Cahyana
mengerdipkan kelopak matanya yang setengah terbuka. Memang masih berat tapi ia
memaksanya dengan menggosok lembut kedua kelopak matanya. Ia menelengkan
kepalanya ke sebelah kiri. Wanita itu sontak tersentak. Ada lelaki yang tidur di
sampingnya. Ternyata lelaki itu, Robert—partnernya. Bukan hanya itu saja.
Cahyana membuka selimut putih yang membentangi tubuhnya. Astaga! Tubuhnya polos
tanpa sehelai benang pun yang menutupinya.
“Kau sudah bangun?” sapa Robert
menyengau.
“Mengapa aku bisa ada di sini,
hah?!” Cahyana masih berada di ranjang, menutupi tubuhnya dengan selimut yang
dipegangnya.
“Kau teler tadi malam. Mungkin, kau
tidak terbiasa minum anggur, ‘kan? Tapi, permainanmu tadi malam sungguh
memuaskanku, Cahyana. Tak kusangka kau benar-benar hebat dalam urusan ranjang,”
Puji Robert sambil mengulas senyum mesum di bibirnya.
Cahyana mencoba mengingat-ingat apa
yang terjadi semalam. Dan terakhir kali diingatnya, ia mengeluh pusing dan
sekujur tubuhnya kepanasan. Robert membawanya ke sebuah hotel lalu mencampakkan
tubuhnya di atas ranjang yang didudukinya saat ini.
“Tidak usah terlalu dipaksakan untuk
mengingatnya, Cahyana.” Robert mengelus pipinya dari samping. Ia mengambil
sebuah handycam yang terletak di
sebuah meja rias.
“Semuanya sudah terekam jelas, di
sini.” Robert mengikatkan tali pinggang kimononya seraya mengambil handycam yang tergeletak di sana. Ia
memberikan handycam itu ke tangan Cahyana. Ia membuka dan menekan tombol ON
untuk melihat apa yang terekam selama satu malam bersama rekan kerjanya.
“Bagaimana hasilnya? Bagus bukan?”
tanya Robert lagi sambil duduk di samping Cahyana, mengambil handycam lalu
menyimpannya ke dalam kantong kimononya.
“Tenang, aku tidak akan
menyebarkannya apalagi memberikan video-nya
kepada suamimu. Aku tidak akan memerasmu. Aku cuma mau kamu memberiku kepuasan
batin lagi kalau aku memintanya padamu,”
“Sialan kau! Dasar bajingan!”maki
Cahyana di depan wajah Robert.
“Terserah kau bilang apa, tapi
terekam jelas di dalam ini, kalau kau ikut mengimbangi permainan, bukan? Kau
menikmatinya, ya ‘kan?”
Cahyana tidak mampu mengelak. Apa
yang dikatakan oleh Robert benar adanya. Hatinya juga tidak bisa berbohong
kalau ia juga tertarik dengan pesona sekaligus pelayanan berahi yang diberikan
padanya. Ia benar-benar hanyut dalam aliran asmara.
“Kalau begitu, cepatlah kau mandi
dan pakai bajumu. Aku mau memesan makanan pada resepsionis,” pungkas Robert
seraya menutup pintu kamar.
***
Walaupun kamarnya sudah dikepung
sinar mentari, Adi masih teronggok di kasurnya. Ia tetap bergeming dengan
bantal guling yang dipeluknya, dijadikan sebagai pengganti istrinya yang tidak
pulang semalaman.
Usahanya untuk menemukan lelaki yang
menyelinap ke rumahnya tidak membuahkan hasil. Ia sudah mengelilingi kota
Siantar selam satu jam lebih. Ia tidak menemukan lelaki itu. Yang ada , ia
harus menahan dinginnya angin malam yang menyentuh kulitnya.
Adi beringsut dari kasurnya, menuju
kamar mandi untuk sekedar mencuci muka. Tubuhnya benar-benar penat. Pegal di
bagian punggung, pinggang dan pergelangan tangan. Dalam hatinya, apakah dirinya
sudah terkena rematik di usianya masih tergolong muda? Ia menampik dugaan yang
dibuatnya sendiri. Ia melanjutkan langkahnya menuju kamar mandi.
Ujung mobil Toyota milik Robert tiba
di depan pagar rumah Cahyana. Sebelum menyuruhnya turun, Robert bermain mata
sambil berkata, “Aku akan meneleponmu lagi, Cahyana.”
Cahyana berdeham mendengar perkataan
Robert. Tak perlu berkata seperti itu, dia selalu siap jika harus menuruti
permintaan dari rekannya, kapan ada kesempatan. Sesudah pintu samping tertutup,
Robert memelesat cepat, meninggalkan Cahyana di depan rumahnya. Wanita itu
merapikan rambut hingga dress ketat
yang dikenakannya. Ia bersikap biasa saja seolah kejadian semalam tak pernah
terjadi.
Cahyana merogoh isi tasnya, mencari
anak kunci, membuka gembok yang mengumci pagarnya. Begitu ketemu, ia langsung
mendorongnya lalu menutupnya lagi saat dirinya sudah berada di halaman rumah.
Kaki jenjangnya melangkah anggun
menuju pintu luar. Ia mengetuk-ngetuk lima kali tapi tak ada jawaban dari
dalam. Cahyana memutuskan membuka gagang pintu yang kebetulan tidak dikunci.
Saat berada di ruang tamu, ia tak melihat suaminya berada di sana. Ia berpikir
mungkin suaminya sedang tertidur pulas di kasur sambil memeluk guling. Tanpa
diduganya, Adi sudah berada di samping. Ia sedang menggosok rambutnya yang
lepek dengan handuk biru.
“Eh, kamu baru sampai, Yanna?” sapa
suaminya.
“Iya, sayang. Aku tidak menyangka
kamu bisa ada di sini,”
“Ya, aku baru selesai mandi. Kau
tahu, Yanna, tadi malam sosok laki-laki misterius menyusup ke rumah kita. Aku
menghajarnya tapi tidak sempat menangkapnya. Dia lebih gesit dari yang kukira.
Aku menghabiskan waktu sejam, mengelilingi kota Pematangsiantar tapi tidak
membuahkan hasil sama sekali.” Adi menguraikan peristiwa yang terjadi padanya
panjang lebar.
“Termasuk luka di pipimu?” Cahyana
menjamah luka lebam yang berbekas di pipi suaminya. Adi hanya mengangguk pelan,
mengiyakan pertanyaan istrinya.
“Tapi ke mana saja kamu tadi malam?
Apa yang terjadi padamu?” Adi memunculkan sejumlah pertanyaan yang diharapkan
terjawab oleh istrinya.
“Oh..., Errr, begini. Aku tidak tahu
kalau semalam hujan deras karena aku, Robert dan seluruh timnya sedang fokus
memperhatikan acting para pemeran
filmnya dan voila, kuperhatikan jam
dinding sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Robert menyuruhku menginap di
rumah teman perempuannya karena khawatir keselamatanku. Dan aku minta maaf,
baterai handphone-ku sudah lowbat.
Aku tidak sempat men-charge-nya,
sayang.”
Adi hanya mengangguk mendengar
penjelasan dari istrinya. Sejauh ini, lelaki bercelana pendek itu percaya
dengan apa yang dikatakan istrinya. Ia yakin kalau Cahyana adalah seorang
wanita yang jujur. Ia takkan mungkin berbohong padanya. Tak sengaja, pandangan
mata Adi tertuju pada bercak merah keunguan yang tercetak di tengkuk istrinya.
“Aaa..., ada apa dengan tengkukmu,
Yanna?” selidik suaminya.
“Oh ini, ya,” Cahyana memegang
tengkuk sebelah kirinya sesuai yang dilihat oleh suaminya sambil melanjutkan
pembicaraannya, “Di rumah Laurent, teman Robert, banyak sekali nyamuk terutama di kamarnya. Aku ingin sekali
menyuruhnya membeli anti nyamuk tapi aku segan karena aku baru berkenalan
dengannya,”
“Kau yakin?” tanya Adi meyakinkan.
“Sungguh. Tidak mungkin, aku
membohongimu. Kau adalah laki-laki nomor dua yang kucintai setelah ayahku,”
elaknya. Adi luluh begitu saja dengan kata-kata manis dari istrinya.
Cahyana tersenyum kecil ketika
kebohongan yang diciptakannya, berhasil mengelabui pikiran suaminya. Padahal,
bercak merah keunguan itu adalah bekas kecupan Robert di bagian tengkuk yang
begitu kuat. Ia sendiri heran, mengapa Robert senang sekali melakukan pemanasan
di bagian pundaknya. Pertanyaan itu belum bisa terjawab oleh dirinya.
Adi merangkul pundak istrinya seraya
berjalan bersama menuju kamar. Cahyana hanya menurut saja sambil memiringkan
kepala di pundak suaminya. Mereka bagaikan pasangan pengantin baru yang akan
melaksanakan malam pertama, meskipun kenyataannya, mereka masih bisa dikatakan
baru.
***
Briptu Dharmawan sudah berada di
kawasan kantor polisi. Ia sedang berkoordinasi dengan atasannya, Aiptu Eben
Hutabarat. Lelaki itu juga menyerahkan barang yang berada di tangannya. Sebuah
plastik putih berisikan pisau. Kebetulan, keduanya sedang tidak berada di dalam
kantor. Para lelaki berdinas polisi itu sedang menikmati seduhan kopi hitam
yang berada di depan mereka.
“Jadi, kalian berdua belum bisa
menemukan pelaku pembunuhan itu?”
“Sampai saat ini, kami belum bisa
ciri-ciri detail fisik sang pelaku, tapi barang yang saya berikan pada Anda,
bisa menjadi barang bukti yang akan membawa kita pada pelaku pembunuhan
tersebut,” ujar Briptu Dharmawan mantap.
“Ya, aku berharap kita bisa
meringkus si pelaku, mengingat banyak orang tua di kota ini was-was, jika
membiarkan anak mereka bepergian sendirian bahkan para orang tua rela
menggelontorkan dana untuk menyewa bodyguard.
Aku tidak ingin penjahat itu mencoreng nama besar kesatuan polisi daerah. Kita
harus bisa menemukan si pelaku. Secepatnya.” Aiptu Eben Hutabarat memberikan
penekanan pada kata terakhirnya.
“Apa menurut Anda, apakah si pelaku
merupakan seorang psikopat?”
“Ya, saya juga berpikir demikian.
Melihat bekas penganiayaan yang dilakukan pada korban, bisa dikatakan kalau
pelaku terindikasi psikopat,” tegas Aiptu Eben Hutabarat sambil menyesap
kopinya yang mulai dingin.
“Dan pelaku sepertinya mempunyai
kecenderungan berhubungan seks dengan anak-anak di bawah umur 17
tahun—pedofilia. Pedofilia homoseks. Itu pantas diberikan pada pelaku mengingat
si korban yang merupakan anak laki-laki mengalami kekerasaan seksual,” tambah
Briptu Dharmawan sambil mengisap kopinya pelan-pelan.
“Kalau begitu, ini tidak bisa
dibiarkan. Saya akan mengadakan apel supaya para polisi berpatroli keliling
kota mencari petunjuk sekecil apapun untuk meringkus pelaku. Nama baik
kepolisian kita dipertaruhkan di kasus ini.” Aiptu Eben Hutabarat menutup
pembicaran. Ia berbalik badan menuju ke dalam kantor setelah Briptu Dharmawan
memberikan penghormatan.
Briptu Dharmawan berpaling dari
hadapan atasannya. Ia tahu ke mana ia akan memperoleh petunjuk guna mengungkap
identitas si pelaku. Dan berharap, ia tidak terlambat datang ke rumahnya.
Adi baru saja keluar dari kamarnya.
Ia mengancingkan kemeja biru tua lalu mengenakan mantel biru kehitaman sebagai
pelapisnya. Hari ini, ia akan pergi ke rumah orang tuanya di Kisaran. Lelaki bermantel
biru itu masih teringat dengan apa yang dikatakan lelaki misterius itu ketika
kedua kalinya, ia menyelinap ke rumahnya.
Mereka
sudah menghapusnya tanpa sepengetahuanmu...
Adi diam-diam menyembunyikan akte
kelahirannya di dalam kemejanya. Ketika segala yang diperlukannya sudah siap,
ia menghampiri istrinya untuk berpamitan.
Cahyana berhenti menyapu ketika
suaminya berada di hadapannya.
“Mau ke mana kamu, sayang? Tidak
biasanya kamu rapi,” tanya Cahyana sambil meletakkan sapu ijuknya, bersandar di
dinding.
“Aku mau ke rumah bapak dan ibuku di
Kisaran, Yanna. Akhir-akhir ini, aku merindukan mereka,” jawab Adi sekenanya.
Ia berusaha mengarang jawaban yang tidak mencurigakan istrinya.
“Hmm, baiklah. Kalau begitu
sampaikan salamku pada bapak dan ibu di sana,” timpal istrinya.
“Yanna, kalau kasus ini berhasil
terpecahkan, kita berdua akan mengunjungi orang tuamu. Bagaimana menurutmu?”
Adi berbalik menanya.
“Ide yang bagus. Lagi pula, ibu
bilang dia kangen dengan menantunya yang tampan dan cerdas itu,”
Adi mengulas senyum samar ketika
Cahyana memuji dirinya. Tapi, yang dikatakan Cahyana bukan hanya sekedar pujian
belaka. Bahkan, ibunya sendiri mengakui hal itu.
“Aku pergi dulu, ya.” Adi
menyodorkan tangan kanannya dan istrinya menyambut dengan meletakkan tangan
suaminya tepat di keningnya.
Briptu Dharwan baru saja menaiki
sepeda motornya. Ia memutar kunci kemudian menyalakan tombol electric stater. Sebelum memutuskan
beranjak pergi, ia mengambil waktu dengan browsing di internet. Lelaki itu menyimpan
web yang dikunjunginya di bookmark browser-nya. Kemudian, menarik
tali gas, mempercepat laju motornya untuk tiba di rumah narasumber.
Adi menekan pedal gas, meninggalkan
kediamannya. Untuk menghibur dirinya dari kesepian, ia mengambil flashdisk yang tersimpan di dasbornya,
menancapkannya ke dalam USB. Begitu program terbaca, satu per satu lagu mulai
diputar secara berurutan.
Briptu Dharmawan masih berpacu di
jalan. Deruman suara knalpot sepeda motornya ikut meramaikan suasana di jalan
Sang Nawaluh. Jalan Sang Nawaluh memang tidak selalu ramai. Pada pukul delapan
pagi sudah banyak lalu lalang kendaraan bermotor, padat merayap memenuhi
simpang tiga di sana. Terkadang, untuk mengatur kepadatan jalan raya sekaligus
menghindari kesemrawutan, dinas perhubungan atau polantas sering ditugaskan
mengatur arus lalu lintas di sana. Tapi keberadaan dinas perhubungan dan para
polantas tidak bisa dilihat setiap hari. Terkadang, para pengendara bermotor
hanya mengandalkan rambu lalu lintas yang menancap di arah jalan menuju pusat
kota.
Namun, hari ini, sang Briptu sungguh
beruntung. Suasana jalan tidak begitu ramai. Hanya ada beberapa sepeda motor
dan angkutan umum hilir balik di sana. Ia menyalakan lampu sein berbelok ke
kiri sambil menjaga tarikan gas sepeda motornya agar kecepatan tetap stabil.
Setelah melewati rambu lalu lintas,
Briptu Dharmawan harus membelokkan sepeda motornya ke sebelah kanan untuk tiba
di rumah rekannya.
Gang Mufakat. Pelat tipis itu
terpasang di pinggir jalan. Briptu Dharmawan ingat bahwa rumah rekannya berada
di sana. Tanpa berpikir panjang, ia mengarahkan kendali sepeda motornyamemasuki
gang itu. Seingatnya, rekannya, Adi, pernah mengajak dirinya mengunjungi
kediamannya. Di sana, rekannya mengajaknya sekadar minum teh sambil mengobrol
santai.
Rumah Adi bisa dikatakan rumah
termewah nomor dua setelah rumah yang berada di seberangnya. Tapi, sang tuan
rumah cukup kreatif memanfaatkan halamannya dengan menanam pohon mangga dan
sebuah kolam ikan kecil yang diperlengkapi air mancur. Di sana juga dipasang
sebuah lampu dan bangku taman yang diletakkan menghadap jalan raya.
Briptu Dharmawan memberhentikan
sepeda motornya di depan pagar. Ia menekan klakson dua kali agar sang tuan
rumah bisa membuka gembok yang mengunci pagarnya.
“Tunggu,” jawab sang tuan rumah
sambil memperhatikan dari jauh siapa yang mengunjungi berada di luar gerbang.
Sekilas, sang tuan rumah tidak mengenal siapa yang berhenti di gerbangnya.
Briptu Dharmawan mengerti. Tentu
saja, sang tuan rumah tidak mengenalnya karena wajahnya tertutupi helm. Ia
membuka pengait helmnya, memegang helmnya dalam genggaman tangannya.
Kini sang tuan rumah mengenali siapa
yang menunggu di gerbangnya. Ia meletakkan sapu ijuk bersandar ke dinding lalu
berlari kecil membuka gerbang.
“Maaf, saya sempat tidak mengenalimu
karena kamu pakai helm sama jaket hitam,” ujar sang tuan rumah membuka gembok
lalu menarik gerbangnya agar sepeda motor Dharmawan leluasa masuk ke
pekarangannya.
“Tidak apa-apa,” jawabnya seraya
menggiring sepeda motronya masuk ke pekarangan rumah rekannya.
Briptu Dharmawan memarkirkan sepeda
motornya di depan pintu garasi. Ia melangkah di belakang pemilik rumah.
“Mau minum apa?”
“Teh manis dingin saja. Soalnya,
kepala sudah panas dipanggang matahari,” kelakar Dharmawan.
Sang pemilik rumah menanggapi
lelucon Dharmawan dengan seulas senyum tipis yang kemudian menghilang. Usai
pamit, sang pemilik rumah berjalan lebih dahulu meninggalkan tamunya.
Dharmawan mendorong gagang pintu
yang dipegangnya saat ini. Daun pintu terbuka lebar. Ia bisa mengamati apa saja
yang isi dari ruang tamu pemilik rumah. Ada banyak barang kerajinan yang berada
di sana.
Bermacam-macam motif guci porselen
terpajang rapi dan disesuaikan dengan cat yang melapisi dinding ruang tamu. Juga,
ada empat lukisan bertema flora terpaku di sana. Di bagian belakang rumah tamu,
ada sebuah meja makan persegi panjang. Di atas meja makan, sebuah tudung saji
menudungi makanan yang berada di bawahnya. Tidak lupa dengan kamar mandi yang
berada tak jauh dari dapur dan meja makan.
Belum lama dirinya duduk di atas
sofa berlengan panjang, seorang wanita membawa sebuah nampan berisikan segelas
teh manis dingin. Wanita itu berjongkok sebentar sambil meletakkan gelasnya di
hadapan tamunya.
“Kelihatan barusan selesai menyapu
rumah, kan? Mukamu sudah penuh keringat,”
Sang tuan rumah mengambil sebuah
saputangan dari kantong celana, mengusapkannya pada bagian yang berkeringat.
“Iya,benar. Saya baru selesai
menyapu ruang seisi rumah sesudah suami saya pergi,”
Oh,
jadi dia sudah pergi. Ucap batin Dharmawan. Tapi, bagi dirinya, itu bukan
suatu masalah yang besar. Ia bisa menanyakan langsung pada istrinya.
“Tapi, kalau saya tidak salah ingat,
kamu ini teman suami saya, kan, Briptu Gerry Dharmawan?”
“Ya, kamu benar sekali, ibu—“
“Cahyana,” potong perempuan itu.
“Tapi panggil saja saya Cahyana. Tidak usah pakai embel-embel ibu. Saya belum
punya anak.” tambahnya lagi.
“Baiklah, Cahyana. Kalau boleh saya
tahu, ke mana suamimu pergi?”
“Errr, katanya dia pergi ke rumah
ornag tuanya yang di Kisaran,”
Ternyata
rekanku punya orang tua, kata batinnya. Dharmawan menyeruput teh manis
dingin yang dipegangnya saat ini lalu meletakkannya kembali di atas meja berlapiskan
kaca.
“Kalau saya boleh tahu, berapa umur
pernikahanmu dengan suamimu, Adi?”
Cahyana terkesiap mendengar
pertanyaan yang terlontar dari mulut Dharmawan. Ia sejenak memalingkan
kepalanya ke kiri lalu kembali lagi menatap teman suaminya sekaligus menjawab
pertanyaannya.
“Ini sudah masuk bulan ketujuh,
Dharmawan,” ucap Cahyana pelan.
“Selama kamu berhubungan dengan
suamimu, Adi, apakah kamu pernah melihat sesuatu yang aneh dengannya?”
Sesuatu
yang aneh. Cahyana mengangguk pelan sambil merenung, memutar kembali
ingatannya bagaikan lembaran film yang ditayangkan di bioskop.
“Ya, saya pernah melihatnya
berbicara sendiri saat saya baru pulang dari toko,”
“Kapan kamu melihatnya?”
“Tunggu sebentar...,” Cahyana
berusaha menyatukan kepingan ingatan yang sempat hilang.“sekitar dua bulan
lalu. Kalau tidak salah, dia berkata ‘mengapa kau bisa ada di sini? Aku sudah
lama tidak melihatmu sejak kau menghilang 17 tahun yang lalu. Kau tahu, aku
merindukanmu.’ Lalu, dirinya melingkarkan kedua tangannya seolah memeluk
seseorang,”
Timbul pertanyaan baru dalam alam
pikir Dharmawan. ’17 tahun lalu’ dan ‘kau yang menghilang’. Siapa yang
menghilang tujuh belas tahun yang lalu dalam kehidupan rekannya, Adi?
Sepertinya, ada banyak tabir misteri yang belum terkuak dalam diri rekannya. Ia
benar-benar berniat mengusut tuntas kehidupan Adi.
“Pernahkah kamu menanyakan siapa
yang dimaksud oleh suamimu?”
“Tidak. Waktu itu, saya hanya
mengintipnya. Mengetahui kedatangan saya, dia sigap menoleh dengan tatapan
tajam dan menusuk. Saya benar-benar tidak berani menanyakan siapa orang yang
dia maksud,” jelas Cahyana tanpa tersendat.
“Ada lagi yang bisa kamu ceritakan
mengenai Adi?” lanjut Dharmawan. Tanpa disadari Cahyana, dia sudah menyalakan
rekaman suara di handphone-nya.
“Pernah suami saya pulang tengah
malam dalam kondisi mabuk. Waktu itu, saya tak menyangka kalau Adi suka meminum
minuman keras. Dia menggedor-gedor pintu saat saya sedang tertidur. Ketika saya
buka pintu, dia menjambak rambut saya kemudian menampar pipi saya. Saya mau
marah kepadanya tapi dia langsung mencumbui saya lalu menggendong saya ke
kamar,” urai Cahyana diikuti dengan kedipan matanya.
“Pernah kamu menanyakan mengapa
suamimu bisa pulang dalam keadaan mabuk?” sambung Dharmawan.
“Itu yang menjadi masalahnya.
Suamiku sendiri benar-benar tidak tahu mengapa dirinya bisa mabuk. Terakhir
kali yang diingatnya, ada seseorang yang mengajaknya minum di klub malam, tapi
dia sendiri tidak ingat siapa yang mengajaknya. Hal yang sama terjadi ketika ia
mencari kemeja lengan panjang yang ingin dipakainya,”
“Maksudnya?”
“Kalau saya tidak salah mengingat, tiga
hariyang lalu, sebelum berita pembunuhan seorang anak lelaki, ia mencari-cari
kemeja itu. Dan mengatakan kalau dia belum pernah memakainya padahal
jelas-jelas dia memakainya. Aneh bukan? Dan yang membuat saya lebih heran, ada
bekas noda merah di lengannya. Saya hanya berpikir kalau itu noda sambal atau
saus. Suami saya suka makan jajanan pakai saus atau sambal.” Cahyana
berisitrihat sejenak sambil menghirup udara agar bisa berbicara kembali.
Dharmawan diam sejenak. Otaknya
menampilkan kembali percakapannya dengan Adi ketika ia dan dirinya pergi ke
rumah Dicky guna mendapatkan keterangan mengenai kehidupan anak lelaki korban
pembunuhan yang ditemukan di pinggir sungai.
“Tapi tunggu sebentar, apa
akhir-akhir ini, suamimu lebih sering mengonsumsi obat sakit kepala?”
“Ya, kamu benar. Dari mana kamu bisa
mengetahuinya?”
“Adi yang menceritakannya pada saya
saat kami berdua pergi ke rumah orang tua si korban. Dia sering mengeluh sakit
kepala diikuti gambaran buruk tentang anak kecil yang selalu terngiang di
pikirannya,”
“Anak kecil? Kamu sebagai rekan
dekatnya, tidak pernah menanya siapa anak kecil yang sering dikhayalkannya?”
kini giliran Cahyana mengutarakan pertanyaannya.
“Saya sebagai rekannya juga tidak
tahu. Suamimu lebih sering menceritakan kamu dan kamu, sambil memuji-muji
kecantikan istrinya,” balas Dharmawan sambil tersenyum mengejek.
“Ah, kamu ini, bisa saja. Saya ‘kan
jadi malu,” elak Cahyana. Pipinya bersemu mendengar cerita Dharmawan mengenai
Adi yang membanggakan dirinya.
Dharmawan melirik ke kantongnya.
Sudah cukup panjang rekaman suara yang dipasangnya. Berkisar lima menit. Sudah
waktunya, ia undur diri dari hadapan istri rekannya.
“Kelihatannya, saya harus pergi ke
kantor polisi. Saya baru teringat kalau kami akan mengadakan apel khusus di
lapangan kantor. Saya permisi.” Dharmawan menghabiskan sedotan terakhir teh
manis dinginnya. Ia berdiri seraya menjabat tangan Cahyana. Wanita itu berlari ke arah pintu ruang tamu
sambil membukanya.
“Terimakasih,” jawab Dharmawan
sambil mengulas senyum kecil.
Dharmawan kembali mengecek handphone-nya. Tadi, ia tidak sempat mematikan
perekamnya. Takut, Cahyana akan curiga kalau pandangan matanya akan tertuju pada
handphone-nya.
Lelaki berdinas itu memutar kepala
sepeda motornya ke arah gerbang. Lagi-lagi, perempuan berdaster merah itu
berlari ke arah gerbang, membukanya sebesar sepeda motor rekan suaminya agar
lebih leluasa keluar.
Dharmawan memutar kunci lalu
menaikan persnelingnya. Sepeda motornya memelesat, meninggalkan kediaman
rekannya satu kerjanya, Adi.
Mungkin sudah ada 100 meter, jarak
sepeda motornya menjauhi rumah Adi. Ketika pandangan matanya sedang fokus
menatap jalan raya, Dharmawan diganggu oleh suara getar dan dering handphoneyang berada dalam sakunya.
Lelaki itu masih memilih tempat yang
cocok untuk berhenti. Lagi pula, ia harus mengamati keadaan di depan dan
belakangnya, manatahu kendaraan bermotor melaju dengan kecepatan tinggi.
Setelah keadaan cukup aman, Dharmawan membelokkan setang sepeda motornya ke
sebuah toko kelontong yang tak terlalu ramai. Ia mematikan mesin kemudian
mengambil handphone yang sedari tadi
masih berbunyi.
“Halo,” jawab Dharmawan.
“Bisa saya bicara dengan pak Dharmawan,”
“Ya saya sendiri. Ini saya siapa
ya?”
“Perkenalkan nama saya Sadikin. Saya
punya informasi penting berkaitan dengan ciri-ciri pembunuhan anak laki-laki
beberapa hari yang lewat,”
Darimana
ia bisa tahu nomor ponselku? pikir Dharmawan. “Kalau saya boleh tahu, di
mana tempat tinggal Anda?”
“Saya tinggal di kampung Serasi,
desa Sukadamai, pak.”
“Baiklah. Saya akan segera ke sana.
Selamat siang.” Dharmawan menutup ponsel, mengembalikannya ke dalam sakunya
lagi.
Agak aneh memang, seseorang yang tidak
dikenal, bisa mengetahui nomor ponselnya. Apakah mungkin anggotanya sudah
memasang kertas DPO dengan mencantumkan nomornya? Ia tidak memungkiri kalau
dirinya ditugaskan atasannya untuk mengusut tuntas kasus ini. Meskipun ia akan
menerima informasi mengenai ciri-ciri si pembunuh, ia tidak lantas
mempercayainya. Ia curiga, ada oknum yang akan menjebak bahkan mencelakai
dirinya. Dengan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi pada dirinya,
Dharmawan harus bisa menjaga keamanan dirinya. Tapi cukup disayangkannya, ia
tidak membawa pistolnya. Yang dimilikinya, hanya sebuah belati yang terpasang
di pinggangnya. Cuma itu yang bisa diandalkannya.
Setelah menempuh perjalanan yang
cukup jauh dari kota Siantar, Dharmawan sudah tiba di sebuah perkebunan kelapa
sawit yang menghampar begitu luas. Ia menduga kalau pemilik lahan luas ini
merupakan seorang kapitalis yang mempunyai investasi di bidang pertanian.
Di sana, ia melihat ada sebuah jalan
kecil yang diperkirakan cukup untuk memuat truk diesel. Di sebelah jalan, terdapat
sebuah batu besar bertuliskan
Kampung
Serasi
Desa
Sukadamai
Dharmawan bisa melihat di ujung jalan itu terdapat
pemukiman warga di sana. Ia yakin kalau laki-laki yang meneleponnya berada di
sana. Ketika dirinya sedang memacu motornya, ia melihat sebuah mobil terparkir
di jalan menuju kebun kelapa sawit.
Ini
kan...,
Ia memilih memakirkan sepeda motornya sambil mencari
pemilik mobil. Tak jauh dari tempat mobil itu di parkir, seseorang denga jaket kulit hitam dan topi Baseball berdiri
membelakangi dirinya sambil memperhatikan arloji yang terpasang di lengannya.
Perlahan tapi pasti, Dharmawan sudah
berada di dekat lelaki itu. Ia mempunyai firasat buruk tentang laki-laki itu
dan merasa kalau lelaki misterius itu yang menelepon dirinya. Ia merogoh
sakunya, mengeluarkan ponselnya, menghubungi nomor yang masuk. Dharmawan
memilih berhenti sejenak. Nomor yang dihubunginya tersambung. Lelaki yang
berada di belakangnya, meraih ponselnya sambil berbalik badan.
Tak disadarinya, sebuah timah panas
sudah bersarang di tenggorokan Dharmawan. Ia tergeletak di permukaan tanah
namun tangan kirinya masih memegang tenggorokan yang sudah dibanjiri darah
kental. Sedangkan, ponselnya jatuh di tempatnya tergeletak saat ini.
“Mudah sekali memancing rusa ke
sarang serigala, bukan?” lelaki yang memegang pistol di tangan kanannya
menghampiri Dharmawan yang sekarat.
“K-k-ka-kau,” ucapnya sebisa mungkin
meskipun tenggorokannya terluka parah.
“Kau bisa memanggilku Santoso.
Akulah penjahat yang selama ini kau cari, pak polisi. Tapi sayang sekali,
riwayatmu akan tamat hari ini.” Santoso menjenggut rambutnya. Ia mengedarkan
pandangan ke seluruh penjuru, barangkali ada tempat yang cocok untuk menghabisi
korbannya.
Dan dewi fortuna menyertainya. Ia
melihat sebuah gubuk berpintu anyaman bambu berjarak 50 meter dari tempatnya
berdiri. Santoso menyeret tubuh tak beradaya sang polisi dengan menarik
rambutnya.
Dharmawan hanya mengerang kesakitan
dengan suara yang serak tak jelas. Ia hanya bisa memasrahkan dirinya pada
Tuhan. Tapi sebelumnya, ponselnya masih tergenggam di tangan kirinya.
Santoso membuka pintu dengan
menolakkan kakinya. Setelah menemukan posisi yang pas, ia meletakkan tubuh
lemah sang polisi di atas ubin semen yang dingin.
“Apa ini?” tanya Santoso ketika ia
melihat sesuatu di genggaman Dharmawan.
Saat Santoso ingin melepaskan barang
yang di genggaman korbannya, tak diduga, Dharmawan menggigit tangan pelakunya.
“Arrgh!” pekik Santoso.
Santoso menatap tajam pada
Dharmawan. Ia berulang kali menerjangkan kakinya ke wajah Santoso sambil
melayangkan kepalan tangannya.
Kini wajah polisi itu sudah
berhiaskan luka lecet dan tapak sepatu Santoso. Lama-kelamaan, Dharmawan
melepaskan genggaman tangannya, membiarkan sang pelaku merampas ponselnya.
Bukan hanya ponsel, lelaki berjaket hitam itu mengambil apapun ynag berada di
saku sambil menyimpannya dalam saku jaketnya.
Tak jauh dari tempatnya berdiri,
Santoso mengambil sebotol bensin lalu diguyur ke sekujur tubuh Dharmawan.
Bensin sudah membasahi tubuh malang sang polisi mulai dari ujung kaki sampai
ujung rambutnya. Santoso mengambil sebatang korek api dari kantong kemejanya
lalu mematikkannya.
Kobaran api sudah merambat di tubuh
Santoso. Sang polisi malang hanya bisa terdiam, membiarkan tubuh malangnya
dilalap habis oleh kobaran api yang semakin membesar.
Begitu selesai menunaikan tugasnya,
Santoso melangkahkan kakinya meninggalkan gubuk. Tidak ada lalu lalang
orang-orang melewati tempat pembantainnya. Dewi Fortuna benar-benar memberikan
keberuntungan padanya hari ini. Pandangan matanya tertuju pada Satria 150 yang
terparkir tak jauh dari mobilnya. Ia tahu apa yang mesti dilakukannya pada
motor sang polisi.

No comments:
Post a Comment