Jarum
arloji menunjukkan pukul sembilan tiga puluh. Adi menekan klakson mobilnya
sebanyak empat kali namun istrinya tak kunjung menampakkan diri. Ia teringat
meninggalkan istrinya di studio milik Robert. Tak biasanya perempuan itu tidak
memberi kabar mengenai kepulangannya. Ia mencoba me-misscall Cahyana, siapa tahu istrinya punya urusan yang penting
bersama dengan partnernya, Robert.
Sementara Robert dan Cahyana masih
disibukkan dengan urusan ranjang. Sebelum datang ke hotel, Robert sudah
menonaktifkan handphone-nya sehingga
dirinya tidak perlu khawatir bila sewaktu-waktu suami Cahyana menghubungi
istrinya.
Nomor
yang Anda tuju tidak dapat dihubungi. Silakan cobalah beberapa saat lagi.
Sudah sepuluh kali Adi menghubungi istrinya, ia
tetap saja mendapatkan jawaban yang sama dari pihak operator. Dirinya menduga
jika handphone istrinya sedang lowbat
total. Meskipun begitu, seharusnya Cahyana bisa meminjam handphone Robert dan
memberitahu bahwa dirinya tidak bisa pulang malam ini karena kesibukan luar
biasa di studio.
Adi memilih membuka sendiri gerbang
rumahnya. Ia merogoh kunci yang berada di saku celananya. Ia membuka gerbang
selebar ukuran mobilnya. Sesudah memasukkan mobil ke gudang, Adi melangkah
menuju pintu tamu luar. Dengan kunci yang berada di genggamannya, pintu sudah
tersingkap. Ia memasukkan dirinya ke dalam.
Seperti biasa, suasana begitu sepi
jika istrinya tidak ada di rumah. Dalam hati Adi, ia ingin sekali disambut oleh
sorak ceria dan teriakan dari buah hatinya. Minimal jika istrinya tidak ada,
anaknya akan membukakan pintu dan sekedar berbasa-basi menanyakan apakah ia
lelah atau apakah dirinya sudah makan. Tapi melihat kesibukan istrinya saat
ini, sangat tidak mungkin dirinya mengharapkan ekspetasi itu menjadi realita.
Ia harus menerima apa yang terjadi padanya saat ini.
Sesudah melepaskan pakaian yang
membalut tubuhnya, Adi mengambil satu stel kaos oblong dan celana boxer lalu
bergerak ke kamar mandi. Di sana, sebelum membasuh tubuhnya, ia menyetel suhu
air shower menjadi sedikit hangat. Air hangat bagus untuk merelaksasikan
otot-otot yang tegang sekaligus menghilangkan dingin yang merajai tubuhnya.
Usai mandi, Adi bergegas ke dapur
menyiapkan makan malamnya. Ia mengambil sebungkus Indomie goreng dan satu butir
telur. Ia mengambil wajan, menuangkan segelas air ke dalamnya. Sambil menunggu
air mendidih, Adi mengambil handphone-nya,
memutar musik-musik berbahasa Batak guna menemani dirinya di sana.
Syair-syair puitis dan romantis
terdengar begitu mesra di telinganya. Lagu satu ini menceritakan tentang
pertemuan seorang laki-laki dan perempuan. Si laki-laki mulai merasa
benih-benih cinta bersemi di lahan hatinya, melihat senyum manis yang terlukis
di bibirnya, tatapan matanya sambil suaranya yang membuat hatinya merasa dicuri
oleh wanita yang dijumpainya.
Mie yang direndam Adi sudah mulai
lembek. Ia memasukkan segala bumbu dan telur ke dalam mienya. Butuh waktu lima
menit meramu mie itu menjadi hidangan harumnya menusuk indra penciuman. Kini
mie goreng buatannya sendiri sudah siap untuk dikonsumsi.
Adi membawa mienya ke ruang tamu. Ia
meraih remote yang tergeletak di sofa seraya menekan tombol ON. Lelaki itu mengutak-atik channel kesukaannya sambil menguyah mie
yang berada di dalam mulutnya. Satu siaran telah dipilih. Pertandingan liga
Inggris, Newcastle kontra West Brimingham sudah berada di menit ke tujuh puluh
lima. Skor tiga poin untuk Newcastle dan satu poin untuk West Brimingham.
Walaupun bukan tim kesayangannya, Adi sangat menyayangkan ketertinggalan dua
poin atas West Brimingham.
“Tim kesayanganmu kalah, ya, pak
detektif?” suara lelaki itu sontak mengagetkan Adi yang sedang serius
menyaksikan pertandingan.
Perhatian Adi tentu saja langsung
tertuju pada sumber suara itu. Piring yang dipegangnya tiba-tiba terlepas dari
tangannya. Piring itu berbagi-bagi menjadi serpihan tajam yang mengenai
kakinya.
“Beraninya kau mengagetkanku,
sialan!” damprat Adi. Emosinya memuncak. Ia tak peduli kalau tetes darah sudah
mengalir dari luka-lukanya.
Adi langsung mencengkeram lehernya
seraya membantingkan badannya ke arah dinding. Tulang punggung dan tengkorak
berderak keras mengenai dinding. Ia tak
bisa menahan lonjakan amarah yang sudah memenuhi ubun-ubunnya.
“Kini aku mendapatkanmu, brengsek!
Kau cukup berani datang ke rumahku sendiri! Darimana kau bisa mengikutiku
sampai ke sini?”
“Hmm, darimana, ya...? Aha!” lelaki
itu menjentikkan jempol dan jari tengahnya.“Kau tidak perlu tahu darimana aku
bisa mengikutimu, tuan detektif. Yang pasti, jika kau berbuat sesuatu yang
membahayakan, aku bisa berada di mana pun kau berada. Aku tidak perlu rumah.
Aku bisa menyewa losmen atau hotel tempat kubernaung. Itu tidak menjadi masalah selagi aku punya
uang.”
Adi berusaha menahan getaran amarah
yang terkumpul rahangnya. Ia sudah muak dengan omong kosong lelaki itu. Tinjuan
tangan Adi begitu ringan mendarat di pipinya.
“Apa maksudmu, sialan?! Hentikan
omong kosongmu atau aku akan terus menghajarmu sampai bonyok!” hardik Adi
sembari mengayunkan kepalan tangannya di pipi lelaki itu.
Bukannya merasa sakit, lelaki itu
hanya terkekeh menikmati setiap pukulan yang menerpa wajahnya. “Pukul aku!
Pukul Aku sampai puas! Tapi, aku akan memberi perhitungan pada rekanmu itu!
Lihat saja!”
Lelaki itu berhasil menerjangkan
kakinya pada perut si pemukul. Ia memberi dua kali bogem mentah di wajah mulus
Adi. Begitu cekikan yang mencengkeramnya terlepas, lelaki itu mempergunakan
kesempatan untuk melarikan diri. Adi lantas bangkit, menyusul lelaki itu
berharap ia belum jauh dari rumah.
Tiba di luar pekarangan, Adi tak
melihat siapapun berada di sana. Sial,
makinya dalam batin. Bisa-bisanya lelaki itu kabur dengan melompati pagarnya.
Adi tak tahu ke mana lelaki itu pergi. Tapi, ia takkan membiarkannya lolos dari
pengejarannya. Sebelum itu, dirinya berbalik ke kamar, mengganti baju yang
melekat di badannya. Setelah diganti, ia bergegas membuka garasi dan menyalakan
mesin mobilnya.
***
Santoso masih mengelus pipinya yang
membiru. Darah yang menggumpal di sana belum tentu akan hilang dalam satu
malam. Ia harus mengompres dengan air panas atau air dingin bila ingin cepat
sembuh. Namun, Santoso lebih memilih menahannya. Kabur dari rumah itu, sudah
menjadi keberuntungan yang tak terduga.
Pukulan
yang lumayan sakit. Beruntung aku bisa kabur lebih cepat dari rumahnya. Belum
waktunya untuk menghabisi lelaki itu. Untuk sementara, targetku sudah kukunci.
Ucap batin Santoso. Ia menatap tajam ke layar handphone. Di sana, terpampang foto seorang pria berdinas
polisi. Berbadan tegap dengan kumis tipis melintang di atas bibirnya—Briptu
Dharmawan.
Ia sudah lama mengincar polisi muda
itu. Bahkan, dirinya menyimpan beberapa koleksi foto yang didapatkan selama
pengintaian. Semenjak kasus pembunuhan sadis yang dilakukannya, wajah polisi tampan
yang belakang ini menghias headline koran
lokal Pematangsiantar. Awalnya, ia cukup senang polisi tidak menemukan barang
bukti yang bisa digunakan mencari identitasnya. Tapi itu tak berlangsung lama.
Dua kali koran lokal terbit, ia melihat ada berita perkembangan terbaru
mengenai kasus pembunuhan yang diselidiki polisi.
Pihak kepolisian menemukan karung
goni cokelat yang terdampar di pinggir sungai berjarak 100 meter dari posisi
penemuan mayat anak laki-laki yang tewas empat hari lalu. Sumpah serapah keluar
dari mulutnya, mengutuki kelihaian para polisi dan kebodohan dirinya yang tidak
memakai sarung tangan dalam melakukan aksinya.
“Aku harus melenyapkanya. Segera.”
Ucapnya lirih.
Santoso menambah laju mobilnya. Ia
ingin secepatnya tiba di lokasi wisata lendir yang selalu ramai dikunjungi tiap
malam.
Santoso melirik sedikit ke arloji
yang melingkari pergelangan tangannya. Jam sebelas malam. Ini sudah waktunya
bagi para wanita penjaja kenikmatan menampakkan eksistensinya. Satu kilometer
sebelum Tanjung Pinggir para wanita dengan model pakaian minim. Mulai dari
setelan atas sampai yang menutupi aurat. Bagian atas memperlihatkan kulit putih
nan mulus serta gundukan yang kelihatan ingin melompat dari penahannya. Hotpants yang melingkari pinggul,
memperlihatkan kulit paha atas dan bawah tanpa rambut-rambut halus yang
menumpang tumbuh di sana. Krim bedak terpoles tipis di wajah mereka. Namun,
satu hal yang harus dihindari—air dan keringat. Tapi pekerjaan yang mereka
geluti, tak memungkinkan mereka untuk bisa jauh dari air dan keringat. Air dan
keringat merupakan hasil dari pergumulan birahi dengan para pelanggan. Untuk
itu, mereka tidak boleh terlalu bersemangat dalam mengimbangi permainan.
Tatap mata Santoso tertuju pada
sosok perempuan yang berdiri di bawah lampu jalan. Dia memakai tanktop merah
marun dengan tas sandang di bahunya. Ia sedang memain-mainkan gadget-nya, menunggu seseorang akan
menghampiri. Perempuan itu tahu kalau ia sedang diamati dari kejauhan. Ia
pura-pura menengok kanan dan kiri seolah-olah ada yang memanggilnya. Dirinya
tetap fokus mengutak-atik gadget-nya.
Ternyata
dia masih mau jual mahal. Ok, aku akan ikuti permainannya. Ujar Santoso
pada dirinya sendiri. Ia tertantang dengan sikap misterius perempuan yang di
sana.
Santoso mengoleskan hair gelsambil menyisir rambutnya ke
atas. Persis seperti gaya anak muda akan bertandang ke rumah pacarnya. Ia juga
memercikkan sedikit Casablanca Black di dadanya. Dan pasti, ia sudah menyiapkan
sejumlah uang di koceknya.
“Hei, ada gerangan apa, gadis
secantik kamu, sendirian malam-malam begini? Apa sih yang kamu tunggu?” tanya
Santoso sambil mengedipkan kelopak mata sebelah kiri. Ia berdiri dengan posisi
kedua tangan memasuki kantong.
Perempuan itu hanya sekilas melirik
ke arah Santoso lalu mengembalikan pandangannya ke gadget-nya. Walau hanya sekilas memandang, ia dapat menilai
penampilan lelaki yang berada di hadapannya.
Lelaki itu cukup tinggi. Ia menaksir
kalau tinggi badannya dengan lelaki itu berselisih tujuh sentimeter. Tatap matanya
cerah. Tidak ada guratan halus yang terpahat di sana. Kumisnya halus memenuhi
bagian atas bibirnya. Dan yang disukainya, rupa wajah cukup tampan dan tanpa
jerawat beserta dengan bekas lubangnya.
“Emangnya itu urusanmu? Aku lagi
nunggu jemputan pacarku,” ketusnya.
“Hehehe, jangan marah-marah gitu
dong. Nanti cantiknya meluntur, lho.” Santoso menggodanya dengan mengelus
dagunya lembut.
Perempuan itu diam saja menerima
elusan lembut di dagunya. Di dalam hatinya, ia sangat menikmati sentuhannya.
Aliran darah di dagunya berdesir kencang sampai ke saraf otaknya. Ia berharap
lelaki yang berada di hadapannya, menerima sentuhan kenikmati di daerah
sensitifnya. Ia benar-benar ingin merasakannya.
“Ini sudah tengah malam, tahu. Yang
ada, malah kamu dijemput sama bandit dan penjahat kelamin. Bisa –bisa kamu
dibawa entah ke mana-mana lagi,” goda Santoso lebih intens. Ia berusaha
meruntuhkan gengsi yang membentengi diri perempuan. Untung saja, ia masih punya
stok kesabaran melayani kode-kode tak jelas dari perempuan itu. Kalau
kesabarannya habis, ia bisa saja menguliti kulit mulus sang perempuan malam dan
mengoleksinya.
“Emangnya om ada perlu apa sih sama
aku? Dari tadi, ngotot banget pengen mengajak pergi?” bentaknya pura-pura. Ia
melancarkan umpannya supaya lelaki itu mengajaknya pergi dari sana.
Santoso mengarahkan pandangannya ke
arah perempuan itu. Dia memilih diam sesaat. Perempuan itu agak grogi begitu
lelaki yang diincarnya sudah ada di dekatnya. Santoso refleks mengangkat dagu
perempuan itu, mendekatkan wajahnya mengecup kedua belah bibir merah mudanya.
Setelah menikmati beberapa detik kelembutannya,
perlahan Santoso menyingkirkan wajahnya dan menjamah pipi perempuan itu. “Ikuti
saja aku.” Santoso berucap pelan.
Dia hanya mengangguk menanggapi
ajakan Santoso. Ia mendekap mesra pundak perempuan itu, mengantarnya masuk ke
dalam mobil yang terparkir tak jauh dari tempat mereka berdiri tadi.
Saat kedua pintu di sisi mereka
tertutup, Santoso menaikkan kecepatan mobilnya meninggalkan lampu jalan yang
menancap di sana. Santoso menarik sedikit lubang leher sweater-nya agar tak terlalu mencekik.
Tidak banyak kafe yang buka pada
tengah malam begini. Jika buka, kafe tersebut merupakan kepunyaan Tionghoa dan
di sana juga tempat berkumpulnya kaum eksetutif.
Kasuari CAfe. Itulah yang terbaca di
plang berlampu yang tertancap di depan pagar. Kafe ini bisa dibilang satu dari
empat kafe yang buka malam ini. Lainnya, itu tidak tahu. Ia hanya menguping
dari pembicaraan orang tanpa tahu nama ketiga kafe lainnya.
Kafe ini terdapat dua belas meja
bundar yang diletakkan secara acak namun tidak terkesan sembarang. Di
masing-masing meja dilengkapi dengan payung yang bisa melindungi para pelanggan
jika mereka kehujanan atau kepanasan. Sebagian kafe terpapar langsung sinar matahari
dan sebagian lagi berada di bawah naungan bangunan.
“Ayo, silakan duduk.” Suruh Santoso
sambil memberikan kursi pada perempuan tumpangannya.
“Terimakasih, om.” Perempuan itu
menyahut sambil mendaratkan bokongnya di atas kursi. Ia mengulas senyum tipis
di bibirnya.
Santoso juga duduk di atas kursi
yang disediakan. Ia hanya membalas dengan senyuman juga.
“Om, pesan makanan dong. Makanannya
yang enak dan berkelas, ya. Minumannya juga,” rayu perempuan itu manja sambil
menggoyangkan lengan Santoso.
“Iya, sabar. Itu pelayannya sudah
datang.” Santoso menunjuk ke arah pelayan yang kebetulan akan menghampiri meja
mereka. Pelayan laki-laki itu menyapa mereka lalu mengambil catatan dari
sakunya.
“Mau pesan apa, pak?” tanya sang
pelayan.
“Nasi goreng spesial dua porsi.
Minumannya, bandrek susu segelas dan coca cola dingin segelas juga,” pungkas
Santoso.
“Baiklah, pak. Mohon ditunggu, ya.”
balasnya sambil menyimpan catatannya. Ia mundur dari hadapan mereka.
“Oh ya, saya belum tahu nama kamu.
Boleh kamu beritahu namamu?”
“Nama saya Octaviani, om. Saya
sering dipanggil Vivi sama teman-teman,” jawab Vivi antusias.
“Boleh dipanggil Octa?”
“Terserah Om di mana bagusnya,”
“Aduh jangan panggil saya Om, dong.
Panggil saja abang. Abang Santoso.”
“Ah masa panggil abang. Nanti aku
dibilang enggak sopan lagi. Lagipula, aku belum tahu umur om berapa,”
“Umur saya baru dua puluh lima
tahun. Tapi, kalau saya lihat dari wajah unyu-nya,
kamu berumur enam belas tahun, kan?” tebak Santoso sambil menaikkan alis
sebelah kanannya.
“Wah, om hebat. Bisa tepat pula
tebakannya..., Kalau begitu, aku panggil abang saja deh biar lebih intim.
Hehehe,”
“Kalau boleh abang tahu, adik Vivi
masih sekolah, ya?”
“Masih sekolah, bang. Vivi masih
kelas 1 SMA. Vivi sekolah di Bintang Selatan.”
“Wow. Itu kan sekolah terbaik di
Pematangsiantar ini. Beruntung kamu bisa bersekolah di sana,” puji Santoso.
“Iya, bang. Tapi abang tahu, itu
sekolah swasta. Andai saja enggak ada beasiswa untuk siswa kurang mampu, mana
mungkin saya bisa sekolah di sana,”
“Orang tua kamu kerja apa?”
“Bapak dan ibu saya, buruh tani,
bang.” Octaviani merasa gadget-nya
bergetar. Ia buru-buru mengeluarkan, melihat apa yang tertera di sana—ibunya.
Halo,
ma. Iya, aku menginap di rumah temanku. Aku sudah membawa baju sekolah dan buku
pelajaranku. Besok, aku mandi dan sarapan di sana. Bye. Selamat malam.
“Dari siapa?”
“Ibuku, bang. Dia selalu begitu.
Untung saja, dia belum tahu soal “pekerjaanku” ini,” gelaknya garing.
Santoso mengulas senyum satir. “Kau
beruntung punya ibu yang baik sedangkan abang tidak punya siapa-siapa. Yatim
piatu.”
Di sela percakapan mereka, seorang
pelayan laki-laki membawa sebuah nampan besar berisikan dua piring nasi goreng
panas, bandrek dan cola-cola yang ditempatkan dalam dua gelas kaca.
Octaviani tidak bisa berlama-lama menahan air liur
laparnya. Ia langsung menyeruput cola-cola dingin lalu menyendok butiran nasi
yang masih mengepulkan uap panas. Setelah dua kali ditiup, Octaviani memasukkan
sendok yang berisi nasi itu ke dalam mulutnya.
“Hmm, enak,” ujar Octaviani sambil
mengunyah nasi yang berada di dalam mulutnya.
Santoso menorehkan senyum getir
padanya. Ia yakin perempuan yang bersamanya, adalah gadis kampung yang ikut
merantau bersama dengan orang tuanya. Tapi tak banyak gadis kampung yang pandai
bersolek dan mengerti cara hidup anak kota yang hedon dan kekinian. Pasti ia
mendapatkan pelajaran baru dari teman-teman satu pekerjaannya. Ya pasti.
Santoso mengelap mulutnya yang masih
menyisakan noda minyak. Octaviani sudah menenggak habis coca cola dalam
gelasnya. Hingga yang tersisa hanya es batu yang kecil.
“Gimana, kita bisa pergi sekarang?”
Santoso merapikan pakaiannya, duduk tegap sambil sedikit membusungkan dadanya.
“Sebentar lagi, bang. Kira-kira dua
menit lagi. Maklum, masih kenyang,” tahan Octaviani. Tanpa sengaja, ia
berserdawa. Ia refleks menutupi mulutnya dengan tangannya.
“Maaf.”
Lelaki bersweter hijau gelap itu
tertawa kecil. Perempuan ber-tank top itu memalingkan wajah, menyembunyikan
rasa malunya.
Dua menit sudah terlewati. Mereka
akan beranjak pergi dari sana. Santoso meraih tangan gadis itu dan digenggamnya
erat. Gadis itu tak menolak. Ia bersikap biasa-biasa saja menyambut genggaman
tangan Santoso.
Suasan di jalan raya benar-benar
sepi. Tidak ada satu pejalan kaki yang melintas di sana. Hanya ada suara
deruman beberapa motor besar yang melewati kendaraan yang berisi dua manusia
berlainan jenis kelamin. Di dalam mobil itu, Santoso sesekali memberikan
belaian nakalnya di bagian paha. Gadis itu hanya tersenyum genit, menikmati
belaian yang diberikan lelaki yang bersamanya saat ini.
Lama-lama kelamaan, belaian itu
bergerilya di bagian atas menuju sejengkal bagian perutnya. Octaviani mengerang
lemah sambil mendesah dengan hela napas yang lumayan berat.
“Cari tempat yang gelap dan sepi,
bang.” Gadis muda itu berbisik mesra di telinga dengan suara khas wanita yang sudah terbius birahi
tingkat tinggi.
Santoso menolehnya sekilas seraya
mengangguk pelan. Ia mempercepat laju mobilnya mencari tempat yang diinginkan
sang gadis.
Mencari tempat gelap dan sepi, jauh
dari jangkauan keramaian bukanlah hal yang bisa dibilang mudah. Santoso harus
mengendarai mobilnya keluar dari kota Siantar. Tibalah ia di sebuah lapangan
sepak bola yang di belakangnya terdapat pepohonan akasia yang seolah menjadi
dinding pembatas lapangan dengan jalan yang berada di sana.
Santoso memasukkan mobilnya ke area
lapangan, memberhentikan mobilnya di dekat pepohonan akasia. Mereka langsung
menuntaskan gelombang asmara yang sempat menggebu-gebu karena rayuan setan
sudah menggelapkan pikiran dan jiwa keduanya. Tapi Santoso berusaha menahan
gencarnya permainan sang gadis. Ia membuka pintu yang berada di sampingnya
kemudian menarik tangan si gadis.
Usai menariknya keluar, Santoso
merapatkan tubuh si gadis di samping kaca mobilnya. Ia melancarkan
serangan-serangan maut di bagian leher jenjang sang gadis. Perempuan itu tampak
mengikuti irama permainan pelanggan prianya. Sekarang ia sudah memindahkan
jamahan berahinya sejengkal dari dagunya.
Lelaki ini memutar badan Octaviani,
mencampakknya ke permukaan tanah. Ia tampak terkejut ketika punggungnya
menubruk kerasnya tanah. Tapi, itu tidak membuatnya berhenti. Santoso sudah
membuka sweter sekaligus baju yang melekat di dadanya.
Santoso menjatuhkan badannya,
menimpa tubuh muda si gadis. Ia langsung memainkan perannya sebagai seorang
lelaki jantan yang memberi kepuasan batiniah kepada betinanya. Dalam lautan
birahi yang sedang mereka arungi bersama, bola mata Octaviani tertuju pada kayu
yang terselip di celana panjang Santoso.
“I-i-itu a-a-apa?” tanya Octaviani.
Meskipun nuansa kegelapan mendominasi di antara pepohonan akasia, pendaran
cahaya bulan membantu penglihatannya.
“Oh... ini...” Santoso menariknya
perlahan-lahan hingga tungkul kayu memperlihatkan sebuah besi yang menancap di
ujungnya.
“Hah—“
Sudah terlambat untuk gadis itu
menyadarinya. Santoso secepat kilat menghunjamkan parangnya ke dalam mulut sang
gadis yang kebetulan terbuka agak lebar. Ujung tajam parang menembus dari
tengkuk sampai ke dalam tanah. Santoso menekan tungkul kayu lebih dalam lagi.
Ia bisa melihat ekspresi keterkejutan dan kesakitan luar biasa dari bola
matanya yang memelototi dirinya. Urat bola matanya memerah. Mungkin, gumpalan
darah sudah terkumpul di dalam saraf bola matanya.
“Dasar wanita jalang! Kau
jahaaatttt!” jeritnya panjang di hadapan tubuh gadis yang didudukinya. Ia
mencabut kembali parang yang tertancap, memegangnya di tangan kanannya.
Sekarang
aku tinggal mencacahkan menjadi beberapa bagian. Tapi mulai dari mana, ya? ujar
batin Santoso seraya bangkit berdiri, memperhatikan tubuh malang sang gadis.
Santoso mendaratkan parangnya ke
bagian leher sang gadis. Ia membacoknya berkali-kali hingga kepalanya terpisah
dari tubuhnya. Dilanjutkan lagi di pergelangan tangan sebelah kanan. Lelaki itu
membaginya menjadi tiga bagian. Begitu juga yang dilakukannya pada tangan
kirinya. Untuk bagian badan, ia tidak melakukan pemotongan. Ia membiarkan
bagian batang leher sampai perut utuh. Lalu bagian kaki, ia membaginya sama
seperti bagian tangan, menjadi tiga bagian. Kaki, tungkai atas, dan tungkai
bawah. Santoso melangkah sebentar ke bagian belakang mobilnya untuk mengambil
beberapa peralatan yang dibutuhkannya. Sebuah cangkul dan dua karung goni
diletakkan di samping potongan tubuh si gadis malam tersebut.
Ia
berhat-hati memasukkan kepala, potongan tangan dan kaki ke dalam karung
goni pertama. Ia berjalan agak jauh dari posisinya memarkirkan mobil. Sekitar dua
puluh meter dasi sana, ia menggali lubang, mengubur karung itu. Ia sempat
kesulitan karena akar pohon sudah begitu besar dan menonjol. Tapi dengan
kekuatan yang dimilikinya, lubang sedalam setengah meter sudah tercipta di
hadapannya. Santoso melemparkan karung itu sambil mengubur dengan tanah bekas
galiannya.
Untuk bagian badan, lumayan sulit
untuk memasukkannya. Dengan sedikit paksaan, karung itu cukup memuat
seluruhnya. Santoso menyeretnya agak jauh dari tempatnya memakirkan mobil. Di
belakang jaring gawang, ia harus menguras tenaganya lebih besar lagi. Apalagi
tanah di lapangan cukup keras. Tidak seperti tanah di kawasan pepohonan akasia.
Kedalaman lubang baru mencapai dua puluh sentimeter. Ia harus memperoleh tiga
puluh sentimeter lagi, agar lubang dapat muat seluruhnya.
Bulir-bulir peluh sebesar biji
jagung sudah membanjiri wajah mulus Santoso. Sudah setengah jam lebih, ia
menaikturunkan cangkulnya, menggali lubang tempat penguburan tubuh yang sudah
dicacahnya. Santoso mengelap peluhnya yang sudah bercampur debu dengan telapak
tangannya lalu dipercikkan ke tanah. Kini, lubang sedalam lima puluh sentimeter
terpampang di depan matanya. Ia menjatuhkan karung lalu melakukan hal yang sama
seperti di pepohonan akasia.
Santoso menatap sekali lagi di
sekitarnya. Dia hampir saja lupa—darah tercecer bekas dari parangnya. Ia
mengambil tanah untuk menutupi bekas darah yang tertinggal. Lebih tebal agar
tak kelihatan sisanya. Ia memadatkan tanah dengan cangkul kemudian
menginjak-injaknya hingga tebal.
Santoso mencoba mengingat-ingat lagi
apa yang ketinggalan, menutupi jejak pembunuhan yang dilakukannya. Ia menengok
ke arah tangannya. Betul, sarung tangan kain yang dikenakannya sudah berlumuran
dengan darah. Ia pelan-pelan melepaskan sarung tangannya. Dia menggunakan
sarung tangannya, mengelap parang yang ternodai oleh darah. Begitu darah yang
menempel di parang tak tersisa lagi, ia mencampakkan ke tumpukan dedaunan
kering yang berada di depannya. Santoso memantikan korek api, membakar daun
sekaligus bekas sarung tangannya.
Pelan-pelan, kobaran api sudah
menjilat bahan penyusun sarung tangan hingga menjadi arang. Santoso tersenyum
jahat. Kini, tak ada yang bisa menemukan mayat gadis malang itu. Kalau pun
mereka bisa menemukannya, tentu mereka takkan bisa dengan mudah menemukan siapa
pelakunya.
Santoso kembali ke dalam mobilnya. Ia
memilih pergi, kembali ke rumahnya. Ia benar-benar butuh istirahat total malam
ini.

No comments:
Post a Comment