Wednesday, 28 November 2018

DUAL - 20


Bersiap Menghadapi Musuh yang Sebenarnya
            Sudah menjadi penanda tengah malam jika jangkrik dan kepik pohon berbunyi nyaring di tengah kesunyian. Selain itu, deru kendaraan pada pukul 23.22 tidak banyak terdengar. Para penduduk di sekitar perumahan Agung Kolonora memilih beristrirahat atau menghabiskan waktu bersama di rumah keluarga. Begitu pula dengan Aretha. Ia melelapkan dirinya dalam mimpi-mimpi semu akan indahnya berkumpul lengkap dengan keluarganya. Bercanda dengan ayah dan kakaknya. Juga ibunya yang selalu memanjakan dirinya. Tapi semuanya berubah. Lebih cepat dari kedipan mata.
            Sepertinya iblis dengan roh pembunuh dari neraka begitu cepat mengambilalih pikirannya. Semua pemandangan indah bersama dengan keluarga berubah cepat menjadi pertunjukan pembantaian. Darah adalah aksi inti dari serangkaian pembantaian yang dilakukan Aretha. Perempuan itu menyeringai dengan wajah terciprat darah mengayunkan pisau belati pada para korbannya. Darah, tangis, jerit kesakitan dan penderitaan luar biasa menjadi orkestra dan dialog dari mahakarya sang iblis. Gelegar tawa Aretha menjadi orgasme paling panas dan cabul dari semua jenis percintaan yang ada di dunia.
            Aretha langsung menarik kesadaran pikiran yang hampir dirajai sang Iblis. Maka kedua kelopak matanya terbelik cepat. Diikuti dengan bangkitnya badan letihnya. Napasnya memburu terengah-engah. Bulir keringat menetes pelan-pelan dari kening. Ia menepuk-nepuk pelan kedua pipinya. Sambil mencubit-cubit lengannya. Ini bukan mimpi lagi, ujar batinnya.
            Perempuan berkulit putih itu melirik ke sebelah kiri. Menengok bulatan jam dinding yang berdiam di atas dinding. Pukul 23.33. Sudah tengah malam rupanya, pikir Aretha. Ia berangkat dari ranjang berpegas menuju dapur. Mimpi buruk itu membuat dahaga di kerongkongan. Ia ingin meneguk segelas air untuk mengobati haus.
            Untuk mengambil air, ia harus menuruni beberapa anak tangga. Dengan rasa kantuk dan nyawa yang seutuhnya belum kembali ke raga, Aretha meninggalkan kamar dengan baju yang belum dia ganti. Ketika dirinya berjalan menuju anak tangga, ia melihat bahwa lampu di lantai dua padam seluruhnya. Padahal seingatnya, ia sudah menghidupkan satu lampu di lantai dua supaya tidak terlalu gelap. Apa mungkin dirinya lupa atau pembantunya yang mematikan lampu?
            Sambil menyalakan senter handphone, Aretha pelan-pelan menuruni anak tangga. Mungkin aku harus merekrut anak kos supaya rumah ini tidak terlalu sepi, kata batin Arteha. Ketika dirinya berada di lantai dua, tangannya mencoba meraba-raba sakelar lampu. Tangannya langsung menekan sakelar ke bawah untuk menyalakan lampu.
            Ketika cahanya lampu menerangi lantai dua, Aretha memekik kencang. Ia melihat pembantunya dalam kondisi telungkup bersimbah darah. Tak jauh dari mayat pembantunya, mayat satpam gerbang ditemukan dengan kondisi isi kepala berhamburan ke mana-mana.  
            Saat dirinya bersiaga menarik pistol dari jepitan pinggang, tangan Aretha ditahan kemudian dipelintir ke belakang.
            “Halo Nona, apa kabar?” bisik suara misterius itu di dekat telinga Aretha sambil menyunggingkan senyum lebar.
            “Kau...”
            “Kita pernah berjumpa sebelumnya bukan? Ingat?”
            “Kalau aku bis—“ saat Aretha lanjut berbicara, seseorang lagi dari belakang muncul lalu menusukkan jarum suntik berisi obat bius dosis rendah di leher Aretha. Gadis itu pelan-pelan mulai tak sadarkan diri. Tubuhnya tergeletak begitu saja di keramik lantai dua.
            “Sekarang mau kita apakan dia?”
            “Sesuai yang dikatakan Kepala Pimpinan; bawa gadis ini padanya.”
***
            Anggara dan Fiolina harus menikmati perjalanan selama dua jam dengan lengan terikat borgol. Rasa tidak nyaman, kebas dan mati rasa mulai mendominasi pergelangan tangan mereka. Keduanya tidak punya daya apa-apa sama sekali untuk melawan.
            “Hei Fiolina, apakah kau sempat menghubungi mereka?”
            “Maksudmu?” Anggara menggerakkan bibirnya tanpa bersuara mengucapkan kata ‘polisi’. Anggara melakukan hal itu karena seorang lelaki berbadan besar memegang MA41 di lengan kekarnya.
            “Tadi aku sempat miscall hanya saja karena panik, aku menjatuhkan handphone itu dan mereka menghancurkannya,” jelas Fiolina padanya.
            Lelaki berambut pirang itu berdecak kesal dengan keadaan berbalik menyudutkan keduanya. Tidak seperti dulu saat mereka hampir berhasil mencapai tujuan mereka.
            “BANGSAT!” pekik Anggara spontan. Lelaki yang menjaga di sampingnya tiba-tiba memukulkan bagian pangkal senjata yang berbahan plastik.
            “Diam kau! Aku kaget tahu?!” Melihat reaksi si lelaki kekar yang kaget begitu, ingin rasanya Fiolina tertawa lepas. Akan tetapi ia urungkan agar tidak membuatnya situasi semakin tak karuan.
***
            Ipda Eddu dan Aipda Sarry diselimuti ketidaksabaran dan kekhawatiran. Mereka masih di kantor komandan mereka untuk mendengarkan keterangan dari kepala pimpinan mereka mengenai kejelasan keikutsertaan tim Densus 88 dan Satgas Anti Teror.
            “Pak bagaimana pendapat kepala pasukan tim Densus 88 dan Satgas Anti Teror? Apakah mereka bersedia ikut bersama dengan kita untuk membekuk sindikat HOVTA?”
            “Mungkin mereka akan datang sekitar dua setengah jam lagi. Densus 88 dan Satgas Anti Teror sedang melakukan rapat koordinasi mengenai SOP penyerbuan markas HOVTA. Katanya, mereka perlu menyusun strategi matang supaya upaya penyerbuan tidak mengancam penduduk sipil,” terang pimpinan mereka, Kompol Widjajanto.
             Kalau sudah begini, memang akan memakan waktu cukup lama. Apalagi kalau sudah berhubungan dengan SOP. Bisa memakan waktu berjam-jam. Itu masih menyusun strategi. Semua strategi itu sudah termasuk dalam hal penguasaan tempat sampai dengan urusan logistik pasukan. Padahal kedua perwira itu merasakan ketidakberesan ketika sebuah panggilan masuk ke handphone Ipda Eddu dan tiba-tiba terdengar suara rentetan peluru. Panggilan pun terputus.
            “Terimakasih Pak atas penjelasannya.” Ipda Eddu mengucapkan terimakasih sampai memberikan salam hormat pada pimpinannya. Kompol Widjajanto membalas dengan salam hormat pula pada bawahannya. Sang kompol kembali ke meja kerja sambil memeriksa laporan masyarakat mengenai kasus keberadaan komunitas gay di Tangerang. Keduanya beranjak dari kantor pimpinan mereka. Dengan langkah lemah, keduanya hampir mendekati pintu keluar.
            “Tunggu dulu...,” tahan Ipda Eddu ketika tangannya hampir menyentuh gagang pintu.
            “Ada apa?”
            “Oh aku lupa. Lebih baik kita bicarakan di luar saja.” Tangan Ipda Eddu langsung menggenggam gagang pintu lalu menekannya ke bawah. Begitu daun pintu terbuka, keduanya buru-buru keluar.
            “Bukankah aku bisa membentuk pasukan juga ‘kan?”
            “Bukan pasukan tapi tim regu. Itu pun paling banyak lima belas orang,” koreksi Aipda Sarry Sustina.
            “Lima belas orang? Itu sudah cukup bagiku. Salah satunya sudah berada denganku saat ini.” Aipda Sustina mengangkat alis kanan sambil menepuk-nepuk pistol terikat di pinggang.
            “Kalau begitu coba hubungi rekan sepangkatmu atau di bawahmu. Bilang pada mereka berangkat lebih dulu dan tunggu di lokasi yang sudah kutentukan. Jangan lupa berikan rincian lokasi itu pada mereka,” instruksi Ipda Eddu.
            “Laksanakan, Pak.”
            Maafkan kami, Pak Komandan tapi ini harus cepat diselesaikan.
            “Bagaimana, sudah kau hubungi?”
            “Dari lima belas polisi yang kutelepon, hanya sepuluh orang yang mau menerima misi ini.” 
            “Jadi cuma sepuluh orang ya? Hmmm, ya sudah. Bilang pada mereka apa yang kusampaikan tadi padamu.”
***
            Kaki kiri Alvaro menekan pelan pedal gas sambil menggeser tuas persneling. Ia mengerahkan seluruh fokusnya untuk menyusul Aretha. Ia mencemaskan keselamatan rekannya. Sebab, ketika ia keluar dari markas Killer Order, handphone Aretha tidak dapat dihubungi.
            Alvaro sudah menyerahkan urusan Fahnan dan Killer Order pada Rudi dan Santo. Ketika ia dan Santo sedang dalam keadaan tersudut, Rudi datang tepat menghabisi pasukan Killer Order yang mengepung teman-temannya di dalam ruangan pribadi bos mereka. Para pasukan pengepung roboh begitu saja di depan pintu ruangan Fahnan.
            “Pergilah Alvaro. Selamatkan Aretha. Biar kami berdua yang mengurus bos,” suruh Rudi sambil tangannya memangku senjata laras panjang berjenis AUG. Rudi melirik pada Santo yang berdiri tak jauh dari Alvaro.
            “Aku serahkan ayah pada kalian.” Alvaro berpaling dari hadapan ayahnya seraya mengambil pisau dan pistol yang pelurunya sudah terisi penuh di atas meja ayahnya. 
            “Tunggu dulu, Alvaro! Mau ke mana kau?!” pekik Fahnan sambil berusaha menahan kepergian sang anak.
            Sebelum menjauh dari sana, Alvaro menepuk pundak keduanya menandakan kalau ia sudah menyerahkan total urusan ayah dan Killer Order pada kedua temannya.
            “Bos..., Alvaro sudah menyerahkan Anda pada kami.Jadi otomatis, Bos berhadapan dengan kami sekarang.”
            “Berani-beraninya... kalian bertiga mengkhianati saya... tapi perlu kalian tahu... kalian sudah salah memilih lawan.” Fahnan menyeringai pada Rudi dan Santo.
***
            Aretha benar-benar tidak tahu apakah ia memang dalam kondisi tidur atau seseorang tengah membuatnya tertidur. Meski dirinya dalam kondisi tidur, ia masih bisi merasakan pedih dan perih di sekitaran batang leher. Seperti seseorang memasukkan jarum ke dalam tenggorokannya. Gadis berkulit putih itu memegangi lehernya sambil mengerjapkan kelopak mata berkali-kali.
            “Eh sudah bangun kau rupanya? Syukurlah. Aku tidak perlu repot-repot menyirammu dengan air es,” ujar lelaki berompi hitam itu sambil meletakkan ember berisikan air es di lantai. Rambutnya disisir ala perlente dengan gel yang membuat rambutnya agak berkilau.
            “Kau kan...?” Aretha langsung membeliakkan kelopak matanya begitu melihat keseluruhan perawakan lelaki itu.
            “Iya aku... J-O-N-A-S, Jonas Rendra Wijaya. Kalau tidak salah, aku pernah melihatmu bersama dengan dua cecurut di sana. Entah sedang mengobrolkan masalah apa kalian di Bar Malvidas, ya ‘kan? Ya ‘kan Anggara?” Jonas memutar leher memandang pada Anggara.
            Anggara dan Fiolina sendiri sedang dalam posisi kedua tangan digantung ke atas asbes dan kedua tapak kakinya hampir melayang. Hanya kelima jari kaki mereka yang bisa menyentuh lantai. Mereka berdua dalam kondisi tersiksa. Cuma yang paling tersiksa adalah Anggara. Ia menderita luka serius di bagian kepala. Wajah tampannya bengap berlapis darah kental mengucur dari kepala. Di sela bibirnya terdapat darah segar yang mengering.
            “Owh... enggak mau jawab ya?” Jonas mengepalkan kuat tangannya. Di depan tulang jari-jarinya dipasangkan brass knuckle, “makan nih.” Lelaki itu mengerahkan tinjuan demi tinjuan ke bagian perut hingga Anggara berulang kali memuntahkan cairan bening dari dalam lambungnya.
            “Anggara!” pekik Fiolina. 
            “Hei gadis, sebenarnya aku tidak punya urusan denganmu. Tapi Kepala Pimpinan sepertinya punya urusan denganmu. Ya semacam urusan antara paman dan keponakan yang mesti diselesaikan.”
            “Pa-paman dan keponakan... Apa maksudmu?”
            “Tuh dia sudah datang,” unjuk Jonas seraya memutar leher ke arah pintu sebelah kiri.
            Dari pintu yang tersingkap, seorang pria bertopeng dan bertongkat memasuki ruang penyekapan. Meski memakai tongkat, pria itu dapat berjalan seperti orang normal biasa. Aretha yakin kalau tongkat dan topeng digunakan hanya untuk gegayaan saja.
            “Apa aku melewatkan pestanya?” tanya pria bertongkat itu.
            “Tidak Pak Kepala. Pesta baru saja dimulai. Sesuai yang Bapak katakan, saya sudah  membawa gadis itu.”
            “Bagus, bagus.Sebelum aku menghabisinya. Aku ingin melepas rinduku dengannya,” respon pria bertongkat itu sambil meletakkan bokong di atas bangku.
            Aretha mendadak tersentak. Ia makin tidak mengerti sekaligus tak karuan mendengar perkataan pria itu. Ia seperti dibawa kembali ke peristiwa sembilan tahun lalu serta orang-orang yang berada dalam peristiwa itu.
            “Apa jangan-jangan kau...”
            Pria itu mengangkat topeng ke atas. Begitu terlepas dia meletakkan topengnya di atas lantai. Ia tersenyum kecil sementara Aretha tak bisa melepaskan tatap matanya pada pria di hadapannya.
            “P-pa-paman Haris?!” ucap Aretha gugu.
            “Keponakanku yang satu ini memang cerdas. Sudah bertahun-tahun tidak bertemu tapi kau masih ingat betul dengan Pamanmu,” puji Haris sambil menyilangkan kaki kanan diletakkan di atas kaki kiri.
            “A-apa maksud semua ini? K-kau...HOVTA...”
            “Ceritanya panjang sekali. Mau dengar?” tawar Haris santai.
            “APA MAKSUDNYA INI, PAMAN HARIS?!!” Emosi Aretha berubah dratis. Amarah mulai menyingkirkan akal sehatnya.
            “Oh baiklah, baiklah. Memang keponakanku yang satu ini memang tidak pernah sabaran,” tahan Haris halus. Ia masih sempat menyunggingkan senyum menanggapi amarah keponakannya.
            “Ayahmu, aku, Pranoto dan Setno merupakan saudara kandung. Aku dan ayahmu bergerak di bidang yang sama... yakni perdagangan organ tubuh ilegal.”
            “Omong kosong apa yang kaubicarakan, Bajingan?! Tidak mungkin ayahku menjadi bajingan sepertimu! Dia itu ayahku yang baik dan berbakti pada gereja. Bahkan ayah adalah seorang penatua gereja,” elak Aretha. Ia masih tidak percaya bagaimana bisa ayahnya melakoni pekerjaan kriminal kelas berat itu.
            “Kau pikir datang darimana semua kekayaan yang dimiliki ayahmu kalau bukan dari HOVTA? Seharusnya dia bersyukur, bisa hidup berkecukupan berkat HOVTA. Aku yang memperkenalkan dia pada HOVTA dan aku yang mengangkat ayahmu jadi sekretaris di organisasi itu.Seharusnya dia berterimakasih dan bekerja dengan baik. Bukan malah ingin melarikan diri, lepas begitu saja dari tanggungjawab dan membawa kabur seluruh uang dan aset HOVTA. Ya jadinya begini. Kau jadi kena imbasnya juga,”  beber Haris pada keponakannya.
            Aretha tak mampu membendung kesedihan yang tertahan di hati. Mukanya merah padam. Bola mata memerah dan berkaca-kaca. Sedari tadi, Aretha mengencangkan rahang hingga terdengar bunyi gemelutuk gigi.
            “TIDAK MUNGKIN! AKU TIDAK PERCAYA UCAPAN BODOHMU!” damprat Aretha dengan suara serak. Ia tidak bisa begitu lama menahan amarah yang membakar habis kesabarannya.       
            “Terserah kau mau bilang apa tapi yang kulihat saat ini. Tapi satu hal yang membuatku menyingkirkan ayahmu adalah dia ingin melaporkan kejahatan HOVTA pada kepo—“
            “CUKUP!!! JANGAN KAU SEBUT-SEBUT AYAHKU DALAM CERITA BOHONGMU, HARIS!” pekik Aretha kencang.
            “Aku tak heran kenapa kau tak percaya dengan cerita pamanmu kandungmu sendiri. Rupanya Jansen begitu rapat menutupi belangnya Tapi malangnya sang anak malah mengikuti jejak sang ayah bergelut dalam dunia hitam, hehehe,” cibir Haris. Gadis berkulit putih itu cuma bisa menangis sesunggukan. Ia mengutuki setiap kenyataan mengenai ayahnya yang tak pernah dia ketahui sebelumnya. Isak tangisnya begitu keras terdengar seperti meratap.
            “Kalau aku bisa lepas dari kursi ini, aku akan mengoyak-ngoyak wajahmu Paman!!!” Mendengar ancaman yang dikatakan keponakannya, Haris malah terkekeh sambil mengacungkan tongkat besinya ke leher Aretha.
            “Siapa, siapa yang kau harapkan untuk menolongmu?!! Si Alvaro, teman laki-lakimu yang kulitnya buluk dan rambutnya cepak tentara, dia akan menolongmu?! Aku tidak yakin kalau dia bisa ke sini hidup-hidup. Seharusnya dia berpikir ulang kalau ingin menghadapi Killer Order. Killer Order itu sama kejamnya dengan HOVTA. Lagipula kau sudah lama mengabdi pada Killer Order ‘kan, Aretha?”
            Benar apa yang dikatakan oleh Paman Haris. Ia sudah kenal betul bagaimana Killer Order kalau sudah beraksi. Mereka tak kenal ampun. Darah dan nyawa orang-orang tak bersalah begitu murah sepanjang bayaranmereka dipatok dengan harga tinggi. Kini Aretha mulai mengkhawatirkan keselamatan Alvaro.
***
            Udara malam pukul 02.20 berusaha memasuki celah-celah jaket parasut Alvaro. Lelaki berkulit cokelat muda itu tetap fokus mengenderai motor gede tunggangannya. Walau sudah memasuki pergantian hari, ternyata suasana dini hari sama ramai dan padatnya dengan aktivitas pagi hari. Sepanjang jalan Alvaro melihat para pengendara motor gede parkir di depan taman bunga. Ditambah dengan pemandangan perempuan mengenakan hot pants dan kaus tipis menutupi bagian buah dada hingga pusar perut. Para perempuan duduk di atas jok motor gede sambil menyandarkan bahu mereka. Alvaro juga menyaksikan sepasang lelaki dan perempuan saling menggerayangi dan bercumbu satu sama lain di atas jok sepeda motor. Lelaki itu mengalihkan pandangan ke arah jalan raya seraya mengabaikan teriakan seorang waria memanggil-manggil dirinya.
            “Iiihhh, eike sebel banget dech, mbo. Dicuekin lagi dicuekin lagi,” gerutu sang waria sambil mengacak-acak rambutnya.
            Sebelum meninggalkan markas, ada keraguan menyelimuti hari Alvaro ketika ia menyerahkan semua urusan bos dan pasukan Killer Order pada Rudi Kawilarung dan Santo Aruru. Ia mendengar suara letupan senjata api bersahut-sahutan di dalam markas. Dirinya ingin sekali kembali ke dalam markas untuk menolong kedua temannya. Tetapi, ia sudah mempercayakan urusan Killer Order termasuk ayahnya, Fahnan.
***
            Santo berusaha memapah Rudi yang sekujur tubuhnya berlumur darah. Akan tetapi kondisi Santo pun tidak kalah mengenaskan. Tubuh kekarnya dihiasi sabetan senjata tajam. Ada juga pisau yang masih menancap bagian punggung. Rasanya ia dan Rudi akan segera dijemput malaikat kematian. Pandangan matanya mulai mengabur dan berbayang-bayang. Bahkan Santo hampir terhuyung-huyung, kehilangan keseimbangan. Pergerakannya terbatasi oleh pisau yang tegak menancang di punggung.
            Aku harus bisa sampai di luar, ujar batin Santo. Dengus napasnya begitu berat. Bulir keringat bercampur darah terus menetes dari kening.
            “Sebentar lagi kita akan keluar dari sini, Kawan. Kita akan bebas dari tempat terkutuk ini,” ucap Santo. Kini kedua kakinya sudah menapaki lantai satu. Masih butuh usaha lebih keras lagi untuk keduanya sampai ke pintu keluar. Dengan kondisi kekurangan darah dan tenaga, jarak yang cuma 30 meter pun terasa seperti berlari sejauh 2 kilometer non stop.  
            Lelaki berkulit cokelat legam itu sudah mencapai batasnya. Ia merasa semua energi fisik sudah terpakai mulai dari menghabisi pasukan Killer Order, Fahnan sampai menuruni puluhan anak tangga menuju lantai satu. Kalau bukan karena kekuatan semangat dan pantang menyerah mungkin dirinya sudah dijemput malaikat Tuhan.         

              Sedikit lagi, sedikit lagi! Lengan Santo menjulur pelan-pelan berusaha mencapai gagang pintu. Ia masih mengandalkan semangat hidupnya. Namun kekuatan fisik lelaki itu benar-benar sudah habis. Jemarinya pun tidak bisa menggenggam lagi. Ia bersama dengan Rudi tergeletak, menantikan detik-detik sakratul maut mengakhiri hidupnya.

Thursday, 22 November 2018

DUAL - 19


Awal Konfrontasi
            “Bagaimana video yang kukirim? Cukup menghibur bukan? Hehehe,” lanjut Jonas, “kalian mau kubikin kayak teman kalian ini?” lelaki berkulit putih pucat mengarahkan kamera depan smartphone-nya ke mayat Chyntia.
            “Kalau aku sampai di sana, aku akan mencabik-cabik badanmu, JONAS!” Anggara membentak keras Jonas. Lelaki itu menatap hampa pada Anggara lalu memberikan senyum getir pada lawan bicaranya.
            “Supaya kau lebih cepat bertemu dengan kami, aku sudah mengirimkan anak buahku untuk menjemputmu? Di hotel Edelweiss kan? Dadah.” seraya mengedipkan kelopak mata sebelah kanan, Jonas mengakhiri panggilan videonya.
            “Itu berarti—“ ketika Fiolina hendak menyimpulkan pembicaraan dari Anggara, keduanya mendengar suara-suara yang berasal dari luar, mencari-cari nama mereka berdua.
            Keduanya mendengar seseorang tengah memutar kunci. Begitu engsel tak lagi terkunci, tiga orang bersenjata AK-47 menyerbu seraya menodong pucuk senjata mereka pada Anggara dan Fiolina.
            “Sekarang bagaimana?” tanya Fiolina sambil mengangkat kedua tangannya.
            Anggara sempat diam sejenak. Entah dia sedang berpikir atau mencoba pasrah akan keadaan. “Kita ikuti saja.”
***
            Alvaro dan Santo Aruru berada di dalam kantor bos besar mereka, Fahnan. Keduanya sedang menyampaikan laporan mereka terkait Dedy Rahmad Yahdi. Fahnan mendengar dengan seksama sambil memberikan pertanyaan balasan pada mereka.
            “Bagaimana keadaan jalan sekitar ketika kalian mengeksekusinya?”
            “Awalnya jalan sempat ramai karena kami mengikuti target yang melewati perkebunan teh dan melati. Tapi itu tidak berlangsung lama. Kami berhasil menghabisi target dengan menembakkan peluru pada dua ban mobilnya. Kemudian saya dan Aretha menubruk mobil Dedy dengan keras hingga membuatnya hilang kendali dan terbalik. Pada saat itu jalan sepi hanya ada aku, Aretha dan Santo di jalan raya.” Santo mengangguk pelan, meyakinkan bosnya.
            Alvaro memberikan sejumlah foto sebagai dokumentasi hasil pembunuhan mereka. Fahnan mengangguk takzim sambil menyunggingkan senyum puas atas hasil kerja keduanya.
            Very good! Aku suka dengan hasil kerja kalian tapi...,”
            “Tapi apa bos?” tanya Santo langsung.
            “Ke mana Aretha?”
            Alvaro dan Santo berpandangan sekilas lalu kembali tertuju pada Fahnan. “Dia sedang tidak enak badan,” jawab Alvaro.
            “Ah tidak apa-apa. Seandainya dia ada di sini, aku akan memberikan kalian bertiga bonus tunai saat ini juga. Tapi berhubung dia tidak ada di sini, aku akan mentransfernya nanti saja,” ujar Fahnan seraya kembali duduk di kursi berodanya.
            “Kalian ingin minum apa? Biar kupanggil pelayan,” tawar bos pada mereka berdua.
            “Bukankah bar kita menyediakan soju bukan? Kebetulan aku ingin sekali minum itu. Bagaimana denganmu, Al?” Santo sudah memesan minumannya. Alvaro merasakan sesuatu sedang disembunyikan ayahnya. Tapi ia sendiri tidak tahu apa yang tengah disembunyikan lewat gelagat anehnya.             
            “Sama denganmu juga,” ikut Alvaro. Sang bos mengangguk pelan mengiyakan permintaan mereka. Bos Fahnan menghubungi pegawai bar yang berada di lantai dua mengatakan pesanan kedua anggotannya.
            “Baiklah sembari menunggu pesanan kalian berdua datang, aku ingin berbincang denganmu, Alvaro.” Mimik wajah Fahnan tadi terlihat agak santai, jadi serius.
            Ini menjadi keganjilan tersendrii baginya. Alvaro yang biasa akrab dengan Fahnan, jadi siaga dengan tingkah aneh ayahnya. Ia menyorot mata curiga.
            “Iya langsung saja... Sebenarnya... perjanjian macam apa yang kalian buat dengan anggota HOVTA?”
            “Perjanjian macam apa yang ayah maksud...?”Alvaro pura-pura tidak mengerti dengan apa yang ditanyakan ayahnya.
            “Lalu... bagaimana kau menjelaskan ini?” Fahnan memperlihatkan layar handphone-nya pada Alvaro. Lelaki itu ternganga menyaksikan apa yang ditunjukkan sang ayah.
            “Da-darimana ayah dapatkan i-itu?!” Lidah dan bibir Alvaro sama-sama kelu mempertanyakan sumber data yang didapatkan ayahnya.
            Fahnan menatap dingin pada Alvaro. Lelaki berwajah kekotakan itu tidak mampu menahan gelisah karena surat perjanjian antara Aretha, Alvaro dan Anggara dan Fiolina sudah bocor sampai ke tangan ayahnya.
            “Ayah... Ini ak—“
            “Jelaskan saja di markas HOVTA.” Penjelasan Alvaro diinterupsi tiga orang bersenjata laras panjang. Ketiganya menyeruduk ruang kantor Fahnan lalu mengacungkan pucuk senjata pada Alvaro dan Santo.
            “Alvaro, ada apa ini?!” tanya Santo panik.