Saturday, 9 April 2016

Absurd : Misteri Tiga Wajah Iblis - 9



Jarum arloji menunjukkan pukul sembilan tiga puluh. Adi menekan klakson mobilnya sebanyak empat kali namun istrinya tak kunjung menampakkan diri. Ia teringat meninggalkan istrinya di studio milik Robert. Tak biasanya perempuan itu tidak memberi kabar mengenai kepulangannya. Ia mencoba me-misscall Cahyana, siapa tahu istrinya punya urusan yang penting bersama dengan partnernya, Robert.
            Sementara Robert dan Cahyana masih disibukkan dengan urusan ranjang. Sebelum datang ke hotel, Robert sudah menonaktifkan handphone-nya sehingga dirinya tidak perlu khawatir bila sewaktu-waktu suami Cahyana menghubungi istrinya.
            Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi. Silakan cobalah beberapa saat lagi.
            Sudah sepuluh kali Adi menghubungi istrinya, ia tetap saja mendapatkan jawaban yang sama dari pihak operator. Dirinya menduga jika handphone istrinya sedang lowbat total. Meskipun begitu, seharusnya Cahyana bisa meminjam handphone Robert dan memberitahu bahwa dirinya tidak bisa pulang malam ini karena kesibukan luar biasa di studio.
            Adi memilih membuka sendiri gerbang rumahnya. Ia merogoh kunci yang berada di saku celananya. Ia membuka gerbang selebar ukuran mobilnya. Sesudah memasukkan mobil ke gudang, Adi melangkah menuju pintu tamu luar. Dengan kunci yang berada di genggamannya, pintu sudah tersingkap. Ia memasukkan dirinya ke dalam.
            Seperti biasa, suasana begitu sepi jika istrinya tidak ada di rumah. Dalam hati Adi, ia ingin sekali disambut oleh sorak ceria dan teriakan dari buah hatinya. Minimal jika istrinya tidak ada, anaknya akan membukakan pintu dan sekedar berbasa-basi menanyakan apakah ia lelah atau apakah dirinya sudah makan. Tapi melihat kesibukan istrinya saat ini, sangat tidak mungkin dirinya mengharapkan ekspetasi itu menjadi realita. Ia harus menerima apa yang terjadi padanya saat ini.
            Sesudah melepaskan pakaian yang membalut tubuhnya, Adi mengambil satu stel kaos oblong dan celana boxer lalu bergerak ke kamar mandi. Di sana, sebelum membasuh tubuhnya, ia menyetel suhu air shower menjadi sedikit hangat. Air hangat bagus untuk merelaksasikan otot-otot yang tegang sekaligus menghilangkan dingin yang merajai tubuhnya.
            Usai mandi, Adi bergegas ke dapur menyiapkan makan malamnya. Ia mengambil sebungkus Indomie goreng dan satu butir telur. Ia mengambil wajan, menuangkan segelas air ke dalamnya. Sambil menunggu air mendidih, Adi mengambil handphone-nya, memutar musik-musik berbahasa Batak guna menemani dirinya di sana.
            Syair-syair puitis dan romantis terdengar begitu mesra di telinganya. Lagu satu ini menceritakan tentang pertemuan seorang laki-laki dan perempuan. Si laki-laki mulai merasa benih-benih cinta bersemi di lahan hatinya, melihat senyum manis yang terlukis di bibirnya, tatapan matanya sambil suaranya yang membuat hatinya merasa dicuri oleh wanita yang dijumpainya.
            Mie yang direndam Adi sudah mulai lembek. Ia memasukkan segala bumbu dan telur ke dalam mienya. Butuh waktu lima menit meramu mie itu menjadi hidangan harumnya menusuk indra penciuman. Kini mie goreng buatannya sendiri sudah siap untuk dikonsumsi.
            Adi membawa mienya ke ruang tamu. Ia meraih remote yang tergeletak di sofa seraya menekan tombol ON. Lelaki itu mengutak-atik channel kesukaannya sambil menguyah mie yang berada di dalam mulutnya. Satu siaran telah dipilih. Pertandingan liga Inggris, Newcastle kontra West Brimingham sudah berada di menit ke tujuh puluh lima. Skor tiga poin untuk Newcastle dan satu poin untuk West Brimingham. Walaupun bukan tim kesayangannya, Adi sangat menyayangkan ketertinggalan dua poin atas West Brimingham.
            “Tim kesayanganmu kalah, ya, pak detektif?” suara lelaki itu sontak mengagetkan Adi yang sedang serius menyaksikan pertandingan.
            Perhatian Adi tentu saja langsung tertuju pada sumber suara itu. Piring yang dipegangnya tiba-tiba terlepas dari tangannya. Piring itu berbagi-bagi menjadi serpihan tajam yang mengenai kakinya.
            “Beraninya kau mengagetkanku, sialan!” damprat Adi. Emosinya memuncak. Ia tak peduli kalau tetes darah sudah mengalir dari luka-lukanya.
            Adi langsung mencengkeram lehernya seraya membantingkan badannya ke arah dinding. Tulang punggung dan tengkorak berderak  keras mengenai dinding. Ia tak bisa menahan lonjakan amarah yang sudah memenuhi ubun-ubunnya.
            “Kini aku mendapatkanmu, brengsek! Kau cukup berani datang ke rumahku sendiri! Darimana kau bisa mengikutiku sampai ke sini?”
            “Hmm, darimana, ya...? Aha!” lelaki itu menjentikkan jempol dan jari tengahnya.“Kau tidak perlu tahu darimana aku bisa mengikutimu, tuan detektif. Yang pasti, jika kau berbuat sesuatu yang membahayakan, aku bisa berada di mana pun kau berada. Aku tidak perlu rumah. Aku bisa menyewa losmen atau hotel tempat kubernaung.  Itu tidak menjadi masalah selagi aku punya uang.”
            Adi berusaha menahan getaran amarah yang terkumpul rahangnya. Ia sudah muak dengan omong kosong lelaki itu. Tinjuan tangan Adi begitu ringan mendarat di pipinya.
            “Apa maksudmu, sialan?! Hentikan omong kosongmu atau aku akan terus menghajarmu sampai bonyok!” hardik Adi sembari mengayunkan kepalan tangannya di pipi lelaki itu.
            Bukannya merasa sakit, lelaki itu hanya terkekeh menikmati setiap pukulan yang menerpa wajahnya. “Pukul aku! Pukul Aku sampai puas! Tapi, aku akan memberi perhitungan pada rekanmu itu! Lihat saja!”
            Lelaki itu berhasil menerjangkan kakinya pada perut si pemukul. Ia memberi dua kali bogem mentah di wajah mulus Adi. Begitu cekikan yang mencengkeramnya terlepas, lelaki itu mempergunakan kesempatan untuk melarikan diri. Adi lantas bangkit, menyusul lelaki itu berharap ia belum jauh dari rumah.
            Tiba di luar pekarangan, Adi tak melihat siapapun berada di sana. Sial, makinya dalam batin. Bisa-bisanya lelaki itu kabur dengan melompati pagarnya. Adi tak tahu ke mana lelaki itu pergi. Tapi, ia takkan membiarkannya lolos dari pengejarannya. Sebelum itu, dirinya berbalik ke kamar, mengganti baju yang melekat di badannya. Setelah diganti, ia bergegas membuka garasi dan menyalakan mesin mobilnya.
***
            Santoso masih mengelus pipinya yang membiru. Darah yang menggumpal di sana belum tentu akan hilang dalam satu malam. Ia harus mengompres dengan air panas atau air dingin bila ingin cepat sembuh. Namun, Santoso lebih memilih menahannya. Kabur dari rumah itu, sudah menjadi keberuntungan yang tak terduga.
            Pukulan yang lumayan sakit. Beruntung aku bisa kabur lebih cepat dari rumahnya. Belum waktunya untuk menghabisi lelaki itu. Untuk sementara, targetku sudah kukunci. Ucap batin Santoso. Ia menatap tajam ke layar handphone­. Di sana, terpampang foto seorang pria berdinas polisi. Berbadan tegap dengan kumis tipis melintang di atas bibirnya—Briptu Dharmawan.
            Ia sudah lama mengincar polisi muda itu. Bahkan, dirinya menyimpan beberapa koleksi foto yang didapatkan selama pengintaian. Semenjak kasus pembunuhan sadis yang dilakukannya, wajah polisi tampan yang belakang ini menghias headline koran lokal Pematangsiantar. Awalnya, ia cukup senang polisi tidak menemukan barang bukti yang bisa digunakan mencari identitasnya. Tapi itu tak berlangsung lama. Dua kali koran lokal terbit, ia melihat ada berita perkembangan terbaru mengenai kasus pembunuhan yang diselidiki polisi.
            Pihak kepolisian menemukan karung goni cokelat yang terdampar di pinggir sungai berjarak 100 meter dari posisi penemuan mayat anak laki-laki yang tewas empat hari lalu. Sumpah serapah keluar dari mulutnya, mengutuki kelihaian para polisi dan kebodohan dirinya yang tidak memakai sarung tangan dalam melakukan aksinya.
            “Aku harus melenyapkanya. Segera.” Ucapnya lirih.
            Santoso menambah laju mobilnya. Ia ingin secepatnya tiba di lokasi wisata lendir yang selalu ramai dikunjungi tiap malam.
            Santoso melirik sedikit ke arloji yang melingkari pergelangan tangannya. Jam sebelas malam. Ini sudah waktunya bagi para wanita penjaja kenikmatan menampakkan eksistensinya. Satu kilometer sebelum Tanjung Pinggir para wanita dengan model pakaian minim. Mulai dari setelan atas sampai yang menutupi aurat. Bagian atas memperlihatkan kulit putih nan mulus serta gundukan yang kelihatan ingin melompat dari penahannya. Hotpants yang melingkari pinggul, memperlihatkan kulit paha atas dan bawah tanpa rambut-rambut halus yang menumpang tumbuh di sana. Krim bedak terpoles tipis di wajah mereka. Namun, satu hal yang harus dihindari—air dan keringat. Tapi pekerjaan yang mereka geluti, tak memungkinkan mereka untuk bisa jauh dari air dan keringat. Air dan keringat merupakan hasil dari pergumulan birahi dengan para pelanggan. Untuk itu, mereka tidak boleh terlalu bersemangat dalam mengimbangi permainan.
            Tatap mata Santoso tertuju pada sosok perempuan yang berdiri di bawah lampu jalan. Dia memakai tanktop merah marun dengan tas sandang di bahunya. Ia sedang memain-mainkan gadget-nya, menunggu seseorang akan menghampiri. Perempuan itu tahu kalau ia sedang diamati dari kejauhan. Ia pura-pura menengok kanan dan kiri seolah-olah ada yang memanggilnya. Dirinya tetap fokus mengutak-atik gadget-nya.
            Ternyata dia masih mau jual mahal. Ok, aku akan ikuti permainannya. Ujar Santoso pada dirinya sendiri. Ia tertantang dengan sikap misterius perempuan yang di sana.
            Santoso mengoleskan hair gelsambil menyisir rambutnya ke atas. Persis seperti gaya anak muda akan bertandang ke rumah pacarnya. Ia juga memercikkan sedikit Casablanca Black di dadanya. Dan pasti, ia sudah menyiapkan sejumlah uang di koceknya.
            “Hei, ada gerangan apa, gadis secantik kamu, sendirian malam-malam begini? Apa sih yang kamu tunggu?” tanya Santoso sambil mengedipkan kelopak mata sebelah kiri. Ia berdiri dengan posisi kedua tangan memasuki kantong.
            Perempuan itu hanya sekilas melirik ke arah Santoso lalu mengembalikan pandangannya ke gadget-nya. Walau hanya sekilas memandang, ia dapat menilai penampilan lelaki yang berada di hadapannya.
            Lelaki itu cukup tinggi. Ia menaksir kalau tinggi badannya dengan lelaki itu berselisih tujuh sentimeter. Tatap matanya cerah. Tidak ada guratan halus yang terpahat di sana. Kumisnya halus memenuhi bagian atas bibirnya. Dan yang disukainya, rupa wajah cukup tampan dan tanpa jerawat beserta dengan bekas lubangnya.
            “Emangnya itu urusanmu? Aku lagi nunggu jemputan pacarku,” ketusnya.
            “Hehehe, jangan marah-marah gitu dong. Nanti cantiknya meluntur, lho.” Santoso menggodanya dengan mengelus dagunya lembut.
            Perempuan itu diam saja menerima elusan lembut di dagunya. Di dalam hatinya, ia sangat menikmati sentuhannya. Aliran darah di dagunya berdesir kencang sampai ke saraf otaknya. Ia berharap lelaki yang berada di hadapannya, menerima sentuhan kenikmati di daerah sensitifnya. Ia benar-benar ingin merasakannya.
            “Ini sudah tengah malam, tahu. Yang ada, malah kamu dijemput sama bandit dan penjahat kelamin. Bisa –bisa kamu dibawa entah ke mana-mana lagi,” goda Santoso lebih intens. Ia berusaha meruntuhkan gengsi yang membentengi diri perempuan. Untung saja, ia masih punya stok kesabaran melayani kode-kode tak jelas dari perempuan itu. Kalau kesabarannya habis, ia bisa saja menguliti kulit mulus sang perempuan malam dan mengoleksinya.
            “Emangnya om ada perlu apa sih sama aku? Dari tadi, ngotot banget pengen mengajak pergi?” bentaknya pura-pura. Ia melancarkan umpannya supaya lelaki itu mengajaknya pergi dari sana.
            Santoso mengarahkan pandangannya ke arah perempuan itu. Dia memilih diam sesaat. Perempuan itu agak grogi begitu lelaki yang diincarnya sudah ada di dekatnya. Santoso refleks mengangkat dagu perempuan itu, mendekatkan wajahnya mengecup kedua belah bibir merah mudanya.
            Setelah menikmati beberapa detik kelembutannya, perlahan Santoso menyingkirkan wajahnya dan menjamah pipi perempuan itu. “Ikuti saja aku.” Santoso berucap pelan.
            Dia hanya mengangguk menanggapi ajakan Santoso. Ia mendekap mesra pundak perempuan itu, mengantarnya masuk ke dalam mobil yang terparkir tak jauh dari tempat mereka berdiri tadi.
            Saat kedua pintu di sisi mereka tertutup, Santoso menaikkan kecepatan mobilnya meninggalkan lampu jalan yang menancap di sana. Santoso menarik sedikit lubang leher sweater-nya agar tak terlalu mencekik.
            Tidak banyak kafe yang buka pada tengah malam begini. Jika buka, kafe tersebut merupakan kepunyaan Tionghoa dan di sana juga tempat berkumpulnya kaum eksetutif.
            Kasuari CAfe. Itulah yang terbaca di plang berlampu yang tertancap di depan pagar. Kafe ini bisa dibilang satu dari empat kafe yang buka malam ini. Lainnya, itu tidak tahu. Ia hanya menguping dari pembicaraan orang tanpa tahu nama ketiga kafe lainnya.
            Kafe ini terdapat dua belas meja bundar yang diletakkan secara acak namun tidak terkesan sembarang. Di masing-masing meja dilengkapi dengan payung yang bisa melindungi para pelanggan jika mereka kehujanan atau kepanasan. Sebagian kafe terpapar langsung sinar matahari dan sebagian lagi berada di bawah naungan bangunan.
            “Ayo, silakan duduk.” Suruh Santoso sambil memberikan kursi pada perempuan tumpangannya.
            “Terimakasih, om.” Perempuan itu menyahut sambil mendaratkan bokongnya di atas kursi. Ia mengulas senyum tipis di bibirnya.
            Santoso juga duduk di atas kursi yang disediakan. Ia hanya membalas dengan senyuman juga.
            “Om, pesan makanan dong. Makanannya yang enak dan berkelas, ya. Minumannya juga,” rayu perempuan itu manja sambil menggoyangkan lengan Santoso.
            “Iya, sabar. Itu pelayannya sudah datang.” Santoso menunjuk ke arah pelayan yang kebetulan akan menghampiri meja mereka. Pelayan laki-laki itu menyapa mereka lalu mengambil catatan dari sakunya.
            “Mau pesan apa, pak?” tanya sang pelayan.
            “Nasi goreng spesial dua porsi. Minumannya, bandrek susu segelas dan coca cola dingin segelas juga,” pungkas Santoso.
            “Baiklah, pak. Mohon ditunggu, ya.” balasnya sambil menyimpan catatannya. Ia mundur dari hadapan mereka.
            “Oh ya, saya belum tahu nama kamu. Boleh kamu beritahu namamu?”
            “Nama saya Octaviani, om. Saya sering dipanggil Vivi sama teman-teman,” jawab Vivi antusias.
            “Boleh dipanggil Octa?”
            “Terserah Om di mana bagusnya,”
            “Aduh jangan panggil saya Om, dong. Panggil saja abang. Abang Santoso.”
            “Ah masa panggil abang. Nanti aku dibilang enggak sopan lagi. Lagipula, aku belum tahu umur om berapa,”
            “Umur saya baru dua puluh lima tahun. Tapi, kalau saya lihat dari wajah unyu-nya, kamu berumur enam belas tahun, kan?” tebak Santoso sambil menaikkan alis sebelah kanannya.
            “Wah, om hebat. Bisa tepat pula tebakannya..., Kalau begitu, aku panggil abang saja deh biar lebih intim. Hehehe,”  
            “Kalau boleh abang tahu, adik Vivi masih sekolah, ya?”
            “Masih sekolah, bang. Vivi masih kelas 1 SMA. Vivi sekolah di Bintang Selatan.”
            “Wow. Itu kan sekolah terbaik di Pematangsiantar ini. Beruntung kamu bisa bersekolah di sana,” puji Santoso.
            “Iya, bang. Tapi abang tahu, itu sekolah swasta. Andai saja enggak ada beasiswa untuk siswa kurang mampu, mana mungkin saya bisa sekolah di sana,”
            “Orang tua kamu kerja apa?”
            “Bapak dan ibu saya, buruh tani, bang.” Octaviani merasa gadget-nya bergetar. Ia buru-buru mengeluarkan, melihat apa yang tertera di sana—ibunya.
            Halo, ma. Iya, aku menginap di rumah temanku. Aku sudah membawa baju sekolah dan buku pelajaranku. Besok, aku mandi dan sarapan di sana. Bye. Selamat malam.
            “Dari siapa?”
            “Ibuku, bang. Dia selalu begitu. Untung saja, dia belum tahu soal “pekerjaanku” ini,” gelaknya garing.
            Santoso mengulas senyum satir. “Kau beruntung punya ibu yang baik sedangkan abang tidak punya siapa-siapa. Yatim piatu.”
            Di sela percakapan mereka, seorang pelayan laki-laki membawa sebuah nampan besar berisikan dua piring nasi goreng panas, bandrek dan cola-cola yang ditempatkan dalam dua gelas kaca.
            Octaviani tidak bisa berlama-lama menahan air liur laparnya. Ia langsung menyeruput cola-cola dingin lalu menyendok butiran nasi yang masih mengepulkan uap panas. Setelah dua kali ditiup, Octaviani memasukkan sendok yang berisi nasi itu ke dalam mulutnya.
            “Hmm, enak,” ujar Octaviani sambil mengunyah nasi yang berada di dalam mulutnya.
            Santoso menorehkan senyum getir padanya. Ia yakin perempuan yang bersamanya, adalah gadis kampung yang ikut merantau bersama dengan orang tuanya. Tapi tak banyak gadis kampung yang pandai bersolek dan mengerti cara hidup anak kota yang hedon dan kekinian. Pasti ia mendapatkan pelajaran baru dari teman-teman satu pekerjaannya. Ya pasti.
            Santoso mengelap mulutnya yang masih menyisakan noda minyak. Octaviani sudah menenggak habis coca cola dalam gelasnya. Hingga yang tersisa hanya es batu yang kecil.
            “Gimana, kita bisa pergi sekarang?” Santoso merapikan pakaiannya, duduk tegap sambil sedikit membusungkan dadanya.
            “Sebentar lagi, bang. Kira-kira dua menit lagi. Maklum, masih kenyang,” tahan Octaviani. Tanpa sengaja, ia berserdawa. Ia refleks menutupi mulutnya dengan tangannya.
            “Maaf.”
            Lelaki bersweter hijau gelap itu tertawa kecil. Perempuan ber-tank top itu memalingkan wajah, menyembunyikan rasa malunya.
            Dua menit sudah terlewati. Mereka akan beranjak pergi dari sana. Santoso meraih tangan gadis itu dan digenggamnya erat. Gadis itu tak menolak. Ia bersikap biasa-biasa saja menyambut genggaman tangan Santoso.
            Suasan di jalan raya benar-benar sepi. Tidak ada satu pejalan kaki yang melintas di sana. Hanya ada suara deruman beberapa motor besar yang melewati kendaraan yang berisi dua manusia berlainan jenis kelamin. Di dalam mobil itu, Santoso sesekali memberikan belaian nakalnya di bagian paha. Gadis itu hanya tersenyum genit, menikmati belaian yang diberikan lelaki yang bersamanya saat ini.
            Lama-lama kelamaan, belaian itu bergerilya di bagian atas menuju sejengkal bagian perutnya. Octaviani mengerang lemah sambil mendesah dengan hela napas yang lumayan berat.
            “Cari tempat yang gelap dan sepi, bang.” Gadis muda itu berbisik mesra di telinga dengan  suara khas wanita yang sudah terbius birahi tingkat tinggi.
            Santoso menolehnya sekilas seraya mengangguk pelan. Ia mempercepat laju mobilnya mencari tempat yang diinginkan sang gadis.
            Mencari tempat gelap dan sepi, jauh dari jangkauan keramaian bukanlah hal yang bisa dibilang mudah. Santoso harus mengendarai mobilnya keluar dari kota Siantar. Tibalah ia di sebuah lapangan sepak bola yang di belakangnya terdapat pepohonan akasia yang seolah menjadi dinding pembatas lapangan dengan jalan yang berada di sana.
            Santoso memasukkan mobilnya ke area lapangan, memberhentikan mobilnya di dekat pepohonan akasia. Mereka langsung menuntaskan gelombang asmara yang sempat menggebu-gebu karena rayuan setan sudah menggelapkan pikiran dan jiwa keduanya. Tapi Santoso berusaha menahan gencarnya permainan sang gadis. Ia membuka pintu yang berada di sampingnya kemudian menarik tangan si gadis.
            Usai menariknya keluar, Santoso merapatkan tubuh si gadis di samping kaca mobilnya. Ia melancarkan serangan-serangan maut di bagian leher jenjang sang gadis. Perempuan itu tampak mengikuti irama permainan pelanggan prianya. Sekarang ia sudah memindahkan jamahan berahinya sejengkal dari dagunya.
            Lelaki ini memutar badan Octaviani, mencampakknya ke permukaan tanah. Ia tampak terkejut ketika punggungnya menubruk kerasnya tanah. Tapi, itu tidak membuatnya berhenti. Santoso sudah membuka sweter sekaligus baju yang melekat di dadanya.
            Santoso menjatuhkan badannya, menimpa tubuh muda si gadis. Ia langsung memainkan perannya sebagai seorang lelaki jantan yang memberi kepuasan batiniah kepada betinanya. Dalam lautan birahi yang sedang mereka arungi bersama, bola mata Octaviani tertuju pada kayu yang terselip di celana panjang Santoso.
            “I-i-itu a-a-apa?” tanya Octaviani. Meskipun nuansa kegelapan mendominasi di antara pepohonan akasia, pendaran cahaya bulan membantu penglihatannya.
            “Oh... ini...” Santoso menariknya perlahan-lahan hingga tungkul kayu memperlihatkan sebuah besi yang menancap di ujungnya.
            “Hah—“
            Sudah terlambat untuk gadis itu menyadarinya. Santoso secepat kilat menghunjamkan parangnya ke dalam mulut sang gadis yang kebetulan terbuka agak lebar. Ujung tajam parang menembus dari tengkuk sampai ke dalam tanah. Santoso menekan tungkul kayu lebih dalam lagi. Ia bisa melihat ekspresi keterkejutan dan kesakitan luar biasa dari bola matanya yang memelototi dirinya. Urat bola matanya memerah. Mungkin, gumpalan darah sudah terkumpul di dalam saraf bola matanya.
            “Dasar wanita jalang! Kau jahaaatttt!” jeritnya panjang di hadapan tubuh gadis yang didudukinya. Ia mencabut kembali parang yang tertancap, memegangnya di tangan kanannya.
            Sekarang aku tinggal mencacahkan menjadi beberapa bagian. Tapi mulai dari mana, ya? ujar batin Santoso seraya bangkit berdiri, memperhatikan tubuh malang sang gadis.
            Santoso mendaratkan parangnya ke bagian leher sang gadis. Ia membacoknya berkali-kali hingga kepalanya terpisah dari tubuhnya. Dilanjutkan lagi di pergelangan tangan sebelah kanan. Lelaki itu membaginya menjadi tiga bagian. Begitu juga yang dilakukannya pada tangan kirinya. Untuk bagian badan, ia tidak melakukan pemotongan. Ia membiarkan bagian batang leher sampai perut utuh. Lalu bagian kaki, ia membaginya sama seperti bagian tangan, menjadi tiga bagian. Kaki, tungkai atas, dan tungkai bawah. Santoso melangkah sebentar ke bagian belakang mobilnya untuk mengambil beberapa peralatan yang dibutuhkannya. Sebuah cangkul dan dua karung goni diletakkan di samping potongan tubuh si gadis malam tersebut.
            Ia  berhat-hati memasukkan kepala, potongan tangan dan kaki ke dalam karung goni pertama. Ia berjalan agak jauh dari posisinya memarkirkan mobil. Sekitar dua puluh meter dasi sana, ia menggali lubang, mengubur karung itu. Ia sempat kesulitan karena akar pohon sudah begitu besar dan menonjol. Tapi dengan kekuatan yang dimilikinya, lubang sedalam setengah meter sudah tercipta di hadapannya. Santoso melemparkan karung itu sambil mengubur dengan tanah bekas galiannya.
            Untuk bagian badan, lumayan sulit untuk memasukkannya. Dengan sedikit paksaan, karung itu cukup memuat seluruhnya. Santoso menyeretnya agak jauh dari tempatnya memakirkan mobil. Di belakang jaring gawang, ia harus menguras tenaganya lebih besar lagi. Apalagi tanah di lapangan cukup keras. Tidak seperti tanah di kawasan pepohonan akasia. Kedalaman lubang baru mencapai dua puluh sentimeter. Ia harus memperoleh tiga puluh sentimeter lagi, agar lubang dapat muat seluruhnya.
            Bulir-bulir peluh sebesar biji jagung sudah membanjiri wajah mulus Santoso. Sudah setengah jam lebih, ia menaikturunkan cangkulnya, menggali lubang tempat penguburan tubuh yang sudah dicacahnya. Santoso mengelap peluhnya yang sudah bercampur debu dengan telapak tangannya lalu dipercikkan ke tanah. Kini, lubang sedalam lima puluh sentimeter terpampang di depan matanya. Ia menjatuhkan karung lalu melakukan hal yang sama seperti di pepohonan akasia.
            Santoso menatap sekali lagi di sekitarnya. Dia hampir saja lupa—darah tercecer bekas dari parangnya. Ia mengambil tanah untuk menutupi bekas darah yang tertinggal. Lebih tebal agar tak kelihatan sisanya. Ia memadatkan tanah dengan cangkul kemudian menginjak-injaknya hingga tebal.
            Santoso mencoba mengingat-ingat lagi apa yang ketinggalan, menutupi jejak pembunuhan yang dilakukannya. Ia menengok ke arah tangannya. Betul, sarung tangan kain yang dikenakannya sudah berlumuran dengan darah. Ia pelan-pelan melepaskan sarung tangannya. Dia menggunakan sarung tangannya, mengelap parang yang ternodai oleh darah. Begitu darah yang menempel di parang tak tersisa lagi, ia mencampakkan ke tumpukan dedaunan kering yang berada di depannya. Santoso memantikan korek api, membakar daun sekaligus bekas sarung tangannya.
            Pelan-pelan, kobaran api sudah menjilat bahan penyusun sarung tangan hingga menjadi arang. Santoso tersenyum jahat. Kini, tak ada yang bisa menemukan mayat gadis malang itu. Kalau pun mereka bisa menemukannya, tentu mereka takkan bisa dengan mudah menemukan siapa pelakunya.
            Santoso kembali ke dalam mobilnya. Ia memilih pergi, kembali ke rumahnya. Ia benar-benar butuh istirahat total malam ini.

No comments:

Post a Comment