Aku menggenggam seluruh jemari wanita yang berada di sampingku.
Lembut. Selembut pintalan benang sutra. Terbuai. Aku terbuai dalam ilusi yang
terpancar lewat tatapan mata. Aku dan dia berada di surga keabadian. Bersenda
gurau begitu lepas seolah dunia tak lagi mengganggu kemesraan kami. Kubelai
wajah suci tak bernoda kala aku dan dia larut dalam anggur cinta yang
memabukkan akal pikiran. Tak kujumpai setitik cela dan noda di lengkungan wajah
manis nan ayu. Apakah keindahan rupa yang membuatku terpikat padanya? Atau nafsu
berahi yang begitu membara menginginkannya menjadi kasihku?
+++
Sudah ketiga kali aku mengerjapkan
kelopak mataku. Mengajakku untuk bangkit dari tidur lelap sepanjang malam
berlalu. Tapi tubuhku enggan beranjak dari sana ketika kulewati rangkaian mimpi
indah yang terlalu sayang diakhiri. Namun, aku harus menjalani hari-hari
pemberian sang Tuhan saat berkas sinar begitu keras menerpa mataku.
Sebelum diriku benar-benar
meninggalkan kamar, kulihat sebuah raga terkulai lemah di balik selimut putih.
Dia sudah membuka kelopak mata dengan kornea hitam kecoklatan. Kudekati dan
kusingkap sedikit selimut yang menudungi tubuhnya. Ketika hendak mengangkat
selimut itu, dia memelototiku penuh murka. Aku tak tahu apa yang terjadi
dengannya.Tapi yang pasti, aku sudah mengetahui alasan mengapa dia tak mau
melepaskan selimut itu.
“Mengapa dunia selalu memberikan
duka kepada insan lemah? Tapi aku begitu bodoh, mengapa aku tak sanggup
melawan? Apakah aku turut menikmati aliran cinta yang merasuk ke otakku? Apa
racun yang disuntikkan ke dalam nadiku sehingga aku rela jatuh ke dalam peluk
mautmu, kak Alvaro?” tanya Aretha dengan suara lirih.
Aku tidak mengerti dengan apa yang
dikatakan oleh Aretha. Aku bisa saja marah besar dengan perkataan adikku yang
begitu menohok hati. Tapi, aku berusaha sabar meskipun batin bergejolak hebat
bak lahar gunung berapi yang siap meledak.
“Apa maksud perkataanmu, Adikku?
Siapa yang mengatakan dirimu lemah? Siapa yang mengatakan kau bodoh? Dan perlu
kautahu, tidak ada racun yang kucekok ke dalam nadimu.” Aku duduk di samping
Aretha yang masih terbaring dalam tudungan selimut.
“Mengapa kau tega melakukan hal ini
pada adik kandungmu sendiri, kak Alvaro?! Kenapa?! Tidakkah kau menyesal dengan
apa yang kaulakukan? Tidakkah kau—“
“CUKUP! Aku melakukan hal ini karena
aku begitu menyayangimu, Aretha!”
Emosiku melonjak drastis ketika
adikku lagi-lagi mengatakan perkataan yang begitu nyeri di telinga. Mulut
Aretha bungkam, tak bersuara melihat kemarahan kakaknya yang sudah berada di
tiitik puncak. Aretha memalingkan pandangan ke kiri tak mau beradu tatap
denganku.
“Aku ingin kau menjadi kekasihku,
Aretha. Menemanimu sampai ajal menjemput sukma kita berdua. Aku tak ingin
lelaki lain bersanding dengan dirimu. Aku telanjur mencintaimu. Aku sangat
menyayangimu lebih dari rasa sayang ibu yang melahirkan kita dan cinta kasih
ayah kita padamu. Aku ingin meleburkan segala perasaan yang terpendam begitu
lama di relung hatiku. Dan ranjang suci
ini, telah menjadi saksi bahwa kita telah mengikatkan hubungan lahir dan batin
dilandasi dengan cinta kedua belah pihak. Yaitu kau dan aku, Aretha,” jelasku
panjang lebar.
Saat aku mencoba menjamah pipi
Aretha, sungguh tak kuduga cairan bening berbuih mendarat secepat kilat di
wajah tampanku. Rasanya, aku seperti tidak bisa menahan getaran di tanganku
untuk mendaratkan bogem mentah di wajah Aretha. Lagi-lagi, aku berusaha meredam
emosiku. Aku tidak ingin kepalan tanganku menghancurkan wajah ayu pemberian
sang Tuhan. Lewat tatapan mataku, aku ingin menyelami kedalaman pikiran adikku
sekaligus mencari jawaban tepat mengapa dia bisa bertindak selancang itu
padaku.
“Kau gila, Alvaro! Kau gila!”
Gumpalan kecil air mata mulai
menggenang di pelupuk mata Aretha. Siap menetes, membasahi wajah yang
berhiaskan ketegangan, tadi. Aku ingin menghapus air mata itu tapi Aretha malah
menghardikku.
“Pergi kau! Aku tidak ingin melihat
wajahmu di tempat ini! PERGI!”
Aretha menutup raut wajah yang sudah
dibanjiri air mata dengan selimut yang digenggamnya. Sebenarnya, aku tak tega
meninggalkan dirinya sendirian di sana. Tenggelam dalam kedukaan mendalam. Tapi
melihat lontaran emosi yang terucap dari bibir tipisnya, mau tak mau aku, harus
beranjak dari kamar.
Mengapa
kau tidak bisa melihat dalamnya cintaku padamu, Aretha? Apakah kebencian sudah
menghanguskan seluruh benih-benih cinta yang kutanamkan dihatimu, Adikku?
Apakah rasa sayang yang kumiliki dan kupersembahkan padamu adalah salah besar
bahkan dosa besar? Bukankah, cinta tidak mengenal siapa dan kapan dirinya akan
singgah di hati seseorang? Kalau cinta itu salah momen dan salah insan, bisakah
diriku menggugat kegilaan yang diberikan sang Tuhan padaku?
Aku menepis semua prasangka buruk yang meliputi otakku. Aku yakin
Aretha mencintaiku. Hanya butuh waktu agar Aretha bisa merasakan tulusnya
kasihku padanya. Aku ingin mengganti kasih sayang ayah dan ibu yang telah lama dirantai
belenggu karier. Mereka melupakan bahwa kami bukan hanya butuh materi tapi juga
butuh kasih sayang. Tapi aku tak menyesali hal itu. Sebagai seorang kakak
sekaligus kekasih, aku harus bisa mengayomi adik sekaligus kekasih hatiku,
Aretha. Aku harus sanggup memanggul beban yang berat itu. Dan kutahu Tuhan
pasti akan membantuku. Dan sekarang yang kulakukan adalah membuat sarapan dan
mengantarkan pakaian Aretha ke kamarku. Akan tetapi, aku harus menyuruhnya
mandi terlebih dahulu. Membasuh tubuhnya lembut dari sisa-sisa pergumulan tadi
malam.

No comments:
Post a Comment