Saturday, 25 June 2016

Absurd : Misteri Tiga Wajah Iblis - 15



Adi tak kuat menahan detak jantung yang tak karuan melihat Santoso mengendarai mobil. Memang kondisi jalan raya bisa dikatakan tak terlalu ramai.Namun, alangkah membahayakan jika seorang pengemudi mobil memacu kecepatan mobilnya sampai 70 km/jam. Tanpa mempedulikan rambu lalu lintas.
            “Tidak bisakah kau pelan-pelan, brengsek?! Aku tidak mau mati konyol bersamamu,” maki Adi kasar tapi Santoso tidak mempedulikan makian itu.
            “Kita akan kehilangan jejaknya, sialan. Lagipula, kita akan dekat dengan toko butik milik istrimu. Barangkali, istrimu berada di sana,” jawab Santoso santai sambil berfokus pada setir.
            Untung saja, Adi mengencangkan sabuk pengaman yang melintang di bagian dada. Di antara kepadatan kendaraan bermesin yang merayap lambat di jalan raya, Santoso begitu cekatan mengambil celah mendahului kendaraan yang berada di depan. Bahkan, ada salah satu supir angkutan umum memaki karena Santoso terus menekan klakson yang menempel di bulatan setir.
            “Sudah kubilang, aku tidak mau mati bersamamu!” bentak Adi di dekat daun telinga Santoso. Santoso memalingkan pandangan ke luar kaca jendela seraya mengulas senyum miring pada Adi.
            “Sedikit lagi kita akan sampai.”
            Tepat seperti yang dikatakan Santoso. Le Siantar Boutique. Begitulah plang yang terpasang di atas sana. Adi benar-benar tak menyangka Santoso bisa menempuh waktu sepuluh menit, dari rumah sampai ke toko butik milik istrinya.
            Santoso memilih memarkirkan mobil di muka toko seraya membuka pintu yang berada di samping disusul dengan Adi. Di muka toko, mereka sudah disambut Kristina, seorang konsultan sekaligus tangan kanan Cahyana.
            “Selamat siang, pak—“
            “Santoso. Apakah Cahyana ada di sini?”
            “Oh maaf..., Ibu Cahyana sudah pergi sejak setengah jam yang lalu. Dia hanya menitipkan pesan untuk menjaga toko ini selama ibu pergi. Dan ibu tidak mengatakan ke mana dirinya pergi.”
            Santoso menghunus parang yang terselip di pinggang. Ia mengarahkan sisi tajam ke leher jenjang Kristina.
            “Apa sih susahnya berkata jujur? Katakan saja apa yang kau tahu. Jangan sembunyikan. Kau tidak mau ‘kan, hidupmu berakhir di parangku ini?”
            Suasana tegang meliputi di dalam maupun di luar toko. Para pembeli yang berada di sana mulai dicekam ketakutan jikalau Santoso nekat menebas leher Kristina di muka umum. Para pejalan kaki berbondong-bondong menuju toko yang mereka lewati. Sadar dirinya menjadi bahan tontonan umum, Kristina akhirnya buka mulut tentang keberadaan majikannya. Wajah bulat perempuan itudipenuhi bulir-bulir keringat. Hela napas sempat tercekat sesaat begitu merasakan dingin besi tajam yang menempel di leher.
            “Ba-ba-baiklah, saya akan mengatakannya. Ibu Cahyana pergi ke Prapat bersama dengan Pak Robert,” jelasnya setengah gugup.
            Santoso menarik parang dari leher Kristina sambil mengelus lembut dagu yang tergantung di wajahnya. “Terimakasih, Nona.”
            Lelaki itu melirik ke arah arloji. Jarum panjang dan pendek menunjukkan pukul sepuluh lewat empat puluh lima menit. Berarti, Cahyana berangkat dari toko sekitar pukul sepuluh lewat lima belas menit. Tepat seperti yang dikatakan oleh sang asisten toko.
            “Kita masih bisa menyusul mereka, kan?”tanya Adi tanpa melirik sedikit pun pada Santoso.
            “Tentu saja bisa.”
            Adi tak bisa berbuat banyak dengan apa yang dilakukan Santoso. Ia hanya bisa berdoa dalam hati, jangan sampai Santoso nekat melukai istrinya. Hanya itu.
***
            Suasana jalan cukup ekstrim dirasakan Robert dan Cahyana. Jalan yang berada di hadapan mereka tertutupi kabut tipis. Udara dingin mulai meraba kulit halus kedua insan beda jenis itu. Beruntung, Robert sudah menyiapkan dua pasang jaket tebal untuk mereka berdua. itambah dengan dua pasang sarung tangan wol. Robert harus seratus persen memusatkan perhatian bukan hanya pada jalan berkabut melainkan kondisi jalan dengan tikungan tajam tanpa pembatas jalan. Ia tak mau mengambil resiko mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi kemudian disenggol kendaraan lain dari depan maupun dari belakang.
            “Sebentar lagi kita akan sampai.”
***
            Adi harus menahan udara dingin yang mulai mengelus permukaan kulitnya. Ia sedikit melirik ke arah Santoso yang terlihat kuat mengendarai mobil tanpa merasa kedinginan.
            “Hey, Bung. Terbuat dari apa kulitmu?” tanya Adi sambil menahan rahang yang mulai bergeter-getar.
            “Jangan membuyarkan konsentrasiku. Kau tidak lihat, jalan di depan kita berkabut dan banyak tikungan tajam di mana-mana. Kau tidak mau ‘kan mati konyol bersamaku?” balas Santoso sambil membeo ucapan Adi yang sempat dikatakan saat menuju toko butik milik istrinya.
            Sebenarnya, Adi bisa melihat kalau Santoso sedang kedinginan. Ya, itu terlihat jelas pada bulu-bulu halus di permukaan kulit tangannya. Berdiri tegak seperti bintil-bintil yang terdapat pada ayam rebus. Adi cukup diam saja sambil mengamati keadaan jalan di sebelahnya.
***
            Dari kejauhan, Cahyana bisa menyaksikan betapa indahnya kawasan Danau Toba. Losmen, hotel, motel, museum, aneka barang dagangan, adalah sekian banyak fasilitas yang ditawarkan kepada pengunjung Danau Toba baik dalam negeri maupun luar negeri. Dan, ini yang pertama kali bagi Cahyana bisa mengunjungi salah satu pusat objek pariwisata terpopuler di dunia.
            Robert memilih memarkirkan mobil di salah satu hotel yang berada di sana. Setelah membuka pintu mobil, ia menyaksikan para kru film sedang mempersiapkan alat-alat keperluan shooting dan para pemain yang akan memainkan film milik Robert.
            “Sembari menunggu mereka mempersiapkan semua, lebih baik kita beristrirahat di hotel ini dulu yuk!” seru Robert sambil mengarahkan kepala ke hotel yang berada di depannya.
            Cahyana hanya menganggukkan kepala menerima ajakan sang produser. Sebelum keduanya pergi, Robert sempat membisikkan sesuatu pada sang sutradara yang berdiri tak jauh darinya. Entah apa yang mereka bicarakan, Cahyana tak ingin tahu. Ia hanya ingin menikmati waktu dengan Robert. Sambil merangkul pundak Cahyana, keduanya pergi meninggalkan para kru film yang sedang sibuk.
***
            “Wah, akhirnya kita sampai juga.” Santoso menjejak kedua kakinya sambil melakukan perenggangan badan. Adi juga turut melakukan hal sama seperti yang dilakukan Santoso. Setelah melakukan perenggangan, keduanya berjalan menuju arah keramaian yang berada tak jauh di tempat mereka berdiri. Di sana, Santoso melihat lalu lalang orang-orang membawa lampu sorot dan camera recorder diletakkan di atas papan roda. Tak ketinggalan orang-orang berbusana aneh lewat di hadapannya.
            “Hei, apa yang sedang dilakukan orang-orang ini?” tanya Santoso yang terlihat tidak mengerti dengan aktivitas mereka.
            “Kurasa Robert sedang melakukan shooting film di tempat ini,” jawab Adi.
            “Dia seorang produser film?” tanya Santoso setengah tak percaya.
            Adi menganggukkan kepala sekali menjawab pertanyaan Santoso.
            “Kalau begitu, ayo kita pergi ke dalam hotel ini. Aku yakin mereka berdua ada di sana.”
            Kedua lelaki itu menuju sebuah pintu bergagang lapisan batu marmer. Sesudah membuka pintu, mereka menghampiri meja resepsionis yang berada di sebelah kiri pintu.
            “Selamat datang di hotel Martoba Jaya, Pak. Anda mau pesan kamar no—”
            “Saya ingin tahu, apakah ada tamu hotel atas nama Robert Antonio dan Cahyana Rodesiana yang baru saja memesan kamar di hotel ini?” Santoso menukas pertanyaan sang resepsionis dengan pertanyaannya sendiri.
            “Oh, Pak Robert dan Ibu Cahyana memesan kamar nomor 045. Jadi, Bapak memesan kamar nomor berapa?”
            “Kamar yang berada bersebelahan dengan kamar mereka.”
            “Bapak pilih nomor berapa? 044atau 046?”
            “Saya ambil nomor 046.”
            Adi mengambil kunci kamar yang telah disodorkan padanya lalu memberikannya pada Santoso.
            “Bisa kau tunjukkan kamarnya padaku?”
            Sang resepsionis memanggil salah satu bellboy yang sedang bertugas mengantarkan makan siang ke kamar pengunjung hotel.
            “Irwan, tolong antarkan bapak ini ke kamar nomor 046 di lantai dua.”
            Tanpa banyak bantahan, Irwan, sang bellboy mengantar kedua lelaki itu ke kamar tujuan. Sang bellboy memakai rompi hitam dengan dasi kupu-kupu melingkar di leher. Model rambut klimis dengan sisiran samping. Ia tampak tak mau berbicara dengan Adi dan Santoso. Ia lebih memilih berkonsentrasi pada dirinya sendiri. Setelah lift tiba di lantai dua, sang bellboy memilih berjalan lebih dahulu di belakang mereka.
            Kebetulan, Santoso melihat sebuah toilet umum berada di sebelahnya. Sebuah ide cemerlang terbesit di dalam benak.
            Sang bellboy jatuh tergeletak begitu sikutan tajam Santoso mengena telak di bagian tengkuk. Keadaan lorong hotel yang sepi, begitu menguntungkan rencananya. Santoso menyeret tubuh lelaki berpenampilan rapi itu ke dalam toilet. Di sana, ia melucuti pakaiannya dan pakaian milik sang bellboy hingga sepatu miliknya.
            “Sayang sekali kita hanya punya satu pakaian,” ungkap Santoso sambil mengenakan pakaian sang bellboy yang telah dilucuti.
            “Untukmu, Adi, kau harus berada di belakangku, mengerti?” instruksi Santoso pada Adi.
            “Terserah apa katamu. Dan yang harus kauingat, jangan melakukan hal yang tidak-tidak dengan istriku atau kau akan kuhabisi.” Telunjuk Adi mengacung tajam ke wajah Santoso.
            Santoso tersenyum sinis menanggapi ancaman yang dilayangkan padanya. Ia keluar dari dalam toilet dengan membawa rak beroda berisi satu paket makan siang dilengkapi hidangan penutup dengan dua gelas air putih. Adi berjalan di belakang punggung Santoso.
             Kamar 045 memang berada di pertengahan kamar nomor 046 dan 044. Dan sedikit lagi menuju tangga lantai tiga. Santoso mengetuk pintu kamar 045 berharap penghuni kamar memperbolehkan masuk.
            “Pak, paket makan siang sudah datang,” ucap Santoso dari luar pintu. Begitu mendengar pesanan sudah datang, sang penghuni kamar membuka pintu, membiarkan Santoso masuk.
            Adi yang berdiri di belakang Santoso tak sanggup mengeluarkan sepatah kata punmenyaksikan Robert dan Cahyana, istrinya, berselimutkan kain putih bercumbu sambil berpagut mesra. Aliran darah yang mengalir di otak berdesir kencang. Adi benar-benar tidak bisa menahan letupan amarah yang mengguncang pikiran. Ingin rasanya, ia memenggal kepala Robert dan Cahyana yang bermain serong. Tapi sial, dia tidak bisa melakukan apa-apa. Ia bagaikan penonton sinema yang hanya bisa memprotes acting para aktor dan aktris dari layar kaca.
            Dari tempat ia berdiri, Adi melihat Santoso sedang menyiapkan makan siang di atas meja kecil. Santoso sedang menghunus perlahan parang yang terselip di pinggang.
            “Makan siang sudah siap, Pak.”
            Saat Robert menolehkan kepala ke arah bellboy, ia tidak menyadari kalau sebilah parang sedang melayang ke arah lehernya.
            “Arrrgggghhhh!”
            Robert tak sempat mengelak. Parang Santoso berhasil menembus setengah batang leher Robert. Darah sudah berhamburan di mana-mana. Menyembur deras bak selang bocor. Darah di dalam mulut Robert meleleh, menggenangi raut wajahnya yang tampan. Santoso menarik lagi parang dari leher Robert lalu menancapkan tepat di jantung.
            Tubuh Robert mengenjang keras ke atas. Serasa nyawanya dicabut paksa dari raga. Uratnadi mata ikut memerah, menikmati tikaman kepedihan tepat di titik denyut jantung. Napas terakhir Robert telah berpulang pada Sang Pencipta.Tubuh Robert perlahan turun dengan parang yang tertancap di dada.
            Kedua bola mata Santoso berpaling cepat ke arah Cahyana. Perempuan muda itu kebakaran jenggot melihat kematian Robert yang begitu mengenaskan di depan mata kepalanya sendiri. Kedua tangan Cahyanameraba membabi buta mencari kunci kamar yang diletakkan Robert sehabis ia mempersilahkan Santoso masuk ke kamar.
            “Kau milikku, wanita jalang!” Santoso menyimpul senyum jahat sambil menarik parang yang tertanam di dada Robert.
            Santoso semakin dekat. Air mata Cahyana tak henti meluruh. Ia belum juga menemukan kunci itu. Debaran jantung semakin memacu gerak tangan meraba setiap celah celah tersembunyi. Santoso tinggal selangkah lagi di hadapannya.
            “Jangan kau bunuh dia, bajingan sialan!” 
            Santoso tidak mempedulikan makian pedas Adi. Ia memandang tubuh molek Cahyana tertutupi kimono putih. Cahyana mundur pelan-pelan dari hadapan Santoso. Sementara, lelaki itu sudah siap melampiaskan ledakan berahi yang membuncah di ubun-ubun.
            “Jangan sakiti aku... ampuni aku..., huhuhu,” pinta Cahyana dengan mimik memelas.
            “Santoso, jangan kau sakiti dia! Aku tak mengampunimu kalau kau berani menyentuh dia!”
            Nada ancaman itu tak membuat Santoso gentar melancarkan aksinya. Saat Cahyana dalam kondisi terjepit, Santoso menubruk tubuh Cahyana hingga tempurung kepala terbanting ke lantai.
            “Cahyana!”
            Usai melampiaskan hasrat, Santoso mendaratkan ujung parang di kening Cahyana. Perempuan malang itu melolong keras. Bola mata Cahyana seakan menyeruak dari rongga mata. Sukma Cahyana telah pergi untuk selamanya.Lantai kamar bermandikan darah merah nan kental.
            “Aku sudah menyingkirkan semua orang yang telah menghancurkan hidupmu, Adi. Sekarang, kau bisa memulai segalanya dari awal tanpa ada yang mengganggu,” ucap Santoso sambil menghampiri Adi yang sedari tadi hanya mematung tanpa bisa menghentikan aksi brutal Santoso.
            “Kau...,”
            Adi tak bisa menahan amarah lebih lama. Ia sudah mengumpulkan semua kekuatan pada cengkeraman tangan yang memegang guci porselen. Tanpa banyak kata, guci yang dipegang Adi mengenai kening Santoso.
            “Ough! A-apa-apaan ini, teman? Kau melukaiku?”ringis Santoso seraya memegang keningnya yang memancarkan setitik darah.
            “Aku bukan temanmu! Aku tidak mempunyai teman pembunuh sepertimu! Kau sudah  merenggut segalanya dari hidupku!” maki Adi skeuat tenaga. Ia tidak peduli kalau suaranya akan menarik perhatian seluruh  penghuni hotel.
            “Inikah balasan yang kudapat setelah aku menolongmu lepas dari penderitaan...? Kalau begitu..., MATILAH!” Santoso siap melayangkan parang ke kepala Adi. Adi secepat kilat menahan pergelangan tangan Santoso lalu memutarnya ke kanan.
            Santoso menjerit kesakitan. Adi berhasil melepas parang itu dari tangannya. Ia mengarahkan tempurung lutut ke perut Santoso seraya memberikan bogem mentah berkali-kali ke wajahnya.
            Wajah lelaki itu dihiasi luka lebam dan luncuran darah dari lubang hidung. Hampir saja tubuh Santoso oleng. Untung, lutut kanannya masih bisa menyangga badan sehingga posisi lelaki itu sekarang setengah bertelut. Ia memanfaatkan posisi ini untuk menggapai parang yang tak jauh darinya. Menyadari bahaya akan segera datang, Adi langsung menubruk punggung Santoso.
            “Lepaskan aku, bangsat!” damprat Santoso sambil meronta-ronta berharap Adi akan melemahkan kunciannya.
            “Aku tidak akan membiarkanmu mendapatkan parang itu!”
            Dari belakang, tangan kanan Santoso berusaha menggapai wajah Adi sebisa mungkin. Ia cukup terdesak dengan perlawanan Santoso. Adi berusaha menyingkirkan wajahnya dari cengkeraman tangan Santoso. Sementara perhatian Adi tertuju pada tangan kanannya, tangan kiri Santoso pelan-pelan mengendap, mengincar parang yang sedikit lagi bisa ia raih.
            Ternyata Santoso salah besar. Adi melirik ke kiri. Tinggal sedikit lagi jemari Santoso menyentuh gagang parang. Adi langsung sigap meraih dua jari Santoso, menekannya sampai menyentuh punggung tangan.
            “Arrrggghhh! Sakiittt!!!”
            Santoso tak henti meraung kencang. Ia mengerahkan seluruh kekuatan untuk mengubah posisi kuncian. Sekarang giliran Adi yang terjebak dalam kuncian Santoso. Sambil menahan pedih, Santoso menarik parang itu dengan ketiga jarinya. Menggenggam dengan posisi jari kurang sempurna. Ujung mata parang sudah menghadap wajah Adi.
            “Sekarang kau milikku...!” bisik Santoso. Tatap mata Santoso menyala tajam.
            Adi bertahan sebisa mungkin dari cekikan tangan Santoso. Tangan kiri Adi masih berusaha meraihleher Santoso, balas mencekik. Sementara tangan kanan bersiap membelokkan hunjaman parang Santoso.
            “Akh!”
            Kelopak mata Santoso terbuka lebar. Ia tak menduga Adi akan menggunakan tangannya untuk mengarahkan parang ke dada, menembus tulang selangka. Santoso mundur perlahan. Tubuhnya terhuyung-huyung sambil merintih kesakitan.
            Adi mencoba bangkit berdiri, memegangi lehernya yang hampir mati rasa. Tanpa ragu-ragu, Adi menarik parang itu dan mengarahkan ke perut Santoso.
            Bola mata Santoso mendelik dua kali lebih lebar. Seakan ingin melompat keluar dari rongga mata. Hela napas terputus-putus.Satu per satu. Tubuh tegap Santoso berguncang hebat, dibanjiri darah di sekujur tubuh.  Ia tumbang di hadapan Adi.
            Adi mengembuskan napas lega menghayati kemenangan yang diterima begitu menghabisi Santoso. Puas. Semuanya telah berakhir. Saat dirinya mendekati pintu, Adi mendadak jatuh berlutut.
            A-a-ada apa ini?! tanya batinnya heran.
            Mata Adi berputar-putar cepat, memeriksa apakah ada yang aneh dengan dirinya. Setelah jeli diamati, astaga! Ia melihat dari kemeja biru muda yang dikenakan, darah segar sudah merembes dari luka di dada.
            Dari mana datangnya luka ini?
            Satu pertanyaan belum terjawab, Adi dikejutkan lagi dengan luka tusuk di perut. Ia tidak tahu mengapa parang yang digunakan untuk membunuh Santoso, bisa tertanam seperempat bagian di sana.
            Tidak mungkin! Aku tidak mungkin—
            Adi menurunkan kedua belah tangan yang digunakan menjenggut rambutnya. Ia melotot kaget seolah tak percaya dengan apa yang terdapat di telapak tangannya—darah.
            Berarti... aku...,
            Adi hampir menemukan titik terang atas kejadian yang terjadi padanya. Namun, sebelum ia menyadari, wajah letih bercampur panik sudah terlebih dahulu mencium  permukaan lantai keramik. Di ambang kesadaran, ia masih bisa mendengar suara gebrakan pintu dari luar.

Sunday, 19 June 2016

Aretha (Biarkan Aku Bangkit)



Menggali. Terus menggali. Itu yang sedang dilakukan Alvaro saat ini. Ia ingin mengambil media yang digunakan untuk membangkitkan saudara gaib miliknya. Kedua tangan masih menggenggam erat bongkol cangkul agar tak lepas. Suara cangkulan tanah beradu cepat dengan detak jantung Alvaro. Bulir-bulir keringat menetes membasahi kening lelaki itu tanpa disadari.
            Alvaro sudah menggali lubang sedalam lima puluh sentimeter. Tatap mata begitu sumringah ketika ia melihat sebuah bungkusan kain putih bercampur noda tanah. Alvaro menelungkupkan badan kemudian mengambil bungkusan itu. Ia menatap bungkusan itu penuh kemenangan lalu sesegera mungkin pergi dari sana.
            “Apa yang mau kau lakukan dengan bungkusan itu?” tegur suara asing yang berasal dari belakang.
            Alvaro tersentak kaget. Badannya menegang. Langkah kaki belum sempat menjauh dari bekas lubang galian. Lelaki berambut gondrong itu mengumpulkan sedikit demi sedikit keberanian untuk memastikan pemilik suara itu.
            “Kau... Aretha,” kata Alvaro setengah tak percaya.
            “Mau kau apakan bungkusan itu?” kata Aretha lagi.
            Alvaro bungkam sejenak. Ia mencoba menyusun rangkaian kata demi kata untuk dijadikan jawaban yang tepat atas pertanyaan Aretha.
            “Kau mau melenyapkanku setelah semua kebaikan yang kulakukan padamu?” Aretha semakin intens mengintimidasi Alvaro.
            Alvaro tahu semua kebaikan yang telah diberikan saudara kembarnya, Aretha.
+++
            Masih terngiang jelas di ingatan, ketika Soraya, gadis yang begitu diidam-idamkan Alvaro, menolak pernyataan cintanya secara mentah-mentah. Bukan hanya menolak tapi kata makian dan cacian begitu mudah keluar dari bibir tipis dan seksi milik Soraya. Alvaro yang terbakar api dendam, mencari berbagai cara untuk membalaskan dendam.
            Alvaro mulai membuka internet, mencari informasi detil mengenai membangkitkan saudara gaib. Sebenarnya, Alvaro sudah lama tahu artikel tentang saudara gaib yang katanya bisa melakukan apa saja yang diinginkan para pengguna. Di artikel yang ditemukan Alvaro, ia harus menyediakan potongan kuku tangan dan kaki sebanyak tujuh potong, sehelai rambut dan ia harus membungkus semua dengan kain putih di bawah naungan sinar bulan purnama pada malam jumat. 
            Awalnya, Alvaro takut sesuatu yang buruk akan terjadi padanya. Namun api dendam sudah menghanguskan akal sehat. Apapun akan dilakukan demi membalas perbuatan Soraya yang sudah kelewatan menolak dirinya.
            Satu malam panjang berganti pagi indah setelah lelaki muda itu menguburkan bungkusan itu di belakang rumah. Ketika Alvaro terbangun dari tidur lelap, ia sontak terkejut mendapati seorang wanita berdiri di samping ranjang. Alvaro mulai mengatur irama napas seraya menenangkan diri. Ia melihat wajah wanita yang berada di samping ranjang mirip dengannya.Berambut hitam panjang agak bergelombang. Kini dia sudah berhasil membangkitkan saudara gaib. Alvaro mendekati wanita itu sambil membicarakan rencana pembalasan untuk Soraya.
+++
            “Tidak. Aku tidak menganggap kebaikanmu sia-sia, Aretha. Justru, aku harus berterimakasih padamu. Kau membuat Soraya setengah gila. Aku puas melihat dia tersiksa,” ungkap Alvaro terbuka.
            “Lalu apa untuk apa kau bawa bungkusan itu kalau bukan kau ingin memusnahkanku, bukan? Kau juga tidak ingat bagaimana aku berusaha memengaruhi pikiran Anastasya untuk menerimamu?” ungkit Aretha lagi.
            “Aku mengingatnya, Aretha, tapi mengapa kau mengganggu ayah, ibu dan teman-temanku? Kenapa?” Alvaro tak mau ditekan oleh roh Aretha, mencoba melakukan perlawanan.
            “Kau tahu, Alvaro, sembilan belas tahun yang lalu sebelum ibumu, oh bukan, ibu kita menikah dengan Sumantyo, ayahmu, ibu kita sudah lebih dahulu menjalin hubungan gelap dengan Bagas Hanung, seorang supir angkutan umum,” tutur Aretha dengan seringai menyeramkan.
            “Tidak mungkin,” elak Alvaro dengan wajah shock.
            “Segala sesuatu mungkin saja terjadi. Ibu kita mengandung janin dari benih Bagas. Tapi, lelaki brengsek itu sudah menghilang entah ke mana. Tak mau nama baik keluarga Galesti Ranu tercemar, ibu kita menggugurkan kandungan. Dan tahu ‘kan, siapa janin yang digugurkan itu? Akulah kakakmu, Alvaro.”
            “Tidak... tidak mungkin! Jangan bercanda kau, wanita jalang!”
            “Hahaha, terimalah kenyataan, Alvaro. Sekarang, ibu kita sedang mengandung anak dari benih Sumantyo. Aku tak mau adik kecilku terabaikan ketika anak dalam kandungan ibu lahir. Jadi, aku berusaha keras untuk membunuh janin yang dikandung oleh ibu. Kau tahu, adikku, aku mulai bosan dengan kehidupanku sebagai roh penasaran yang mulai kaumanfaatkan untuk memenuhi segala inginmu. Aku ingin menikmati kehidupan nyata sepertimu. Merasakan kasih sayang dari ibu, ayah, dan teman-temanmu, adikku. Hahaha!”
            “Kau gila... Kau gila!” pekik Alvaro sekencang mungkin. Tangan kiri Alvaro mulai merogoh kantong celana, mencari pemantik untuk membakar bungkusan itu. Tapi tak disangka, gerak tangan Alvaro mendadak beku bahkan tak bisa menggerakkan kaki. Tanah yang dipijak seakan menjadi belenggu tubuhnya.
            “Dan sekarang aku butuh tubuh nyata sebagai wadah rohku. Tapi tubuh siapa lagi yang kupakai kalau bukan tubuh adik kecilku, ya kan?” Aretha melangkah pelan menuju Alvaro. Ia menatap adiknya sejenak lalu meremas paksa rahang Alvaro agar terbuka.
            Begitu rahang Alvaro terbuka, roh Aretha perlahan-lahan menyusut menjadi kabut tipis.Memaksa raga lelaki itu agar mau menyatu dengan dirinya. Alvaro jatuh berlutut. Bungkusan dalam genggaman tangan terlepas. Ia berusaha melakukan perlawanan dengan mencekik leher lalu membenturkan kepala ke permukaan tanah agar roh Aretha keluar dari raganya. Tapi usaha yang dilakukan tak membuahkan hasil. Tubuh Alvaro mengejang hebat, menggelepar ke segala arah bak ikan mas yang diletakkan di daratan.
            “ARRRGGGGHHHH!!!”
            Pekikan mahadahsyat Alvaro terbenam begitu saja dalam kegelapan pekat. Kedua kelopak mata mengerjap beberapa kali hingga kesadaran Aretha memulih.
            Begitu tingkat kesadaran naik seratus persen, Aretha meraba-raba raga yang ditempati saat ini. Mulai dari rambut sampai ujung kaki. Semua tampak nyata dan bisa pegang oleh tangannya. Deraian tawa Aretha memecah dari mulutnya ketika usaha yang dilakukan untuk merebut raga Alvaro telah berhasil. Sementara roh Alvaro hanya bisa memandangi raga miliknya ditempati roh asing.
            “Terimakasih ya, Adikku, kau sudah memberikan ragamu secara cuma-cuma. Aku akan memakai ragamu untuk keperluanku. Dan nikmatilah kehidupanmu sebagai makhluk halus. Bye.” Aretha meninggalkan Alvaro begitu saja sambil mengambil bungkusan kain putih yang tergeletak begitu saja di sampingnya. Perempuan itu tersenyum misterius melihat bungkusan itu. Entah apa yang akan dilakukan Aretha dengan bungkusan itu, hanya dirinya yang tahu.