Saturday, 23 April 2016

Absurd : Misteri Tiga Wajah Iblis - 10



Cahyana mengerdipkan kelopak matanya yang setengah terbuka. Memang masih berat tapi ia memaksanya dengan menggosok lembut kedua kelopak matanya. Ia menelengkan kepalanya ke sebelah kiri. Wanita itu sontak tersentak. Ada lelaki yang tidur di sampingnya. Ternyata lelaki itu, Robert—partnernya. Bukan hanya itu saja. Cahyana membuka selimut putih yang membentangi tubuhnya. Astaga! Tubuhnya polos tanpa sehelai benang pun yang menutupinya.
            “Kau sudah bangun?” sapa Robert menyengau.
            “Mengapa aku bisa ada di sini, hah?!” Cahyana masih berada di ranjang, menutupi tubuhnya dengan selimut yang dipegangnya.
            “Kau teler tadi malam. Mungkin, kau tidak terbiasa minum anggur, ‘kan? Tapi, permainanmu tadi malam sungguh memuaskanku, Cahyana. Tak kusangka kau benar-benar hebat dalam urusan ranjang,” Puji Robert sambil mengulas senyum mesum di bibirnya.
            Cahyana mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi semalam. Dan terakhir kali diingatnya, ia mengeluh pusing dan sekujur tubuhnya kepanasan. Robert membawanya ke sebuah hotel lalu mencampakkan tubuhnya di atas ranjang yang didudukinya saat ini.
            “Tidak usah terlalu dipaksakan untuk mengingatnya, Cahyana.” Robert mengelus pipinya dari samping. Ia mengambil sebuah handycam yang terletak di sebuah meja rias.
            “Semuanya sudah terekam jelas, di sini.” Robert mengikatkan tali pinggang kimononya seraya mengambil handycam yang tergeletak di sana. Ia memberikan handycam itu ke tangan Cahyana. Ia membuka dan menekan tombol ON untuk melihat apa yang terekam selama satu malam bersama rekan kerjanya.
            “Bagaimana hasilnya? Bagus bukan?” tanya Robert lagi sambil duduk di samping Cahyana, mengambil handycam lalu menyimpannya ke dalam kantong kimononya.
            “Tenang, aku tidak akan menyebarkannya apalagi memberikan video-nya kepada suamimu. Aku tidak akan memerasmu. Aku cuma mau kamu memberiku kepuasan batin lagi kalau aku memintanya padamu,”
            “Sialan kau! Dasar bajingan!”maki Cahyana di depan wajah Robert.
            “Terserah kau bilang apa, tapi terekam jelas di dalam ini, kalau kau ikut mengimbangi permainan, bukan? Kau menikmatinya, ya ‘kan?”
            Cahyana tidak mampu mengelak. Apa yang dikatakan oleh Robert benar adanya. Hatinya juga tidak bisa berbohong kalau ia juga tertarik dengan pesona sekaligus pelayanan berahi yang diberikan padanya. Ia benar-benar hanyut dalam aliran asmara.
            “Kalau begitu, cepatlah kau mandi dan pakai bajumu. Aku mau memesan makanan pada resepsionis,” pungkas Robert seraya menutup pintu kamar.
***
            Walaupun kamarnya sudah dikepung sinar mentari, Adi masih teronggok di kasurnya. Ia tetap bergeming dengan bantal guling yang dipeluknya, dijadikan sebagai pengganti istrinya yang tidak pulang semalaman.
            Usahanya untuk menemukan lelaki yang menyelinap ke rumahnya tidak membuahkan hasil. Ia sudah mengelilingi kota Siantar selam satu jam lebih. Ia tidak menemukan lelaki itu. Yang ada , ia harus menahan dinginnya angin malam yang menyentuh kulitnya.
            Adi beringsut dari kasurnya, menuju kamar mandi untuk sekedar mencuci muka. Tubuhnya benar-benar penat. Pegal di bagian punggung, pinggang dan pergelangan tangan. Dalam hatinya, apakah dirinya sudah terkena rematik di usianya masih tergolong muda? Ia menampik dugaan yang dibuatnya sendiri. Ia melanjutkan langkahnya menuju kamar mandi.
            Ujung mobil Toyota milik Robert tiba di depan pagar rumah Cahyana. Sebelum menyuruhnya turun, Robert bermain mata sambil berkata, “Aku akan meneleponmu lagi, Cahyana.”
            Cahyana berdeham mendengar perkataan Robert. Tak perlu berkata seperti itu, dia selalu siap jika harus menuruti permintaan dari rekannya, kapan ada kesempatan. Sesudah pintu samping tertutup, Robert memelesat cepat, meninggalkan Cahyana di depan rumahnya. Wanita itu merapikan rambut hingga dress ketat yang dikenakannya. Ia bersikap biasa saja seolah kejadian semalam tak pernah terjadi.
            Cahyana merogoh isi tasnya, mencari anak kunci, membuka gembok yang mengumci pagarnya. Begitu ketemu, ia langsung mendorongnya lalu menutupnya lagi saat dirinya sudah berada di halaman rumah.
            Kaki jenjangnya melangkah anggun menuju pintu luar. Ia mengetuk-ngetuk lima kali tapi tak ada jawaban dari dalam. Cahyana memutuskan membuka gagang pintu yang kebetulan tidak dikunci. Saat berada di ruang tamu, ia tak melihat suaminya berada di sana. Ia berpikir mungkin suaminya sedang tertidur pulas di kasur sambil memeluk guling. Tanpa diduganya, Adi sudah berada di samping. Ia sedang menggosok rambutnya yang lepek dengan handuk biru.
            “Eh, kamu baru sampai, Yanna?” sapa suaminya.
            “Iya, sayang. Aku tidak menyangka kamu bisa ada di sini,”
            “Ya, aku baru selesai mandi. Kau tahu, Yanna, tadi malam sosok laki-laki misterius menyusup ke rumah kita. Aku menghajarnya tapi tidak sempat menangkapnya. Dia lebih gesit dari yang kukira. Aku menghabiskan waktu sejam, mengelilingi kota Pematangsiantar tapi tidak membuahkan hasil sama sekali.” Adi menguraikan peristiwa yang terjadi padanya panjang lebar.
            “Termasuk luka di pipimu?” Cahyana menjamah luka lebam yang berbekas di pipi suaminya. Adi hanya mengangguk pelan, mengiyakan pertanyaan istrinya.
            “Tapi ke mana saja kamu tadi malam? Apa yang terjadi padamu?” Adi memunculkan sejumlah pertanyaan yang diharapkan terjawab oleh istrinya.
            “Oh..., Errr, begini. Aku tidak tahu kalau semalam hujan deras karena aku, Robert dan seluruh timnya sedang fokus memperhatikan acting para pemeran filmnya dan voila, kuperhatikan jam dinding sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Robert menyuruhku menginap di rumah teman perempuannya karena khawatir keselamatanku. Dan aku minta maaf, baterai handphone-ku sudah lowbat. Aku tidak sempat men-charge-nya, sayang.”
            Adi hanya mengangguk mendengar penjelasan dari istrinya. Sejauh ini, lelaki bercelana pendek itu percaya dengan apa yang dikatakan istrinya. Ia yakin kalau Cahyana adalah seorang wanita yang jujur. Ia takkan mungkin berbohong padanya. Tak sengaja, pandangan mata Adi tertuju pada bercak merah keunguan yang tercetak di tengkuk istrinya.
            “Aaa..., ada apa dengan tengkukmu, Yanna?” selidik suaminya.
            “Oh ini, ya,” Cahyana memegang tengkuk sebelah kirinya sesuai yang dilihat oleh suaminya sambil melanjutkan pembicaraannya, “Di rumah Laurent, teman Robert, banyak sekali nyamuk  terutama di kamarnya. Aku ingin sekali menyuruhnya membeli anti nyamuk tapi aku segan karena aku baru berkenalan dengannya,”
            “Kau yakin?” tanya Adi meyakinkan.
            “Sungguh. Tidak mungkin, aku membohongimu. Kau adalah laki-laki nomor dua yang kucintai setelah ayahku,” elaknya. Adi luluh begitu saja dengan kata-kata manis dari istrinya.
            Cahyana tersenyum kecil ketika kebohongan yang diciptakannya, berhasil mengelabui pikiran suaminya. Padahal, bercak merah keunguan itu adalah bekas kecupan Robert di bagian tengkuk yang begitu kuat. Ia sendiri heran, mengapa Robert senang sekali melakukan pemanasan di bagian pundaknya. Pertanyaan itu belum bisa terjawab oleh dirinya.
            Adi merangkul pundak istrinya seraya berjalan bersama menuju kamar. Cahyana hanya menurut saja sambil memiringkan kepala di pundak suaminya. Mereka bagaikan pasangan pengantin baru yang akan melaksanakan malam pertama, meskipun kenyataannya, mereka masih bisa dikatakan baru.
***
            Briptu Dharmawan sudah berada di kawasan kantor polisi. Ia sedang berkoordinasi dengan atasannya, Aiptu Eben Hutabarat. Lelaki itu juga menyerahkan barang yang berada di tangannya. Sebuah plastik putih berisikan pisau. Kebetulan, keduanya sedang tidak berada di dalam kantor. Para lelaki berdinas polisi itu sedang menikmati seduhan kopi hitam yang berada di depan mereka.
            “Jadi, kalian berdua belum bisa menemukan pelaku pembunuhan itu?”
            “Sampai saat ini, kami belum bisa ciri-ciri detail fisik sang pelaku, tapi barang yang saya berikan pada Anda, bisa menjadi barang bukti yang akan membawa kita pada pelaku pembunuhan tersebut,” ujar Briptu Dharmawan mantap.
            “Ya, aku berharap kita bisa meringkus si pelaku, mengingat banyak orang tua di kota ini was-was, jika membiarkan anak mereka bepergian sendirian bahkan para orang tua rela menggelontorkan dana untuk menyewa bodyguard. Aku tidak ingin penjahat itu mencoreng nama besar kesatuan polisi daerah. Kita harus bisa menemukan si pelaku. Secepatnya.” Aiptu Eben Hutabarat memberikan penekanan pada kata terakhirnya.
            “Apa menurut Anda, apakah si pelaku merupakan seorang psikopat?”
            “Ya, saya juga berpikir demikian. Melihat bekas penganiayaan yang dilakukan pada korban, bisa dikatakan kalau pelaku terindikasi psikopat,” tegas Aiptu Eben Hutabarat sambil menyesap kopinya yang mulai dingin.
            “Dan pelaku sepertinya mempunyai kecenderungan berhubungan seks dengan anak-anak di bawah umur 17 tahun—pedofilia. Pedofilia homoseks. Itu pantas diberikan pada pelaku mengingat si korban yang merupakan anak laki-laki mengalami kekerasaan seksual,” tambah Briptu Dharmawan sambil mengisap kopinya pelan-pelan.
            “Kalau begitu, ini tidak bisa dibiarkan. Saya akan mengadakan apel supaya para polisi berpatroli keliling kota mencari petunjuk sekecil apapun untuk meringkus pelaku. Nama baik kepolisian kita dipertaruhkan di kasus ini.” Aiptu Eben Hutabarat menutup pembicaran. Ia berbalik badan menuju ke dalam kantor setelah Briptu Dharmawan memberikan penghormatan.
            Briptu Dharmawan berpaling dari hadapan atasannya. Ia tahu ke mana ia akan memperoleh petunjuk guna mengungkap identitas si pelaku. Dan berharap, ia tidak terlambat datang ke rumahnya.
            Adi baru saja keluar dari kamarnya. Ia mengancingkan kemeja biru tua lalu mengenakan mantel biru kehitaman sebagai pelapisnya. Hari ini, ia akan pergi ke rumah orang tuanya di Kisaran. Lelaki bermantel biru itu masih teringat dengan apa yang dikatakan lelaki misterius itu ketika kedua kalinya, ia menyelinap ke rumahnya.
            Mereka sudah menghapusnya tanpa sepengetahuanmu...
            Adi diam-diam menyembunyikan akte kelahirannya di dalam kemejanya. Ketika segala yang diperlukannya sudah siap, ia menghampiri istrinya untuk berpamitan.
            Cahyana berhenti menyapu ketika suaminya berada di hadapannya.
            “Mau ke mana kamu, sayang? Tidak biasanya kamu rapi,” tanya Cahyana sambil meletakkan sapu ijuknya, bersandar di dinding.
            “Aku mau ke rumah bapak dan ibuku di Kisaran, Yanna. Akhir-akhir ini, aku merindukan mereka,” jawab Adi sekenanya. Ia berusaha mengarang jawaban yang tidak mencurigakan istrinya.
            “Hmm, baiklah. Kalau begitu sampaikan salamku pada bapak dan ibu di sana,” timpal istrinya.
            “Yanna, kalau kasus ini berhasil terpecahkan, kita berdua akan mengunjungi orang tuamu. Bagaimana menurutmu?” Adi berbalik menanya.
            “Ide yang bagus. Lagi pula, ibu bilang dia kangen dengan menantunya yang tampan dan cerdas itu,”
            Adi mengulas senyum samar ketika Cahyana memuji dirinya. Tapi, yang dikatakan Cahyana bukan hanya sekedar pujian belaka. Bahkan, ibunya sendiri mengakui hal itu.
            “Aku pergi dulu, ya.” Adi menyodorkan tangan kanannya dan istrinya menyambut dengan meletakkan tangan suaminya tepat di keningnya.
            Briptu Dharwan baru saja menaiki sepeda motornya. Ia memutar kunci kemudian menyalakan tombol electric stater. Sebelum memutuskan beranjak pergi, ia mengambil waktu dengan browsing di internet. Lelaki itu menyimpan web yang dikunjunginya di bookmark browser-nya. Kemudian, menarik tali gas, mempercepat laju motornya untuk tiba di rumah narasumber.
            Adi menekan pedal gas, meninggalkan kediamannya. Untuk menghibur dirinya dari kesepian, ia mengambil flashdisk yang tersimpan di dasbornya, menancapkannya ke dalam USB. Begitu program terbaca, satu per satu lagu mulai diputar secara berurutan.
            Briptu Dharmawan masih berpacu di jalan. Deruman suara knalpot sepeda motornya ikut meramaikan suasana di jalan Sang Nawaluh. Jalan Sang Nawaluh memang tidak selalu ramai. Pada pukul delapan pagi sudah banyak lalu lalang kendaraan bermotor, padat merayap memenuhi simpang tiga di sana. Terkadang, untuk mengatur kepadatan jalan raya sekaligus menghindari kesemrawutan, dinas perhubungan atau polantas sering ditugaskan mengatur arus lalu lintas di sana. Tapi keberadaan dinas perhubungan dan para polantas tidak bisa dilihat setiap hari. Terkadang, para pengendara bermotor hanya mengandalkan rambu lalu lintas yang menancap di arah jalan menuju pusat kota.
            Namun, hari ini, sang Briptu sungguh beruntung. Suasana jalan tidak begitu ramai. Hanya ada beberapa sepeda motor dan angkutan umum hilir balik di sana. Ia menyalakan lampu sein berbelok ke kiri sambil menjaga tarikan gas sepeda motornya agar kecepatan tetap stabil.
            Setelah melewati rambu lalu lintas, Briptu Dharmawan harus membelokkan sepeda motornya ke sebelah kanan untuk tiba di rumah rekannya.
            Gang Mufakat. Pelat tipis itu terpasang di pinggir jalan. Briptu Dharmawan ingat bahwa rumah rekannya berada di sana. Tanpa berpikir panjang, ia mengarahkan kendali sepeda motornyamemasuki gang itu. Seingatnya, rekannya, Adi, pernah mengajak dirinya mengunjungi kediamannya. Di sana, rekannya mengajaknya sekadar minum teh sambil mengobrol santai.
            Rumah Adi bisa dikatakan rumah termewah nomor dua setelah rumah yang berada di seberangnya. Tapi, sang tuan rumah cukup kreatif memanfaatkan halamannya dengan menanam pohon mangga dan sebuah kolam ikan kecil yang diperlengkapi air mancur. Di sana juga dipasang sebuah lampu dan bangku taman yang diletakkan menghadap jalan raya.
            Briptu Dharmawan memberhentikan sepeda motornya di depan pagar. Ia menekan klakson dua kali agar sang tuan rumah bisa membuka gembok yang mengunci pagarnya.
            “Tunggu,” jawab sang tuan rumah sambil memperhatikan dari jauh siapa yang mengunjungi berada di luar gerbang. Sekilas, sang tuan rumah tidak mengenal siapa yang berhenti di gerbangnya.
            Briptu Dharmawan mengerti. Tentu saja, sang tuan rumah tidak mengenalnya karena wajahnya tertutupi helm. Ia membuka pengait helmnya, memegang helmnya dalam genggaman tangannya.
            Kini sang tuan rumah mengenali siapa yang menunggu di gerbangnya. Ia meletakkan sapu ijuk bersandar ke dinding lalu berlari kecil membuka gerbang.
            “Maaf, saya sempat tidak mengenalimu karena kamu pakai helm sama jaket hitam,” ujar sang tuan rumah membuka gembok lalu menarik gerbangnya agar sepeda motor Dharmawan leluasa masuk ke pekarangannya.
            “Tidak apa-apa,” jawabnya seraya menggiring sepeda motronya masuk ke pekarangan rumah rekannya.
            Briptu Dharmawan memarkirkan sepeda motornya di depan pintu garasi. Ia melangkah di belakang pemilik rumah.
            “Mau minum apa?”
            “Teh manis dingin saja. Soalnya, kepala sudah panas dipanggang matahari,” kelakar Dharmawan.
            Sang pemilik rumah menanggapi lelucon Dharmawan dengan seulas senyum tipis yang kemudian menghilang. Usai pamit, sang pemilik rumah berjalan lebih dahulu meninggalkan tamunya.
            Dharmawan mendorong gagang pintu yang dipegangnya saat ini. Daun pintu terbuka lebar. Ia bisa mengamati apa saja yang isi dari ruang tamu pemilik rumah. Ada banyak barang kerajinan yang berada di sana.
            Bermacam-macam motif guci porselen terpajang rapi dan disesuaikan dengan cat yang melapisi dinding ruang tamu. Juga, ada empat lukisan bertema flora terpaku di sana. Di bagian belakang rumah tamu, ada sebuah meja makan persegi panjang. Di atas meja makan, sebuah tudung saji menudungi makanan yang berada di bawahnya. Tidak lupa dengan kamar mandi yang berada tak jauh dari dapur dan meja makan.
            Belum lama dirinya duduk di atas sofa berlengan panjang, seorang wanita membawa sebuah nampan berisikan segelas teh manis dingin. Wanita itu berjongkok sebentar sambil meletakkan gelasnya di hadapan tamunya.
            “Kelihatan barusan selesai menyapu rumah, kan? Mukamu sudah penuh keringat,”
            Sang tuan rumah mengambil sebuah saputangan dari kantong celana, mengusapkannya pada bagian yang berkeringat.
            “Iya,benar. Saya baru selesai menyapu ruang seisi rumah sesudah suami saya pergi,”
            Oh, jadi dia sudah pergi. Ucap batin Dharmawan. Tapi, bagi dirinya, itu bukan suatu masalah yang besar. Ia bisa menanyakan langsung pada istrinya.
            “Tapi, kalau saya tidak salah ingat, kamu ini teman suami saya, kan, Briptu Gerry Dharmawan?”
            “Ya, kamu benar sekali, ibu—“
            “Cahyana,” potong perempuan itu. “Tapi panggil saja saya Cahyana. Tidak usah pakai embel-embel ibu. Saya belum punya anak.” tambahnya lagi.
            “Baiklah, Cahyana. Kalau boleh saya tahu, ke mana suamimu pergi?”
            “Errr, katanya dia pergi ke rumah ornag tuanya yang di Kisaran,”
            Ternyata rekanku punya orang tua, kata batinnya. Dharmawan menyeruput teh manis dingin yang dipegangnya saat ini lalu meletakkannya kembali di atas meja berlapiskan kaca.
            “Kalau saya boleh tahu, berapa umur pernikahanmu dengan suamimu, Adi?”
            Cahyana terkesiap mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut Dharmawan. Ia sejenak memalingkan kepalanya ke kiri lalu kembali lagi menatap teman suaminya sekaligus menjawab pertanyaannya.
            “Ini sudah masuk bulan ketujuh, Dharmawan,” ucap Cahyana pelan.
            “Selama kamu berhubungan dengan suamimu, Adi, apakah kamu pernah melihat sesuatu yang aneh dengannya?”
            Sesuatu yang aneh. Cahyana mengangguk pelan sambil merenung, memutar kembali ingatannya bagaikan lembaran film yang ditayangkan di bioskop.
            “Ya, saya pernah melihatnya berbicara sendiri saat saya baru pulang dari toko,”
            “Kapan kamu melihatnya?”
            “Tunggu sebentar...,” Cahyana berusaha menyatukan kepingan ingatan yang sempat hilang.“sekitar dua bulan lalu. Kalau tidak salah, dia berkata ‘mengapa kau bisa ada di sini? Aku sudah lama tidak melihatmu sejak kau menghilang 17 tahun yang lalu. Kau tahu, aku merindukanmu.’ Lalu, dirinya melingkarkan kedua tangannya seolah memeluk seseorang,”
            Timbul pertanyaan baru dalam alam pikir Dharmawan. ’17 tahun lalu’ dan ‘kau yang menghilang’. Siapa yang menghilang tujuh belas tahun yang lalu dalam kehidupan rekannya, Adi? Sepertinya, ada banyak tabir misteri yang belum terkuak dalam diri rekannya. Ia benar-benar berniat mengusut tuntas kehidupan Adi.
            “Pernahkah kamu menanyakan siapa yang dimaksud oleh suamimu?”
            “Tidak. Waktu itu, saya hanya mengintipnya. Mengetahui kedatangan saya, dia sigap menoleh dengan tatapan tajam dan menusuk. Saya benar-benar tidak berani menanyakan siapa orang yang dia maksud,” jelas Cahyana tanpa tersendat.
            “Ada lagi yang bisa kamu ceritakan mengenai Adi?” lanjut Dharmawan. Tanpa disadari Cahyana, dia sudah menyalakan rekaman suara di handphone-nya.
            “Pernah suami saya pulang tengah malam dalam kondisi mabuk. Waktu itu, saya tak menyangka kalau Adi suka meminum minuman keras. Dia menggedor-gedor pintu saat saya sedang tertidur. Ketika saya buka pintu, dia menjambak rambut saya kemudian menampar pipi saya. Saya mau marah kepadanya tapi dia langsung mencumbui saya lalu menggendong saya ke kamar,” urai Cahyana diikuti dengan kedipan matanya.
            “Pernah kamu menanyakan mengapa suamimu bisa pulang dalam keadaan mabuk?” sambung Dharmawan.
            “Itu yang menjadi masalahnya. Suamiku sendiri benar-benar tidak tahu mengapa dirinya bisa mabuk. Terakhir kali yang diingatnya, ada seseorang yang mengajaknya minum di klub malam, tapi dia sendiri tidak ingat siapa yang mengajaknya. Hal yang sama terjadi ketika ia mencari kemeja lengan panjang yang ingin dipakainya,”
            “Maksudnya?”
            “Kalau saya tidak salah mengingat, tiga hariyang lalu, sebelum berita pembunuhan seorang anak lelaki, ia mencari-cari kemeja itu. Dan mengatakan kalau dia belum pernah memakainya padahal jelas-jelas dia memakainya. Aneh bukan? Dan yang membuat saya lebih heran, ada bekas noda merah di lengannya. Saya hanya berpikir kalau itu noda sambal atau saus. Suami saya suka makan jajanan pakai saus atau sambal.” Cahyana berisitrihat sejenak sambil menghirup udara agar bisa berbicara kembali.
            Dharmawan diam sejenak. Otaknya menampilkan kembali percakapannya dengan Adi ketika ia dan dirinya pergi ke rumah Dicky guna mendapatkan keterangan mengenai kehidupan anak lelaki korban pembunuhan yang ditemukan di pinggir sungai.
            “Tapi tunggu sebentar, apa akhir-akhir ini, suamimu lebih sering mengonsumsi obat sakit kepala?”
            “Ya, kamu benar. Dari mana kamu bisa mengetahuinya?”
            “Adi yang menceritakannya pada saya saat kami berdua pergi ke rumah orang tua si korban. Dia sering mengeluh sakit kepala diikuti gambaran buruk tentang anak kecil yang selalu terngiang di pikirannya,”
            “Anak kecil? Kamu sebagai rekan dekatnya, tidak pernah menanya siapa anak kecil yang sering dikhayalkannya?” kini giliran Cahyana mengutarakan pertanyaannya.
            “Saya sebagai rekannya juga tidak tahu. Suamimu lebih sering menceritakan kamu dan kamu, sambil memuji-muji kecantikan istrinya,” balas Dharmawan sambil tersenyum mengejek.
            “Ah, kamu ini, bisa saja. Saya ‘kan jadi malu,” elak Cahyana. Pipinya bersemu mendengar cerita Dharmawan mengenai Adi yang membanggakan dirinya.
            Dharmawan melirik ke kantongnya. Sudah cukup panjang rekaman suara yang dipasangnya. Berkisar lima menit. Sudah waktunya, ia undur diri dari hadapan istri rekannya.
            “Kelihatannya, saya harus pergi ke kantor polisi. Saya baru teringat kalau kami akan mengadakan apel khusus di lapangan kantor. Saya permisi.” Dharmawan menghabiskan sedotan terakhir teh manis dinginnya. Ia berdiri seraya menjabat tangan Cahyana.      Wanita itu berlari ke arah pintu ruang tamu sambil membukanya.
            “Terimakasih,” jawab Dharmawan sambil mengulas senyum kecil.
            Dharmawan kembali mengecek handphone-nya. Tadi, ia tidak sempat mematikan perekamnya. Takut, Cahyana akan curiga kalau pandangan matanya akan tertuju pada handphone-nya.
            Lelaki berdinas itu memutar kepala sepeda motornya ke arah gerbang. Lagi-lagi, perempuan berdaster merah itu berlari ke arah gerbang, membukanya sebesar sepeda motor rekan suaminya agar lebih leluasa keluar.
            Dharmawan memutar kunci lalu menaikan persnelingnya. Sepeda motornya memelesat, meninggalkan kediaman rekannya satu kerjanya, Adi.
            Mungkin sudah ada 100 meter, jarak sepeda motornya menjauhi rumah Adi. Ketika pandangan matanya sedang fokus menatap jalan raya, Dharmawan diganggu oleh suara getar dan dering handphoneyang berada dalam sakunya.
            Lelaki itu masih memilih tempat yang cocok untuk berhenti. Lagi pula, ia harus mengamati keadaan di depan dan belakangnya, manatahu kendaraan bermotor melaju dengan kecepatan tinggi. Setelah keadaan cukup aman, Dharmawan membelokkan setang sepeda motornya ke sebuah toko kelontong yang tak terlalu ramai. Ia mematikan mesin kemudian mengambil handphone yang sedari tadi masih berbunyi.
            “Halo,” jawab Dharmawan.
            “Bisa saya bicara dengan pak Dharmawan,”
            “Ya saya sendiri. Ini saya siapa ya?”
            “Perkenalkan nama saya Sadikin. Saya punya informasi penting berkaitan dengan ciri-ciri pembunuhan anak laki-laki beberapa hari yang lewat,”
            Darimana ia bisa tahu nomor ponselku? pikir Dharmawan. “Kalau saya boleh tahu, di mana tempat tinggal Anda?”
            “Saya tinggal di kampung Serasi, desa Sukadamai, pak.”
            “Baiklah. Saya akan segera ke sana. Selamat siang.” Dharmawan menutup ponsel, mengembalikannya ke dalam sakunya lagi.
            Agak aneh memang, seseorang yang tidak dikenal, bisa mengetahui nomor ponselnya. Apakah mungkin anggotanya sudah memasang kertas DPO dengan mencantumkan nomornya? Ia tidak memungkiri kalau dirinya ditugaskan atasannya untuk mengusut tuntas kasus ini. Meskipun ia akan menerima informasi mengenai ciri-ciri si pembunuh, ia tidak lantas mempercayainya. Ia curiga, ada oknum yang akan menjebak bahkan mencelakai dirinya. Dengan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi pada dirinya, Dharmawan harus bisa menjaga keamanan dirinya. Tapi cukup disayangkannya, ia tidak membawa pistolnya. Yang dimilikinya, hanya sebuah belati yang terpasang di pinggangnya. Cuma itu yang bisa diandalkannya.
            Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh dari kota Siantar, Dharmawan sudah tiba di sebuah perkebunan kelapa sawit yang menghampar begitu luas. Ia menduga kalau pemilik lahan luas ini merupakan seorang kapitalis yang mempunyai investasi di bidang pertanian.
            Di sana, ia melihat ada sebuah jalan kecil yang diperkirakan cukup untuk memuat truk diesel. Di sebelah jalan, terdapat sebuah batu besar bertuliskan
            Kampung Serasi
            Desa Sukadamai
            Dharmawan bisa melihat di ujung jalan itu terdapat pemukiman warga di sana. Ia yakin kalau laki-laki yang meneleponnya berada di sana. Ketika dirinya sedang memacu motornya, ia melihat sebuah mobil terparkir di jalan menuju kebun kelapa sawit.
            Ini kan...,
            Ia memilih memakirkan sepeda motornya sambil mencari pemilik mobil. Tak jauh dari tempat mobil itu di parkir, seseorang denga  jaket kulit hitam dan topi Baseball berdiri membelakangi dirinya sambil memperhatikan arloji yang terpasang di lengannya.
            Perlahan tapi pasti, Dharmawan sudah berada di dekat lelaki itu. Ia mempunyai firasat buruk tentang laki-laki itu dan merasa kalau lelaki misterius itu yang menelepon dirinya. Ia merogoh sakunya, mengeluarkan ponselnya, menghubungi nomor yang masuk. Dharmawan memilih berhenti sejenak. Nomor yang dihubunginya tersambung. Lelaki yang berada di belakangnya, meraih ponselnya sambil berbalik badan.
            Tak disadarinya, sebuah timah panas sudah bersarang di tenggorokan Dharmawan. Ia tergeletak di permukaan tanah namun tangan kirinya masih memegang tenggorokan yang sudah dibanjiri darah kental. Sedangkan, ponselnya jatuh di tempatnya tergeletak saat ini.
            “Mudah sekali memancing rusa ke sarang serigala, bukan?” lelaki yang memegang pistol di tangan kanannya menghampiri Dharmawan yang sekarat.
            “K-k-ka-kau,” ucapnya sebisa mungkin meskipun tenggorokannya terluka parah.
            “Kau bisa memanggilku Santoso. Akulah penjahat yang selama ini kau cari, pak polisi. Tapi sayang sekali, riwayatmu akan tamat hari ini.” Santoso menjenggut rambutnya. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru, barangkali ada tempat yang cocok untuk menghabisi korbannya.
            Dan dewi fortuna menyertainya. Ia melihat sebuah gubuk berpintu anyaman bambu berjarak 50 meter dari tempatnya berdiri. Santoso menyeret tubuh tak beradaya sang polisi dengan menarik rambutnya.
            Dharmawan hanya mengerang kesakitan dengan suara yang serak tak jelas. Ia hanya bisa memasrahkan dirinya pada Tuhan. Tapi sebelumnya, ponselnya masih tergenggam di tangan kirinya.
            Santoso membuka pintu dengan menolakkan kakinya. Setelah menemukan posisi yang pas, ia meletakkan tubuh lemah sang polisi di atas ubin semen yang dingin.
            “Apa ini?” tanya Santoso ketika ia melihat sesuatu di genggaman Dharmawan.
            Saat Santoso ingin melepaskan barang yang di genggaman korbannya, tak diduga, Dharmawan menggigit tangan pelakunya.
            “Arrgh!” pekik Santoso.
            Santoso menatap tajam pada Dharmawan. Ia berulang kali menerjangkan kakinya ke wajah Santoso sambil melayangkan kepalan tangannya.
            Kini wajah polisi itu sudah berhiaskan luka lecet dan tapak sepatu Santoso. Lama-kelamaan, Dharmawan melepaskan genggaman tangannya, membiarkan sang pelaku merampas ponselnya. Bukan hanya ponsel, lelaki berjaket hitam itu mengambil apapun ynag berada di saku sambil menyimpannya dalam saku jaketnya.
            Tak jauh dari tempatnya berdiri, Santoso mengambil sebotol bensin lalu diguyur ke sekujur tubuh Dharmawan. Bensin sudah membasahi tubuh malang sang polisi mulai dari ujung kaki sampai ujung rambutnya. Santoso mengambil sebatang korek api dari kantong kemejanya lalu mematikkannya.
            Kobaran api sudah merambat di tubuh Santoso. Sang polisi malang hanya bisa terdiam, membiarkan tubuh malangnya dilalap habis oleh kobaran api yang semakin membesar.
            Begitu selesai menunaikan tugasnya, Santoso melangkahkan kakinya meninggalkan gubuk. Tidak ada lalu lalang orang-orang melewati tempat pembantainnya. Dewi Fortuna benar-benar memberikan keberuntungan padanya hari ini. Pandangan matanya tertuju pada Satria 150 yang terparkir tak jauh dari mobilnya. Ia tahu apa yang mesti dilakukannya pada motor sang polisi.

No comments:

Post a Comment