Tuesday, 6 November 2018

DUAL - 18



Pranoto Satya Doeadji
            Perjalanan berjam-jam mau tak mau harus ditempuh Anggara dan Fiolina. Mereka hampir kesasar ketika mencari Hotel Edelweiss. Keduanya bertanya ke sana ke mari guna mencari letak hotel itu juga berbekal keterangan Rusli Ali Hidayat. Akhirnya mereka berdua menemukan hotel berbintang lima itu.
            Hotel itu diperkirakan memiliki empat puluh tingkat gedung. Bagian tengah hotel terpasang nama hotel yang dipercantik dengan lampu kecil berwarna-warni yang menyala di malam hari. Pintu masuk hotel dipasang pintu otomatis yang bisa buka tutup dan seorang bellboy siap menanti tamu-tamu yang datang ke hotel. Mereka kini kembali ke tanah bekas berdirinya panti asuhan Kasih Kita yang sekarang menjelma menjadi gedung pencakar langit.
            “Selamat malam, Bapak,Ibu. Selamat datang di Hotel Edelweiss. Ada yang bisa kami bantu?” sapa sang resepsionis sambil menawarkan hal-hal yang mungkin bisa dibantu si resepsionis perempuan.
            “Ya kami ingin tahu apakah direktur Hotel Edelweiss, Pranoto Satya Doeadji, berada di sini?” Tanpa tedeng aling-aling, Anggara menanyakan keberadaan sang direktur yang mereka cari.
            “Sebelumnya maaf, Pak, ada keperluan apa Bapak bertemu dengan Pak direktrur? Apakah Bapak sudah bikin janji dengan Pak direktur?” Sang resepsionis merasa curiga dengan dua tamu di hadapannya. Jika dilihat dari perawakan mereka, sang resepsionis menduga kalau mereka akan berbuat sesuatu yang tidak-tidak. Untuk menjaga supaya hal itu tak terjadi, sang resepsionis bertanya sesopan mungkin mengenai maksud kedatangan mereka.
            Anggara berdecak pelan. Dalam pikiran lelaki itu kalau sudah banyak tanya begini, pasti akan sulit. Ia menatap Fiolina yang berada di sebelahnya. Fiolina melalui tatapan mata yang diisyarakatkan Anggara mengatakan, apakah sebaiknya resepsionis ini dihabisi?
            Perempuan berkulit sawo matang menggeleng pelan lalu melirik pada sang resepsionis. Ia mengeluarkan kartu ATM di dalam dompet. “Kuharap kau mampu diajak bekerjasama, Nona. Aku harap kau bisa mengatakan di mana direkturmu berada.”
            Perempuan yang ditaksir Fiolina berusia 19 tahun itu diam sejenak. Ia masih menimbang-nimbang dalam pikirannya apakah dia harus menerima kartu ATM itu atau tetap berpegang pada kode etik.
            “Saldo dalam kartu itu berkisar Rp 3.956.000,00. Aku yakin untuk anak gadis lajang sepertimu, uang itu sudah cukup membeli bedak, lipstik, body lotion sampai membeli BH dan CD-mu. Kode PIN akan kuberitahu kalau kamu mau menunjukkan di mana ruang kantor direkturmu.” Fiolina menyatakan nominal uang yang berada di kartu ATM-nya.
            Tidak butuh waktu lama, gadis remaja itu mengangguk setuju. Ia bangkit berdiri dari meja tugas. Anggara dan Fiolina mengulas senyum puas. Sebelum menjumpai kedua orang asing itu, gadis 19 tahun itu menitipkan pekerjaannya pada teman yang berada di sebelahnya.
            “Ikuti saya,” ujar gadis remaja 19 tahun itu. Sepuluh meter dari meja resepionis, ketiganya sudah berdiri di depan lift. Sang gadis resepsionis menekan tombol angka ke lantai 12.
            “Apakah ini tidak bisa langsung menuju lantai kantor direkturmu?” tanya Anggara.
            “Kita akan menaiki lift sebanyak tiga kali. Kantor direktur berada di lantai 36. Mohon bersabar ya,” jelas sang gadis resepsionis. Keduanya cuma mengangguk pelan.
            Kini mereka bertiga sudah berada di dalam lift. Awalnya belum ada yang berani memulai percakapan. Ketiganya masih membisu dan sibuk dengan gawai masing-masing. Anggara yang bosan dengan gawainya, iseng bertanya pada gadis itu.
            “Hei, Dek, kalau boleh tahu siapa namamu?”
            “Riska, Pak. Saya baru empat bulan bekerja di hotel ini.” Lelaki berkulit putih itu mengangguk pelan ketika ia tahu identitas gadis itu. Padahal ia berharap kalau gadis itu merupakan pegawai tetap di hotel itu. Ia ingin mendengar apa saja yang selama ini ia ketahui tentang hotel Edelweiss termasuk sang direktur yang mereka cari. Banyak pasangan muda silih berganti, keluar masuk dari lantai satu ke lantai lainnya. Begitu banyak pasangan muda-mudi memakai pakaian bermerek serta para perempuan mengenakan pakaian dan perhiasan ala pelacur high class. Keduanya berasumsi kalau banyaknya tingkatan lantai di hotel ini digunakan sebagai prostitusi.
            Akan tetapi, mereka berdua tidak punya urusan dengan para pelacur yang melanggeng bebas di lantai hotel. Yang terpenting saat ini sampai di lantai 36. Suasana kembali hening sediakala. Anggara kembali memainkan PUBG yang sempat berhenti. Lima belas menit lamanya ia harus berganti lift untuk menuju ke lantai 36. Ketika permainan mulai menunjukkan tanda-tanda kemenangan, sang gadis resepsionis menginterupsi kesenangannya.
            “Pak, kita sudah sampai.” Tidak terasa kalau mereka sudah berada di lantai 36. Anggara berdecak kesal. Mau tak mau ia harus menghentikan permainannya yang sudah mencapai kemenangan. Ia menonaktifkan permainan lalu menyimpan handphone di dalam saku celana jins.
            “Yang mana kantornya?” tanya Anggara pada gadis itu.
            Gadis itu mengacungkan telunjuk pada satu ruangan terpasang plangkat berlampu bertuliskan DIREKTUR. “Itu dia.”
            Anggara menoleh Fiolina bersamaan dengan anggukan kepala mereka berdua. Sebelum mereka mencapai kantor direktur, gadis itu menjulurkan tangan seraya menahan langkah keduanya.
            “Kau kan sudah berjanji...,” ujar gadis itu pada Fiolina. Ia mengerti apa yang dimaksud gadis itu. Ia merogoh kantongnya lalu melemperkan secarik kertas yang terlipat.
            “Terimakasih,” ucap gadis itu lalu meninggalkan mereka di sana.
            “Kau serius memberikan kartu ATM dan kode PIN-mu pada gadis itu?” Anggara menyuruh rekannya memelankan derap kakinya sambil menyiagakan senjata.
            “Hehe sebenarnya saldonya tinggal Rp 396.700,00 lagi. Lagipula hari ini masa aktifnya sudah habis. Biar dia sendiri yang memperbarui masa aktif kartunya,” balas Fiolina. Kedua tangannya sudah bersiaga memegang Colt 911.     
            Tapi ada satu hal menjadi tanda tanya dalam pikiran keduanya. Hotel ini seperti tidak punya sistem keamanan memadai. Selain satpam yang menjaga pintu masuk, tidak ada dia temukan satu pun satpam atau sekuriti berkeliling memantau keadaan hotel. Namun hal itu tak menjadi masalah bagi Anggara. Ia cukup menguntungkan dirinya.
             “Kau mendengar suara?” bisik Anggara pada Fiolina.
            “Maksudmu... suara desahan ‘kan?” Fiolina mengerling matanya sekejap. Anggara mengangguk pelan atas jawaban benar dari rekannya.
            “Baiklah, pertama kita ketok pintu ini lalu setelah kita dibuka, langsung eksekusi.” Fiolina mengangguk mengerti dengan instruksi dari rekannya. Kini mereka berdua sudah berada  tepat di ruangan sang direktur. Memang suara desahan itu berasal dari ruangan sang direktur. Anggara berdiri di sebelah kiri dan Fiolina berdiri di sebelah kanan.
            Sementara di dalam ruangan, seorang pria berusia 40 tahun sedang asyik menikmati layanan dari gadis yang diperkirakan berusia 26 tahun ini. Goyangan dan desahaan sang gadis dan pria menghasilkan gejolak birahi. Mereka hanyut dalam permainan biologis yang dinamakan persetubuhan. Persetubuhan yang melibarkan atasan dan sekretarisnya.
            “Pak...” panggil si gadis dengan suara berat bercampur berahi, “ada yang ketok-ketok.”
            Sang direktur sudah mendengar suara ketukan pintu sebanyak dua kali. Hanya saja dirinya malas menanggapi. Dia terus berkonsentrasi pada bentuk konkrit kenikmatan duniawi di hadapannya. Akan tetapi suara ketukan pintu semakin intens mengganggu kesenangan dua insan beda jenis itu.
            “Brengsek!” maki sang direktur. Ia memberhentikan secara sepihak aktivitas biologisnya. Ia terus memaki-maki pelayan hotel yang bersikap tidak sopan mengganggu kesenangannya.
            “Permisi, Pak. Makan malamnya sudah siap,” ucap Anggara dari luar. Ia memanipulasi diri seolah dirinya adalah pegawai hotel untuk memancing sang direktur agar mau membuka pintu.
            Sambil merapikan jas dan ikat pinggang, dengan langkah kaki cepat dan tangan kanan memegang kunci. Ia tak sabaran ingin memberikan pelajaran kepada pegawai hotel yang kurang ajar itu.
            Bola mata sang direktur terbeliak. Raut wajah langsung menunjukkan ketakutan. Dua orang tidak dikenal  dan bersenjata api langsung menggerebek ruangannya. Sementara sang gadis cuma mematung saja mengamati sang direktur yang sedang terancam.
            “Si-siapa kalian?! Apa kaliian polisi?!” Sang direktur mencecar pertanyaan interogratif dengan suara bergetar.
            “Apa benar Anda yang bernama Pranoto Satya Doeadji?” Anggara balik bertanya sambil mengacungkan pistol tepat di kening pria paruh baya itu.
            “Mau apa kau mencari saya?!” ketika sang direktur akan mengacungkan pisau yang terselip di pinggang, Anggara sigap merebut pisau dari tangan si pria kemudian melemparkannya jauh dari tempatnya berdiri.
            “Tepat sekali. Kami punya beberapa pertanyaan untukmu sebelum peluru di pistolku ini meledakkan isi kepalamu dan juga gundikmu ini.” Pranoto tidak punya pilihan lagi selain diam dan menuruti apa kata dua penjahat itu.
            “Yang pertama...” terdengar suara letupan pistol mengenai lantai ruangan sang direktur. Rupanya sekretaris sekaligus wanita pemuas nafsu Pranoto berusaha mengambil pisau yang tergeletak tak jauh dari tempatnya berdiri. Hampir saja peluru timah itu melubangi tangan putihnya yang halus. Dan gadis itu kembali membeku bagai patung manekin wajah pucat pasi.
            “Kerja bagus, Fiolina. Pertanyaan pertama, apa benar hotel ini dulunya berdiri di atas tanah panti asuhan Kasih Kita?” Ia berusaha bertanya dengan tenang tanpa membawa kenangan masa lalunya di panti asuhan Kasih Kita.
            “Ya-yang kau bilang itu benar. Sembilan tahun yang lalu, sebelum kami membangun hotel ini, kami mendengar rumor bahwa di panti asuhan ini telah terjadi pembantaian sadis. Korbannya adalah seorang wanita yang diperkirakan adalah pengurus panti dan seluruh anak-anak panti yang diperkirakan 25 orang. Akan tetapi polisi menghentikan penyelidikan dan menutup kasus itu karena tidak adanya satupun saksi maupun barang bukti. Tahun berikutnya kami setelah kami mengurus surat kepemilikan tanah panti itu, kami mulai membangun hotel ini,” jelas Pranoto panjang lebar.
            Anggara terkekeh mendengar uraian panjang lebar dari Pranoto. Tangan kanannya makin menggenggam gagang pistol itu. “Bapak tahu, siapa anak-anak yang masih hidup ketika peristiwa pembantaian itu?”
            Pranoto menampakkan raut wajah yang memang diatur untuk tetap tenang bahkan dalam kondisi tertekan.
            “...Mereka... ada di hadapanmu.” Lelaki berusia 42 tahun itu melebarkan kelopak mata secara spontan diikuti suara napas tertahan di tenggorokan.
            “Walaupun kami masih anak-anak tapi kami tahu apa permasalahan yang terjadi di panti asuhan kami. Aku ingat saat seorang laki-laki berpakaian rapi dan formal mendatangi panti asuhan kami, dia bilang kalau dia ingin membeli panti ini. Aku yakin, yakin sekali kalau itu kau, Pranoto Satya Doedji!” Anggara sebisa mungkin menuruti setan-setan yang berbisik di telinga agar ia segera membedil kepala Pranoto.
            “Tunggu dulu! kau bilang, kau belum punya bukti jelas menuduhku sebagai orang yang bertanggungjawab atas pembantaian ibu asuh dan teman-temanmu ‘kan? Jadi kau tidak bisa menuduhku sembarangan. Aku akan panggil satpam untuk menyeretmu dari ruangan saya,” sangkal Pranoto. Ia menerima segala tuduhan Anggara pada dirinya.
            Ingatan Anggara merekam jelas bagaimana perawakan Pranoto meskipun peristiwa itu sudah berlalu bertahun-tahun. Ia masih mengingat mulai dari sisiran rambut sampai dengan aksen bicaranya. Pikirannya mengatakan kalau pria yang ada di hadapannya adalah Pranoto Satya Doeadji.
            “Kelihatannya kau keras kepala sekali, Orang Tua. Kalau cara halus tidak bisa membuatmu membuka mulut, mungkin peluru ini bisa membuatmu bicara.” Lelaki berambut pirang itu tidak bisa memberikan toleransi kesabaran lagi. Lelaki paruh baya di depannya memang tidak bisa diajak kompromi. Anggara mengarahkan telunjuknya di depan pelatuk pistol.
            Letupan pistol milik Anggara melubangi asbes kantor Pranoto. Rupanya lelaki paruh baya itu secara cepat memegang pergelangan tangan Anggara lalu mengarahkan muncung pistol ke atas. Pranoto memelintir tangan lelaki rambut pirang itu hingga pistol yang dia pegang terlepas.  
            “Argh sialan!” Anggara yang tersulut emosi, mengarahkan bogem mentah miliknya ke wajah Pranoto. Akan tetapi pukulan Anggara berhasil dielakkan oleh lelaki paruh baya itu lalu memberikan serangan balasan melalui tinjuan di bagian perut.
            Perhatian Fiolina teralihkan pada Anggara. Perempuan yang dari tadi disandera Fiolina segera mengambil pisau yang tergeletak tak jauh dari kaki. Ia menggengam pisau itu lalu dilayangkan ke pipi.
            Terlambat bagi Fiolina untuk mengelak. Pisau itu menorehkan goresan di bagian pipi. Dari pipi tergores itu darah segar mengalir. Dalam hati Fiolina, ternyata gadis itu tidak hanya pandai urusan ranjang. Ia pandai juga dalam urusan mempertahankan diri. Lelaki berambut pirang merasa bahaya sedang dihadapi rekannya. Tapi ia sendiri dalam sedang posisi tidak menguntungkan. Tangan kanan Pranoto menjepit kuat batang lehernya.
            Gawat! Aku... mulai susah bernapas! pekik batin Anggara sambil berusaha melepaskan pitingan tangan Pranoto. Ia hampir saja menyerah. Tetapi melihat rekannya yang dalam kondisi bahaya, Anggara mengepalkan tangan, menekuk pergelangan tangan lalu memukulkan bagian sikut ke perut Pranoto kuat-kuat.
            Saat Pranoto mengaduh kesakitan, Anggara mengambil kesempatan memelintir pergelangan tangan lelaki itu lalu menghempaskan ke lantai. Anggara secepat kilat mepistol itu. Tanpa banyak basa-basi ketika Pranoto bangkit, ia mengarahkan ujung pistol tepat di keningnya.          
            “Habisi saja dia, Fiolina,” suruh Anggara. Tubuh Pranoto jatuh begitu saja ketika dua timah panas menembus tulang tengkoraknya. Begitu mendapat perintah dari Anggara, Fiolina langsung mengeksekusi dengan menekan pelatuk Colt 911.
            Kini giliran perempuan itu menyusul Pranoto ke alam baka. Anggara dan Fiolina mengembuskan napas lega. Keduanya memilih beristirahat dengan menyandarkan punggung pada dinding.
            “Fiolina...”
            “Kenapa?”
            “Coba kita periksa dokumen-dokumen di ruangan ini sebelum kita keluar dari sini. Kalau ada yang berhubungan dengan panti asuhan atau HOVTA, ambil saja.” Begitu mereka tidak merasa kelelahan lagi, keduanya langsung bangkit berdiri. Mereka beralih pada lemari berkas bertingkat empat yang berada di belakang meja kerja Pranoto.
            Keduanya menjatuhkan semua berkas yang tertata rapi di lemari ke lantai. Mereka membuka map-map tergeletak satu per satu. Sekian lama memeriksa map, Fiolina menemukan satu map yang mencurigakan.
            “Apa ini?” Setelah dibuka, map itu berisi tiga lembar perjanjian yang di dalamnya disebut nama HOVTA, Killer Order.
            “Nanti saja dibaca. Aku juga sudah dapatkan 3 map. Yang terpenting ayo keluar dari sini,” ajak Anggara seraya menarik tangan Fiolina agar ia tidak ketinggalan. Sebelum mereka beranjak dari ruangan, tiga kali handphone Fiolina bergetar.
            “Sebentar Anggara. Sepertinya ada pesan masuk ke whatsapp-ku,” tahan Fiolina. Terpaksa langkah kaki Anggara terhenti padahal ia sudah nyaris memegang gagang pintu.
               Fiolina sepertinya harus membeliakkan kelopak matanya lebar-lebar. Apa yang ditampilkan lewat LCD smartphone-nya membuat air mata gadis itu meluncur pelan. Tangan kanannya bergetar hebat. Hampir-hampir genggam tangannya melepas handphone-nya.
            “Ada apa, Fiolina?! Itu pesan dari siapa?!” Anggara mendesak Fiolina untuk menjawab tapi gadis itu menangis sesunggukan. Air matanya menetes lebih banyak.
            Anggara mengambil handphone yang masih dalam genggaman tangan Fiolina. Ia membuka pesan masuk whatsapp. Ada pesan video dari Jonas. Ketika melihat video itu, deru napasnya seakan menjadi berat.
            Ada dengus amarah dan kekecewaan luar bisa ketika dalam video itu dirinya menyaksikan kalau  Jonas dan kepala pimpinan sedang menyetubuhi Chyntia secara brutal. Kepala pimpinan memukul-mukul kepala si perempuan malang itu hingga hancur tak berbentuk. Tubuh bugil Chyntia, Jonas dan kepala pimpinan bermandikan darah segar. Usai menyiksa Chyntia secara biadab, keduanya membawa peralatan bedah untuk mengambil organ tubuh gadis itu.
            “Aku... aku... tidak akan... memaafkan para bajingan itu!” pekik Anggara. Air matanya ikut menetes tak bisa membayangkan bagaimana sakit dan laknatnya penyiksaan yang dilakukan kedua orang itu.
            “Halo...” kalimat sapaan dari Jonas menjadi pembuka pembicaraan ketika Anggara membuka video ketiga.

No comments:

Post a Comment