas itu pada mereka. Perasaan ngeri dan takut masih menguasai dirinya. Apalagi melihat tatap mata mereka begitu dingin dan mungkin tanpa perasaan.
            Ketiga lelaki itu melepaskan daster hijau milik mereka dan dilipat kembali. Segala alat bedah dan daster hijau dimasukkan ke dalam tas. Organ tubuh yang sudah diambil disimpan sementara dalam lemari pendingin mini agar bertahan lama. Begitu semua beres, mereka bertiga segera beranjak dari ruang tamu menuju mobil. Namun tangan mereka menyentuh gagang pintu, salah satu dari mereka mengecek kondisi di luar guna memastikan tidak ada yang memergoki mereka.
              Setelah kondisi dirasa aman, mereka bertiga mempercepat langkah menuju mobil. Akan tetapi, Anggara langsung menghampiri, berdiri di hadapan mereka.
            “Ada apa, Nak?”
             Kelu dan gagu mengunci lidah dan mulut Anggara. Padahal semua kata-kata yang ingin disampaikan kepada mereka sudah tersusun begitu sistematid dan jelas. Entah mengapa pada saat dirinya mengatakan itu di depan mereka, semua itu malah buyar.
            “Oh ya aku lupa.” Lelaki berkacamata ala mafia itu membuka kenop lalu menggapai koper yang tergeletak di karpet mobil. Sebelum diberikan kepada anak laki-laki itu, ia menghitung uang terlebih dahulu. Ia mengambil lima ikat uang nominal seratus ribu rupiah kemudian diberikan pada Anggara.
            “Rp 30.000.000,00. Pergunakan uang ini sebaik mungkin. Sekarang pergilah.” Lelaki berkacamata itu menyodorkan koper pada lelaki remaja itu. Anggara menggenggam  koper itu. Tetapi sebelum apa yang dia katakan belum tersampaikan, ia belum mau pergi dari sana.
            “Ada apa lagi, Nak? Kami sudah memberikan apa yang kau butuhkan,” tanya lelaki berjaket kulit hitam pada Anggara.
            “Bo-bolehkah aku bergabung dengan kalian?” Kallimat penuh keberanian itu akhirnya bisa keluar dari mulut lelaki berusia lima belas tahun itu.
            Awalnya mereka sontak terkejut mendengar perkataan anak itu. Mereka diam cukup lama lalu berpandangan satu sama lain. Tak disangka mereka tertawa terbahak-bahak. Mungkin bagi mereka, apa yang dikatakan anak itu tidak lebih dari gurauan seorang anak TK..
            “Lelucon yang bagus, Nak. Kau lebih cocok bergabung dengan grup lawak garing yang sering muncul di TV,” respon lelaki yang sudah di duduk di jok tengah. Ia mengenakan anting dan tindik di bagian bibir bawah.
            “Aku serius! Aku ingin bergabung dengan kalian!” seru Anggara. Keyakinan besar dan membara tergambar jelas dari tatap matanya.
            Secara perlahan ketiga lelaki itu menghentikan tawa mereka. Mereka balas menatap Anggara dengan dingin dan serius. “Hei anak kecil, dengarkan aku. Ini bukan organisasi sembarangan seperti OSIS, Pramuka atau UKS. Ini adalah organisasi transaksi jual beli organ manusia. Organisasi ini juga sudah terafiliasi dengan jaringan internasional. Kami merekrut orang-organ yang berkompenten dengan masalah perdagangan ataupun transplasi organ tubuh ilegal. Mana mungkin kami merekrut anak-anak seperti kalian. Dan lagi pula apa tujuanmu bergabung dengan kami?”
            Ditanya mengenai apa tujuannya bergabung dengan mereka, Anggara tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya. Ia memilih bungkam daripada menjadi bahan tertawaan atau cemoohan mereka.
            “Lebih baik kau pikirkan matang-matang jika kau ingin bergabung dengan kami,” pungkas lelaki berkacamata ala mafia itu sambil memutar kunci, menekan pedal gas. Mobil Avanza hitam melaju cepat meninggalkan Anggara dan rumah besar itu.        

No comments:

Post a Comment