Bersiap
Menghadapi Musuh yang Sebenarnya
Sudah
menjadi penanda tengah malam jika jangkrik dan kepik pohon berbunyi nyaring di
tengah kesunyian. Selain itu, deru kendaraan pada pukul 23.22 tidak banyak
terdengar. Para penduduk di sekitar perumahan Agung Kolonora memilih beristrirahat
atau menghabiskan waktu bersama di rumah keluarga. Begitu pula dengan Aretha.
Ia melelapkan dirinya dalam mimpi-mimpi semu akan indahnya berkumpul lengkap
dengan keluarganya. Bercanda dengan ayah dan kakaknya. Juga ibunya yang selalu
memanjakan dirinya. Tapi semuanya berubah. Lebih cepat dari kedipan mata.
Sepertinya
iblis dengan roh pembunuh dari neraka begitu cepat mengambilalih pikirannya.
Semua pemandangan indah bersama dengan keluarga berubah cepat menjadi
pertunjukan pembantaian. Darah adalah aksi inti dari serangkaian pembantaian
yang dilakukan Aretha. Perempuan itu menyeringai dengan wajah terciprat darah
mengayunkan pisau belati pada para korbannya. Darah, tangis, jerit kesakitan
dan penderitaan luar biasa menjadi orkestra dan dialog dari mahakarya sang
iblis. Gelegar tawa Aretha menjadi orgasme paling panas dan cabul dari semua
jenis percintaan yang ada di dunia.
Aretha
langsung menarik kesadaran pikiran yang hampir dirajai sang Iblis. Maka kedua
kelopak matanya terbelik cepat. Diikuti dengan bangkitnya badan letihnya.
Napasnya memburu terengah-engah. Bulir keringat menetes pelan-pelan dari
kening. Ia menepuk-nepuk pelan kedua pipinya. Sambil mencubit-cubit lengannya. Ini bukan mimpi lagi, ujar batinnya.
Perempuan
berkulit putih itu melirik ke sebelah kiri. Menengok bulatan jam dinding yang
berdiam di atas dinding. Pukul 23.33. Sudah
tengah malam rupanya, pikir Aretha. Ia berangkat dari ranjang berpegas
menuju dapur. Mimpi buruk itu membuat dahaga di kerongkongan. Ia ingin meneguk
segelas air untuk mengobati haus.
Untuk
mengambil air, ia harus menuruni beberapa anak tangga. Dengan rasa kantuk dan
nyawa yang seutuhnya belum kembali ke raga, Aretha meninggalkan kamar dengan
baju yang belum dia ganti. Ketika dirinya berjalan menuju anak tangga, ia
melihat bahwa lampu di lantai dua padam seluruhnya. Padahal seingatnya, ia
sudah menghidupkan satu lampu di lantai dua supaya tidak terlalu gelap. Apa
mungkin dirinya lupa atau pembantunya yang mematikan lampu?
Sambil
menyalakan senter handphone, Aretha
pelan-pelan menuruni anak tangga. Mungkin
aku harus merekrut anak kos supaya rumah ini tidak terlalu sepi, kata batin
Arteha. Ketika dirinya berada di lantai dua, tangannya mencoba meraba-raba
sakelar lampu. Tangannya langsung menekan sakelar ke bawah untuk menyalakan lampu.
Ketika
cahanya lampu menerangi lantai dua, Aretha memekik kencang. Ia melihat
pembantunya dalam kondisi telungkup bersimbah darah. Tak jauh dari mayat
pembantunya, mayat satpam gerbang ditemukan dengan kondisi isi kepala
berhamburan ke mana-mana.
Saat
dirinya bersiaga menarik pistol dari jepitan pinggang, tangan Aretha ditahan
kemudian dipelintir ke belakang.
“Halo
Nona, apa kabar?” bisik suara misterius itu di dekat telinga Aretha sambil
menyunggingkan senyum lebar.
“Kau...”
“Kita
pernah berjumpa sebelumnya bukan? Ingat?”
“Kalau
aku bis—“ saat Aretha lanjut berbicara, seseorang lagi dari belakang muncul
lalu menusukkan jarum suntik berisi obat bius dosis rendah di leher Aretha.
Gadis itu pelan-pelan mulai tak sadarkan diri. Tubuhnya tergeletak begitu saja
di keramik lantai dua.
“Sekarang
mau kita apakan dia?”
“Sesuai
yang dikatakan Kepala Pimpinan; bawa gadis ini padanya.”
***
Anggara
dan Fiolina harus menikmati perjalanan selama dua jam dengan lengan terikat
borgol. Rasa tidak nyaman, kebas dan mati rasa mulai mendominasi pergelangan
tangan mereka. Keduanya tidak punya daya apa-apa sama sekali untuk melawan.
“Hei
Fiolina, apakah kau sempat menghubungi mereka?”
“Maksudmu?”
Anggara menggerakkan bibirnya tanpa bersuara mengucapkan kata ‘polisi’. Anggara
melakukan hal itu karena seorang lelaki berbadan besar memegang MA41 di lengan
kekarnya.
“Tadi
aku sempat miscall hanya saja karena
panik, aku menjatuhkan handphone itu dan mereka menghancurkannya,” jelas
Fiolina padanya.
Lelaki
berambut pirang itu berdecak kesal dengan keadaan berbalik menyudutkan
keduanya. Tidak seperti dulu saat mereka hampir berhasil mencapai tujuan
mereka.
“BANGSAT!”
pekik Anggara spontan. Lelaki yang menjaga di sampingnya tiba-tiba memukulkan
bagian pangkal senjata yang berbahan plastik.
“Diam
kau! Aku kaget tahu?!” Melihat reaksi si lelaki kekar yang kaget begitu, ingin
rasanya Fiolina tertawa lepas. Akan tetapi ia urungkan agar tidak membuatnya
situasi semakin tak karuan.
***
Ipda
Eddu dan Aipda Sarry diselimuti ketidaksabaran dan kekhawatiran. Mereka masih
di kantor komandan mereka untuk mendengarkan keterangan dari kepala pimpinan
mereka mengenai kejelasan keikutsertaan tim Densus 88 dan Satgas Anti Teror.
“Pak
bagaimana pendapat kepala pasukan tim Densus 88 dan Satgas Anti Teror? Apakah
mereka bersedia ikut bersama dengan kita untuk membekuk sindikat HOVTA?”
“Mungkin
mereka akan datang sekitar dua setengah jam lagi. Densus 88 dan Satgas Anti
Teror sedang melakukan rapat koordinasi mengenai SOP penyerbuan markas HOVTA.
Katanya, mereka perlu menyusun strategi matang supaya upaya penyerbuan tidak
mengancam penduduk sipil,” terang pimpinan mereka, Kompol Widjajanto.
Kalau sudah begini, memang akan memakan waktu
cukup lama. Apalagi kalau sudah berhubungan dengan SOP. Bisa memakan waktu
berjam-jam. Itu masih menyusun strategi. Semua strategi itu sudah termasuk
dalam hal penguasaan tempat sampai dengan urusan logistik pasukan. Padahal
kedua perwira itu merasakan ketidakberesan ketika sebuah panggilan masuk ke handphone Ipda Eddu dan tiba-tiba
terdengar suara rentetan peluru. Panggilan pun terputus.
“Terimakasih
Pak atas penjelasannya.” Ipda Eddu mengucapkan terimakasih sampai memberikan
salam hormat pada pimpinannya. Kompol Widjajanto membalas dengan salam hormat
pula pada bawahannya. Sang kompol kembali ke meja kerja sambil memeriksa
laporan masyarakat mengenai kasus keberadaan komunitas gay di Tangerang.
Keduanya beranjak dari kantor pimpinan mereka. Dengan langkah lemah, keduanya
hampir mendekati pintu keluar.
“Tunggu
dulu...,” tahan Ipda Eddu ketika tangannya hampir menyentuh gagang pintu.
“Ada
apa?”
“Oh
aku lupa. Lebih baik kita bicarakan di luar saja.” Tangan Ipda Eddu langsung
menggenggam gagang pintu lalu menekannya ke bawah. Begitu daun pintu terbuka,
keduanya buru-buru keluar.
“Bukankah
aku bisa membentuk pasukan juga ‘kan?”
“Bukan
pasukan tapi tim regu. Itu pun paling banyak lima belas orang,” koreksi Aipda
Sarry Sustina.
“Lima
belas orang? Itu sudah cukup bagiku. Salah satunya sudah berada denganku saat
ini.” Aipda Sustina mengangkat alis kanan sambil menepuk-nepuk pistol terikat
di pinggang.
“Kalau
begitu coba hubungi rekan sepangkatmu atau di bawahmu. Bilang pada mereka
berangkat lebih dulu dan tunggu di lokasi yang sudah kutentukan. Jangan lupa
berikan rincian lokasi itu pada mereka,” instruksi Ipda Eddu.
“Laksanakan,
Pak.”
Maafkan kami, Pak Komandan tapi ini harus
cepat diselesaikan.
“Bagaimana,
sudah kau hubungi?”
“Dari
lima belas polisi yang kutelepon, hanya sepuluh orang yang mau menerima misi
ini.”
“Jadi
cuma sepuluh orang ya? Hmmm, ya sudah. Bilang pada mereka apa yang kusampaikan
tadi padamu.”
***
Kaki
kiri Alvaro menekan pelan pedal gas sambil menggeser tuas persneling. Ia
mengerahkan seluruh fokusnya untuk menyusul Aretha. Ia mencemaskan keselamatan
rekannya. Sebab, ketika ia keluar dari markas Killer Order, handphone Aretha tidak dapat dihubungi.
Alvaro
sudah menyerahkan urusan Fahnan dan Killer Order pada Rudi dan Santo. Ketika ia
dan Santo sedang dalam keadaan tersudut, Rudi datang tepat menghabisi pasukan
Killer Order yang mengepung teman-temannya di dalam ruangan pribadi bos mereka.
Para pasukan pengepung roboh begitu saja di depan pintu ruangan Fahnan.
“Pergilah
Alvaro. Selamatkan Aretha. Biar kami berdua yang mengurus bos,” suruh Rudi
sambil tangannya memangku senjata laras panjang berjenis AUG. Rudi melirik pada
Santo yang berdiri tak jauh dari Alvaro.
“Aku
serahkan ayah pada kalian.” Alvaro berpaling dari hadapan ayahnya seraya
mengambil pisau dan pistol yang pelurunya sudah terisi penuh di atas meja
ayahnya.
“Tunggu
dulu, Alvaro! Mau ke mana kau?!” pekik Fahnan sambil berusaha menahan kepergian
sang anak.
Sebelum
menjauh dari sana, Alvaro menepuk pundak keduanya menandakan kalau ia sudah
menyerahkan total urusan ayah dan Killer Order pada kedua temannya.
“Bos...,
Alvaro sudah menyerahkan Anda pada kami.Jadi otomatis, Bos berhadapan dengan
kami sekarang.”
“Berani-beraninya...
kalian bertiga mengkhianati saya... tapi perlu kalian tahu... kalian sudah salah
memilih lawan.” Fahnan menyeringai pada Rudi dan Santo.
***
Aretha
benar-benar tidak tahu apakah ia memang dalam kondisi tidur atau seseorang
tengah membuatnya tertidur. Meski dirinya dalam kondisi tidur, ia masih bisi
merasakan pedih dan perih di sekitaran batang leher. Seperti seseorang
memasukkan jarum ke dalam tenggorokannya. Gadis berkulit putih itu memegangi
lehernya sambil mengerjapkan kelopak mata berkali-kali.
“Eh
sudah bangun kau rupanya? Syukurlah. Aku tidak perlu repot-repot menyirammu
dengan air es,” ujar lelaki berompi hitam itu sambil meletakkan ember berisikan
air es di lantai. Rambutnya disisir ala perlente dengan gel yang membuat
rambutnya agak berkilau.
“Kau
kan...?” Aretha langsung membeliakkan kelopak matanya begitu melihat
keseluruhan perawakan lelaki itu.
“Iya
aku... J-O-N-A-S, Jonas Rendra Wijaya. Kalau tidak salah, aku pernah melihatmu
bersama dengan dua cecurut di sana. Entah sedang mengobrolkan masalah apa kalian
di Bar Malvidas, ya ‘kan? Ya ‘kan Anggara?” Jonas memutar leher memandang pada
Anggara.
Anggara
dan Fiolina sendiri sedang dalam posisi kedua tangan digantung ke atas asbes
dan kedua tapak kakinya hampir melayang. Hanya kelima jari kaki mereka yang
bisa menyentuh lantai. Mereka berdua dalam kondisi tersiksa. Cuma yang paling
tersiksa adalah Anggara. Ia menderita luka serius di bagian kepala. Wajah
tampannya bengap berlapis darah kental mengucur dari kepala. Di sela bibirnya
terdapat darah segar yang mengering.
“Owh...
enggak mau jawab ya?” Jonas mengepalkan kuat tangannya. Di depan tulang
jari-jarinya dipasangkan brass knuckle,
“makan nih.” Lelaki itu mengerahkan tinjuan demi tinjuan ke bagian perut hingga
Anggara berulang kali memuntahkan cairan bening dari dalam lambungnya.
“Anggara!”
pekik Fiolina.
“Hei
gadis, sebenarnya aku tidak punya urusan denganmu. Tapi Kepala Pimpinan
sepertinya punya urusan denganmu. Ya semacam urusan antara paman dan keponakan
yang mesti diselesaikan.”
“Pa-paman
dan keponakan... Apa maksudmu?”
“Tuh
dia sudah datang,” unjuk Jonas seraya memutar leher ke arah pintu sebelah kiri.
Dari
pintu yang tersingkap, seorang pria bertopeng dan bertongkat memasuki ruang
penyekapan. Meski memakai tongkat, pria itu dapat berjalan seperti orang normal
biasa. Aretha yakin kalau tongkat dan topeng digunakan hanya untuk gegayaan
saja.
“Apa
aku melewatkan pestanya?” tanya pria bertongkat itu.
“Tidak
Pak Kepala. Pesta baru saja dimulai. Sesuai yang Bapak katakan, saya sudah membawa gadis itu.”
“Bagus,
bagus.Sebelum aku menghabisinya. Aku ingin melepas rinduku dengannya,” respon
pria bertongkat itu sambil meletakkan bokong di atas bangku.
Aretha
mendadak tersentak. Ia makin tidak mengerti sekaligus tak karuan mendengar
perkataan pria itu. Ia seperti dibawa kembali ke peristiwa sembilan tahun lalu
serta orang-orang yang berada dalam peristiwa itu.
“Apa
jangan-jangan kau...”
Pria
itu mengangkat topeng ke atas. Begitu terlepas dia meletakkan topengnya di atas
lantai. Ia tersenyum kecil sementara Aretha tak bisa melepaskan tatap matanya
pada pria di hadapannya.
“P-pa-paman
Haris?!” ucap Aretha gugu.
“Keponakanku
yang satu ini memang cerdas. Sudah bertahun-tahun tidak bertemu tapi kau masih
ingat betul dengan Pamanmu,” puji Haris sambil menyilangkan kaki kanan
diletakkan di atas kaki kiri.
“A-apa
maksud semua ini? K-kau...HOVTA...”
“Ceritanya
panjang sekali. Mau dengar?” tawar Haris santai.
“APA
MAKSUDNYA INI, PAMAN HARIS?!!” Emosi Aretha berubah dratis. Amarah mulai
menyingkirkan akal sehatnya.
“Oh
baiklah, baiklah. Memang keponakanku yang satu ini memang tidak pernah
sabaran,” tahan Haris halus. Ia masih sempat menyunggingkan senyum menanggapi
amarah keponakannya.
“Ayahmu,
aku, Pranoto dan Setno merupakan saudara kandung. Aku dan ayahmu bergerak di
bidang yang sama... yakni perdagangan organ tubuh ilegal.”
“Omong
kosong apa yang kaubicarakan, Bajingan?! Tidak mungkin ayahku menjadi bajingan
sepertimu! Dia itu ayahku yang baik dan berbakti pada gereja. Bahkan ayah
adalah seorang penatua gereja,” elak Aretha. Ia masih tidak percaya bagaimana
bisa ayahnya melakoni pekerjaan kriminal kelas berat itu.
“Kau
pikir datang darimana semua kekayaan yang dimiliki ayahmu kalau bukan dari
HOVTA? Seharusnya dia bersyukur, bisa hidup berkecukupan berkat HOVTA. Aku yang
memperkenalkan dia pada HOVTA dan aku yang mengangkat ayahmu jadi sekretaris di
organisasi itu.Seharusnya dia berterimakasih dan bekerja dengan baik. Bukan malah
ingin melarikan diri, lepas begitu saja dari tanggungjawab dan membawa kabur
seluruh uang dan aset HOVTA. Ya jadinya begini. Kau jadi kena imbasnya juga,” beber Haris pada keponakannya.
Aretha
tak mampu membendung kesedihan yang tertahan di hati. Mukanya merah padam. Bola
mata memerah dan berkaca-kaca. Sedari tadi, Aretha mengencangkan rahang hingga
terdengar bunyi gemelutuk gigi.
“TIDAK
MUNGKIN! AKU TIDAK PERCAYA UCAPAN BODOHMU!” damprat Aretha dengan suara serak.
Ia tidak bisa begitu lama menahan amarah yang membakar habis kesabarannya.
“Terserah
kau mau bilang apa tapi yang kulihat saat ini. Tapi satu hal yang membuatku
menyingkirkan ayahmu adalah dia ingin melaporkan kejahatan HOVTA pada kepo—“
“CUKUP!!!
JANGAN KAU SEBUT-SEBUT AYAHKU DALAM CERITA BOHONGMU, HARIS!” pekik Aretha
kencang.
“Aku
tak heran kenapa kau tak percaya dengan cerita pamanmu kandungmu sendiri.
Rupanya Jansen begitu rapat menutupi belangnya Tapi malangnya sang anak malah
mengikuti jejak sang ayah bergelut dalam dunia hitam, hehehe,” cibir Haris.
Gadis berkulit putih itu cuma bisa menangis sesunggukan. Ia mengutuki setiap
kenyataan mengenai ayahnya yang tak pernah dia ketahui sebelumnya. Isak
tangisnya begitu keras terdengar seperti meratap.
“Kalau
aku bisa lepas dari kursi ini, aku akan mengoyak-ngoyak wajahmu Paman!!!”
Mendengar ancaman yang dikatakan keponakannya, Haris malah terkekeh sambil
mengacungkan tongkat besinya ke leher Aretha.
“Siapa,
siapa yang kau harapkan untuk menolongmu?!! Si Alvaro, teman laki-lakimu yang
kulitnya buluk dan rambutnya cepak tentara, dia akan menolongmu?! Aku tidak
yakin kalau dia bisa ke sini hidup-hidup. Seharusnya dia berpikir ulang kalau
ingin menghadapi Killer Order. Killer Order itu sama kejamnya dengan HOVTA.
Lagipula kau sudah lama mengabdi pada Killer Order ‘kan, Aretha?”
Benar
apa yang dikatakan oleh Paman Haris. Ia sudah kenal betul bagaimana Killer
Order kalau sudah beraksi. Mereka tak kenal ampun. Darah dan nyawa orang-orang
tak bersalah begitu murah sepanjang bayaranmereka dipatok dengan harga tinggi.
Kini Aretha mulai mengkhawatirkan keselamatan Alvaro.
***
Udara
malam pukul 02.20 berusaha memasuki celah-celah jaket parasut Alvaro. Lelaki
berkulit cokelat muda itu tetap fokus mengenderai motor gede tunggangannya.
Walau sudah memasuki pergantian hari, ternyata suasana dini hari sama ramai dan
padatnya dengan aktivitas pagi hari. Sepanjang jalan Alvaro melihat para
pengendara motor gede parkir di depan taman bunga. Ditambah dengan pemandangan
perempuan mengenakan hot pants dan kaus
tipis menutupi bagian buah dada hingga pusar perut. Para perempuan duduk di
atas jok motor gede sambil menyandarkan bahu mereka. Alvaro juga menyaksikan
sepasang lelaki dan perempuan saling menggerayangi dan bercumbu satu sama lain
di atas jok sepeda motor. Lelaki itu mengalihkan pandangan ke arah jalan raya
seraya mengabaikan teriakan seorang waria memanggil-manggil dirinya.
“Iiihhh,
eike sebel banget dech, mbo. Dicuekin lagi dicuekin lagi,”
gerutu sang waria sambil mengacak-acak rambutnya.
Sebelum
meninggalkan markas, ada keraguan menyelimuti hari Alvaro ketika ia menyerahkan
semua urusan bos dan pasukan Killer Order pada Rudi Kawilarung dan Santo Aruru.
Ia mendengar suara letupan senjata api bersahut-sahutan di dalam markas.
Dirinya ingin sekali kembali ke dalam markas untuk menolong kedua temannya.
Tetapi, ia sudah mempercayakan urusan Killer Order termasuk ayahnya, Fahnan.
***
Santo
berusaha memapah Rudi yang sekujur tubuhnya berlumur darah. Akan tetapi kondisi
Santo pun tidak kalah mengenaskan. Tubuh kekarnya dihiasi sabetan senjata
tajam. Ada juga pisau yang masih menancap bagian punggung. Rasanya ia dan Rudi
akan segera dijemput malaikat kematian. Pandangan matanya mulai mengabur dan
berbayang-bayang. Bahkan Santo hampir terhuyung-huyung, kehilangan
keseimbangan. Pergerakannya terbatasi oleh pisau yang tegak menancang di
punggung.
Aku harus bisa sampai di luar, ujar
batin Santo. Dengus napasnya begitu berat. Bulir keringat bercampur darah terus
menetes dari kening.
“Sebentar
lagi kita akan keluar dari sini, Kawan. Kita akan bebas dari tempat terkutuk
ini,” ucap Santo. Kini kedua kakinya sudah menapaki lantai satu. Masih butuh
usaha lebih keras lagi untuk keduanya sampai ke pintu keluar. Dengan kondisi
kekurangan darah dan tenaga, jarak yang cuma 30 meter pun terasa seperti
berlari sejauh 2 kilometer non stop.
Lelaki
berkulit cokelat legam itu sudah mencapai batasnya. Ia merasa semua energi
fisik sudah terpakai mulai dari menghabisi pasukan Killer Order, Fahnan sampai
menuruni puluhan anak tangga menuju lantai satu. Kalau bukan karena kekuatan
semangat dan pantang menyerah mungkin dirinya sudah dijemput malaikat Tuhan.
Sedikit lagi,
sedikit lagi! Lengan Santo menjulur
pelan-pelan berusaha mencapai gagang pintu. Ia masih mengandalkan semangat
hidupnya. Namun kekuatan fisik lelaki itu benar-benar sudah habis. Jemarinya
pun tidak bisa menggenggam lagi. Ia bersama dengan Rudi tergeletak, menantikan
detik-detik sakratul maut mengakhiri hidupnya.

