Nyaris
Jonas mengamati seluruh berkas-berkas yang diangkut
keluar dari lemari. Semua berkas berisi catatan laporan keuanagan dan transaksi
organ tubuh. Namun bukan sekali saja ia mengamati serakan kertas-kertas itu.
Ini sudah ketiga kali. Dari hasil pengamatan yang didapatkan bahwa dugaan
manipulasi data mulai menguat dalam pikirannya.
Aku sudah menduga kalau dua kutu itu ingin
berkhianat dengan grup, kata batin Jonas.
Lelaki
berkacamata petak itu merapikan serakan kertas-kertas lalu dimasukkan kembali
ke dalam map merah muda. Sambil merapikan kacamata petak yang agak miring,
Jonas menoreh seringai jahat.
Tidak mengasyikan kalau langsung menghabisi
kedua kutu itu sendirian. Lebih baik aku memaksa si kalem binal Chyntia untuk
membuka mulutnya.
Selesai
dengan urusan berkas, Jonas menegakkan kaki kiri kemudian perlahan-lahan
mengangkat badannya untuk berdiri. Ia menyingkirkan sisa-sisa debu yang
menempel di celana jinsnya kemudian berjalan meninggalkan ruang arsip HOVTA.
“Sekarang
giliran kalian memasukkan map-map itu ke dalam lemari. Ayo,” suruh Jonas sambil
melangkah santai meninggalkan dua anggotanya dengan perintah membereskan
pekerjaan yang seharusnya ia kerjakan.
***
Ibu
Suratmi melihat anak laki-laki berusia tiga belas tahun berlari padanya. Ia
merentangkan tangan, menyambut dengan ulas senyum bahagia dan tiitk air mata
mengumpul di sudut kelopak mata. Perempuan paruh baya itu menyongsong dengan
membuka kedua tangannya lebar-lebar siap untuk memeluk putranya.
“Ibu...
Abdi sudah sembuh.” Perempuan itu mengerjakapkan kedua kelopak matanya. Sebelum
bangkit, bola matanya mengitari sekelilingnya. Ia memastikan apakah dia masih
berada di ruangan yang sama tempat Anggara dan Fiolina melakukan pengangkatan
ginjal.
“Sebaiknya
Ibu jangan terlalu banyak bergerak. Jahitan di perut Ibu baru saja selesai
setengah jam yang lalu.” Terlihat Anggara dan Fiolina melucuti pakaian hijau
mereka dan sarung tangan karet. Pakaian hijau itu digantung dalam lemari
sedangkan sarung tangan karet dibuang ke tong sampah.
Ibu
Suratmi masih dalam kondisi berbaring di atas ranjang beroda. “Bagaimana dengan
uangnya?”
“Ibu
punya rekening?” tanya Anggara kemudian disusul dengan anggukan kepala Ibu
Suratmi, ”uangnya kami akan transfer.”
Perempuan
paruh baya itu mencoba menaikkan badannya perlahan-lahan. Dan memang benar kata
Anggara. Rasa nyeri mengganjal pergerakan Ibu Suratmi. Perempuan itu menggeser
kedua tungkai kaki dari atas ranjang berusaha menapakkan telapak kakinya di
atas permukaan lantai. Ia harus menahan rasa nyeri itu merasakan sensasi
seperti melompat kecil dari tempat agak tinggi.
“Aukh...,
berapa yang akan kalian transfer?”tanya Suratmi sambil memegangi perutnya yang
sakit.
“Tiga
belas juta rupiah,” jawab Anggara, cepat.
Suratmi
terbeliak dengan jumlah nominal uang yang dikatakan lelaki berambut agak pirang
itu. Sepuluh juta. Perempuan paruh baya menggelengkan kepala dua kali. Ia
sungguh-sungguh tidak percaya dengan apa yang dia dengar.
“Ini
bukan saya yang salah dengar kan?” Suratmi memberikan pertanyaan retoris.
“Tidak.
Ibu tidak salah dengar kok,” sambung Fiolina.
“Dengar,
Nak. Saya sudah bertanya dengan bos kalian dan dia bilang harga satu ginjal itu
lima belas juta. Kenapa bisa turun segitu? Kalau kalian tidak percaya, saya
akan tunjukkan buktinya.” Perempuan itu merogoh kantung celana pendek kain
katun kemudian mengangkat handphone-nya.
Ketika
Suratmi menunjukkan bukti percakapannya, Fiolina mengacungkan Colt 1911 tepat
di jidat Suratmi. “anggap saja itu uang capek kami untuk mengangkat ginjalmu.
Lagipula kami sudah bilang hal itu pada bos kami dan dia setuju.”
Terkait
benar atau tidaknya perkataan mereka, Suratmi enggan berkomentar. Perempuan tak
punya keberanian mengatakan apa-apa. Ia memilih diam dan menuruti apa mau mereka. Yang terpenting dia sudah punya uang
untuk menebus obat anaknya.
“Ikuti
kami. Kami akan mengantarmu pulang,” ajak Anggara. Suratmi manut saja dengan
ajakan mereka berdua.
Dalam
perjalanan menuju rumah sakit, Anggara menyempatkan mentransfer sejumlah uang
ke rekening Suratmi. Perempuan itu tampak lega walaupun dalam hati ia tidak
rela kalau lima belas juta yang dijanjikan bos HOVTA dicatut oleh dua anggotanya.
Tiba di depan rumah sakit Harapan Kita,
Fiolina yang duduk di samping Suratmi membukakan pintu untuknya. Sambil
memegang perutnya, Suratmi turun pelan-pelan. Begitu sudah berada di luar
mobil, Suratmi menundukkan badan seraya mengucapkan terimakasih.
Akan
tetapi sebelum meninggalkan rumah sakit, Anggara berkata, “Kalau lihat ada yang
mencurigakan dengan tatap mata lelaki yang mengendarai Ninja RR tadi?”
“Kau
mau mengejarnya?”
“Ya.
Dan aku merasa, dia belum jauh dari sini. Siagakan senjatamu, Fio,” Anggara
memutar kunci mobil bersamaan menginjak pedal gas. Mobil mereka melaju dengan
keceparan 60km/jam. Anggara juga menginteruksikan agar Fiolina menarik gagang
Colt 1911 dari rok jeansnya.
***
Sudah
empat jam lamanya mereka membuntuti mobil Xenia hitam berisi pasangan calon
kepala daerah Jawa Barat. Pengintaian membosankan mereka berakhir ketika mobil berhenti tepat di depan rumah bertingkat dua.
Rumah itu ditopang dengan empat pilar beton berwarna cokelat muda. Di lantai
dua terdapat balkon pagar besi dilapisi cat hitam dan vernis. Orang yang berada
di dalam mobil membuka kaca samping. Satpam jaga langsung mendorong pagar baja
yang merintangi akses masuk mobil itu.
“Jadi
ternyata ini rumah si Dedy Rahmad Yadi,” ucap Rudi disertai dengan anggukan kepala.
Dalam hati ia meyakini kalau target mereka adalah orang kaya besar.
Setelah
mereka tahu di mana lokasi rumah dan bagaimana sistem keamanan pribadi calon
target, Alvaro menyuruh Rudi untuk pergi dari sana. Mungkin di markas nanti
mereka akan menyusun strategi menyingkirkan dua pengawal Dedy Rahmad Yadi
terlebih dahulu.
Baru
lima belas menit setelah meninggalkan kediaman calon gubernur Jawa Barat,
mereka diusik dengan suara geberan motor gede jenis Ninja Warrior.
“Apakah
kita perlu berkonfrontasi langsung dengan mereka, Varo?” tanya Rudi sambil
melirik sedikit kaca spion. Motor itu kelihatan semakin mendekat mereka.
“Tidak
usah dilayani. Lebih baik cari cara untuk meloloskan diri. Tambahkan
kecepatan,” tahan Alvaro seraya memberikan aba-aba mempercepat laju mobil.
Rudi
menaikkan tuas persneling kemudian menekan pedal gas. Jarum spedometer Xenia
hitam itu naik dratis menunjukkan angka 80 km/jam. Akan tetapi motor gede di
belakang mereka tidak mau kalah. Mereka yang merupakan pengawal pribadi Dedy
Rahmad Yadi tak ingin ketinggalan jejak para penguntit mereka. Keduanya sudah
tahu kalau tadi mereka tengah dimata-matai ketika melihat melihat mobil Camry
cokelat karamel melenggang pelan di jalan raya dengan jarak lima puluh meter.
Kini
mereka sudah memasuki jalan raya. Kondisi jalan diramaikan dengan puluhan
kendaraan bermotor membuat badan jalan sepanjang sepuluh meter hampir tak ada
celah untuk menyalip. Sementara itu dua laki-laki berhelm hijau dan hitam akan
mendekati mereka bertiga. Tinggal sepuluh meter jarak mereka dengan Ninja
Warrior milik dua pengawal Dedy Rahmad Yadi.
Rambu
lalu lintas yang terpancang sudah berganti lampu hijau. Rudi langsung tancap
gas memutar setir ke kiri. Ia memutar tuas persneling dan kini kecepatan mobil
meningkat 90km/jam. Alvaro tak banyak komentar. Ia memilih menyerahkan urusan
pelarian diri pada Rudi. Sebab temannya satu ini sudah paham seluk beluk dan
jalan-jalan pintas di wilayah Jakarta Timur.
Hampir
saja mobil mereka lepas kendali ketika menghindari sepeda motor yang hendak
menyebrang ke tengah jalan. Pengendara motor itu mengeluarkan kata-kata makian
kotor pada Rudi. Lelaki berkaus hitam itu tetap konsentrasi pada jalan. Dan
syukurlah mereka dua pengawal itu tidak terlihat lagi.
“Apa
mereka sudah menyerah?” tanya Aretha. Baru kali ini dirinya berbicara. Air
mukanya terlihat sedikit pucat. Dalam hati, ia ingin sekali memaki-maki tindakan
Rudi yang terbilang nekat dan mengancam nyawa. Tapi hal itu tidaklah penting. Yang
penting mereka harus bisa meloloskan diri dari kejaran para pengawal calon
gubernur Jawa Barat itu.
Rudi
melirik sedikit ke arah kaca spion kiri. Sampai saat itu, belum ada tanda-tanda
bahwa para pengawal itu berhasil menyusul mereka. Mereka bertiga langsung
mengembuskan napas lega.
“Syukurlah,”
ucap Alvaro, lega.
Mereka
berada di pemukiman padat penduduk. Walaupun begitu, aktivitas di sana tidak
terlalu ramai. Terkesan sepi. Akan tetapi, di tengah kelegaan yang mereka
rasakan, Rudi tersentak ketika telinga kecilnya mendengar raungan knalpot motor
besar mendekati mobil mereka.
“Oh
tidak. Mereka berhasil menemukan kita.”
“Mereka
belum menyerah juga. Kalau begitu tidak ada jalan lain.” Alvaro bersiaga
memegang gagang pistol. Rudi juga bersiap dengan belati di tangan kanannya.
Aretha membuka tas sandangnya lalu menarik pistol yang ada di dalamnya. Alvaro mengisyaratkan kepada Aretha untuk
bergeser sedikit ke kiri biar dirinya berada di pintu sebelah kanan.
“Dalam
hitungan ketiga, kau dan aku dorong pintu sekuat mungkin. Ketika mereka
terjatuh di situlah kesempatan kita untuk melarikan diri,” instruksi Alvaro
dengan berbisik pelan pada temannya. Rudi mengangguk tegas dengan perintah dari
temannya.
Dua
pengejarbermotor turun dari motor mereka lalu menggebrak pintu dan kaca mobil.
Sementara di dalam mobil, Alvaro mulai menghitung.
“1...2...3.”
Begitu sampai di angka tiga, Rudi dan Alvaro menekan kenop pintu, mendorong
pintu sekuat mungkin. Dua pengawal Dedy Rahmad Yadi terlempar ke belakang.
Mereka bertiga memanfaatkan kesempatan itu untuk keluar dari mobil. Rudi, Alvaro
dan Aretha menodongkan senjata mereka pada dua pengejar bermotor itu.
“Bergerak
atau kalian mati,” ancam Alvaro. Mereka yang sempat bangkit berdiri harus
menahan gerak badan mereka. Posisi dua pengejar itu sedang terjepit. Dua lelaki
pengawal Dedy Rahmad Yadi melotot marah pada Alvaro dan Rudi. Namun mereka
bertiga mundur pelan-pelan sambil tangan mereka tetap memegang senjata. Saat
jarak mereka bertiga cukup untuk melarikan diri, Alvaro, Rudi, Aretha
memalingkan badan, berlari sekencang mungkin.
“Cepat
berdiri, Sam. Jangan sampai mereka kabur,” desak Amran, satu dari dua pengawal
itu. Kedua lelaki itu sigap berdiri sambil menyiagakan revolver di tangan
mereka.
Tungkai
kaki mereka bertiga bergerak bagai kuda berlari. Penduduk yang bermukim di sana
heran melihat tingkah laku pemuda asing yang berlari-lari di tempat mereka.
Para pengawal itu masih mengikuti ke mana mereka berlari. Mungkin mereka sudah
berlari selama sepuluh menit. Tapi ketiga belum melihat tempat cocok untuk
bersembunyi sambil memikirkan cara menyerang dua pengawal itu. Sebuah asa
muncul ketika ekor mata Alvaro menemukan sebuah belokan kecil. Alvaro
memberikan aba-aba pada kedua temannya mengambil jalan sebelah kiri dekat bekas
pabrik pengilangan padi. Untung saja pintu
pabrik itu sudah rusak dan tersingkap sedikit. Lelaki berambut cepak itu
menyuruh kedua temannya buru-buru memasuki bagian dalam pabrik.
Mereka
bertiga menyandarkan badan di samping mesin kilang padi modern. Dua pengawal
itu sudah berada di depan pabrik pengilangan padi. “Kau yakin mereka tadi ke
sini?” tanya Amran.
“Aku
yakin mereka ada di sini. Apa mungkin mereka ada di dalam sini?” Sam menduga
seraya menunjuk ke pintu pabrik.
“Tidak
ada salahnya untuk memeriksa. Ayo kita masuk.” Dua pengawal pribadi Dedy Rahmad
Yadi, Sam dan Amran, melangkahkan kaki memasuki bagian dalam pabrik. Sementara
itu, Alvaro tersentak ketika dua pengawal itu sudah berada di dalam pabrik.
Sial! maki batin Alvaro. Ia merasakan
firasat kalau mereka berdua akan menuju ke tempat persembunyian mereka. Alvaro
memberikan aba-aba berupa bahasa isyarat untuk berjinjit, memutari mesin
raksasa pengilangan padi itu. Belum ada tiga langkah mereka meninggalkan jejak,
Sam dan Amran sudah berada di belakang mereka sambil mengarahkan pucuk revolver
pada mereka bertiga.
“Berniat
kabur?” tanya Amran penuh percaya diri. Ia mengangkuhkan diri seolah sudah
memenangkan perlombaan besar.
Alvaro
masih berdiri membelakangi dua pengawal itu. Ia menorehkan senyum kecil yang
tak terlihat oleh mereka berdua. “Tidak. Aku hanya merasa malu menampakkan
wajah burukku di hadapan orang yang tak kukenal.” Diam-diam, tangan Alvaro
menarik bagian atas pistol miliknya.
“Kami
tidak punya waktu untuk meneladani obrolan pecundang macam kalian. Lagipula
kami hanya diperintahkan untuk membawa kalian hidup-hidup pada bos kami.”
Tangan Amran mulai gatal untuk menekan pelatuk revolver miliknya.
“Hmm
kalau begitu...,” dalam sekejap mereka bertiga sudah berbalik badan. Sudah empat
kali Alvaro menekan pelatuk pistolnya, akan tetapi tidak satupun dari empat
peluru itu menembus tubuh mereka berdua. Padahal jarak antara ujung pistol dan
bidikan begitu dekat. Tak mungkin peluru-peluru itu meleset begitu saja. Kedua
pengawal itu tertawa terbahak-bahak sambil memukul-mukul badan mereka. Sam
memberikan serangan balik dengan menembak lengan dan paha Alvaro. Tubuhnya
ambruk menimpa lantai semen berdebu.
“Alvaro!”
pekik Aretha. Rudi mengayunkan belatinya ke arah perut Sam. Akan tetapi, belati
Rudi pun tak meninggalkan bekas sedikitpun pada perutnya. Tak percaya dengan
apa yang dilihatnya, Rudi mengayunkan kembali belatinya ke pundak Sam. Hal yang
sama terjadi. Belati itu tak bisa memberikan segores luka dan darah pada pundak
Sam. Rudi menduga kalau mereka menguasi ilmu kebal badan yang membuat mereka
tidak mempan akan peluru dan senjata tajam.
Tak
bisa memberikan perlawanan berarti, Sam mengarahkan ujung pistol ke perut Rudi.
Letupan pistol itu begitu keras berbanding lurus dengan luka yang diterima
Rudi. Lelaki kurus berkaus hitam itu jatuh berlutut di hadapan Sam. Ia berusaha
memegangi perut sebelah kiri agar darah tidak terus mengalir dari sana.
Tubuh
Aretha menggigil ketika mengetahui kedua kawannya sudah ditakhlukan kedua
pengawal Dedy Rahmad Yadi. Sampai-sampai ia tidak sanggup mengangkat pistol
yang dia pegang di tangannya.
“Aretha...,”
lirih Alvaro sambil menahan perih di bagian paha. Aretha menoleh.
“Kau...
bawa... m-empat peluru itu?” tanya Alvaro dengan suara tercekat.
Aretha
bereaksi cepat ketika tahu apa maksud perkataan Alvaro. Ia membuka tas sandang
kecil miliknya lalu mengambil dua peluru perak dan dua peluru emas di dalamnya.
“Kenapa
kalian masih melawan? Pembunuh bayaran amatiran seperti kalian takkan bisa membunuh
kami,” tanya Amran sambil berusaha membunuh mental Aretha yang tadi sempat
jatuh.
Aretha
menarik ujung pemicu pistol mengeluarkan sepuluh peluru biasa di dalamnya untuk
digantikan dengan empat peluru yang dikatakan Alvaro. Kalau tadi ketakutan
menguasai pikiran Aretha, sekarang dirinya begitu berani mengacungkan pistol ke
arah mereka berdua.
Peluru
perak itu berhasil menembus kening Amran dan lelaki berjaket kulit cokelat muda
itu roboh begitu saja. Tak terima kawannya mati di hadapannya, Sam dengan
kecepatannya menekan pelatuk pistol berhasil mengenai Aretha di bagian dada
sebelah kanan. Namun peluru dari revolver Aretha juga menembus Sam tepat di
bagian jantung. Lelaki berjerawat kecil itu memuntahkan darah dari mulutnya. Ia
hampir saja terjatuh tetapi Sam menahan badannya dengan refleks mendorong kaki
kanan ke depan dan tangan kiri memegang paha. Lelaki itu tahu bahwa ia takkan
bertahan lebih lama. Ia bersiap-siap mengarahkan pistol ke kening Aretha
sebagai serangan terakhir darinya.
Walaupun
dengan kondisi luka cukup serius, Rudi berhasil membenanmkan setengah dari
belati miliknya ke perut Sam. Bola mata Sam terbeliak lebar sampai terlihat
bagian putihnya saja. Tubuh Sam begitu ringannya menimpa lantai tanah,
mengeluarkan bunyi gedebuk pada permukaan lantai semen. Rudi membiarkan parang
itu bersarang di perut lelaki berjerawat kecil itu lalu menyandarkan
punggungnya pada dinding kayu.
***
“I’ve caught you,” ucap Anggara dengan
wajah ceria. Ia bersama dengan Fiolina turun dari mobil. Lelaki bermotor besar
itu juga turun dari tunggangannhya lalu membuka kaca helm.

No comments:
Post a Comment