Friday, 29 April 2016

Absurd : Misteri Tiga Wajah Iblis - 11



Adi tak memperkirakan perjalanan menuju ke rumah orang tuanya akan memakan waktu yang cukup lama. Ia tak menduga penyakit yang sering melandanya tiba-tiba, akan mengganggu konsentrasinya dalam mengemudi. Bahkan, hampir saja, seorang pengendara sepeda motor menabrak mobilnya. Lantaran dirinya menghentikan mobil secara mendadak tanpa memperhatikan seorang pengendara sepeda motor melaju agak kencang di belakangnya.
            Ia tak memperdulikan caci maki yang terlontar dari mulut sang  pengendara. Adi langsung membelokkan mobilnya di pinggir jalan. Ia membuka kaca mobil supaya udara dari luar bebas masuk. Terkadang, dirinya lebih menyukai udara alami ketimbang udara yang berasal dari AC mobilnya. Lebih sejuk rasanya.
            Lelaki itu merobek satu pil Bodrex. Mengambil sebotol air mineral yang sering dibawa di dalam mobil kemudian menenggaknya. Berangsur-angsur, sakit kepala yang menghantam otaknya mulai berkurang tapi tak sengaja, Adi melihat sebuah mobil terparkir tak begitu jauh dari tempatnya. Dan, sang pengendara menyembulkan kepalanya, melihat siapa seseorang yang berada di belakangnya.
            Kau takkan kubiarkan lolos! Ucap Adi sambil menggeram pelan. Ia memutar kunci mobilnya, menekan pedal gas agar mobilnya melaju kencang. Sepertinya, sang pengendara mobil yang berada di depan Adi, tahu kalau sedang diintai. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan maksimum. Kini keduanya bak penguasa jalanan yang sedang beradu kecepatan di jalan raya yang cukup ramai akan pengendara mobil dan sepeda motor lainnya.
            Kecepatan dua mobil itu cukup berimbang. Mendahului satu sama lain seolah tak membiarkan kekalahan menjadi hasil persaingan mereka. Adi harus merelakan buruannya lepas begitu saja dari pengejarannya. Lagi-lagi, ia harus menelan kekecewaan bulat-bulat, tak mampu meringkus seseorang yang selama ini dicarinya.
            Adi mendesah kesal sambil melirik ke arah Arloji merek Seiko yang melingkar di lengannya. Jarum panjang dan pendek menunjukkan pukul satu siang. Ia sekali lagi merutuki ketidakmampuanya dalam menangkap penjahat yang selama ini dicari-carinya. Saat ini, dirinya masih berada di Gunung Bayu. Jika diperkirakan, perjalanan yang ditempuhnya untuk sampai ke Kisaran, akan memakan waktu sekitar satu setengah jam lagi. Ditambah lagi, rumah orang tuanya melewati pusat kota Kisaran. Butuh waktu 15 menit untuk sampai di sana.
            Untungnya, kepadatan di jalan raya tidak begitu parah. Masih bisa ditoleransi meskipun banyak truk colt diesel dan truk panjang memenuhi badan jalan.
            Tinggal sebentar lagi, Adi akan tiba di pusat kota Kisaran. Walaupun sengatan matahari membuat udara di sekitar menjadi lebih panas, ia tetap tenang mengendalikan kemudinya. Setelah melepaskan jaket, dirinya membuka dua kancing kemejanya serta membuka kaca jendela agar sirkulasi udara di dalam mobilnya lebih lancar.
            Cukup banyak gedung pencakar langit yang berdiri kokoh di atas  permukaan tanah. Jalan raya yang memiliki dua lajur memuat armada angkutan umum dan ratusan mobil dan motor yang merayap di dalam hiruk pikuk lalu lintas termasuk mobil milik Adi di sana.
            Setelah membelokkan mobilnya ke kiri, Adi harus menunggu sekitar lima belas menit lagi agar dirinya bisa tiba di rumah ornag tuanya. Di perjalanan, jarum indikator menunjukkan kalau bahan bakar mulai menipis. Ia harus menyinggahkan mobilnya, menyuplai bahan bakar agar ia bisa melanjutkan perjalanannya lagi.
            Begitu menjumpai persimpangan empat, Adi harus menunggu lampu rambu lalu lintas berubah menjadi hijau. Hal ini dikarenakan jalan yang berada di lajur kanan, masih disarati puluhan kendaraan bermotor yang mempergunakan kesempatan ini untuk melaju lebih cepat.
            Setelah lampu berganti hijau, para pengguna jalan yang berada di lajur kiri, memacu kendaraan mereka lebih kencang selagi lampu masih hijau. Begitu melihat SPBU, Adi memutar haluan mobilnya ke sana.
            Cukup banyak antrian mobil di lajur solar. Ia harus menunggu dua mobil lagi depannya agar tiba gilirannya. Kini gilirannya sudah tiba. Begitu dirinya menyerahkan uang, petugas SPBU langsung mengisi bahan bakar ke tangki. Sudah terisi, dirinya langsung meninggalkan area stasiun.
            Lelaki berkemeja itu melirik sedikit ke arlojinya. Tinggal lima menit lagi. Lagi pula, jarak rumah orang tuanya dari SPBU cukup dekat. Ia tinggal mengarahkan kendaraannya ketika melewati jalan Anggrek.
            Jalan Anggrek merupakan salah satu jalan yang terdapat di pusat kota Kisaran. Di jalan ini, terdapat ratusan rumah yang didominasi bangunan ala luar negeri. Dengan sentuhan seni, bangunan rumah di sana bagaikan sebuah miniatur rumah masyarakat di negara Spanyol. Tapi Adi benar-benar ingat bagaimana rumah ornag tuanya.
            Rumah orang tuanya tidak terlalu menonjolkan seni kemewahan. Bangunan rumah dengan cat luar hijau muda dan sebuah teras kecil cukup sederhana bila dilihat kebanyakan orang. Tapi disitulah letak keuniknya. Bukan soal kemewahan, tapi apakah penghuni yang menempatinya cukup nyaman dan tentram bernaung di sana. Itulah juga yang menjadi prinsip Adi dalam membangun rumahnya di Pematangsiantar.
            Saat dirinya tepat berada di gerbang luar, Adi menekan klakson sebanyak dua kali.
            Tit! Tit!
            Suara klakson yang dihasilkan mobilnya, membuat penghuni rumah keluar dari kediamannya. Seorang wanita berambut kuda melangkah gesit menuju gerbang. Ratusan uban yang mendominasi di antara rambut hitam menujukkan kalau sang wanita sudah melewati umur setengah abad. Adi memilih keluar dari mobilnya, membantu sang wanita tua membuka gerbang.
            Adi membuka pagar seluas ukuran mobilnya. Ia langsung menghantarkan mobilnya ke dalam. Sang wanita sudah berada di sampingnya, menemani dirinya berjalan.
            “Kamu barusan sampai ya, nak?” tanya sang wanita.
            “Iya, bu. Tapi yang mengherankan, kuamati, kota Kisaran ini semakin panas,” balas Adi sambil mengeluarkan saputangan mengelap keningnya yang dipenuhi bulir-bulir keringat.
            “Ya kamu tahu sendiri, nak, kota ini juga dikelilingi pantai jadi wajar saja kalau kota ini lumayan panas. Oh ya, nak, kamu mau minum apa? Ibu hampir lupa menanyakannya samamu,” tanya wanita itu lagi sambil menepuk pelan keningnya.
            “Air dingin saja, bu. Tidak usah repot-repot,” sahutnya sambil mengulas senyum kecil dibibirnya.
            Sang wanita langsung mengiyakan permintaan anaknya. Ia langsung menghambur sementara Adi duduk tenang menikmati suasana di rumahnya.
            Dia ingat saat dirinya menggelar resepsi adat pernikahan dengan Cahyana. Halaman rumah tak cukup menampung rombongan tamu dan alat musik sewaan. Ia terpaksa mengambil sedikit bagian jalan agar bisa memuat seluruhnya. Memang masih ada jalan tembus untuk warga jalan Anggrek melalui jalan Edelwies yang berada di sebelah kanan jalan Anggrek. Jadi, dengan adanya jalan tembus tersebut pihak keluargnya sama sekali tidak mengganggu aktivitas para penghuni rumah di sana.
            Adi terpaksa merampungkan seluruh lamunannya ketika ibunya sudah membawa segelas air dingin di genggamannya. Ia memperhatikan tangan ibunya yang mulai berkerut dan gemetar. Usia memang bisa membatasi kekuatan seseorang tetapi usia tidak bisa membatasi perhatian dan kasih sayang seorang ibu pada anaknya. Itulah yang berada di dalam pikiran Adi mengenai ibunya saat ini.
            Ibunya meletakkan gelas itu di hadapan anaknya. Lelaki muda itu langsung menyeruput air yang berada di dalamnya. Dingin dan menyejukkan dada. Setidaknya bisa menghapus rasa lelah dan penat selama dua setengah jam berada di jalan raya yang sarat akan panas dan suntuk.
            Adi menaruh gelasnya yang tinggal setengah seraya menghela napas membuka pembicaraan.
            “Ibu, di mana ayah? Dari tadi aku tidak melihatnya.”
            “Oh, ayahmu belum pulang. Ia masih punya pertemuan dengan salah satu kliennya di tempat prakteknya. Kau tahu, ayahmu ‘kan seorang psikolog.” Wanita separuh baya itu memandang ke arah wajah anaknya.
            Adi mengetahui bahwa kedua orang tuanya adalah orang yang tergolong sibuk. Ibunya adalah seorang guru SMP berstatus PNS yang mengajar di sebuah sekolah negeri dan ayahnya juga seorang psikolog. Dirinya juga sering diajak ayahnya mengunjungi tempat prakteknya. Tapi tak jarang, para klien ayahnya menggunakan rumah sebagai tempat praktek. Seingatnya, para klien yang sering berkonsultasi dengan ayahnya membicarakan tentang masalah tekanan pekerjaan, konflik suami istri atau anak-anak yang sering berulah di sekolah.
            “Dan, di mana Septi, bu? Apa dia masih tinggal di sini?”
            “Dia sudah menikah dan ikut suaminya ke Bengkulu. Di sana, suaminya bekerja sebagai polisi dan dia bekerja sebagai bidan.”
            Sudah lama dirinya tidak berjumpa dengan Septi, teman SMP-nya. Kalau diingat-ingat hampir dua belas tahun. Satu kenangan manis yang teringat ketika teman-temannya menggoda dirinya karena kedekatannya dengan Septi waktu itu adalah siswi pintar yang sering mendapatkan juara di sekolahnya. Ia sendiri tidak tahu apakah Septi menyukai dirinya. Dirinya juga hanya menganggap perempuan pintar itu sebagai teman dekat. Tidak lebih dari itu. Karena waktu itu, dia belum terpikir sama sekali untuk berpacaran. Ia ingin menghabiskan masa SMP-nya dengan berteman dengan banyak orang.
            “Wah, beruntung sekali dia. Sudah cantik bidan pula. Pasti suaminya juga bahagia bisa dapat istri seperti dia,” ungkap Adi bangga.
            “Kamu juga beruntung, nak, bisa dapat istri secantik dan sebaik Cahyana. Di samping itu ‘kan, dia mampu mandiri dengan usaha yang digelutinya sekarang,” sambut ibunya.
            “Ya aku tahu, bu, tapi sepertinya masih ada yang kurang,”
            “Apa itu?”
            “Kehadiran seorang anak.”
            “Jadi sampai saat ini, Cahyana belum menunjukkan tanda-tanda akan mengandung?”
            Adi menggeleng pelan. Ibunya berpikir sejenak, mencari jawaban yang akan diungkapkan kepada anaknya.
            “Jangan murung begitu, nak. Tuhan memang menakdirkan sepasang insan manusia hidup bersama dalam sebuah rumah tangga nan suci tapi mereka perlu berusaha dan bersabar menantikan titipan Tuhan itu pada mereka. Yang kamu perlukan hanya kesabaran tanpa batas dan usaha. Yang terpenting adalah doa.” Ibunda Santoso menatap kasih ke arah mata anaknya yang terlihat putus asa.
            “Terimakasih ibu. Kau selalu menyemangatiku.” Adi mengangguk pelan sambil mengembangkan senyum tipis di bibirnya.
            “Tapi pernahkah kau membicarakan hal ini pada istrimu, Cahyana?” sela ibundanya.
            “Pernah tapi akhir-akhir ini, dia punya proyek baru dengan seorang produser film. Dia menawarkan kerjasama untuk Cahyana di bagian penata busana sekaligus ia ingin memperkenalkan produk jualannya kepada para aktor dan aktris di sana.”
            “Ibu hanya ingin menasihati kamu agar bisa lebih tegas mengatur istrimu, nak. Jangan sampai dia melupakan kodratnya sebagai istri dan seorang ibu rumah tangga yang akan mengayomi anak-anak dari rahimnya.”
            Adi hanya mengangguk pelan tanpa menatap ibunya. Tapi naluri seorang ibu tidak bisa dibohongi anaknya. Ia tahu anaknya sudah cukup lelah menghadapi persoalan seperti ini. Lelaki tampan tersebut memilih masuk ke rumah. Ia sudah bosan dengan keadaan di luar rumah.
            Adi mengedarkan pandangannya ke seisi rumah. Ia mengarahkan kedua bola matanya ke salah satu bingkai foto yang terpajang di ruang tamu. Di dalam foto itu terdapat seorang anak laki-laki sedang merangkul pundak seorang anak laki-laki juga. Tinggi keduanya bisa dikatakan hampir sama. Adi baru ingat kalau laki-laki yang dirangkulnya adalah Bayu. Foto itu diambil ketika dirinya dan Bayu merayakan hari perpisahan sekolah. Bayu menyuruh temannya yang memnbawa kamera, memfoto dirinya dengan Adi. Meskipun hasil fotonya masih sederhana, itu adalah kenangan yang bisa dia ingat ketika sudah menyelesaikan studi SMA-nya. Dan kini, ia hanya bisa merindukan sosok temannya tersebut tanpa mengetahui bagaimana keadaannya sekarang.
            Mengetahui ibunya berada di dapur, Adi melangkahkan kakinya ke sana. Ia berniat menanyakan pada ibunya apakah Bayu, teman baiknya, pernah mengunjungi rumah ini.
            Sesampainya di dapur, ia menyaksikan ibunya sedang merajang batang kangkung dengan pisau ditangannya. Ibunya selalu tahu apa masakan kesukaan anaknya.
            Tumis kangkung taoco dengan sambal cabe rawit membuat selera makanannya melonjak dratis. Ia tak pernah menyisakan sedikit butir nasi tertinggal di piring jika ibunya memasak sayur itu. Dan hasilnya, ia selalu puas dengan apa yang dimasak oleh ibunya dan mungkin Cahyana harus belajar teknik memasak dari ibunya.
            Wanita paruh baya itu berdiri membelakangi putranya. Adi memilih menyeret kursi yang berada di dalam meja makan dan duduk di hadapan punggung ibunya.
            “Bu, ibu masih kenal dengan Bayu, ‘kan?”
            “Hmm, temanmu yang sering kau ajak main-main ke rumah ini ‘kan?”
            “Iya. Apakah dia pernah mengunjungi rumah ini dan menanyakan kabarku?”
            “Pernah. Kalau tidak salah sekitar seminggu yang lalu. Katanya, dia baru pulang kerja dari Singapura. Dia juga bilang kalau dirinya bekerja di sana sebagai pegawai swasta. Tapi, dia tidak menanyakan kabarmu, nak. Ia hanya bisa menitipkan salam untukmu,” jawab ibunya sambil berfokus pada kangkung yang diranjangnya.
            Uh, sombong sekali dia. Mentang-mentang sudah kerja di Singapura, ujar batin Adi dongkol.
            Adi beranjak dari kursinya menuju lemari makanan. Ia mengambil setoples gula lalu menuangnya gelas yang berada di genggamannya. Kemudian, mengambil satu sendok makan bubuk kopi yang dituangkan lagi ke dalam gelasnya. Pria muda itu ingin menikmati suasana sore hari dengan menonton TV yang berada di ruang tamu sambil menunggu makan malam disiapkan.
            Setiap jam, menit, dan detik menimbulkan pergantian momen yang tak terduga. Jam dinding bulat yang terpaku di atas TV menunjukkan pukul 19.30 malam. Ia baru saja selesai keluar dari kamar mandi memakai celana pendek. Dada bidangnya masih dipenuhi titik-titik air yang belum terjamah oleh handuk biru yang dibawanya dari Siantar. Ketika sedang asyik mengelap rambut, Adi terkejut dengan seorang pria yang seumur dengan ibunya sudah duduk tenang di meja makan.
            “Ayah, baru pulang pratek, ya kan? Kenapa cepat sekali berada di meja makan?” tanya Adi sambil mengelap dadanya yang masih dibasahi air.
            “Ayah  sudah satu jam berada di rumah. Kamu saja yang masih bisa tidur jam enam sore. Awas didatangi setan,” ungkap ayahnya sambil menggoda anaknya yang masih berdiri di depannya.
            “Ah, ayah tenang saja. Di Siantar, aku sudha terbiasa tidur jam segitu. Tapi, enggak terjadi apa-apa kok padaku,” balas Adi sambil menggedikkan bahunya.
            “Kalau begitu, cepat pakai baju kamu. Masakan ibumu tidak enak dimakan dalam kondisi dingin.”
            Adi berdeham sambil berlalu dari hadapan ayahnya menuju kamar tidurnya.
            Begitu sudah mengenakan baju, Adi menggegas kedua kakinya menuju meja makan. Di meja makan berukuran 50x100 sentimeter itu memuat sepasang lelaki dan perempuan renta yang siap menyambut dirinya. Semangkuk tumis kangkun taoco mengepulkan uap tipis di atasnya. Beralih ke sebuah piring keramik yang dipenuhi tiga potong ikan gurami bersambal cabe merah. Wanginya harum sampai menyentuh indra penciuman Adi. Rasanya, ia tidak sabar menyantap semua hidangan lezat yang sudah terpampang di depan matanya.
            Adi duduk di depan ayah dan ibunya. Lalu, menyendok nasi yang sudah tersedia di dalam periuk kecil. Begitu tiga kepalan nasih sudah terletak di atas piringnya, ia mengambil dua sendok sayur kangkung diikuti satu potong ikan gurami. Betul-betul lengkap kenikmatan makan malam hari ini. Setelah memanjatkan doa, barulah mereka menyantap hidangan makan malam buatan ibunda Adi.
            Suasana makan malam begitu hangat. Ketika kunyahan nasi tersalurkan ke lambungnya, ayah Adi mencoba menanyakan keadaan anaknya sambil membentuk kepalan nasi yang baru di tangan kanannya. Ia menjawab seadanya pertanyaan ayahnya tersebut. Mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja termasuk pekerjaan dan hubungan keluarga kecil yang baru saja dirajutnya.
            Adi sempat tercekik oleh nasi yang belum tertelan seutuhnya di kerongkongannya. Dengan sigap, ibunya langsung mengambil segelas air, diberikannya kepada anaknya. Untung, kerongkonganya bisa lega secepatnya. Ayah Adi agak menyesal, mengajak putranya berbincang dengan dirinya. Tapi, Adi menampik sesal ayahnya dan beranggapan kalau dirinya yang suka berbicara padahal nasi yang dikunyahnya belum tersampaikan ke lambungnya.
            Lelaki muda itu berpikir, bagaimana mungkin lelaki asing yang pernah dijumpainya mengatakan kalau mereka sudah memanipulasi kehidupannya. Tidak mungkin. Semua bukti kasih sayang dan perhatian yang dilihatnya di meja makan, membuktikan kalau mereka adalah ornag tua kandungnya. Mereka yang sudah merawat dirinya mulai bayi sampai sukses menjadi seorang detektif. Jika ia bertemu lagi dengan lelaki itu, ia akan membantah semua perkataannya mengenai kehidupannya. Kalau soal nama orang tuanya, ia akan mencocokkan nama yang ada di akte lahirnya dengan akte lahir kedua orang tuanya. Esok hari ia akan melakukan hal itu.
             Adi mematikan remote TV begitu siaran yang menampilkan laga pertandingan bola sudah berakhir. Ia mendongakkan kepalanya, melihat jam dinding yang terpasang di sana. Pukul 23.20. Rasa kantuk sudah menjalar sampai ke saraf otaknya. Ia akan mengistirahatkan aktivitas tubuhnya malam ini untuk memperoleh energi baru esok hari.
            Derit daun pintu kamar terdengar pelan begitu Adi membuka kamarnya. Hanya sebuah kasur sederhana diperlengkapi dengan sebuah bantal dan guling. Ia merebahkan tubuh letihnya pelan-pelan sambil meraih guling kemudian menudungi dirinya dengan sarung merah. Kedua bola matanya belum sepenuhnya tertutup. Agak redup. Perlahan-lahan, kelopak matanya sudah terpejam erat. Adi akan memasuki fase tidur.
            Tiap detik, tiap menit, dan tiap jam akan berganti secara teratur, menghantarkan manusia menuju harinya yang baru. Hari esok. Tapi, jam analog yang tertata otomatis di handphone Adi menunjukkan jam dua dini hari. Ia masih terlelap dalam tidurnya dengan embusan rongga dada naik-turun. Alunan napasnya begitu lambat. Tapi otaknya tidak pernah tidur. Ia akan selalu beraktivitas. Dan membangunankan manusia jika tubuh sudah mendapatkan porsi istrahat yang cukup.
            Namun, Adi harus mengalami sedikit gangguan yang di alam bawah sadarnya. Entah bagaimana bisa terjadi, ia mendapati seorang anak laki-laki tengah bersembah sujud di bawah kakinya. Rona wajah kuyu dan kelopak mata sembap dikarenakan banyaknya air mata yang dicucurkan menghadapi kelakuan tirani kedua orang tuanya. Ia mengambil pisau yang terselip di celananya, dan menyuruh Adi yang masih terperangah untuk memotong urat nadi lehernya. Ia perlahan menjauhkan kakinya dari dekapan sang anak. Tapi anak itu mencoba mendekati kakinya sambil mencium punggung kakinya, memelas dengan raut wajah amat menyedihkan agar pinta dapat dikabulkan.
            Adi benar-benar tidak bisa melakukannya. Kekalutan mulai menyergap kontrol emosinya. Ia mundur pelan-pelan sambil menutup matanya agar dirinya tidak melihat sang anak yang memohon padanya. Ia tidak mau meluluskan pinta si anak yang menjadikan dirinya sebagai malaikat maut yang mengantar jiwa-jiwa orang ke alam kematian. Sementara itu, kedua orang tua si anak menyeret sang anak. Mereka akan memberinya pelajaran berharga yang mungkin akan diingatnya sampai ajal merenggut napasnya.
            Tidaaakkkkkk!
            Kedua orang tua Adi sedang membuka pintu kamar anaknya dengan kunci yang mereka bawa saat ini. Mendengar jeritan anaknya yang membahana sampai seantero rumah, membuat naluri orang tua membawanya ke sana.
            Ketika keduanya berhasil membuka pintu, terlihat Adi menduduki kasurnya sambil menarik napas secara membabi buta seakan-akan sang Empunya kehidupan akan menyita aset berharganya.
            “Kamu kenapa, nak?” Ibundanya mengarahkan wajah anaknya sambil menepuk-nepuk pelan pipinya.
            Adi bingung harus mulai dari mana ia akan mengawali ceritanya. Tapi garis besar yang bisa disimpulkannya adalah ia baru saja bermimpi buruk.
            “A-a-aku bermimpi...me-melihat seorang anak laki-laki memohon supaya aku memotong lehernya, bu,” ucap Adi terbata-bata.
            Ayah dan ibunya beradu pandang. Entah apa yang mereka pikirkan, tentu hanya mereka berdua saja yang mengetahuinya.
            “Ibu pernah mengingatkanmu, ‘kan, untuk selalu berdoa kapanpun dan di manapun kita berada. Apakah kamu sudah melupakannya?”
            Adi mengangguk sebanyak dua kali, menanggapi pertanyaan ibunya.
            “Kalau begitu, berdoalah lebih dahulu kemudian baru tidur. Ok?”
            Adi hanya mengedipkan kelopak matanya. Ibunya melihat kedipan kedua bola matanya sebagai jawaban “iya”. Kedua orang tuanya beranjak kamar putranya sambil menekan tombol untuk mematikan lampu kamar. Sementara itu, Adi masih mencoba menidurkan dirinya lagi meskipun pikirannya masih dibayangi ketakutan akan mimpi buruknya. Ia harus cepat bangun agar ia bisa pulang lebih cepat dan yang terpenting, ia harus ke kamar orang tuanya mencari beberapa sertifikat milik orang tuanya.
            Bola api raksasa semesta sedang menunjukkan kekuasaanya di pagi hari yang tenang dan tentram hari ini. Di rumah bercat biru muda ini, ayah dan ibu Adi akan beranjak meninggalkan rumah, melakukan aktivitas sesuai profesi yang mereka tekuni. Adi sekaligus menyampaikan pamitnya pada mereka apabila mereka pulang agak lama. Saat keduanya sudah jauh melewati pagar, lelaki itu akan memulai aksinya.
            Ia mengarahkan langkah kakinya ke kamar kedua orang tuanya. Untuk saja, kunci kamar masih menancap di gagang pintu. Ia bisa leluasa membukanya. Begitu tersingkap, Adi bisa melihat seisi kamar orang tuanya. Tidak begitu banyak barang-barang berharga di sana. Yang ada hanya sebuah lemari kayu yang teronggok di samping kasu kedua orang tuanya. Di bawah kasurnya terdapat sebuah meja kerja yang memuat banyak berkas-berkas penting serta beberapa alat tulis. Tidak lupa dengan lampu sorotnya. Tapi Adi lebih berfokus pada lemari pakaian yang berada di sana. Ia yakin kalau semua sertifikat penting milik orang tuanya berada di sana.
            Hanya menarik gagangnya saja, lemari dua pintu itu sudah memperlihatkan semua yang berada di dalamnya. Saat dirinya mencoba menelusuri berkas yang ingin dicarinya, tiba-tiba handphone-nya berdering ikuti dengan getaran yang semakin kencang.
            “Halo,” jawab Adi begitu ia mengangkat panggilan yang masuk di handphone-nya.
            “Halo sayang, kamu masih di rumah orang tuamu?” jawab suara perempuan di seberang sana. Adi sudah menduga kalau istrinya akan menelepon dirinya.
            “Ya betul, memangnya kenapa?”
            “Aku mau pergi ke studio Robert lagi. Kalau kamu belum makan pagi, aku sudah meletakkan ikan dan nasi di atas meja makan. Kamu tinggal membuka tudung sajinya saja,” urai Cahyana efektif.
            “Ok, ok. Aku akan mengingatnya. Lagipula sebentar lagi aku akan pulang juga,” balas Adi sambil melirik arlojinya.“kalau begitu sampai jumpa, ya. Hati-hati di jalan.” Pria muda itu menutup panggilannya sambil menaruh kembali handphone-nya.
            Kini ia harus berkutat dengan apa yang ada di hadapannya. Lemari ini dibagi menjadi empat bagian. Bagian pertama diisi dengan baju sehari-hari yang disimpan dalam keadaan terlipat. Bagian kedua yang didominasi celana pendek dan celana dinas yang disusun terlipat. Bagian ketiga dipenuhi dengan beberapa kaus kutang dan pakaian dalam. Dan terakhir, bagian keempat tempat di mana orang tuanya menggantungkan baju dinas mereka. Ya, seperti yang Adi tahu selama ini, orang tuanya adalah orang yang disiplin dan teratur dalam berbagai hal termasuk dalam hal berpakaian.
            Yang menjadi fokus pencariannya saat ini adalah laci kecil yang berada di pertengahan lemari dan beberapa tumpukan dokumen penting yang berada di bawah pakaian yang tergantung. Adi mulai melakukan pengecekan dengan membuka laci kecil. Di dalamnya, ia hanya menjumpai akta izin mengajar dan akta izin membuka praktek. Ia merapikan isi map lalu mengembalikannya ke posisi semula. Adi mengalihkan konsentrasinya di tumpukan dokumen di bawah pakaian dinas yang tergantung rapi di dalamnya.
            Adi mengeluarkan tumpukan map yang usang dan berdebu. Ia meniupnya dan mengusap debu yang masih menempel di sampulnya. Dirinya mulai mengamati secara jeli kertas-kertas yang mulai menguning.
            Setelah beberapa kali mengecek tumpukan map yang ada, pandangan Adi tertuju pada sebuah map bersampulkan kertas koran. Pelan-pelan, lelaki itu membukanya, berharap apa yang dicarinya ada di dalam map koran tersebut. Dan hasilnya benar. Ia menjumpai dua lembar akta kelahiran yang sudah lapuk dimakan usia. Ia mengeluarkan akta lahir miliknya yang diselipkan di dalam kemejanya.
            Kedua bola matanya bolak-balik berputar, mengamati apakah nama kedua orang tua yang tertera di akta lahir miliknya dan akta lahir milik orang tuanya adalah sama. Ternyata, nama kedua orang tua yang tertera di akta lahir milik Adi dan orang tuanya, sama persis. Mulai dari nama sampai tempat dan tanggal lahirnya, semuanya sama. Adi lagi-lagi dibohongi dengan semua perkataan lelaki asing yang pernah ditemuinya di pasar dan di rumahnya.
            Kini, ia harus merapikan dan mengembalikan semua tumpukan map ke tempatnya semula agar kedua orang tuanya tidak curiga kalau isi dalam lemarinya habis digeledah. Seusai merapikan lemari ornag tuanya, ia bergegas mengunci kamar orang tuanya. Sebelum Adi pergi meninggalkan rumah, ia sudah menitipkan kunci rumah dan kunci gerbang kepada tetangga di sebelahnya. Itu pesan orang tuanya setelah mereka pergi bekerja.
            Sebelum Adi meninggalkan pekarangan rumah, tiba-tiba, ponsel yang berada di dalam saku celananya bergetar. Ia cepat-cepat merogohnya lalu mengamati nama siapa yang tertera di layar ponselnya. Nomor tidak dikenal. Sebenarnya, ia malas mengangkat panggilan dari nomor yang tidak berada di kontaknya. Namun, dalam pikirannya, orang yang menghubunginya pasti orang penting, ia memutuskan untuk menjawabnya.
            “Halo, ini siapa ya?”
            “Sebelumnya saya minta maaf, pak Adi. Ini Aiptu Eben Hutabarat. Saya mendapatkan nomor Anda dari Briptu Dharmawan,”
            “Ya, tidak apa-apa pak Eben Hutabarat. Tapi, ada perlu apa Anda menghubungi saya?”
            “Saya ingin Anda tiba ke kantor polda Pematangsiantar. Ada hal yang ingin saya tahu dari Anda sekaligus kita punya kasus baru. Bisa ‘kan, pak Adi?” jawab Aiptu Eben Hutabarat tanpa basa-basi.
            Apa maksud perkataan Aiptu Eben Hutabarat? tanya batin Adi. “Baiklah. Saya akan secepatnya tiba di kantor Bapak. Selamat siang,” tandas Adi  sambil menyimpan handphone-nya ke dalam sakunya. Ia menaikkan tuas persneling menjadi tiga kecepatan. Ia ingin tahu apa yang akan dibicarakan oleh Aiptu tersebut. Ia benar-benar ingin tahu.

Wednesday, 27 April 2016

Jiwa



Cinta yang kautunjukkan padaku
Tak lain hanyalah delusi jiwa yang melenakan harapan
Jika kau betul punya cinta maka taruhlah ke dalam hatiku
Jika kau ingin bersamaku coba tinggallah di sini
            Aku pun  tahu kalau kau benar cinta
            Kau tak mencoba mempermainkan rasa
            Kau akan buktikan dan aku akan jawab
            Setiap rasa yang kauberi lewat pancaran mata
Namun kutahu rasa itu tak lebih sekadar pelarian
Cintamu tak lebih dari lampiasan kebosanan duniamu
Pujianmu hanyalah mainan
Karena dia ada di jauh lubuk hatimu
            Aku bisa tersenyum walau aku sendiri
            Aku tidak peduli semua omong kosongmu hinaanmu atau cercaanmu
            Aku hidup sebagaimana sang Tuhan membiarkan ku hidup dalam             anugerahNya
Aku bisa merasakan cinta
Cinta yang lebih besar
Cinta sang Mahakuasa
Merahmatiku dalam mengarung hidup