Adi
tak memperkirakan perjalanan menuju ke rumah orang tuanya akan memakan waktu
yang cukup lama. Ia tak menduga penyakit yang sering melandanya tiba-tiba, akan
mengganggu konsentrasinya dalam mengemudi. Bahkan, hampir saja, seorang
pengendara sepeda motor menabrak mobilnya. Lantaran dirinya menghentikan mobil secara
mendadak tanpa memperhatikan seorang pengendara sepeda motor melaju agak
kencang di belakangnya.
Ia tak memperdulikan caci maki yang
terlontar dari mulut sang pengendara.
Adi langsung membelokkan mobilnya di pinggir jalan. Ia membuka kaca mobil
supaya udara dari luar bebas masuk. Terkadang, dirinya lebih menyukai udara
alami ketimbang udara yang berasal dari AC mobilnya. Lebih sejuk rasanya.
Lelaki itu merobek satu pil Bodrex.
Mengambil sebotol air mineral yang sering dibawa di dalam mobil kemudian
menenggaknya. Berangsur-angsur, sakit kepala yang menghantam otaknya mulai
berkurang tapi tak sengaja, Adi melihat sebuah mobil terparkir tak begitu jauh
dari tempatnya. Dan, sang pengendara menyembulkan kepalanya, melihat siapa
seseorang yang berada di belakangnya.
Kau
takkan kubiarkan lolos! Ucap Adi sambil menggeram pelan. Ia memutar kunci
mobilnya, menekan pedal gas agar mobilnya melaju kencang. Sepertinya, sang
pengendara mobil yang berada di depan Adi, tahu kalau sedang diintai. Ia
melajukan mobilnya dengan kecepatan maksimum. Kini keduanya bak penguasa
jalanan yang sedang beradu kecepatan di jalan raya yang cukup ramai akan
pengendara mobil dan sepeda motor lainnya.
Kecepatan dua mobil itu cukup
berimbang. Mendahului satu sama lain seolah tak membiarkan kekalahan menjadi
hasil persaingan mereka. Adi harus merelakan buruannya lepas begitu saja dari
pengejarannya. Lagi-lagi, ia harus menelan kekecewaan bulat-bulat, tak mampu
meringkus seseorang yang selama ini dicarinya.
Adi mendesah kesal sambil melirik ke
arah Arloji merek Seiko yang melingkar di lengannya. Jarum panjang dan pendek
menunjukkan pukul satu siang. Ia sekali lagi merutuki ketidakmampuanya dalam
menangkap penjahat yang selama ini dicari-carinya. Saat ini, dirinya masih
berada di Gunung Bayu. Jika diperkirakan, perjalanan yang ditempuhnya untuk
sampai ke Kisaran, akan memakan waktu sekitar satu setengah jam lagi. Ditambah
lagi, rumah orang tuanya melewati pusat kota Kisaran. Butuh waktu 15 menit
untuk sampai di sana.
Untungnya, kepadatan di jalan raya
tidak begitu parah. Masih bisa ditoleransi meskipun banyak truk colt diesel dan truk panjang memenuhi
badan jalan.
Tinggal sebentar lagi, Adi akan tiba
di pusat kota Kisaran. Walaupun sengatan matahari membuat udara di sekitar
menjadi lebih panas, ia tetap tenang mengendalikan kemudinya. Setelah
melepaskan jaket, dirinya membuka dua kancing kemejanya serta membuka kaca
jendela agar sirkulasi udara di dalam mobilnya lebih lancar.
Cukup banyak gedung pencakar langit
yang berdiri kokoh di atas permukaan
tanah. Jalan raya yang memiliki dua lajur memuat armada angkutan umum dan
ratusan mobil dan motor yang merayap di dalam hiruk pikuk lalu lintas termasuk
mobil milik Adi di sana.
Setelah membelokkan mobilnya ke
kiri, Adi harus menunggu sekitar lima belas menit lagi agar dirinya bisa tiba
di rumah ornag tuanya. Di perjalanan, jarum indikator menunjukkan kalau bahan
bakar mulai menipis. Ia harus menyinggahkan mobilnya, menyuplai bahan bakar
agar ia bisa melanjutkan perjalanannya lagi.
Begitu menjumpai persimpangan empat,
Adi harus menunggu lampu rambu lalu lintas berubah menjadi hijau. Hal ini
dikarenakan jalan yang berada di lajur kanan, masih disarati puluhan kendaraan
bermotor yang mempergunakan kesempatan ini untuk melaju lebih cepat.
Setelah lampu berganti hijau, para
pengguna jalan yang berada di lajur kiri, memacu kendaraan mereka lebih kencang
selagi lampu masih hijau. Begitu melihat SPBU, Adi memutar haluan mobilnya ke
sana.
Cukup banyak antrian mobil di lajur
solar. Ia harus menunggu dua mobil lagi depannya agar tiba gilirannya. Kini
gilirannya sudah tiba. Begitu dirinya menyerahkan uang, petugas SPBU langsung
mengisi bahan bakar ke tangki. Sudah terisi, dirinya langsung meninggalkan area
stasiun.
Lelaki berkemeja itu melirik sedikit
ke arlojinya. Tinggal lima menit lagi. Lagi pula, jarak rumah orang tuanya dari
SPBU cukup dekat. Ia tinggal mengarahkan kendaraannya ketika melewati jalan
Anggrek.
Jalan Anggrek merupakan salah satu
jalan yang terdapat di pusat kota Kisaran. Di jalan ini, terdapat ratusan rumah
yang didominasi bangunan ala luar negeri. Dengan sentuhan seni, bangunan rumah
di sana bagaikan sebuah miniatur rumah masyarakat di negara Spanyol. Tapi Adi
benar-benar ingat bagaimana rumah ornag tuanya.
Rumah orang tuanya tidak terlalu
menonjolkan seni kemewahan. Bangunan rumah dengan cat luar hijau muda dan
sebuah teras kecil cukup sederhana bila dilihat kebanyakan orang. Tapi
disitulah letak keuniknya. Bukan soal kemewahan, tapi apakah penghuni yang
menempatinya cukup nyaman dan tentram bernaung di sana. Itulah juga yang
menjadi prinsip Adi dalam membangun rumahnya di Pematangsiantar.
Saat dirinya tepat berada di gerbang
luar, Adi menekan klakson sebanyak dua kali.
Tit! Tit!
Suara klakson yang dihasilkan
mobilnya, membuat penghuni rumah keluar dari kediamannya. Seorang wanita
berambut kuda melangkah gesit menuju gerbang. Ratusan uban yang mendominasi di
antara rambut hitam menujukkan kalau sang wanita sudah melewati umur setengah
abad. Adi memilih keluar dari mobilnya, membantu sang wanita tua membuka
gerbang.
Adi membuka pagar seluas ukuran
mobilnya. Ia langsung menghantarkan mobilnya ke dalam. Sang wanita sudah berada
di sampingnya, menemani dirinya berjalan.
“Kamu barusan sampai ya, nak?” tanya
sang wanita.
“Iya, bu. Tapi yang mengherankan,
kuamati, kota Kisaran ini semakin panas,” balas Adi sambil mengeluarkan
saputangan mengelap keningnya yang dipenuhi bulir-bulir keringat.
“Ya kamu tahu sendiri, nak, kota ini
juga dikelilingi pantai jadi wajar saja kalau kota ini lumayan panas. Oh ya,
nak, kamu mau minum apa? Ibu hampir lupa menanyakannya samamu,” tanya wanita
itu lagi sambil menepuk pelan keningnya.
“Air dingin saja, bu. Tidak usah
repot-repot,” sahutnya sambil mengulas senyum kecil dibibirnya.
Sang wanita langsung mengiyakan
permintaan anaknya. Ia langsung menghambur sementara Adi duduk tenang menikmati
suasana di rumahnya.
Dia ingat saat dirinya menggelar
resepsi adat pernikahan dengan Cahyana. Halaman rumah tak cukup menampung
rombongan tamu dan alat musik sewaan. Ia terpaksa mengambil sedikit bagian
jalan agar bisa memuat seluruhnya. Memang masih ada jalan tembus untuk warga
jalan Anggrek melalui jalan Edelwies yang berada di sebelah kanan jalan
Anggrek. Jadi, dengan adanya jalan tembus tersebut pihak keluargnya sama sekali
tidak mengganggu aktivitas para penghuni rumah di sana.
Adi terpaksa merampungkan seluruh
lamunannya ketika ibunya sudah membawa segelas air dingin di genggamannya. Ia
memperhatikan tangan ibunya yang mulai berkerut dan gemetar. Usia memang bisa
membatasi kekuatan seseorang tetapi usia tidak bisa membatasi perhatian dan
kasih sayang seorang ibu pada anaknya. Itulah yang berada di dalam pikiran Adi
mengenai ibunya saat ini.
Ibunya meletakkan gelas itu di hadapan
anaknya. Lelaki muda itu langsung menyeruput air yang berada di dalamnya.
Dingin dan menyejukkan dada. Setidaknya bisa menghapus rasa lelah dan penat
selama dua setengah jam berada di jalan raya yang sarat akan panas dan suntuk.
Adi menaruh gelasnya yang tinggal
setengah seraya menghela napas membuka pembicaraan.
“Ibu, di mana ayah? Dari tadi aku
tidak melihatnya.”
“Oh, ayahmu belum pulang. Ia masih
punya pertemuan dengan salah satu kliennya di tempat prakteknya. Kau tahu, ayahmu
‘kan seorang psikolog.” Wanita separuh baya itu memandang ke arah wajah
anaknya.
Adi mengetahui bahwa kedua orang
tuanya adalah orang yang tergolong sibuk. Ibunya adalah seorang guru SMP
berstatus PNS yang mengajar di sebuah sekolah negeri dan ayahnya juga seorang
psikolog. Dirinya juga sering diajak ayahnya mengunjungi tempat prakteknya.
Tapi tak jarang, para klien ayahnya menggunakan rumah sebagai tempat praktek.
Seingatnya, para klien yang sering berkonsultasi dengan ayahnya membicarakan
tentang masalah tekanan pekerjaan, konflik suami istri atau anak-anak yang
sering berulah di sekolah.
“Dan, di mana Septi, bu? Apa dia
masih tinggal di sini?”
“Dia sudah menikah dan ikut suaminya
ke Bengkulu. Di sana, suaminya bekerja sebagai polisi dan dia bekerja sebagai
bidan.”
Sudah lama dirinya tidak berjumpa
dengan Septi, teman SMP-nya. Kalau diingat-ingat hampir dua belas tahun. Satu
kenangan manis yang teringat ketika teman-temannya menggoda dirinya karena
kedekatannya dengan Septi waktu itu adalah siswi pintar yang sering mendapatkan
juara di sekolahnya. Ia sendiri tidak tahu apakah Septi menyukai dirinya.
Dirinya juga hanya menganggap perempuan pintar itu sebagai teman dekat. Tidak
lebih dari itu. Karena waktu itu, dia belum terpikir sama sekali untuk berpacaran.
Ia ingin menghabiskan masa SMP-nya dengan berteman dengan banyak orang.
“Wah, beruntung sekali dia. Sudah
cantik bidan pula. Pasti suaminya juga bahagia bisa dapat istri seperti dia,”
ungkap Adi bangga.
“Kamu juga beruntung, nak, bisa
dapat istri secantik dan sebaik Cahyana. Di samping itu ‘kan, dia mampu mandiri
dengan usaha yang digelutinya sekarang,” sambut ibunya.
“Ya aku tahu, bu, tapi sepertinya
masih ada yang kurang,”
“Apa itu?”
“Kehadiran seorang anak.”
“Jadi sampai saat ini, Cahyana belum
menunjukkan tanda-tanda akan mengandung?”
Adi menggeleng pelan. Ibunya
berpikir sejenak, mencari jawaban yang akan diungkapkan kepada anaknya.
“Jangan murung begitu, nak. Tuhan
memang menakdirkan sepasang insan manusia hidup bersama dalam sebuah rumah
tangga nan suci tapi mereka perlu berusaha dan bersabar menantikan titipan
Tuhan itu pada mereka. Yang kamu perlukan hanya kesabaran tanpa batas dan
usaha. Yang terpenting adalah doa.” Ibunda Santoso menatap kasih ke arah mata
anaknya yang terlihat putus asa.
“Terimakasih ibu. Kau selalu
menyemangatiku.” Adi mengangguk pelan sambil mengembangkan senyum tipis di
bibirnya.
“Tapi pernahkah kau membicarakan hal
ini pada istrimu, Cahyana?” sela ibundanya.
“Pernah tapi akhir-akhir ini, dia
punya proyek baru dengan seorang produser film. Dia menawarkan kerjasama untuk
Cahyana di bagian penata busana sekaligus ia ingin memperkenalkan produk
jualannya kepada para aktor dan aktris di sana.”
“Ibu hanya ingin menasihati kamu
agar bisa lebih tegas mengatur istrimu, nak. Jangan sampai dia melupakan
kodratnya sebagai istri dan seorang ibu rumah tangga yang akan mengayomi
anak-anak dari rahimnya.”
Adi hanya mengangguk pelan tanpa
menatap ibunya. Tapi naluri seorang ibu tidak bisa dibohongi anaknya. Ia tahu
anaknya sudah cukup lelah menghadapi persoalan seperti ini. Lelaki tampan
tersebut memilih masuk ke rumah. Ia sudah bosan dengan keadaan di luar rumah.
Adi mengedarkan pandangannya ke
seisi rumah. Ia mengarahkan kedua bola matanya ke salah satu bingkai foto yang
terpajang di ruang tamu. Di dalam foto itu terdapat seorang anak laki-laki
sedang merangkul pundak seorang anak laki-laki juga. Tinggi keduanya bisa
dikatakan hampir sama. Adi baru ingat kalau laki-laki yang dirangkulnya adalah
Bayu. Foto itu diambil ketika dirinya dan Bayu merayakan hari perpisahan
sekolah. Bayu menyuruh temannya yang memnbawa kamera, memfoto dirinya dengan
Adi. Meskipun hasil fotonya masih sederhana, itu adalah kenangan yang bisa dia
ingat ketika sudah menyelesaikan studi SMA-nya. Dan kini, ia hanya bisa
merindukan sosok temannya tersebut tanpa mengetahui bagaimana keadaannya
sekarang.
Mengetahui ibunya berada di dapur,
Adi melangkahkan kakinya ke sana. Ia berniat menanyakan pada ibunya apakah
Bayu, teman baiknya, pernah mengunjungi rumah ini.
Sesampainya di dapur, ia menyaksikan
ibunya sedang merajang batang kangkung dengan pisau ditangannya. Ibunya selalu
tahu apa masakan kesukaan anaknya.
Tumis kangkung taoco dengan sambal
cabe rawit membuat selera makanannya melonjak dratis. Ia tak pernah menyisakan
sedikit butir nasi tertinggal di piring jika ibunya memasak sayur itu. Dan
hasilnya, ia selalu puas dengan apa yang dimasak oleh ibunya dan mungkin
Cahyana harus belajar teknik memasak dari ibunya.
Wanita paruh baya itu berdiri
membelakangi putranya. Adi memilih menyeret kursi yang berada di dalam meja
makan dan duduk di hadapan punggung ibunya.
“Bu, ibu masih kenal dengan Bayu,
‘kan?”
“Hmm, temanmu yang sering kau ajak
main-main ke rumah ini ‘kan?”
“Iya. Apakah dia pernah mengunjungi
rumah ini dan menanyakan kabarku?”
“Pernah. Kalau tidak salah sekitar
seminggu yang lalu. Katanya, dia baru pulang kerja dari Singapura. Dia juga
bilang kalau dirinya bekerja di sana sebagai pegawai swasta. Tapi, dia tidak
menanyakan kabarmu, nak. Ia hanya bisa menitipkan salam untukmu,” jawab ibunya
sambil berfokus pada kangkung yang diranjangnya.
Uh,
sombong sekali dia. Mentang-mentang sudah kerja di Singapura, ujar batin
Adi dongkol.
Adi beranjak dari kursinya menuju
lemari makanan. Ia mengambil setoples gula lalu menuangnya gelas yang berada di
genggamannya. Kemudian, mengambil satu sendok makan bubuk kopi yang dituangkan
lagi ke dalam gelasnya. Pria muda itu ingin menikmati suasana sore hari dengan
menonton TV yang berada di ruang tamu sambil menunggu makan malam disiapkan.
Setiap jam, menit, dan detik
menimbulkan pergantian momen yang tak terduga. Jam dinding bulat yang terpaku
di atas TV menunjukkan pukul 19.30 malam. Ia baru saja selesai keluar dari
kamar mandi memakai celana pendek. Dada bidangnya masih dipenuhi titik-titik
air yang belum terjamah oleh handuk biru yang dibawanya dari Siantar. Ketika
sedang asyik mengelap rambut, Adi terkejut dengan seorang pria yang seumur
dengan ibunya sudah duduk tenang di meja makan.
“Ayah, baru pulang pratek, ya kan?
Kenapa cepat sekali berada di meja makan?” tanya Adi sambil mengelap dadanya
yang masih dibasahi air.
“Ayah sudah satu jam berada di rumah. Kamu saja
yang masih bisa tidur jam enam sore. Awas didatangi setan,” ungkap ayahnya
sambil menggoda anaknya yang masih berdiri di depannya.
“Ah, ayah tenang saja. Di Siantar,
aku sudha terbiasa tidur jam segitu. Tapi, enggak terjadi apa-apa kok padaku,”
balas Adi sambil menggedikkan bahunya.
“Kalau begitu, cepat pakai baju
kamu. Masakan ibumu tidak enak dimakan dalam kondisi dingin.”
Adi berdeham sambil berlalu dari
hadapan ayahnya menuju kamar tidurnya.
Begitu sudah mengenakan baju, Adi
menggegas kedua kakinya menuju meja makan. Di meja makan berukuran 50x100
sentimeter itu memuat sepasang lelaki dan perempuan renta yang siap menyambut
dirinya. Semangkuk tumis kangkun taoco mengepulkan uap tipis di atasnya.
Beralih ke sebuah piring keramik yang dipenuhi tiga potong ikan gurami
bersambal cabe merah. Wanginya harum sampai menyentuh indra penciuman Adi.
Rasanya, ia tidak sabar menyantap semua hidangan lezat yang sudah terpampang di
depan matanya.
Adi duduk di depan ayah dan ibunya.
Lalu, menyendok nasi yang sudah tersedia di dalam periuk kecil. Begitu tiga
kepalan nasih sudah terletak di atas piringnya, ia mengambil dua sendok sayur
kangkung diikuti satu potong ikan gurami. Betul-betul lengkap kenikmatan makan
malam hari ini. Setelah memanjatkan doa, barulah mereka menyantap hidangan
makan malam buatan ibunda Adi.
Suasana makan malam begitu hangat.
Ketika kunyahan nasi tersalurkan ke lambungnya, ayah Adi mencoba menanyakan
keadaan anaknya sambil membentuk kepalan nasi yang baru di tangan kanannya. Ia
menjawab seadanya pertanyaan ayahnya tersebut. Mengatakan bahwa semuanya
baik-baik saja termasuk pekerjaan dan hubungan keluarga kecil yang baru saja
dirajutnya.
Adi sempat tercekik oleh nasi yang
belum tertelan seutuhnya di kerongkongannya. Dengan sigap, ibunya langsung
mengambil segelas air, diberikannya kepada anaknya. Untung, kerongkonganya bisa
lega secepatnya. Ayah Adi agak menyesal, mengajak putranya berbincang dengan
dirinya. Tapi, Adi menampik sesal ayahnya dan beranggapan kalau dirinya yang
suka berbicara padahal nasi yang dikunyahnya belum tersampaikan ke lambungnya.
Lelaki muda itu berpikir, bagaimana
mungkin lelaki asing yang pernah dijumpainya mengatakan kalau mereka sudah
memanipulasi kehidupannya. Tidak mungkin. Semua bukti kasih sayang dan
perhatian yang dilihatnya di meja makan, membuktikan kalau mereka adalah ornag
tua kandungnya. Mereka yang sudah merawat dirinya mulai bayi sampai sukses
menjadi seorang detektif. Jika ia bertemu lagi dengan lelaki itu, ia akan
membantah semua perkataannya mengenai kehidupannya. Kalau soal nama orang
tuanya, ia akan mencocokkan nama yang ada di akte lahirnya dengan akte lahir
kedua orang tuanya. Esok hari ia akan melakukan hal itu.
Adi mematikan remote TV begitu siaran yang menampilkan laga pertandingan bola
sudah berakhir. Ia mendongakkan kepalanya, melihat jam dinding yang terpasang
di sana. Pukul 23.20. Rasa kantuk sudah menjalar sampai ke saraf otaknya. Ia
akan mengistirahatkan aktivitas tubuhnya malam ini untuk memperoleh energi baru
esok hari.
Derit daun pintu kamar terdengar
pelan begitu Adi membuka kamarnya. Hanya sebuah kasur sederhana diperlengkapi
dengan sebuah bantal dan guling. Ia merebahkan tubuh letihnya pelan-pelan
sambil meraih guling kemudian menudungi dirinya dengan sarung merah. Kedua bola
matanya belum sepenuhnya tertutup. Agak redup. Perlahan-lahan, kelopak matanya
sudah terpejam erat. Adi akan memasuki fase tidur.
Tiap detik, tiap menit, dan tiap jam
akan berganti secara teratur, menghantarkan manusia menuju harinya yang baru.
Hari esok. Tapi, jam analog yang tertata otomatis di handphone Adi menunjukkan jam dua dini hari. Ia masih terlelap
dalam tidurnya dengan embusan rongga dada naik-turun. Alunan napasnya begitu
lambat. Tapi otaknya tidak pernah tidur. Ia akan selalu beraktivitas. Dan
membangunankan manusia jika tubuh sudah mendapatkan porsi istrahat yang cukup.
Namun, Adi harus mengalami sedikit
gangguan yang di alam bawah sadarnya. Entah bagaimana bisa terjadi, ia mendapati
seorang anak laki-laki tengah bersembah sujud di bawah kakinya. Rona wajah kuyu
dan kelopak mata sembap dikarenakan banyaknya air mata yang dicucurkan menghadapi
kelakuan tirani kedua orang tuanya. Ia mengambil pisau yang terselip di
celananya, dan menyuruh Adi yang masih terperangah untuk memotong urat nadi
lehernya. Ia perlahan menjauhkan kakinya dari dekapan sang anak. Tapi anak itu
mencoba mendekati kakinya sambil mencium punggung kakinya, memelas dengan raut
wajah amat menyedihkan agar pinta dapat dikabulkan.
Adi benar-benar tidak bisa
melakukannya. Kekalutan mulai menyergap kontrol emosinya. Ia mundur pelan-pelan
sambil menutup matanya agar dirinya tidak melihat sang anak yang memohon
padanya. Ia tidak mau meluluskan pinta si anak yang menjadikan dirinya sebagai
malaikat maut yang mengantar jiwa-jiwa orang ke alam kematian. Sementara itu,
kedua orang tua si anak menyeret sang anak. Mereka akan memberinya pelajaran
berharga yang mungkin akan diingatnya sampai ajal merenggut napasnya.
Tidaaakkkkkk!
Kedua orang tua Adi sedang membuka
pintu kamar anaknya dengan kunci yang mereka bawa saat ini. Mendengar jeritan
anaknya yang membahana sampai seantero rumah, membuat naluri orang tua
membawanya ke sana.
Ketika keduanya berhasil membuka
pintu, terlihat Adi menduduki kasurnya sambil menarik napas secara membabi buta
seakan-akan sang Empunya kehidupan akan menyita aset berharganya.
“Kamu kenapa, nak?” Ibundanya
mengarahkan wajah anaknya sambil menepuk-nepuk pelan pipinya.
Adi bingung harus mulai dari mana ia
akan mengawali ceritanya. Tapi garis besar yang bisa disimpulkannya adalah ia
baru saja bermimpi buruk.
“A-a-aku bermimpi...me-melihat
seorang anak laki-laki memohon supaya aku memotong lehernya, bu,” ucap Adi
terbata-bata.
Ayah dan ibunya beradu pandang.
Entah apa yang mereka pikirkan, tentu hanya mereka berdua saja yang
mengetahuinya.
“Ibu pernah mengingatkanmu, ‘kan,
untuk selalu berdoa kapanpun dan di manapun kita berada. Apakah kamu sudah
melupakannya?”
Adi mengangguk sebanyak dua kali,
menanggapi pertanyaan ibunya.
“Kalau begitu, berdoalah lebih
dahulu kemudian baru tidur. Ok?”
Adi hanya mengedipkan kelopak
matanya. Ibunya melihat kedipan kedua bola matanya sebagai jawaban “iya”. Kedua
orang tuanya beranjak kamar putranya sambil menekan tombol untuk mematikan
lampu kamar. Sementara itu, Adi masih mencoba menidurkan dirinya lagi meskipun
pikirannya masih dibayangi ketakutan akan mimpi buruknya. Ia harus cepat bangun
agar ia bisa pulang lebih cepat dan yang terpenting, ia harus ke kamar orang
tuanya mencari beberapa sertifikat milik orang tuanya.
Bola api raksasa semesta sedang
menunjukkan kekuasaanya di pagi hari yang tenang dan tentram hari ini. Di rumah
bercat biru muda ini, ayah dan ibu Adi akan beranjak meninggalkan rumah,
melakukan aktivitas sesuai profesi yang mereka tekuni. Adi sekaligus
menyampaikan pamitnya pada mereka apabila mereka pulang agak lama. Saat
keduanya sudah jauh melewati pagar, lelaki itu akan memulai aksinya.
Ia mengarahkan langkah kakinya ke
kamar kedua orang tuanya. Untuk saja, kunci kamar masih menancap di gagang
pintu. Ia bisa leluasa membukanya. Begitu tersingkap, Adi bisa melihat seisi
kamar orang tuanya. Tidak begitu banyak barang-barang berharga di sana. Yang
ada hanya sebuah lemari kayu yang teronggok di samping kasu kedua orang tuanya.
Di bawah kasurnya terdapat sebuah meja kerja yang memuat banyak berkas-berkas
penting serta beberapa alat tulis. Tidak lupa dengan lampu sorotnya. Tapi Adi
lebih berfokus pada lemari pakaian yang berada di sana. Ia yakin kalau semua
sertifikat penting milik orang tuanya berada di sana.
Hanya menarik gagangnya saja, lemari
dua pintu itu sudah memperlihatkan semua yang berada di dalamnya. Saat dirinya
mencoba menelusuri berkas yang ingin dicarinya, tiba-tiba handphone-nya berdering ikuti dengan getaran yang semakin kencang.
“Halo,” jawab Adi begitu ia
mengangkat panggilan yang masuk di handphone-nya.
“Halo sayang, kamu masih di rumah
orang tuamu?” jawab suara perempuan di seberang sana. Adi sudah menduga kalau
istrinya akan menelepon dirinya.
“Ya betul, memangnya kenapa?”
“Aku mau pergi ke studio Robert
lagi. Kalau kamu belum makan pagi, aku sudah meletakkan ikan dan nasi di atas meja
makan. Kamu tinggal membuka tudung sajinya saja,” urai Cahyana efektif.
“Ok, ok. Aku akan mengingatnya.
Lagipula sebentar lagi aku akan pulang juga,” balas Adi sambil melirik
arlojinya.“kalau begitu sampai jumpa, ya. Hati-hati di jalan.” Pria muda itu
menutup panggilannya sambil menaruh kembali handphone-nya.
Kini ia harus berkutat dengan apa
yang ada di hadapannya. Lemari ini dibagi menjadi empat bagian. Bagian pertama
diisi dengan baju sehari-hari yang disimpan dalam keadaan terlipat. Bagian
kedua yang didominasi celana pendek dan celana dinas yang disusun terlipat.
Bagian ketiga dipenuhi dengan beberapa kaus kutang dan pakaian dalam. Dan
terakhir, bagian keempat tempat di mana orang tuanya menggantungkan baju dinas
mereka. Ya, seperti yang Adi tahu selama ini, orang tuanya adalah orang yang
disiplin dan teratur dalam berbagai hal termasuk dalam hal berpakaian.
Yang menjadi fokus pencariannya saat
ini adalah laci kecil yang berada di pertengahan lemari dan beberapa tumpukan
dokumen penting yang berada di bawah pakaian yang tergantung. Adi mulai
melakukan pengecekan dengan membuka laci kecil. Di dalamnya, ia hanya menjumpai
akta izin mengajar dan akta izin membuka praktek. Ia merapikan isi map lalu
mengembalikannya ke posisi semula. Adi mengalihkan konsentrasinya di tumpukan
dokumen di bawah pakaian dinas yang tergantung rapi di dalamnya.
Adi mengeluarkan tumpukan map yang
usang dan berdebu. Ia meniupnya dan mengusap debu yang masih menempel di
sampulnya. Dirinya mulai mengamati secara jeli kertas-kertas yang mulai
menguning.
Setelah beberapa kali mengecek
tumpukan map yang ada, pandangan Adi tertuju pada sebuah map bersampulkan
kertas koran. Pelan-pelan, lelaki itu membukanya, berharap apa yang dicarinya
ada di dalam map koran tersebut. Dan hasilnya benar. Ia menjumpai dua lembar
akta kelahiran yang sudah lapuk dimakan usia. Ia mengeluarkan akta lahir
miliknya yang diselipkan di dalam kemejanya.
Kedua bola matanya bolak-balik
berputar, mengamati apakah nama kedua orang tua yang tertera di akta lahir
miliknya dan akta lahir milik orang tuanya adalah sama. Ternyata, nama kedua
orang tua yang tertera di akta lahir milik Adi dan orang tuanya, sama persis.
Mulai dari nama sampai tempat dan tanggal lahirnya, semuanya sama. Adi
lagi-lagi dibohongi dengan semua perkataan lelaki asing yang pernah ditemuinya
di pasar dan di rumahnya.
Kini, ia harus merapikan dan
mengembalikan semua tumpukan map ke tempatnya semula agar kedua orang tuanya
tidak curiga kalau isi dalam lemarinya habis digeledah. Seusai merapikan lemari
ornag tuanya, ia bergegas mengunci kamar orang tuanya. Sebelum Adi pergi
meninggalkan rumah, ia sudah menitipkan kunci rumah dan kunci gerbang kepada
tetangga di sebelahnya. Itu pesan orang tuanya setelah mereka pergi bekerja.
Sebelum Adi meninggalkan pekarangan
rumah, tiba-tiba, ponsel yang berada di dalam saku celananya bergetar. Ia
cepat-cepat merogohnya lalu mengamati nama siapa yang tertera di layar
ponselnya. Nomor tidak dikenal. Sebenarnya, ia malas mengangkat panggilan dari
nomor yang tidak berada di kontaknya. Namun, dalam pikirannya, orang yang
menghubunginya pasti orang penting, ia memutuskan untuk menjawabnya.
“Halo, ini siapa ya?”
“Sebelumnya saya minta maaf, pak
Adi. Ini Aiptu Eben Hutabarat. Saya mendapatkan nomor Anda dari Briptu
Dharmawan,”
“Ya, tidak apa-apa pak Eben
Hutabarat. Tapi, ada perlu apa Anda menghubungi saya?”
“Saya ingin Anda tiba ke kantor
polda Pematangsiantar. Ada hal yang ingin saya tahu dari Anda sekaligus kita
punya kasus baru. Bisa ‘kan, pak Adi?” jawab Aiptu Eben Hutabarat tanpa basa-basi.
Apa
maksud perkataan Aiptu Eben Hutabarat? tanya batin Adi. “Baiklah. Saya akan
secepatnya tiba di kantor Bapak. Selamat siang,” tandas Adi sambil menyimpan handphone-nya ke dalam sakunya. Ia menaikkan tuas persneling
menjadi tiga kecepatan. Ia ingin tahu apa yang akan dibicarakan oleh Aiptu
tersebut. Ia benar-benar ingin tahu.
