Saturday, 2 April 2016

Absurd : Misteri Tiga Wajah Iblis - 8



Gumpalan awan kelabu meneteskan jutaan liter air dari hamparan langit. Tak ada celah yang tak dijamah air langit. Semua tampak diliputi air hujan. Tanah, pepohonan, bangunan tak terkecuali mobil yang dikendarai Adi dan rekannya. Mereka harus berhati-hati karena jalan menuju Tiga Balata licin dan menikung tajam. Jika sebelumnya mereka merelakan badan mereka digoncang jalan berlubang di Simpang Dua, kini mereka harus menurunkan kecepatan dan lebih berfokus pada jalan yang berada di hadapan mereka. Jangan sampai terlena hanya karena jalan terlihat lengang. Tapi, di jalan ini angka kecelakan juga lumayan tinggi.
            “Apakah rumahnya masih jauh, Di?” tanya Dharmawan yang sedari tadi hanya bersandar di jok mobil.
            “Sabar, Dhar. Sekitar lima belas menit lagi, kita akan sampai.” Adi coba menenangkan rekannya yang mulai hilang kesabaran.
            “Aku harap kita tidak terlalu malam pulang dari sana. Perlu kau ketahui, jalan lintas Tiga Balata sampai Simpang Dua tak memiliki lampu penerang jalan. Kita hanya bisa berharap pada lampu sein mobilmu jika menjumpai jalan yang berlubang,” tutur Dharmawan sambil melirik arlojinya berulang kali.
            “Aku tahu. Tapi, kau juga lihat sendiri ‘kan, di luar sedang hujan lebat. Mobil kita bisa tergelincir karena kondisi jalan yang menikung dan licin oleh air hujan,” tambah Adi seraya fokus mengendalikan setirnya.
            Dharmawan tidak ingin berdebat panjang dengan Adi. Ia memilih bungkam dan menyerahkan semua di pundak temannya. Ia kembali menarik sebatang rokok dari kemasannya. Polisi itu membakar tembakaunya dan menikmati tiap hisapan. Begitu santai dirinya membuang asap sisa pembakaran rokoknya.
            Belum habis setengah rokok yang dipegangnya, Adi membelokkan mobilnya ke sebuah jalan coran setinggi tiga sentimeter. Keduanya tak menyangka kalau jajaran rumah yang berada di sekeliling mereka adalah rumah para orang penghasilan tinggi. Bisa dilihat dari pilar-pilar yang menyangga beberapa rumah bertingkat. Mereka juga memiliki taman bermain kecil dan kolam ikan dengan hiasan patung burung bangau.
            Usai melewati jalan tersebut, mereka dikejutkan lagi dengan bangunan rumah yang beratapkan genteng tanah liat. Juga, dinding bangunan masih memakai anyaman bambu. Keduanya bisa merasakan aroma kesenjangan sosial yang begitu pekat di sana. Ada wilayah yang dikhususkan untuk si kaya dan ada wilayah yang dikhususkan untuk si miskin. Tapi, Adi memberhentikan laju mobilnya di sebuah rumah berteras tak berpagar. Atap rumah itu berlapis seng perak mengkilap. Hanya saja dinding bagian luar belum didempul hingga menampakkan susunan batu bata mengokohkan dinding rumah. Mereka berlari menembus derasnya hujan untuk bisa tiba di teras rumah tersebut.
            Topi yang digunakan Adi tidak mampu menghalau air hujan agar tak membasahi tubuhnya. Kemeja yang dikenakannya agak basah di bagian badan. Dharmawan terkena air hujan di bagian kepala berlanjut hingga bagian badan. Ia tak memakai apapun untuk melindunginya dari air hujan.
            “Kau yakin ini rumahnya?” tanya Dharmawan memastikan.
            “Persis sekali seperti yang tertulis di catatanku. Biar aku saja yang mengetuk pintunya,” sahut Adi sambil mengetuk pintu kayu yang berada di hadapannya.
            Tok,tok, tok! Tok,tok,tok!
            Adi mengetuk pintu hingga enam kali. “Tunggu sebentar,” sahut seseorang dari dalam. Ia menduga suara yang menyambut ketukannya adalah suara perempuan.
            Adi memilih bersabar sampai seorang wanita paruh baya membukakan pintu. Mereka terperangah melihat seorang wanita berkaos oblong hijau tua agak longgar di bagian dada, sedang menggendong seorang bayi dalam kain sarung.
            “Kalau boleh tahu, bapak-bapak ini siapa ya?”
            “Kami dari kepolisian yang pernah mengunjungi pemakaman anak ibu di TPU Taman Bahagia. Ibu masih ingat?”
            Perempuan itu mencoba memutar ulang rekaman ingatannya mengenai kejadian yang pernah dilaluinya. Begitu sudah mendapatkannya, wanita itu agak tersentak.
            “Oh, saya ingat..., pak Adi dan pak Dharmawan ‘kan? terkanya. Kedua lelaki mengangguk bersamaan.
            “Silakan masuk,” perempuan itu membuka daun pintu lebih lebar supaya kedua pria leluasa masuk.
            Perempuan paruh baya itu menuntun mereka ke dua buah sofa merah berlengan pendek.
            “Minum apa, pak?”
            Keduanya memandang satu sama lain. “Air hangat saja,” jawab Dharmawan.
            Setelah mengetahui permintaan mereka, ia langsung bergegas ke dapur, membawa minuman para tamunya. Sembari menunggu, kedua lelaki itu mencoba mengamati apa saja yang berada di sana.
            Ada banyak sekali ornamen Batak Toba terpajang di ruang tamu. Miniatur rumah adat Batak tersimpan di lemari hias sang tuan rumah. Lagi, ada dua buah pedang yang disangkutkan di samping lukisan Danau Toba. Jelas sekali keluarga ini senang mengoleksi benda-benda yang sudah menjadi identitas suku mereka.
            “Silakan diminum, pak.” Wanita itu meletakkan segelas air hangat di tempat mereka duduk. “Terimakasih atas minumannya, ibu...,“
            “Ayu. Sri Wayuni Eldasara Simanjuntak.” Tukasnya sembari duduk di sofa yang berada di depan kedua lelaki itu.
            Mendengar ada keributan kecil di ruang tamu, seorang lelaki berkulit sawo matang, berperut buncit keluar dari kamar peristirahatannya.
            “Siapa mereka ini, ma?” tanya pria yang barusan membuka pintu kamarnya dan berdiri di depan mereka.
            “Ini, pak, mereka para polisi yang ikut melayat ke penguburan anak kita Rizal,” balasnya. Ayu memalingkan wajahnya ke arah suaminya.
            “Pak Adi dan pak Dharmawan itu kan?” Ayu mengiyakan pertanyaan suaminya.
            “Oh perkenalkan, saya Dicky Roy Parsaoran Lumbang Tobing. Bisa dipanggil Dicky. Saya ayah dari almarhum Rizal.” Dicky mengulurkan tangannya sambil menyalami para tamunya. Usai bersalaman, Dicky lantas duduk di samping istrinya.
            “Pertama kali, saya turut berbelasungkawa atas meninggalnya atas anak bapak, Rizal,”
            “Terimakasih, pak Adi. Kami juga tidak menyangka anak kami akan tewas dengan cara yang mengenaskan,” balas Dicky lirih.
            “Tapi kami punya beberapa pertanyaan untuk bapak dan ibu mengenali kepergian Rizal,”
            Sepasang suami istri itu tampak serius menyimak pertanyaan yang diajukannya.
            “Sebelum putra anda meninggal dunia, apakah anak ibu sedang bermasalah pada seseorang?” selidik Adi.
            Keduanya beradu pandang. Seolah mengisyaratkan siapa yang akan menjawab pertanyaan dari sang detektif.
            “Saya dan Rizal sempat terlibat pertengkaran tiga bulan yang lalu sebelum ia melarikan diri dari rumah,” ujar Dicky. Akhirnya, suaminya Ayu angkat bicara.
            “Pertengkaran” dan “melarikan diri”, dua kata itulah yang membuat Adi dan rekannya, Briptu Dharmawan semakin tertarik untuk mengorek informasi dari orangtua dari almarhum Rizal.
            “Apa hal yang menyebabkan Anda bertengkar dan membuat almarhum Rizal meninggalkan rumah?” sambung Dharmawan.
            “Kalau saya boleh jujur di hadapan bapak sekalian, saya ini bukanlah ayah kandung dari almarhum Rizal,” ungkap Dicky dengan wajah kuyu.
            “Berarti Anda...,”
            “Ya, sebelumnya saya seorang duda. Ayu pun seorang janda. Ia ditinggal Aldo, mantan suaminya yang tewas dalam kecelakaan mobil. Entah bagaimana Tuhan bisa menyatukan kami. Tak butuh waktu lama berpacaran, akhirnya kami berdua sepakat menikah...,”
            “Lanjutkan saja, pak,” suruh Dharmawan sambil menyesap air hangat dalam gelasnya.
            “Tapi Rizal tak begitu saja menerimaku sebagai pengganti ayahnya yang meninggal. Ia sangat membenciku. Dan aku pun tidak tahu, apa yang membuatnya membenciku. Walaupun begitu, aku tetap berusaha memperlakukannya seperti anakku sendiri... Suatu ketika, aku memberinya sebuah kado, entah apa yang salah, ia membantingnya ke lantai lalu menginjak-injaknya. Jujur, saya tidak bisa mengendalikan kemarahan saya melihat tingkah lakunya yang tidak menghargai pemberian saya. Kemudiansaya menampar pipinya. Rizal yang merasa dilecehkan, mengambil pisau dari dapur, menondongkannya pada saya dan istri saya seraya pergi meninggalkan rumah ini...” jabar Dicky. Kedua bola matanya berkaca-kaca, menahan titik airmata agar tidak menetes.
            Sementara Ayu tak bisa menahan lagi kesedihannya. Ia menangis sesunggukan sambil menutup mulut dengan tangannya. Dan sama sekali tak terlintas di pikirannya, putra sulungnya akan meninggal secara tragis. Dan sampai sekarang, pembunuh itu belum bisa  ditemukan. Dalam pikiran Adi, ia semakin bertekad untuk meringkus pembunuh jahaman itu dan memberi penjelasan perihal pisau yang ditemukan di dalam mobilnya.
***
            Cahyana begitu terkesan melihat acting para aktor dan aktris dalam film Robert. Ia menduga sang sutradara sudah menempa para pemerannya dengan sangat keras. Itu terbukti ketika di salah satu scene yang menarasikan salah satu mimik ketakutan dan histeria melihat hantu sedang mengincar diri mereka.
            Cahyana sempat merinding dan tegang melihat acting para bintang yang begitu menjiwai perannya. Dirinya seolah-oleh ikut menjadi target si hantu.
            “Kualitas pemainmu sungguh luar biasa, Robert. Tak kusangka kau mendidik keras pada aktor dan aktrismu seperti pemain film profesional,” puji Cindy sambil mengangkat sloki, menyeruput anggur merah di dalamnya.
            “Itu juga berkat kamu, Cahyana. Kamu pandai dalam pemilihan busana yang dikenakan para pemainku dan  untuk kostum hantunya, saya suka. Kamu bisa menyesuaikan make up dengan long dress putih. Tidak salah saya memilih kamu sebagai patner saya,” ungkap Robert senang.
            Saat Cahyana menyeruput anggur untuk ketiga kalinya, ia merasa kepalanya mendadak berat. Lalu, butiran keringat sebesar biji jagung meluruh perlahan dari keningnya.
            “Cahyana, kamu kenapa?” tanya Robert sambil meletakkan gelasnya yang kosong di atas meja.
            “Aku tidak tahu, Robert. Tiba-tiba kepalaku pusing. Rasanya mau meledak. Dan,badanku gerah. Padahal tadi hujan,” sahut Cahyana. Deru napasnya berat disertai desahan kecil dari mulutnya.
            Yes, obatnya sudah bereaksi dan waktunya eksekusi. sorak Robert dalam hatinya. Ia sudah merencanakan ini setelah mengajaknya dinner di sebuah cafe bintang lima. Tempat para orang berkantong tebal menghabiskan waktu luang sehabis bekerja seharian. Untuk melancarkan aksinya, Robert pura-pura permisi ke toilet. Ia mengejar pelayan yang menanyakan pesanannya. Begitu bertemu, ia memberikan sepuluh lembar uang nominal lima puluh ribu seraya memberi perintah mencampurkan obat perangsang ke dalam minuman Cahyana.
            Robert hanya bisa menahan tawa kemenangan dalam hatinya. Lalu, bersikap biasa saja agar Cahyana tidak mencurigainya.
            “Lebih baik aku antar kamu ke rumah, ya? Kelihatannya, kamu enggak terbiasa minum anggur,” tandas Robert. Cahyana hanya melenguh. Ia langsung merangkul pundak rekannya, memapahnya ke mobil agar ia tak mau rekannya menjadi bahan tontonan khalayak ramai.
***
            Di lain tempat, Adi dan Briptu Dharmawan sudah mengundurkan diri dari rumah Dicky. Mereka cukup puas dengan keterangan yang didapatkan melalui suami istri tersebut. Mereka bergegas meninggalkan pekarangan rumah menuju mobil. Kunci mobil sudah di tangan Adi. Ia menengok ke arlojinya—19.45. Tanpa disadari, waktu sudah berganti malam.
            Dharmawan masuk lewat pintu samping kiri dan rekannya dai pintu samping kanan. Begitu semuanya berada di dalam, Adi lamgsung memutar kunci. Mesin pun menyala.
            “Aku harap kau tidak menuduhku yang membunuh anak itu, Dhar.”
            Adi langsung mengutarakan pernyataan yang sedari tadi sudah menggerayangi pikirannya. Dharmawan langsung menoleh ke arah Adi ketika Dicky menyebutkan kata “pisau” di dalam ceritanya.
            “Aku malah berpikir sebaliknya,” sanggah Dharmawan sambil menyalakan rokoknya.
            “Apa maksudmu? Kau menuduhku terlibat dalam kasus pembunuhan anak itu?”
            “Jika kau tidak terlibat, kenapa pisau itu berada di dalam mobilmu, Adi?” ucap Dharmawan bersikeras.
            “Demi Tuhan, Dharmawan, aku sama sekali tidak mengenal anak itu. Kau tahu juga kan, kita bisa kenal dengan anak itu saat kita datang ke acara penguburannya. Dan untuk pisau itu, bagaimana kau bisa yakin seratus persen kalau itu pisau milik almarhum Rizal yang digunakan untuk mengancam orang tuanya? Bisa saja pisau yang digunakan almarhum berbeda dengan pisau yang kautemukan di mobil ini. Lagipula, ada banyak pisau yang mirip terjual di toko-toko kelontong. Bukan begitu?” tutur Adi, membela dirinya.
            Air mukanya tidak membiaskan kecurigaan dan hal yang ditutupi. Ia begitu tenang dan tidak terburu-buru. Segala kemungkinan yang dikatakan Adi bisa jadi benar. Bisa saja pisau yang digunakan almarhum Rizal berbeda dengan pisau yang ditemukannya di mobil rekannya. Ada banyak pisau dengan model yang berbeda-beda terjual di toko-toko. Tapi berdasarkan keterangan dokter forensik, pisau yang digunakan oleh pelaku untuk menggorok leher Rizal adalah pisau dapur. Tapi bagaimana bisa Adi meninggalkan pisau di dalam mobilnya sendiri? Mengingat dia sering menderita sakit kepala akut, membuatnya terkadang lupa dengan apa yang dilakukannya termasuk keberadaan pisau itu.
            “Aku percaya denganmu, Adi. Tapi pisau ini akan kubawa ke kantorku guna penyelidikan. Siapa tahu ada bekas sidik jari yang menempel di pisau ini.” Dharmawan menyimpan kembali pisau yang berada dalam plastik putih ke dalam laci mobil Adi. Ia akan mengambilnya ketika ia sudah tiba ke rumahnya.
            “Percayalah, Dharmawan. Aku tidak mungkin melakukan hal sekeji itu. Bahkan, jika aku menemukan penjahat itu, aku akan menghajarnya sampai mati bila perlu.” Adi berusaha meyakinkan rekannya. Dharmawan bingung, tak berkata apa-apa lagi. Ia memilih diam dan menyuruhnya cepat mengantarnya sampai di rumah.
***
            Hotel Siantar Jaya. Hotel ini memang tidak bertingkat seperti hotel pada umumnya. Tapi hotel ini memiliki dua lorong yang masing-masing terdiri dari dua puluh kamar. Pelayanan yang ditawarkan oleh pihak manajemen hotel tidak kalah dengan hotel berbintang lima. Jika tamu datang, mereka akan disambut bellboy yang bersedia membawa barang bawaan mereka. Sistem pembayaran kamar dibayar viakartu kredit saat tamu datang memesan kamar hotel.
            Roda mobil Merchedes berhenti bergulir di muka hotel. Robert membuka pintu sebelah kiri. Hampir saja Cahyana merosot dan jatuh ke luar. Sang produser berhasil menahannya. Ia memapah temannya menuju meja resepsionis.
            “Ada yang bisa kami bantu, pak?” tanya salah satu bellboy yang berdiri di sana.
            “Tidak usah. Saya bisa mengatasinya.” Jawab Robert sambil fokus menuntun rekan perempuannya.
            “Pesan kamar, pak?” tanya perempuan berbatik biru laut yang menyapa Robert.
            “Ya, kami berdua pesan satu kamar plus makan malamnya.” Jawabnya.
            “Baiklah. Bayar dahulu ya, pak, setelah itu kami beri kuncinya. Bapak punya kartu kredit?” Pinta sang resepsionis.
            Robert membuka dompetnya, memberikan kartu ATM-nya pada resepsionis. Sesudah membayar, wanita itu memberikan kunci padanya seraya mengucapkan terimakasih. Wanita yang berjaga bertanya-tanya dalam hatinya mengenai perempuan yang dipapah laki-laki modis itu. Tapi, ia tak mau ambil pusing dan tetap melanjutkan pekerjaannya.
            Kamar 004. Berada di samping kamar 003 dan 005 tepatnya di lorong satu. Robert memutar kunci, mendorongnya hingga terbuka lebar. Ia menjatuhkan tubuh perempuan itu di atas ranjang bersprei putih bersulam bunga. Cahyana menggeliat di atas ranjang dengan kondisi daster terbuka sedikit di bagian dada. Rambut panjang yang diikatnya dilepaskan dan dibiarkan tergerai. Itu semua dilakukan untuk mengurangi hawa panas yang merasuki dirinya.
            “Kenapa aku bisa berada di sini, Robert? Bukannya kau mau mengantarku ke rumah?” tanya Cahyana sambil memegangi kepalanya. Ia masih saja melenguh disertai dengan desahan kecil nan menggoda dari kedua belah bibir tipisnya.
            “Di luar masih hujan, Cahyana.” Robert mulai membuka kancing kemeja satu persatu.
            “Hujan...? Bukannya sudah reda?” Cahyana meliuk-liukkan badannya seperti cacing kepanasan.
            “Iya tapi ini sudah malam loh. Bukankah lebih baik kamu menginap saja,” sahutnya sambil melepaskan ikat pinggang yang melingkari tubuhnya.
            “Apa yang sedang kaulakukan di sana? Kenapa kau membelakangiku?” cecar Cahyana. Meskipun kelopak matanya begitu berat diangkat, ia masih bisa melihat Robert sudah menanggalkan semua pakaian yang dikenakannya.
            Tanpa menjawab pertanyaan darinya, Robert langsung mendekap tubuh Cahyana yang lemah tak berdaya. Cahyana berusaha memberontak tapi tubuhnya seakan merespon positif setiap sentuhan yang diberikan oleh partnernya. Mereka berdua tenggelam dalam kenikmatan bercinta di atas ranjang yang menjadi saksi bisu atas pergumulan birahi yang dilakoni sepasang insan manusia berlainan jenis.

No comments:

Post a Comment