Gumpalan
awan kelabu meneteskan jutaan liter air dari hamparan langit. Tak ada celah
yang tak dijamah air langit. Semua tampak diliputi air hujan. Tanah, pepohonan,
bangunan tak terkecuali mobil yang dikendarai Adi dan rekannya. Mereka harus
berhati-hati karena jalan menuju Tiga Balata licin dan menikung tajam. Jika
sebelumnya mereka merelakan badan mereka digoncang jalan berlubang di Simpang
Dua, kini mereka harus menurunkan kecepatan dan lebih berfokus pada jalan yang
berada di hadapan mereka. Jangan sampai terlena hanya karena jalan terlihat
lengang. Tapi, di jalan ini angka kecelakan juga lumayan tinggi.
“Apakah rumahnya masih jauh, Di?”
tanya Dharmawan yang sedari tadi hanya bersandar di jok mobil.
“Sabar, Dhar. Sekitar lima belas
menit lagi, kita akan sampai.” Adi coba menenangkan rekannya yang mulai hilang
kesabaran.
“Aku harap kita tidak terlalu malam
pulang dari sana. Perlu kau ketahui, jalan lintas Tiga Balata sampai Simpang
Dua tak memiliki lampu penerang jalan. Kita hanya bisa berharap pada lampu sein
mobilmu jika menjumpai jalan yang berlubang,” tutur Dharmawan sambil melirik
arlojinya berulang kali.
“Aku tahu. Tapi, kau juga lihat
sendiri ‘kan, di luar sedang hujan lebat. Mobil kita bisa tergelincir karena
kondisi jalan yang menikung dan licin oleh air hujan,” tambah Adi seraya fokus
mengendalikan setirnya.
Dharmawan tidak ingin berdebat
panjang dengan Adi. Ia memilih bungkam dan menyerahkan semua di pundak
temannya. Ia kembali menarik sebatang rokok dari kemasannya. Polisi itu
membakar tembakaunya dan menikmati tiap hisapan. Begitu santai dirinya membuang
asap sisa pembakaran rokoknya.
Belum habis setengah rokok yang
dipegangnya, Adi membelokkan mobilnya ke sebuah jalan coran setinggi tiga
sentimeter. Keduanya tak menyangka kalau jajaran rumah yang berada di
sekeliling mereka adalah rumah para orang penghasilan tinggi. Bisa dilihat dari
pilar-pilar yang menyangga beberapa rumah bertingkat. Mereka juga memiliki
taman bermain kecil dan kolam ikan dengan hiasan patung burung bangau.
Usai melewati jalan tersebut, mereka
dikejutkan lagi dengan bangunan rumah yang beratapkan genteng tanah liat. Juga,
dinding bangunan masih memakai anyaman bambu. Keduanya bisa merasakan aroma
kesenjangan sosial yang begitu pekat di sana. Ada wilayah yang dikhususkan
untuk si kaya dan ada wilayah yang dikhususkan untuk si miskin. Tapi, Adi
memberhentikan laju mobilnya di sebuah rumah berteras tak berpagar. Atap rumah
itu berlapis seng perak mengkilap. Hanya saja dinding bagian luar belum
didempul hingga menampakkan susunan batu bata mengokohkan dinding rumah. Mereka
berlari menembus derasnya hujan untuk bisa tiba di teras rumah tersebut.
Topi yang digunakan Adi tidak mampu
menghalau air hujan agar tak membasahi tubuhnya. Kemeja yang dikenakannya agak
basah di bagian badan. Dharmawan terkena air hujan di bagian kepala berlanjut
hingga bagian badan. Ia tak memakai apapun untuk melindunginya dari air hujan.
“Kau yakin ini rumahnya?” tanya
Dharmawan memastikan.
“Persis sekali seperti yang tertulis
di catatanku. Biar aku saja yang mengetuk pintunya,” sahut Adi sambil mengetuk
pintu kayu yang berada di hadapannya.
Tok,tok, tok! Tok,tok,tok!
Adi mengetuk pintu hingga enam kali.
“Tunggu sebentar,” sahut seseorang dari dalam. Ia menduga suara yang menyambut
ketukannya adalah suara perempuan.
Adi memilih bersabar sampai seorang
wanita paruh baya membukakan pintu. Mereka terperangah melihat seorang wanita
berkaos oblong hijau tua agak longgar di bagian dada, sedang menggendong
seorang bayi dalam kain sarung.
“Kalau boleh tahu, bapak-bapak ini
siapa ya?”
“Kami dari kepolisian yang pernah
mengunjungi pemakaman anak ibu di TPU Taman Bahagia. Ibu masih ingat?”
Perempuan itu mencoba memutar ulang
rekaman ingatannya mengenai kejadian yang pernah dilaluinya. Begitu sudah
mendapatkannya, wanita itu agak tersentak.
“Oh, saya ingat..., pak Adi dan pak
Dharmawan ‘kan? terkanya. Kedua lelaki mengangguk bersamaan.
“Silakan masuk,” perempuan itu
membuka daun pintu lebih lebar supaya kedua pria leluasa masuk.
Perempuan paruh baya itu menuntun
mereka ke dua buah sofa merah berlengan pendek.
“Minum apa, pak?”
Keduanya memandang satu sama lain.
“Air hangat saja,” jawab Dharmawan.
Setelah mengetahui permintaan mereka,
ia langsung bergegas ke dapur, membawa minuman para tamunya. Sembari menunggu,
kedua lelaki itu mencoba mengamati apa saja yang berada di sana.
Ada banyak sekali ornamen Batak Toba
terpajang di ruang tamu. Miniatur rumah adat Batak tersimpan di lemari hias
sang tuan rumah. Lagi, ada dua buah pedang yang disangkutkan di samping lukisan
Danau Toba. Jelas sekali keluarga ini senang mengoleksi benda-benda yang sudah
menjadi identitas suku mereka.
“Silakan diminum, pak.” Wanita itu
meletakkan segelas air hangat di tempat mereka duduk. “Terimakasih atas
minumannya, ibu...,“
“Ayu. Sri Wayuni Eldasara
Simanjuntak.” Tukasnya sembari duduk di sofa yang berada di depan kedua lelaki
itu.
Mendengar ada keributan kecil di
ruang tamu, seorang lelaki berkulit sawo matang, berperut buncit keluar dari
kamar peristirahatannya.
“Siapa mereka ini, ma?” tanya pria
yang barusan membuka pintu kamarnya dan berdiri di depan mereka.
“Ini, pak, mereka para polisi yang
ikut melayat ke penguburan anak kita Rizal,” balasnya. Ayu memalingkan wajahnya
ke arah suaminya.
“Pak Adi dan pak Dharmawan itu kan?”
Ayu mengiyakan pertanyaan suaminya.
“Oh perkenalkan, saya Dicky Roy
Parsaoran Lumbang Tobing. Bisa dipanggil Dicky. Saya ayah dari almarhum Rizal.”
Dicky mengulurkan tangannya sambil menyalami para tamunya. Usai bersalaman,
Dicky lantas duduk di samping istrinya.
“Pertama kali, saya turut
berbelasungkawa atas meninggalnya atas anak bapak, Rizal,”
“Terimakasih, pak Adi. Kami juga
tidak menyangka anak kami akan tewas dengan cara yang mengenaskan,” balas Dicky
lirih.
“Tapi kami punya beberapa pertanyaan
untuk bapak dan ibu mengenali kepergian Rizal,”
Sepasang suami istri itu tampak
serius menyimak pertanyaan yang diajukannya.
“Sebelum putra anda meninggal dunia,
apakah anak ibu sedang bermasalah pada seseorang?” selidik Adi.
Keduanya beradu pandang. Seolah
mengisyaratkan siapa yang akan menjawab pertanyaan dari sang detektif.
“Saya dan Rizal sempat terlibat
pertengkaran tiga bulan yang lalu sebelum ia melarikan diri dari rumah,” ujar
Dicky. Akhirnya, suaminya Ayu angkat bicara.
“Pertengkaran” dan “melarikan diri”,
dua kata itulah yang membuat Adi dan rekannya, Briptu Dharmawan semakin
tertarik untuk mengorek informasi dari orangtua dari almarhum Rizal.
“Apa hal yang menyebabkan Anda
bertengkar dan membuat almarhum Rizal meninggalkan rumah?” sambung Dharmawan.
“Kalau saya boleh jujur di hadapan
bapak sekalian, saya ini bukanlah ayah kandung dari almarhum Rizal,” ungkap
Dicky dengan wajah kuyu.
“Berarti Anda...,”
“Ya, sebelumnya saya seorang duda.
Ayu pun seorang janda. Ia ditinggal Aldo, mantan suaminya yang tewas dalam
kecelakaan mobil. Entah bagaimana Tuhan bisa menyatukan kami. Tak butuh waktu
lama berpacaran, akhirnya kami berdua sepakat menikah...,”
“Lanjutkan saja, pak,” suruh
Dharmawan sambil menyesap air hangat dalam gelasnya.
“Tapi Rizal tak begitu saja
menerimaku sebagai pengganti ayahnya yang meninggal. Ia sangat membenciku. Dan
aku pun tidak tahu, apa yang membuatnya membenciku. Walaupun begitu, aku tetap
berusaha memperlakukannya seperti anakku sendiri... Suatu ketika, aku
memberinya sebuah kado, entah apa yang salah, ia membantingnya ke lantai lalu
menginjak-injaknya. Jujur, saya tidak bisa mengendalikan kemarahan saya melihat
tingkah lakunya yang tidak menghargai pemberian saya. Kemudiansaya menampar
pipinya. Rizal yang merasa dilecehkan, mengambil pisau dari dapur,
menondongkannya pada saya dan istri saya seraya pergi meninggalkan rumah
ini...” jabar Dicky. Kedua bola matanya berkaca-kaca, menahan titik airmata
agar tidak menetes.
Sementara Ayu tak bisa menahan lagi
kesedihannya. Ia menangis sesunggukan sambil menutup mulut dengan tangannya.
Dan sama sekali tak terlintas di pikirannya, putra sulungnya akan meninggal
secara tragis. Dan sampai sekarang, pembunuh itu belum bisa ditemukan. Dalam pikiran Adi, ia semakin
bertekad untuk meringkus pembunuh jahaman itu dan memberi penjelasan perihal
pisau yang ditemukan di dalam mobilnya.
***
Cahyana begitu terkesan melihat acting para aktor dan aktris dalam film
Robert. Ia menduga sang sutradara sudah menempa para pemerannya dengan sangat
keras. Itu terbukti ketika di salah satu scene
yang menarasikan salah satu mimik ketakutan dan histeria melihat hantu sedang
mengincar diri mereka.
Cahyana sempat merinding dan tegang
melihat acting para bintang yang begitu menjiwai perannya. Dirinya seolah-oleh
ikut menjadi target si hantu.
“Kualitas pemainmu sungguh luar
biasa, Robert. Tak kusangka kau mendidik keras pada aktor dan aktrismu seperti
pemain film profesional,” puji Cindy sambil mengangkat sloki, menyeruput anggur
merah di dalamnya.
“Itu juga berkat kamu, Cahyana. Kamu
pandai dalam pemilihan busana yang dikenakan para pemainku dan untuk kostum hantunya, saya suka. Kamu bisa
menyesuaikan make up dengan long dress
putih. Tidak salah saya memilih kamu sebagai patner saya,” ungkap Robert
senang.
Saat Cahyana menyeruput anggur untuk
ketiga kalinya, ia merasa kepalanya mendadak berat. Lalu, butiran keringat
sebesar biji jagung meluruh perlahan dari keningnya.
“Cahyana, kamu kenapa?” tanya Robert
sambil meletakkan gelasnya yang kosong di atas meja.
“Aku tidak tahu, Robert. Tiba-tiba kepalaku
pusing. Rasanya mau meledak. Dan,badanku gerah. Padahal tadi hujan,” sahut
Cahyana. Deru napasnya berat disertai desahan kecil dari mulutnya.
Yes,
obatnya sudah bereaksi dan waktunya eksekusi. sorak Robert dalam hatinya.
Ia sudah merencanakan ini setelah mengajaknya dinner di sebuah cafe bintang lima. Tempat para orang berkantong
tebal menghabiskan waktu luang sehabis bekerja seharian. Untuk melancarkan
aksinya, Robert pura-pura permisi ke toilet. Ia mengejar pelayan yang
menanyakan pesanannya. Begitu bertemu, ia memberikan sepuluh lembar uang
nominal lima puluh ribu seraya memberi perintah mencampurkan obat perangsang ke
dalam minuman Cahyana.
Robert hanya bisa menahan tawa
kemenangan dalam hatinya. Lalu, bersikap biasa saja agar Cahyana tidak
mencurigainya.
“Lebih baik aku antar kamu ke rumah,
ya? Kelihatannya, kamu enggak terbiasa minum anggur,” tandas Robert. Cahyana
hanya melenguh. Ia langsung merangkul pundak rekannya, memapahnya ke mobil agar
ia tak mau rekannya menjadi bahan tontonan khalayak ramai.
***
Di lain tempat, Adi dan Briptu
Dharmawan sudah mengundurkan diri dari rumah Dicky. Mereka cukup puas dengan
keterangan yang didapatkan melalui suami istri tersebut. Mereka bergegas
meninggalkan pekarangan rumah menuju mobil. Kunci mobil sudah di tangan Adi. Ia
menengok ke arlojinya—19.45. Tanpa disadari, waktu sudah berganti malam.
Dharmawan masuk lewat pintu samping
kiri dan rekannya dai pintu samping kanan. Begitu semuanya berada di dalam, Adi
lamgsung memutar kunci. Mesin pun menyala.
“Aku harap kau tidak menuduhku yang
membunuh anak itu, Dhar.”
Adi langsung mengutarakan pernyataan
yang sedari tadi sudah menggerayangi pikirannya. Dharmawan langsung menoleh ke
arah Adi ketika Dicky menyebutkan kata “pisau” di dalam ceritanya.
“Aku malah berpikir sebaliknya,”
sanggah Dharmawan sambil menyalakan rokoknya.
“Apa maksudmu? Kau menuduhku
terlibat dalam kasus pembunuhan anak itu?”
“Jika kau tidak terlibat, kenapa
pisau itu berada di dalam mobilmu, Adi?” ucap Dharmawan bersikeras.
“Demi Tuhan, Dharmawan, aku sama
sekali tidak mengenal anak itu. Kau tahu juga kan, kita bisa kenal dengan anak
itu saat kita datang ke acara penguburannya. Dan untuk pisau itu, bagaimana kau
bisa yakin seratus persen kalau itu pisau milik almarhum Rizal yang digunakan
untuk mengancam orang tuanya? Bisa saja pisau yang digunakan almarhum berbeda
dengan pisau yang kautemukan di mobil ini. Lagipula, ada banyak pisau yang
mirip terjual di toko-toko kelontong. Bukan begitu?” tutur Adi, membela dirinya.
Air mukanya tidak membiaskan
kecurigaan dan hal yang ditutupi. Ia begitu tenang dan tidak terburu-buru.
Segala kemungkinan yang dikatakan Adi bisa jadi benar. Bisa saja pisau yang
digunakan almarhum Rizal berbeda dengan pisau yang ditemukannya di mobil
rekannya. Ada banyak pisau dengan model yang berbeda-beda terjual di toko-toko.
Tapi berdasarkan keterangan dokter forensik, pisau yang digunakan oleh pelaku
untuk menggorok leher Rizal adalah pisau dapur. Tapi bagaimana bisa Adi
meninggalkan pisau di dalam mobilnya sendiri? Mengingat dia sering menderita
sakit kepala akut, membuatnya terkadang lupa dengan apa yang dilakukannya
termasuk keberadaan pisau itu.
“Aku percaya denganmu, Adi. Tapi
pisau ini akan kubawa ke kantorku guna penyelidikan. Siapa tahu ada bekas sidik
jari yang menempel di pisau ini.” Dharmawan menyimpan kembali pisau yang berada
dalam plastik putih ke dalam laci mobil Adi. Ia akan mengambilnya ketika ia
sudah tiba ke rumahnya.
“Percayalah, Dharmawan. Aku tidak
mungkin melakukan hal sekeji itu. Bahkan, jika aku menemukan penjahat itu, aku
akan menghajarnya sampai mati bila perlu.” Adi berusaha meyakinkan rekannya.
Dharmawan bingung, tak berkata apa-apa lagi. Ia memilih diam dan menyuruhnya
cepat mengantarnya sampai di rumah.
***
Hotel Siantar Jaya. Hotel ini memang
tidak bertingkat seperti hotel pada umumnya. Tapi hotel ini memiliki dua lorong
yang masing-masing terdiri dari dua puluh kamar. Pelayanan yang ditawarkan oleh
pihak manajemen hotel tidak kalah dengan hotel berbintang lima. Jika tamu
datang, mereka akan disambut bellboy
yang bersedia membawa barang bawaan mereka. Sistem pembayaran kamar dibayar
viakartu kredit saat tamu datang memesan kamar hotel.
Roda mobil Merchedes berhenti
bergulir di muka hotel. Robert membuka pintu sebelah kiri. Hampir saja Cahyana
merosot dan jatuh ke luar. Sang produser berhasil menahannya. Ia memapah
temannya menuju meja resepsionis.
“Ada yang bisa kami bantu, pak?”
tanya salah satu bellboy yang berdiri
di sana.
“Tidak usah. Saya bisa mengatasinya.”
Jawab Robert sambil fokus menuntun rekan perempuannya.
“Pesan kamar, pak?” tanya perempuan
berbatik biru laut yang menyapa Robert.
“Ya, kami berdua pesan satu kamar
plus makan malamnya.” Jawabnya.
“Baiklah. Bayar dahulu ya, pak,
setelah itu kami beri kuncinya. Bapak punya kartu kredit?” Pinta sang
resepsionis.
Robert membuka dompetnya, memberikan
kartu ATM-nya pada resepsionis. Sesudah membayar, wanita itu memberikan kunci
padanya seraya mengucapkan terimakasih. Wanita yang berjaga bertanya-tanya
dalam hatinya mengenai perempuan yang dipapah laki-laki modis itu. Tapi, ia tak
mau ambil pusing dan tetap melanjutkan pekerjaannya.
Kamar 004. Berada di samping kamar
003 dan 005 tepatnya di lorong satu. Robert memutar kunci, mendorongnya hingga
terbuka lebar. Ia menjatuhkan tubuh perempuan itu di atas ranjang bersprei
putih bersulam bunga. Cahyana menggeliat di atas ranjang dengan kondisi daster
terbuka sedikit di bagian dada. Rambut panjang yang diikatnya dilepaskan dan
dibiarkan tergerai. Itu semua dilakukan untuk mengurangi hawa panas yang
merasuki dirinya.
“Kenapa aku bisa berada di sini,
Robert? Bukannya kau mau mengantarku ke rumah?” tanya Cahyana sambil memegangi
kepalanya. Ia masih saja melenguh disertai dengan desahan kecil nan menggoda
dari kedua belah bibir tipisnya.
“Di luar masih hujan, Cahyana.”
Robert mulai membuka kancing kemeja satu persatu.
“Hujan...? Bukannya sudah reda?”
Cahyana meliuk-liukkan badannya seperti cacing kepanasan.
“Iya tapi ini sudah malam loh. Bukankah
lebih baik kamu menginap saja,” sahutnya sambil melepaskan ikat pinggang yang
melingkari tubuhnya.
“Apa yang sedang kaulakukan di sana?
Kenapa kau membelakangiku?” cecar Cahyana. Meskipun kelopak matanya begitu
berat diangkat, ia masih bisa melihat Robert sudah menanggalkan semua pakaian
yang dikenakannya.
Tanpa menjawab pertanyaan darinya,
Robert langsung mendekap tubuh Cahyana yang lemah tak berdaya. Cahyana berusaha
memberontak tapi tubuhnya seakan merespon positif setiap sentuhan yang
diberikan oleh partnernya. Mereka berdua tenggelam dalam kenikmatan bercinta di
atas ranjang yang menjadi saksi bisu atas pergumulan birahi yang dilakoni
sepasang insan manusia berlainan jenis.

No comments:
Post a Comment