Pranoto Satya
Doeadji
Perjalanan
berjam-jam mau tak mau harus ditempuh Anggara dan Fiolina. Mereka hampir
kesasar ketika mencari Hotel Edelweiss. Keduanya bertanya ke sana ke mari guna
mencari letak hotel itu juga berbekal keterangan Rusli Ali Hidayat. Akhirnya
mereka berdua menemukan hotel berbintang lima itu.
Hotel
itu diperkirakan memiliki empat puluh tingkat gedung. Bagian tengah hotel
terpasang nama hotel yang dipercantik dengan lampu kecil berwarna-warni yang
menyala di malam hari. Pintu masuk hotel dipasang pintu otomatis yang bisa buka
tutup dan seorang bellboy siap
menanti tamu-tamu yang datang ke hotel. Mereka kini kembali ke tanah bekas
berdirinya panti asuhan Kasih Kita yang sekarang menjelma menjadi gedung
pencakar langit.
“Selamat
malam, Bapak,Ibu. Selamat datang di Hotel Edelweiss. Ada yang bisa kami bantu?”
sapa sang resepsionis sambil menawarkan hal-hal yang mungkin bisa dibantu si
resepsionis perempuan.
“Ya
kami ingin tahu apakah direktur Hotel Edelweiss, Pranoto Satya Doeadji, berada
di sini?” Tanpa tedeng aling-aling, Anggara menanyakan keberadaan sang direktur
yang mereka cari.
“Sebelumnya
maaf, Pak, ada keperluan apa Bapak bertemu dengan Pak direktrur? Apakah Bapak
sudah bikin janji dengan Pak direktur?” Sang resepsionis merasa curiga dengan
dua tamu di hadapannya. Jika dilihat dari perawakan mereka, sang resepsionis
menduga kalau mereka akan berbuat sesuatu yang tidak-tidak. Untuk menjaga
supaya hal itu tak terjadi, sang resepsionis bertanya sesopan mungkin mengenai
maksud kedatangan mereka.
Anggara
berdecak pelan. Dalam pikiran lelaki itu kalau sudah banyak tanya begini, pasti
akan sulit. Ia menatap Fiolina yang berada di sebelahnya. Fiolina melalui
tatapan mata yang diisyarakatkan Anggara mengatakan, apakah sebaiknya
resepsionis ini dihabisi?
Perempuan
berkulit sawo matang menggeleng pelan lalu melirik pada sang resepsionis. Ia
mengeluarkan kartu ATM di dalam dompet. “Kuharap kau mampu diajak bekerjasama,
Nona. Aku harap kau bisa mengatakan di mana direkturmu berada.”
Perempuan
yang ditaksir Fiolina berusia 19 tahun itu diam sejenak. Ia masih
menimbang-nimbang dalam pikirannya apakah dia harus menerima kartu ATM itu atau
tetap berpegang pada kode etik.
“Saldo
dalam kartu itu berkisar Rp 3.956.000,00. Aku yakin untuk anak gadis lajang
sepertimu, uang itu sudah cukup membeli bedak, lipstik, body lotion sampai membeli BH dan CD-mu. Kode PIN akan kuberitahu
kalau kamu mau menunjukkan di mana ruang kantor direkturmu.” Fiolina menyatakan
nominal uang yang berada di kartu ATM-nya.
Tidak
butuh waktu lama, gadis remaja itu mengangguk setuju. Ia bangkit berdiri dari
meja tugas. Anggara dan Fiolina mengulas senyum puas. Sebelum menjumpai kedua
orang asing itu, gadis 19 tahun itu menitipkan pekerjaannya pada teman yang
berada di sebelahnya.
“Ikuti
saya,” ujar gadis remaja 19 tahun itu. Sepuluh meter dari meja resepionis,
ketiganya sudah berdiri di depan lift. Sang gadis resepsionis menekan tombol
angka ke lantai 12.
“Apakah
ini tidak bisa langsung menuju lantai kantor direkturmu?” tanya Anggara.
“Kita
akan menaiki lift sebanyak tiga kali. Kantor direktur berada di lantai 36.
Mohon bersabar ya,” jelas sang gadis resepsionis. Keduanya cuma mengangguk
pelan.
Kini
mereka bertiga sudah berada di dalam lift. Awalnya belum ada yang berani
memulai percakapan. Ketiganya masih membisu dan sibuk dengan gawai
masing-masing. Anggara yang bosan dengan gawainya, iseng bertanya pada gadis
itu.
“Hei,
Dek, kalau boleh tahu siapa namamu?”
“Riska,
Pak. Saya baru empat bulan bekerja di hotel ini.” Lelaki berkulit putih itu mengangguk
pelan ketika ia tahu identitas gadis itu. Padahal ia berharap kalau gadis itu merupakan
pegawai tetap di hotel itu. Ia ingin mendengar apa saja yang selama ini ia
ketahui tentang hotel Edelweiss termasuk sang direktur yang mereka cari. Banyak
pasangan muda silih berganti, keluar masuk dari lantai satu ke lantai lainnya.
Begitu banyak pasangan muda-mudi memakai pakaian bermerek serta para perempuan
mengenakan pakaian dan perhiasan ala pelacur high class. Keduanya berasumsi kalau banyaknya tingkatan lantai di
hotel ini digunakan sebagai prostitusi.
Akan
tetapi, mereka berdua tidak punya urusan dengan para pelacur yang melanggeng
bebas di lantai hotel. Yang terpenting saat ini sampai di lantai 36. Suasana
kembali hening sediakala. Anggara kembali memainkan PUBG yang sempat berhenti.
Lima belas menit lamanya ia harus berganti lift untuk menuju ke lantai 36.
Ketika permainan mulai menunjukkan tanda-tanda kemenangan, sang gadis
resepsionis menginterupsi kesenangannya.
“Pak,
kita sudah sampai.” Tidak terasa kalau mereka sudah berada di lantai 36.
Anggara berdecak kesal. Mau tak mau ia harus menghentikan permainannya yang
sudah mencapai kemenangan. Ia menonaktifkan permainan lalu menyimpan handphone di dalam saku celana jins.
“Yang
mana kantornya?” tanya Anggara pada gadis itu.
Gadis
itu mengacungkan telunjuk pada satu ruangan terpasang plangkat berlampu
bertuliskan DIREKTUR. “Itu dia.”
Anggara
menoleh Fiolina bersamaan dengan anggukan kepala mereka berdua. Sebelum mereka
mencapai kantor direktur, gadis itu menjulurkan tangan seraya menahan langkah
keduanya.
“Kau
kan sudah berjanji...,” ujar gadis itu pada Fiolina. Ia mengerti apa yang
dimaksud gadis itu. Ia merogoh kantongnya lalu melemperkan secarik kertas yang
terlipat.
“Terimakasih,”
ucap gadis itu lalu meninggalkan mereka di sana.
“Kau
serius memberikan kartu ATM dan kode PIN-mu pada gadis itu?” Anggara menyuruh
rekannya memelankan derap kakinya sambil menyiagakan senjata.
“Hehe
sebenarnya saldonya tinggal Rp 396.700,00 lagi. Lagipula hari ini masa aktifnya
sudah habis. Biar dia sendiri yang memperbarui masa aktif kartunya,” balas
Fiolina. Kedua tangannya sudah bersiaga memegang Colt 911.
Tapi
ada satu hal menjadi tanda tanya dalam pikiran keduanya. Hotel ini seperti
tidak punya sistem keamanan memadai. Selain satpam yang menjaga pintu masuk,
tidak ada dia temukan satu pun satpam atau sekuriti berkeliling memantau
keadaan hotel. Namun hal itu tak menjadi masalah bagi Anggara. Ia cukup
menguntungkan dirinya.
“Kau mendengar suara?” bisik Anggara pada
Fiolina.
“Maksudmu... suara desahan ‘kan?”
Fiolina mengerling matanya sekejap. Anggara mengangguk pelan atas jawaban benar
dari rekannya.
“Baiklah,
pertama kita ketok pintu ini lalu setelah kita dibuka, langsung eksekusi.”
Fiolina mengangguk mengerti dengan instruksi dari rekannya. Kini mereka berdua
sudah berada tepat di ruangan sang
direktur. Memang suara desahan itu berasal dari ruangan sang direktur. Anggara
berdiri di sebelah kiri dan Fiolina berdiri di sebelah kanan.
Sementara
di dalam ruangan, seorang pria berusia 40 tahun sedang asyik menikmati layanan dari
gadis yang diperkirakan berusia 26 tahun ini. Goyangan dan desahaan sang gadis
dan pria menghasilkan gejolak birahi. Mereka hanyut dalam permainan biologis
yang dinamakan persetubuhan. Persetubuhan yang melibarkan atasan dan
sekretarisnya.
“Pak...”
panggil si gadis dengan suara berat bercampur berahi, “ada yang ketok-ketok.”
Sang
direktur sudah mendengar suara ketukan pintu sebanyak dua kali. Hanya saja
dirinya malas menanggapi. Dia terus berkonsentrasi pada bentuk konkrit kenikmatan
duniawi di hadapannya. Akan tetapi suara ketukan pintu semakin intens
mengganggu kesenangan dua insan beda jenis itu.
“Brengsek!”
maki sang direktur. Ia memberhentikan secara sepihak aktivitas biologisnya. Ia
terus memaki-maki pelayan hotel yang bersikap tidak sopan mengganggu
kesenangannya.
“Permisi,
Pak. Makan malamnya sudah siap,” ucap Anggara dari luar. Ia memanipulasi diri
seolah dirinya adalah pegawai hotel untuk memancing sang direktur agar mau
membuka pintu.
Sambil
merapikan jas dan ikat pinggang, dengan langkah kaki cepat dan tangan kanan
memegang kunci. Ia tak sabaran ingin memberikan pelajaran kepada pegawai hotel yang
kurang ajar itu.
Bola
mata sang direktur terbeliak. Raut wajah langsung menunjukkan ketakutan. Dua
orang tidak dikenal dan bersenjata api langsung
menggerebek ruangannya. Sementara sang gadis cuma mematung saja mengamati sang
direktur yang sedang terancam.
“Si-siapa
kalian?! Apa kaliian polisi?!” Sang direktur mencecar pertanyaan interogratif
dengan suara bergetar.
“Apa
benar Anda yang bernama Pranoto Satya Doeadji?” Anggara balik bertanya sambil
mengacungkan pistol tepat di kening pria paruh baya itu.
“Mau
apa kau mencari saya?!” ketika sang direktur akan mengacungkan pisau yang
terselip di pinggang, Anggara sigap merebut pisau dari tangan si pria kemudian
melemparkannya jauh dari tempatnya berdiri.
“Tepat
sekali. Kami punya beberapa pertanyaan untukmu sebelum peluru di pistolku ini
meledakkan isi kepalamu dan juga gundikmu ini.” Pranoto tidak punya pilihan
lagi selain diam dan menuruti apa kata dua penjahat itu.
“Yang
pertama...” terdengar suara letupan pistol mengenai lantai ruangan sang
direktur. Rupanya sekretaris sekaligus wanita pemuas nafsu Pranoto berusaha
mengambil pisau yang tergeletak tak jauh dari tempatnya berdiri. Hampir saja
peluru timah itu melubangi tangan putihnya yang halus. Dan gadis itu kembali
membeku bagai patung manekin wajah pucat pasi.
“Kerja
bagus, Fiolina. Pertanyaan pertama, apa benar hotel ini dulunya berdiri di atas
tanah panti asuhan Kasih Kita?” Ia berusaha bertanya dengan tenang tanpa
membawa kenangan masa lalunya di panti asuhan Kasih Kita.
“Ya-yang
kau bilang itu benar. Sembilan tahun yang lalu, sebelum kami membangun hotel
ini, kami mendengar rumor bahwa di panti asuhan ini telah terjadi pembantaian
sadis. Korbannya adalah seorang wanita yang diperkirakan adalah pengurus panti
dan seluruh anak-anak panti yang diperkirakan 25 orang. Akan tetapi polisi
menghentikan penyelidikan dan menutup kasus itu karena tidak adanya satupun
saksi maupun barang bukti. Tahun berikutnya kami setelah kami mengurus surat
kepemilikan tanah panti itu, kami mulai membangun hotel ini,” jelas Pranoto
panjang lebar.
Anggara
terkekeh mendengar uraian panjang lebar dari Pranoto. Tangan kanannya makin
menggenggam gagang pistol itu. “Bapak tahu, siapa anak-anak yang masih hidup
ketika peristiwa pembantaian itu?”
Pranoto
menampakkan raut wajah yang memang diatur untuk tetap tenang bahkan dalam
kondisi tertekan.
“...Mereka...
ada di hadapanmu.” Lelaki berusia 42 tahun itu melebarkan kelopak mata secara
spontan diikuti suara napas tertahan di tenggorokan.
“Walaupun
kami masih anak-anak tapi kami tahu apa permasalahan yang terjadi di panti
asuhan kami. Aku ingat saat seorang laki-laki berpakaian rapi dan formal
mendatangi panti asuhan kami, dia bilang kalau dia ingin membeli panti ini. Aku
yakin, yakin sekali kalau itu kau, Pranoto Satya Doedji!” Anggara sebisa
mungkin menuruti setan-setan yang berbisik di telinga agar ia segera membedil
kepala Pranoto.
“Tunggu
dulu! kau bilang, kau belum punya bukti jelas menuduhku sebagai orang yang
bertanggungjawab atas pembantaian ibu asuh dan teman-temanmu ‘kan? Jadi kau
tidak bisa menuduhku sembarangan. Aku akan panggil satpam untuk menyeretmu dari
ruangan saya,” sangkal Pranoto. Ia menerima segala tuduhan Anggara pada
dirinya.
Ingatan
Anggara merekam jelas bagaimana perawakan Pranoto meskipun peristiwa itu sudah
berlalu bertahun-tahun. Ia masih mengingat mulai dari sisiran rambut sampai
dengan aksen bicaranya. Pikirannya mengatakan kalau pria yang ada di hadapannya
adalah Pranoto Satya Doeadji.
“Kelihatannya
kau keras kepala sekali, Orang Tua. Kalau cara halus tidak bisa membuatmu
membuka mulut, mungkin peluru ini bisa membuatmu bicara.” Lelaki berambut
pirang itu tidak bisa memberikan toleransi kesabaran lagi. Lelaki paruh baya di
depannya memang tidak bisa diajak kompromi. Anggara mengarahkan telunjuknya di
depan pelatuk pistol.
Letupan
pistol milik Anggara melubangi asbes kantor Pranoto. Rupanya lelaki paruh baya
itu secara cepat memegang pergelangan tangan Anggara lalu mengarahkan muncung
pistol ke atas. Pranoto memelintir tangan lelaki rambut pirang itu hingga
pistol yang dia pegang terlepas.
“Argh sialan!” Anggara yang tersulut
emosi, mengarahkan bogem mentah miliknya ke wajah Pranoto. Akan tetapi pukulan
Anggara berhasil dielakkan oleh lelaki paruh baya itu lalu memberikan serangan
balasan melalui tinjuan di bagian perut.
Perhatian
Fiolina teralihkan pada Anggara. Perempuan yang dari tadi disandera Fiolina
segera mengambil pisau yang tergeletak tak jauh dari kaki. Ia menggengam pisau
itu lalu dilayangkan ke pipi.
Terlambat
bagi Fiolina untuk mengelak. Pisau itu menorehkan goresan di bagian pipi. Dari
pipi tergores itu darah segar mengalir. Dalam hati Fiolina, ternyata gadis itu
tidak hanya pandai urusan ranjang. Ia pandai juga dalam urusan mempertahankan
diri. Lelaki berambut pirang merasa bahaya sedang dihadapi rekannya. Tapi ia
sendiri dalam sedang posisi tidak menguntungkan. Tangan kanan Pranoto menjepit
kuat batang lehernya.
Gawat! Aku... mulai susah bernapas!
pekik batin Anggara sambil berusaha melepaskan pitingan tangan Pranoto. Ia
hampir saja menyerah. Tetapi melihat rekannya yang dalam kondisi bahaya,
Anggara mengepalkan tangan, menekuk pergelangan tangan lalu memukulkan bagian
sikut ke perut Pranoto kuat-kuat.
Saat
Pranoto mengaduh kesakitan, Anggara mengambil kesempatan memelintir pergelangan
tangan lelaki itu lalu menghempaskan ke lantai. Anggara secepat kilat mepistol
itu. Tanpa banyak basa-basi ketika Pranoto bangkit, ia mengarahkan ujung pistol
tepat di keningnya.
“Habisi saja dia, Fiolina,” suruh
Anggara. Tubuh Pranoto jatuh begitu saja ketika dua timah panas menembus tulang
tengkoraknya. Begitu mendapat perintah dari Anggara, Fiolina langsung
mengeksekusi dengan menekan pelatuk Colt 911.
Kini
giliran perempuan itu menyusul Pranoto ke alam baka. Anggara dan Fiolina
mengembuskan napas lega. Keduanya memilih beristirahat dengan menyandarkan
punggung pada dinding.
“Fiolina...”
“Kenapa?”
“Coba
kita periksa dokumen-dokumen di ruangan ini sebelum kita keluar dari sini. Kalau
ada yang berhubungan dengan panti asuhan atau HOVTA, ambil saja.” Begitu mereka
tidak merasa kelelahan lagi, keduanya langsung bangkit berdiri. Mereka beralih
pada lemari berkas bertingkat empat yang berada di belakang meja kerja Pranoto.
Keduanya
menjatuhkan semua berkas yang tertata rapi di lemari ke lantai. Mereka membuka
map-map tergeletak satu per satu. Sekian lama memeriksa map, Fiolina menemukan
satu map yang mencurigakan.
“Apa
ini?” Setelah dibuka, map itu berisi tiga lembar perjanjian yang di dalamnya
disebut nama HOVTA, Killer Order.
“Nanti
saja dibaca. Aku juga sudah dapatkan 3 map. Yang terpenting ayo keluar dari
sini,” ajak Anggara seraya menarik tangan Fiolina agar ia tidak ketinggalan.
Sebelum mereka beranjak dari ruangan, tiga kali handphone Fiolina bergetar.
“Sebentar
Anggara. Sepertinya ada pesan masuk ke whatsapp-ku,”
tahan Fiolina. Terpaksa langkah kaki Anggara terhenti padahal ia sudah nyaris
memegang gagang pintu.
Fiolina
sepertinya harus membeliakkan kelopak matanya lebar-lebar. Apa yang ditampilkan
lewat LCD smartphone-nya membuat air
mata gadis itu meluncur pelan. Tangan kanannya bergetar hebat. Hampir-hampir
genggam tangannya melepas handphone-nya.
“Ada
apa, Fiolina?! Itu pesan dari siapa?!” Anggara mendesak Fiolina untuk menjawab
tapi gadis itu menangis sesunggukan. Air matanya menetes lebih banyak.
Anggara
mengambil handphone yang masih dalam genggaman tangan Fiolina. Ia membuka pesan
masuk whatsapp. Ada pesan video dari Jonas. Ketika melihat video itu, deru
napasnya seakan menjadi berat.
Ada
dengus amarah dan kekecewaan luar bisa ketika dalam video itu dirinya
menyaksikan kalau Jonas dan kepala
pimpinan sedang menyetubuhi Chyntia secara brutal. Kepala pimpinan memukul-mukul
kepala si perempuan malang itu hingga hancur tak berbentuk. Tubuh bugil
Chyntia, Jonas dan kepala pimpinan bermandikan darah segar. Usai menyiksa
Chyntia secara biadab, keduanya membawa peralatan bedah untuk mengambil organ
tubuh gadis itu.
“Aku...
aku... tidak akan... memaafkan para bajingan itu!” pekik Anggara. Air matanya
ikut menetes tak bisa membayangkan bagaimana sakit dan laknatnya penyiksaan
yang dilakukan kedua orang itu.
“Halo...”
kalimat sapaan dari Jonas menjadi pembuka pembicaraan ketika Anggara membuka
video ketiga.

No comments:
Post a Comment