Adi
tak kuat menahan detak jantung yang tak karuan melihat Santoso mengendarai
mobil. Memang kondisi jalan raya bisa dikatakan tak terlalu ramai.Namun, alangkah
membahayakan jika seorang pengemudi mobil memacu kecepatan mobilnya sampai 70
km/jam. Tanpa mempedulikan rambu lalu lintas.
“Tidak bisakah kau pelan-pelan,
brengsek?! Aku tidak mau mati konyol bersamamu,” maki Adi kasar tapi Santoso
tidak mempedulikan makian itu.
“Kita akan kehilangan jejaknya,
sialan. Lagipula, kita akan dekat dengan toko butik milik istrimu. Barangkali,
istrimu berada di sana,” jawab Santoso santai sambil berfokus pada setir.
Untung saja, Adi mengencangkan sabuk
pengaman yang melintang di bagian dada. Di antara kepadatan kendaraan bermesin
yang merayap lambat di jalan raya, Santoso begitu cekatan mengambil celah
mendahului kendaraan yang berada di depan. Bahkan, ada salah satu supir
angkutan umum memaki karena Santoso terus menekan klakson yang menempel di
bulatan setir.
“Sudah kubilang, aku tidak mau mati
bersamamu!” bentak Adi di dekat daun telinga Santoso. Santoso memalingkan
pandangan ke luar kaca jendela seraya mengulas senyum miring pada Adi.
“Sedikit lagi kita akan sampai.”
Tepat seperti yang dikatakan
Santoso. Le Siantar Boutique.
Begitulah plang yang terpasang di atas sana. Adi benar-benar tak menyangka
Santoso bisa menempuh waktu sepuluh menit, dari rumah sampai ke toko butik
milik istrinya.
Santoso memilih memarkirkan mobil di
muka toko seraya membuka pintu yang berada di samping disusul dengan Adi. Di
muka toko, mereka sudah disambut Kristina, seorang konsultan sekaligus tangan
kanan Cahyana.
“Selamat siang, pak—“
“Santoso. Apakah Cahyana ada di
sini?”
“Oh maaf..., Ibu Cahyana sudah pergi
sejak setengah jam yang lalu. Dia hanya menitipkan pesan untuk menjaga toko ini
selama ibu pergi. Dan ibu tidak mengatakan ke mana dirinya pergi.”
Santoso menghunus parang yang
terselip di pinggang. Ia mengarahkan sisi tajam ke leher jenjang Kristina.
“Apa sih susahnya berkata jujur?
Katakan saja apa yang kau tahu. Jangan sembunyikan. Kau tidak mau ‘kan, hidupmu
berakhir di parangku ini?”
Suasana tegang meliputi di dalam
maupun di luar toko. Para pembeli yang berada di sana mulai dicekam ketakutan
jikalau Santoso nekat menebas leher Kristina di muka umum. Para pejalan kaki
berbondong-bondong menuju toko yang mereka lewati. Sadar dirinya menjadi bahan
tontonan umum, Kristina akhirnya buka mulut tentang keberadaan majikannya.
Wajah bulat perempuan itudipenuhi bulir-bulir keringat. Hela napas sempat
tercekat sesaat begitu merasakan dingin besi tajam yang menempel di leher.
“Ba-ba-baiklah, saya akan
mengatakannya. Ibu Cahyana pergi ke Prapat bersama dengan Pak Robert,” jelasnya
setengah gugup.
Santoso menarik parang dari leher
Kristina sambil mengelus lembut dagu yang tergantung di wajahnya. “Terimakasih,
Nona.”
Lelaki itu melirik ke arah arloji.
Jarum panjang dan pendek menunjukkan pukul sepuluh lewat empat puluh lima menit.
Berarti, Cahyana berangkat dari toko sekitar pukul sepuluh lewat lima belas
menit. Tepat seperti yang dikatakan oleh sang asisten toko.
“Kita masih bisa menyusul mereka,
kan?”tanya Adi tanpa melirik sedikit pun pada Santoso.
“Tentu saja bisa.”
Adi tak bisa berbuat banyak dengan
apa yang dilakukan Santoso. Ia hanya bisa berdoa dalam hati, jangan sampai
Santoso nekat melukai istrinya. Hanya itu.
***
Suasana jalan cukup ekstrim
dirasakan Robert dan Cahyana. Jalan yang berada di hadapan mereka tertutupi kabut
tipis. Udara dingin mulai meraba kulit halus kedua insan beda jenis itu.
Beruntung, Robert sudah menyiapkan dua pasang jaket tebal untuk mereka berdua.
itambah dengan dua pasang sarung tangan wol. Robert harus seratus persen
memusatkan perhatian bukan hanya pada jalan berkabut melainkan kondisi jalan
dengan tikungan tajam tanpa pembatas jalan. Ia tak mau mengambil resiko mengendarai
mobil dengan kecepatan tinggi kemudian disenggol kendaraan lain dari depan
maupun dari belakang.
“Sebentar lagi kita akan sampai.”
***
Adi harus menahan udara dingin yang
mulai mengelus permukaan kulitnya. Ia sedikit melirik ke arah Santoso yang
terlihat kuat mengendarai mobil tanpa merasa kedinginan.
“Hey, Bung. Terbuat dari apa
kulitmu?” tanya Adi sambil menahan rahang yang mulai bergeter-getar.
“Jangan membuyarkan konsentrasiku.
Kau tidak lihat, jalan di depan kita berkabut dan banyak tikungan tajam di
mana-mana. Kau tidak mau ‘kan mati konyol bersamaku?” balas Santoso sambil
membeo ucapan Adi yang sempat dikatakan saat menuju toko butik milik istrinya.
Sebenarnya, Adi bisa melihat kalau
Santoso sedang kedinginan. Ya, itu terlihat jelas pada bulu-bulu halus di
permukaan kulit tangannya. Berdiri tegak seperti bintil-bintil yang terdapat
pada ayam rebus. Adi cukup diam saja sambil mengamati keadaan jalan di
sebelahnya.
***
Dari kejauhan, Cahyana bisa
menyaksikan betapa indahnya kawasan Danau Toba. Losmen, hotel, motel, museum,
aneka barang dagangan, adalah sekian banyak fasilitas yang ditawarkan kepada
pengunjung Danau Toba baik dalam negeri maupun luar negeri. Dan, ini yang
pertama kali bagi Cahyana bisa mengunjungi salah satu pusat objek pariwisata
terpopuler di dunia.
Robert memilih memarkirkan mobil di
salah satu hotel yang berada di sana. Setelah membuka pintu mobil, ia
menyaksikan para kru film sedang mempersiapkan alat-alat keperluan shooting dan para pemain yang akan
memainkan film milik Robert.
“Sembari menunggu mereka
mempersiapkan semua, lebih baik kita beristrirahat di hotel ini dulu yuk!” seru
Robert sambil mengarahkan kepala ke hotel yang berada di depannya.
Cahyana hanya menganggukkan kepala
menerima ajakan sang produser. Sebelum keduanya pergi, Robert sempat
membisikkan sesuatu pada sang sutradara yang berdiri tak jauh darinya. Entah
apa yang mereka bicarakan, Cahyana tak ingin tahu. Ia hanya ingin menikmati
waktu dengan Robert. Sambil merangkul pundak Cahyana, keduanya pergi
meninggalkan para kru film yang sedang sibuk.
***
“Wah, akhirnya kita sampai juga.”
Santoso menjejak kedua kakinya sambil melakukan perenggangan badan. Adi juga
turut melakukan hal sama seperti yang dilakukan Santoso. Setelah melakukan
perenggangan, keduanya berjalan menuju arah keramaian yang berada tak jauh di
tempat mereka berdiri. Di sana, Santoso melihat lalu lalang orang-orang membawa
lampu sorot dan camera recorder
diletakkan di atas papan roda. Tak ketinggalan orang-orang berbusana aneh lewat
di hadapannya.
“Hei, apa yang sedang dilakukan
orang-orang ini?” tanya Santoso yang terlihat tidak mengerti dengan aktivitas
mereka.
“Kurasa Robert sedang melakukan shooting film di tempat ini,” jawab Adi.
“Dia seorang produser film?” tanya
Santoso setengah tak percaya.
Adi menganggukkan kepala sekali
menjawab pertanyaan Santoso.
“Kalau begitu, ayo kita pergi ke
dalam hotel ini. Aku yakin mereka berdua ada di sana.”
Kedua lelaki itu menuju sebuah pintu
bergagang lapisan batu marmer. Sesudah membuka pintu, mereka menghampiri meja
resepsionis yang berada di sebelah kiri pintu.
“Selamat datang di hotel Martoba
Jaya, Pak. Anda mau pesan kamar no—”
“Saya ingin tahu, apakah ada tamu
hotel atas nama Robert Antonio dan Cahyana Rodesiana yang baru saja memesan
kamar di hotel ini?” Santoso menukas pertanyaan sang resepsionis dengan
pertanyaannya sendiri.
“Oh, Pak Robert dan Ibu Cahyana
memesan kamar nomor 045. Jadi, Bapak memesan kamar nomor berapa?”
“Kamar yang berada bersebelahan
dengan kamar mereka.”
“Bapak pilih nomor berapa? 044atau
046?”
“Saya ambil nomor 046.”
Adi mengambil kunci kamar yang telah
disodorkan padanya lalu memberikannya pada Santoso.
“Bisa kau tunjukkan kamarnya
padaku?”
Sang resepsionis memanggil salah
satu bellboy yang sedang bertugas
mengantarkan makan siang ke kamar pengunjung hotel.
“Irwan, tolong antarkan bapak ini ke
kamar nomor 046 di lantai dua.”
Tanpa banyak bantahan, Irwan, sang bellboy mengantar kedua lelaki itu ke
kamar tujuan. Sang bellboy memakai
rompi hitam dengan dasi kupu-kupu melingkar di leher. Model rambut klimis
dengan sisiran samping. Ia tampak tak mau berbicara dengan Adi dan Santoso. Ia
lebih memilih berkonsentrasi pada dirinya sendiri. Setelah lift tiba di lantai
dua, sang bellboy memilih berjalan
lebih dahulu di belakang mereka.
Kebetulan, Santoso melihat sebuah
toilet umum berada di sebelahnya. Sebuah ide cemerlang terbesit di dalam benak.
Sang bellboy jatuh tergeletak begitu sikutan tajam Santoso mengena telak
di bagian tengkuk. Keadaan lorong hotel yang sepi, begitu menguntungkan rencananya.
Santoso menyeret tubuh lelaki berpenampilan rapi itu ke dalam toilet. Di sana,
ia melucuti pakaiannya dan pakaian milik sang bellboy hingga sepatu miliknya.
“Sayang sekali kita hanya punya satu
pakaian,” ungkap Santoso sambil mengenakan pakaian sang bellboy yang telah
dilucuti.
“Untukmu, Adi, kau harus berada di
belakangku, mengerti?” instruksi Santoso pada Adi.
“Terserah apa katamu. Dan yang harus
kauingat, jangan melakukan hal yang tidak-tidak dengan istriku atau kau akan
kuhabisi.” Telunjuk Adi mengacung tajam ke wajah Santoso.
Santoso tersenyum sinis menanggapi
ancaman yang dilayangkan padanya. Ia keluar dari dalam toilet dengan membawa
rak beroda berisi satu paket makan siang dilengkapi hidangan penutup dengan dua
gelas air putih. Adi berjalan di belakang punggung Santoso.
Kamar 045 memang berada di pertengahan kamar
nomor 046 dan 044. Dan sedikit lagi menuju tangga lantai tiga. Santoso mengetuk
pintu kamar 045 berharap penghuni kamar memperbolehkan masuk.
“Pak, paket makan siang sudah
datang,” ucap Santoso dari luar pintu. Begitu mendengar pesanan sudah datang,
sang penghuni kamar membuka pintu, membiarkan Santoso masuk.
Adi yang berdiri di belakang Santoso
tak sanggup mengeluarkan sepatah kata punmenyaksikan Robert dan Cahyana,
istrinya, berselimutkan kain putih bercumbu sambil berpagut mesra. Aliran darah
yang mengalir di otak berdesir kencang. Adi benar-benar tidak bisa menahan letupan
amarah yang mengguncang pikiran. Ingin rasanya, ia memenggal kepala Robert dan
Cahyana yang bermain serong. Tapi sial, dia tidak bisa melakukan apa-apa. Ia
bagaikan penonton sinema yang hanya bisa memprotes acting para aktor dan aktris dari layar kaca.
Dari tempat ia berdiri, Adi melihat
Santoso sedang menyiapkan makan siang di atas meja kecil. Santoso sedang menghunus
perlahan parang yang terselip di pinggang.
“Makan siang sudah siap, Pak.”
Saat Robert menolehkan kepala ke
arah bellboy, ia tidak menyadari
kalau sebilah parang sedang melayang ke arah lehernya.
“Arrrgggghhhh!”
Robert tak sempat mengelak. Parang
Santoso berhasil menembus setengah batang leher Robert. Darah sudah berhamburan
di mana-mana. Menyembur deras bak selang bocor. Darah di dalam mulut Robert
meleleh, menggenangi raut wajahnya yang tampan. Santoso menarik lagi parang
dari leher Robert lalu menancapkan tepat di jantung.
Tubuh Robert mengenjang keras ke
atas. Serasa nyawanya dicabut paksa dari raga. Uratnadi mata ikut memerah,
menikmati tikaman kepedihan tepat di titik denyut jantung. Napas terakhir
Robert telah berpulang pada Sang Pencipta.Tubuh Robert perlahan turun dengan parang
yang tertancap di dada.
Kedua bola mata Santoso berpaling
cepat ke arah Cahyana. Perempuan muda itu kebakaran jenggot melihat kematian
Robert yang begitu mengenaskan di depan mata kepalanya sendiri. Kedua tangan
Cahyanameraba membabi buta mencari kunci kamar yang diletakkan Robert sehabis
ia mempersilahkan Santoso masuk ke kamar.
“Kau milikku, wanita jalang!”
Santoso menyimpul senyum jahat sambil menarik parang yang tertanam di dada
Robert.
Santoso semakin dekat. Air mata
Cahyana tak henti meluruh. Ia belum juga menemukan kunci itu. Debaran jantung semakin
memacu gerak tangan meraba setiap celah celah tersembunyi. Santoso tinggal
selangkah lagi di hadapannya.
“Jangan kau bunuh dia, bajingan
sialan!”
Santoso tidak mempedulikan makian pedas
Adi. Ia memandang tubuh molek Cahyana tertutupi kimono putih. Cahyana mundur
pelan-pelan dari hadapan Santoso. Sementara, lelaki itu sudah siap melampiaskan
ledakan berahi yang membuncah di ubun-ubun.
“Jangan sakiti aku... ampuni aku...,
huhuhu,” pinta Cahyana dengan mimik memelas.
“Santoso, jangan kau sakiti dia! Aku
tak mengampunimu kalau kau berani menyentuh dia!”
Nada ancaman itu tak membuat Santoso
gentar melancarkan aksinya. Saat Cahyana dalam kondisi terjepit, Santoso
menubruk tubuh Cahyana hingga tempurung kepala terbanting ke lantai.
“Cahyana!”
Usai melampiaskan hasrat, Santoso
mendaratkan ujung parang di kening Cahyana. Perempuan malang itu melolong keras.
Bola mata Cahyana seakan menyeruak dari rongga mata. Sukma Cahyana telah pergi
untuk selamanya.Lantai kamar bermandikan darah merah nan kental.
“Aku sudah menyingkirkan semua orang
yang telah menghancurkan hidupmu, Adi. Sekarang, kau bisa memulai segalanya
dari awal tanpa ada yang mengganggu,” ucap Santoso sambil menghampiri Adi yang
sedari tadi hanya mematung tanpa bisa menghentikan aksi brutal Santoso.
“Kau...,”
Adi tak bisa menahan amarah lebih
lama. Ia sudah mengumpulkan semua kekuatan pada cengkeraman tangan yang
memegang guci porselen. Tanpa banyak kata, guci yang dipegang Adi mengenai
kening Santoso.
“Ough! A-apa-apaan ini, teman? Kau
melukaiku?”ringis Santoso seraya memegang keningnya yang memancarkan setitik
darah.
“Aku bukan temanmu! Aku tidak
mempunyai teman pembunuh sepertimu! Kau sudah
merenggut segalanya dari hidupku!” maki Adi skeuat tenaga. Ia tidak
peduli kalau suaranya akan menarik perhatian seluruh penghuni hotel.
“Inikah balasan yang kudapat setelah
aku menolongmu lepas dari penderitaan...? Kalau begitu..., MATILAH!” Santoso
siap melayangkan parang ke kepala Adi. Adi secepat kilat menahan pergelangan
tangan Santoso lalu memutarnya ke kanan.
Santoso menjerit kesakitan. Adi
berhasil melepas parang itu dari tangannya. Ia mengarahkan tempurung lutut ke
perut Santoso seraya memberikan bogem mentah berkali-kali ke wajahnya.
Wajah lelaki itu dihiasi luka lebam
dan luncuran darah dari lubang hidung. Hampir saja tubuh Santoso oleng. Untung,
lutut kanannya masih bisa menyangga badan sehingga posisi lelaki itu sekarang setengah
bertelut. Ia memanfaatkan posisi ini untuk menggapai parang yang tak jauh
darinya. Menyadari bahaya akan segera datang, Adi langsung menubruk punggung
Santoso.
“Lepaskan aku, bangsat!” damprat
Santoso sambil meronta-ronta berharap Adi akan melemahkan kunciannya.
“Aku tidak akan membiarkanmu
mendapatkan parang itu!”
Dari belakang, tangan kanan Santoso
berusaha menggapai wajah Adi sebisa mungkin. Ia cukup terdesak dengan
perlawanan Santoso. Adi berusaha menyingkirkan wajahnya dari cengkeraman tangan
Santoso. Sementara perhatian Adi tertuju pada tangan kanannya, tangan kiri
Santoso pelan-pelan mengendap, mengincar parang yang sedikit lagi bisa ia raih.
Ternyata Santoso salah besar. Adi
melirik ke kiri. Tinggal sedikit lagi jemari Santoso menyentuh gagang parang.
Adi langsung sigap meraih dua jari Santoso, menekannya sampai menyentuh
punggung tangan.
“Arrrggghhh! Sakiittt!!!”
Santoso tak henti meraung kencang.
Ia mengerahkan seluruh kekuatan untuk mengubah posisi kuncian. Sekarang giliran
Adi yang terjebak dalam kuncian Santoso. Sambil menahan pedih, Santoso menarik
parang itu dengan ketiga jarinya. Menggenggam dengan posisi jari kurang
sempurna. Ujung mata parang sudah menghadap wajah Adi.
“Sekarang kau milikku...!” bisik
Santoso. Tatap mata Santoso menyala tajam.
Adi bertahan sebisa mungkin dari
cekikan tangan Santoso. Tangan kiri Adi masih berusaha meraihleher Santoso,
balas mencekik. Sementara tangan kanan bersiap membelokkan hunjaman parang
Santoso.
“Akh!”
Kelopak mata Santoso terbuka lebar.
Ia tak menduga Adi akan menggunakan tangannya untuk mengarahkan parang ke dada,
menembus tulang selangka. Santoso mundur perlahan. Tubuhnya terhuyung-huyung
sambil merintih kesakitan.
Adi mencoba bangkit berdiri,
memegangi lehernya yang hampir mati rasa. Tanpa ragu-ragu, Adi menarik parang
itu dan mengarahkan ke perut Santoso.
Bola mata Santoso mendelik dua kali
lebih lebar. Seakan ingin melompat keluar dari rongga mata. Hela napas
terputus-putus.Satu per satu. Tubuh tegap Santoso berguncang hebat, dibanjiri
darah di sekujur tubuh. Ia tumbang di
hadapan Adi.
Adi mengembuskan napas lega
menghayati kemenangan yang diterima begitu menghabisi Santoso. Puas. Semuanya
telah berakhir. Saat dirinya mendekati pintu, Adi mendadak jatuh berlutut.
A-a-ada
apa ini?! tanya batinnya heran.
Mata Adi berputar-putar cepat,
memeriksa apakah ada yang aneh dengan dirinya. Setelah jeli diamati, astaga! Ia
melihat dari kemeja biru muda yang dikenakan, darah segar sudah merembes dari
luka di dada.
Dari
mana datangnya luka ini?
Satu pertanyaan belum terjawab, Adi
dikejutkan lagi dengan luka tusuk di perut. Ia tidak tahu mengapa parang yang
digunakan untuk membunuh Santoso, bisa tertanam seperempat bagian di sana.
Tidak
mungkin! Aku tidak mungkin—
Adi menurunkan kedua belah tangan
yang digunakan menjenggut rambutnya. Ia melotot kaget seolah tak percaya dengan
apa yang terdapat di telapak tangannya—darah.
Berarti...
aku...,
Adi hampir menemukan titik terang atas
kejadian yang terjadi padanya. Namun, sebelum ia menyadari, wajah letih
bercampur panik sudah terlebih dahulu mencium
permukaan lantai keramik. Di ambang kesadaran, ia masih bisa mendengar
suara gebrakan pintu dari luar.

