Saturday, 11 August 2018

DUAL - 9


Nyaris

Jonas mengamati seluruh berkas-berkas yang diangkut keluar dari lemari. Semua berkas berisi catatan laporan keuanagan dan transaksi organ tubuh. Namun bukan sekali saja ia mengamati serakan kertas-kertas itu. Ini sudah ketiga kali. Dari hasil pengamatan yang didapatkan bahwa dugaan manipulasi data mulai menguat dalam pikirannya.
            Aku sudah menduga kalau dua kutu itu ingin berkhianat dengan grup, kata batin Jonas.
            Lelaki berkacamata petak itu merapikan serakan kertas-kertas lalu dimasukkan kembali ke dalam map merah muda. Sambil merapikan kacamata petak yang agak miring, Jonas menoreh seringai jahat.
            Tidak mengasyikan kalau langsung menghabisi kedua kutu itu sendirian. Lebih baik aku memaksa si kalem binal Chyntia untuk membuka mulutnya.
            Selesai dengan urusan berkas, Jonas menegakkan kaki kiri kemudian perlahan-lahan mengangkat badannya untuk berdiri. Ia menyingkirkan sisa-sisa debu yang menempel di celana jinsnya kemudian berjalan meninggalkan ruang arsip HOVTA.
            “Sekarang giliran kalian memasukkan map-map itu ke dalam lemari. Ayo,” suruh Jonas sambil melangkah santai meninggalkan dua anggotanya dengan perintah membereskan pekerjaan yang seharusnya ia kerjakan.
***
            Ibu Suratmi melihat anak laki-laki berusia tiga belas tahun berlari padanya. Ia merentangkan tangan, menyambut dengan ulas senyum bahagia dan tiitk air mata mengumpul di sudut kelopak mata. Perempuan paruh baya itu menyongsong dengan membuka kedua tangannya lebar-lebar siap untuk memeluk putranya.
            “Ibu... Abdi sudah sembuh.” Perempuan itu mengerjakapkan kedua kelopak matanya. Sebelum bangkit, bola matanya mengitari sekelilingnya. Ia memastikan apakah dia masih berada di ruangan yang sama tempat Anggara dan Fiolina melakukan pengangkatan ginjal.
            “Sebaiknya Ibu jangan terlalu banyak bergerak. Jahitan di perut Ibu baru saja selesai setengah jam yang lalu.” Terlihat Anggara dan Fiolina melucuti pakaian hijau mereka dan sarung tangan karet. Pakaian hijau itu digantung dalam lemari sedangkan sarung tangan karet dibuang ke tong sampah.
            Ibu Suratmi masih dalam kondisi berbaring di atas ranjang beroda. “Bagaimana dengan uangnya?”
            “Ibu punya rekening?” tanya Anggara kemudian disusul dengan anggukan kepala Ibu Suratmi, ”uangnya kami akan transfer.”
            Perempuan paruh baya itu mencoba menaikkan badannya perlahan-lahan. Dan memang benar kata Anggara. Rasa nyeri mengganjal pergerakan Ibu Suratmi. Perempuan itu menggeser kedua tungkai kaki dari atas ranjang berusaha menapakkan telapak kakinya di atas permukaan lantai. Ia harus menahan rasa nyeri itu merasakan sensasi seperti melompat kecil dari tempat agak tinggi.
            “Aukh..., berapa yang akan kalian transfer?”tanya Suratmi sambil memegangi perutnya yang sakit.
            “Tiga belas juta rupiah,” jawab Anggara, cepat.
            Suratmi terbeliak dengan jumlah nominal uang yang dikatakan lelaki berambut agak pirang itu. Sepuluh juta. Perempuan paruh baya menggelengkan kepala dua kali. Ia sungguh-sungguh tidak percaya dengan apa yang dia dengar.
            “Ini bukan saya yang salah dengar kan?” Suratmi memberikan pertanyaan retoris.
            “Tidak. Ibu tidak salah dengar kok,” sambung Fiolina.
            “Dengar, Nak. Saya sudah bertanya dengan bos kalian dan dia bilang harga satu ginjal itu lima belas juta. Kenapa bisa turun segitu? Kalau kalian tidak percaya, saya akan tunjukkan buktinya.” Perempuan itu merogoh kantung celana pendek kain katun kemudian mengangkat handphone-nya. 
            Ketika Suratmi menunjukkan bukti percakapannya, Fiolina mengacungkan Colt 1911 tepat di jidat Suratmi. “anggap saja itu uang capek kami untuk mengangkat ginjalmu. Lagipula kami sudah bilang hal itu pada bos kami dan dia setuju.”
            Terkait benar atau tidaknya perkataan mereka, Suratmi enggan berkomentar. Perempuan tak punya keberanian mengatakan apa-apa. Ia memilih diam dan menuruti apa mau  mereka. Yang terpenting dia sudah punya uang untuk menebus obat anaknya.
            “Ikuti kami. Kami akan mengantarmu pulang,” ajak Anggara. Suratmi manut saja dengan ajakan mereka berdua.
            Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Anggara menyempatkan mentransfer sejumlah uang ke rekening Suratmi. Perempuan itu tampak lega walaupun dalam hati ia tidak rela kalau lima belas juta yang dijanjikan bos HOVTA dicatut oleh dua anggotanya. Tiba di depan  rumah sakit Harapan Kita, Fiolina yang duduk di samping Suratmi membukakan pintu untuknya. Sambil memegang perutnya, Suratmi turun pelan-pelan. Begitu sudah berada di luar mobil, Suratmi menundukkan badan seraya mengucapkan terimakasih.
            Akan tetapi sebelum meninggalkan rumah sakit, Anggara berkata, “Kalau lihat ada yang mencurigakan dengan tatap mata lelaki yang mengendarai Ninja RR tadi?”
            “Kau mau mengejarnya?”
            “Ya. Dan aku merasa, dia belum jauh dari sini. Siagakan senjatamu, Fio,” Anggara memutar kunci mobil bersamaan menginjak pedal gas. Mobil mereka melaju dengan keceparan 60km/jam. Anggara juga menginteruksikan agar Fiolina menarik gagang Colt 1911 dari rok jeansnya.
***
            Sudah empat jam lamanya mereka membuntuti mobil Xenia hitam berisi pasangan calon kepala daerah Jawa Barat. Pengintaian membosankan mereka berakhir ketika mobil  berhenti tepat di depan rumah bertingkat dua. Rumah itu ditopang dengan empat pilar beton berwarna cokelat muda. Di lantai dua terdapat balkon pagar besi dilapisi cat hitam dan vernis. Orang yang berada di dalam mobil membuka kaca samping. Satpam jaga langsung mendorong pagar baja yang merintangi akses masuk mobil itu.
            “Jadi ternyata ini rumah si Dedy Rahmad Yadi,” ucap Rudi disertai dengan anggukan kepala. Dalam hati ia meyakini kalau target mereka adalah orang kaya besar.
            Setelah mereka tahu di mana lokasi rumah dan bagaimana sistem keamanan pribadi calon target, Alvaro menyuruh Rudi untuk pergi dari sana. Mungkin di markas nanti mereka akan menyusun strategi menyingkirkan dua pengawal Dedy Rahmad Yadi terlebih dahulu.
            Baru lima belas menit setelah meninggalkan kediaman calon gubernur Jawa Barat, mereka diusik dengan suara geberan motor gede jenis Ninja Warrior.
            “Apakah kita perlu berkonfrontasi langsung dengan mereka, Varo?” tanya Rudi sambil melirik sedikit kaca spion. Motor itu kelihatan semakin mendekat mereka.
            “Tidak usah dilayani. Lebih baik cari cara untuk meloloskan diri. Tambahkan kecepatan,” tahan Alvaro seraya memberikan aba-aba mempercepat laju mobil.
            Rudi menaikkan tuas persneling kemudian menekan pedal gas. Jarum spedometer Xenia hitam itu naik dratis menunjukkan angka 80 km/jam. Akan tetapi motor gede di belakang mereka tidak mau kalah. Mereka yang merupakan pengawal pribadi Dedy Rahmad Yadi tak ingin ketinggalan jejak para penguntit mereka. Keduanya sudah tahu kalau tadi mereka tengah dimata-matai ketika melihat melihat mobil Camry cokelat karamel melenggang pelan di jalan raya dengan jarak lima puluh meter.
            Kini mereka sudah memasuki jalan raya. Kondisi jalan diramaikan dengan puluhan kendaraan bermotor membuat badan jalan sepanjang sepuluh meter hampir tak ada celah untuk menyalip. Sementara itu dua laki-laki berhelm hijau dan hitam akan mendekati mereka bertiga. Tinggal sepuluh meter jarak mereka dengan Ninja Warrior milik dua pengawal Dedy Rahmad Yadi.
            Rambu lalu lintas yang terpancang sudah berganti lampu hijau. Rudi langsung tancap gas memutar setir ke kiri. Ia memutar tuas persneling dan kini kecepatan mobil meningkat 90km/jam. Alvaro tak banyak komentar. Ia memilih menyerahkan urusan pelarian diri pada Rudi. Sebab temannya satu ini sudah paham seluk beluk dan jalan-jalan pintas di wilayah Jakarta Timur.
            Hampir saja mobil mereka lepas kendali ketika menghindari sepeda motor yang hendak menyebrang ke tengah jalan. Pengendara motor itu mengeluarkan kata-kata makian kotor pada Rudi. Lelaki berkaus hitam itu tetap konsentrasi pada jalan. Dan syukurlah mereka dua pengawal itu tidak terlihat lagi.
            “Apa mereka sudah menyerah?” tanya Aretha. Baru kali ini dirinya berbicara. Air mukanya terlihat sedikit pucat. Dalam hati, ia ingin sekali memaki-maki tindakan Rudi yang terbilang nekat dan mengancam nyawa. Tapi hal itu tidaklah penting. Yang penting mereka harus bisa meloloskan diri dari kejaran para pengawal calon gubernur Jawa Barat itu.
            Rudi melirik sedikit ke arah kaca spion kiri. Sampai saat itu, belum ada tanda-tanda bahwa para pengawal itu berhasil menyusul mereka. Mereka bertiga langsung mengembuskan napas lega.
            “Syukurlah,” ucap Alvaro, lega.
            Mereka berada di pemukiman padat penduduk. Walaupun begitu, aktivitas di sana tidak terlalu ramai. Terkesan sepi. Akan tetapi, di tengah kelegaan yang mereka rasakan, Rudi tersentak ketika telinga kecilnya mendengar raungan knalpot motor besar mendekati mobil mereka.
            “Oh tidak. Mereka berhasil menemukan kita.”
            “Mereka belum menyerah juga. Kalau begitu tidak ada jalan lain.” Alvaro bersiaga memegang gagang pistol. Rudi juga bersiap dengan belati di tangan kanannya. Aretha membuka tas sandangnya lalu menarik pistol yang ada di dalamnya.  Alvaro mengisyaratkan kepada Aretha untuk bergeser sedikit ke kiri biar dirinya berada di pintu sebelah kanan.
            “Dalam hitungan ketiga, kau dan aku dorong pintu sekuat mungkin. Ketika mereka terjatuh di situlah kesempatan kita untuk melarikan diri,” instruksi Alvaro dengan berbisik pelan pada temannya. Rudi mengangguk tegas dengan perintah dari temannya.
            Dua pengejarbermotor turun dari motor mereka lalu menggebrak pintu dan kaca mobil. Sementara di dalam mobil, Alvaro mulai menghitung.
            “1...2...3.” Begitu sampai di angka tiga, Rudi dan Alvaro menekan kenop pintu, mendorong pintu sekuat mungkin. Dua pengawal Dedy Rahmad Yadi terlempar ke belakang. Mereka bertiga memanfaatkan kesempatan itu untuk keluar dari mobil. Rudi, Alvaro dan Aretha menodongkan senjata mereka pada dua pengejar bermotor itu.
            “Bergerak atau kalian mati,” ancam Alvaro. Mereka yang sempat bangkit berdiri harus menahan gerak badan mereka. Posisi dua pengejar itu sedang terjepit. Dua lelaki pengawal Dedy Rahmad Yadi melotot marah pada Alvaro dan Rudi. Namun mereka bertiga mundur pelan-pelan sambil tangan mereka tetap memegang senjata. Saat jarak mereka bertiga cukup untuk melarikan diri, Alvaro, Rudi, Aretha memalingkan badan, berlari sekencang mungkin.
            “Cepat berdiri, Sam. Jangan sampai mereka kabur,” desak Amran, satu dari dua pengawal itu. Kedua lelaki itu sigap berdiri sambil menyiagakan revolver di tangan mereka.
            Tungkai kaki mereka bertiga bergerak bagai kuda berlari. Penduduk yang bermukim di sana heran melihat tingkah laku pemuda asing yang berlari-lari di tempat mereka. Para pengawal itu masih mengikuti ke mana mereka berlari. Mungkin mereka sudah berlari selama sepuluh menit. Tapi ketiga belum melihat tempat cocok untuk bersembunyi sambil memikirkan cara menyerang dua pengawal itu. Sebuah asa muncul ketika ekor mata Alvaro menemukan sebuah belokan kecil. Alvaro memberikan aba-aba pada kedua temannya mengambil jalan sebelah kiri dekat bekas pabrik pengilangan padi.  Untung saja pintu pabrik itu sudah rusak dan tersingkap sedikit. Lelaki berambut cepak itu menyuruh kedua temannya buru-buru memasuki bagian dalam pabrik.
            Mereka bertiga menyandarkan badan di samping mesin kilang padi modern. Dua pengawal itu sudah berada di depan pabrik pengilangan padi. “Kau yakin mereka tadi ke sini?” tanya Amran.
            “Aku yakin mereka ada di sini. Apa mungkin mereka ada di dalam sini?” Sam menduga seraya menunjuk ke pintu pabrik.
            “Tidak ada salahnya untuk memeriksa. Ayo kita masuk.” Dua pengawal pribadi Dedy Rahmad Yadi, Sam dan Amran, melangkahkan kaki memasuki bagian dalam pabrik. Sementara itu, Alvaro tersentak ketika dua pengawal itu sudah berada di dalam pabrik.
            Sial! maki batin Alvaro. Ia merasakan firasat kalau mereka berdua akan menuju ke tempat persembunyian mereka. Alvaro memberikan aba-aba berupa bahasa isyarat untuk berjinjit, memutari mesin raksasa pengilangan padi itu. Belum ada tiga langkah mereka meninggalkan jejak, Sam dan Amran sudah berada di belakang mereka sambil mengarahkan pucuk revolver pada mereka bertiga.
            “Berniat kabur?” tanya Amran penuh percaya diri. Ia mengangkuhkan diri seolah sudah memenangkan perlombaan besar.
            Alvaro masih berdiri membelakangi dua pengawal itu. Ia menorehkan senyum kecil yang tak terlihat oleh mereka berdua. “Tidak. Aku hanya merasa malu menampakkan wajah burukku di hadapan orang yang tak kukenal.” Diam-diam, tangan Alvaro menarik bagian atas pistol miliknya.
            “Kami tidak punya waktu untuk meneladani obrolan pecundang macam kalian. Lagipula kami hanya diperintahkan untuk membawa kalian hidup-hidup pada bos kami.” Tangan Amran mulai gatal untuk menekan pelatuk revolver miliknya.
            “Hmm kalau begitu...,” dalam sekejap mereka bertiga sudah berbalik badan. Sudah empat kali Alvaro menekan pelatuk pistolnya, akan tetapi tidak satupun dari empat peluru itu menembus tubuh mereka berdua. Padahal jarak antara ujung pistol dan bidikan begitu dekat. Tak mungkin peluru-peluru itu meleset begitu saja. Kedua pengawal itu tertawa terbahak-bahak sambil memukul-mukul badan mereka. Sam memberikan serangan balik dengan menembak lengan dan paha Alvaro. Tubuhnya ambruk menimpa lantai semen berdebu.
            “Alvaro!” pekik Aretha. Rudi mengayunkan belatinya ke arah perut Sam. Akan tetapi, belati Rudi pun tak meninggalkan bekas sedikitpun pada perutnya. Tak percaya dengan apa yang dilihatnya, Rudi mengayunkan kembali belatinya ke pundak Sam. Hal yang sama terjadi. Belati itu tak bisa memberikan segores luka dan darah pada pundak Sam. Rudi menduga kalau mereka menguasi ilmu kebal badan yang membuat mereka tidak mempan akan peluru dan senjata tajam.
            Tak bisa memberikan perlawanan berarti, Sam mengarahkan ujung pistol ke perut Rudi. Letupan pistol itu begitu keras berbanding lurus dengan luka yang diterima Rudi. Lelaki kurus berkaus hitam itu jatuh berlutut di hadapan Sam. Ia berusaha memegangi perut sebelah kiri agar darah tidak terus mengalir dari sana.
            Tubuh Aretha menggigil ketika mengetahui kedua kawannya sudah ditakhlukan kedua pengawal Dedy Rahmad Yadi. Sampai-sampai ia tidak sanggup mengangkat pistol yang dia pegang di tangannya.
            “Aretha...,” lirih Alvaro sambil menahan perih di bagian paha. Aretha menoleh.
            “Kau... bawa... m-empat peluru itu?” tanya Alvaro dengan suara tercekat.
            Aretha bereaksi cepat ketika tahu apa maksud perkataan Alvaro. Ia membuka tas sandang kecil miliknya lalu mengambil dua peluru perak dan dua peluru emas di dalamnya.
            “Kenapa kalian masih melawan? Pembunuh bayaran amatiran seperti kalian takkan bisa membunuh kami,” tanya Amran sambil berusaha membunuh mental Aretha yang tadi sempat jatuh.
            Aretha menarik ujung pemicu pistol mengeluarkan sepuluh peluru biasa di dalamnya untuk digantikan dengan empat peluru yang dikatakan Alvaro. Kalau tadi ketakutan menguasai pikiran Aretha, sekarang dirinya begitu berani mengacungkan pistol ke arah mereka berdua.
            Peluru perak itu berhasil menembus kening Amran dan lelaki berjaket kulit cokelat muda itu roboh begitu saja. Tak terima kawannya mati di hadapannya, Sam dengan kecepatannya menekan pelatuk pistol berhasil mengenai Aretha di bagian dada sebelah kanan. Namun peluru dari revolver Aretha juga menembus Sam tepat di bagian jantung. Lelaki berjerawat kecil itu memuntahkan darah dari mulutnya. Ia hampir saja terjatuh tetapi Sam menahan badannya dengan refleks mendorong kaki kanan ke depan dan tangan kiri memegang paha. Lelaki itu tahu bahwa ia takkan bertahan lebih lama. Ia bersiap-siap mengarahkan pistol ke kening Aretha sebagai serangan terakhir darinya.
            Walaupun dengan kondisi luka cukup serius, Rudi berhasil membenanmkan setengah dari belati miliknya ke perut Sam. Bola mata Sam terbeliak lebar sampai terlihat bagian putihnya saja. Tubuh Sam begitu ringannya menimpa lantai tanah, mengeluarkan bunyi gedebuk pada permukaan lantai semen. Rudi membiarkan parang itu bersarang di perut lelaki berjerawat kecil itu lalu menyandarkan punggungnya pada dinding kayu.
***
            I’ve caught you,” ucap Anggara dengan wajah ceria. Ia bersama dengan Fiolina turun dari mobil. Lelaki bermotor besar itu juga turun dari tunggangannhya lalu membuka kaca helm.

No comments:

Post a Comment