Menggali. Terus
menggali. Itu yang sedang dilakukan Alvaro saat ini. Ia ingin mengambil media
yang digunakan untuk membangkitkan saudara gaib miliknya. Kedua tangan masih
menggenggam erat bongkol cangkul agar tak lepas. Suara cangkulan tanah beradu
cepat dengan detak jantung Alvaro. Bulir-bulir keringat menetes membasahi
kening lelaki itu tanpa disadari.
Alvaro sudah menggali lubang sedalam
lima puluh sentimeter. Tatap mata begitu sumringah ketika ia melihat sebuah
bungkusan kain putih bercampur noda tanah. Alvaro menelungkupkan badan kemudian
mengambil bungkusan itu. Ia menatap bungkusan itu penuh kemenangan lalu sesegera
mungkin pergi dari sana.
“Apa yang mau kau lakukan dengan
bungkusan itu?” tegur suara asing yang berasal dari belakang.
Alvaro tersentak kaget. Badannya
menegang. Langkah kaki belum sempat menjauh dari bekas lubang galian. Lelaki
berambut gondrong itu mengumpulkan sedikit demi sedikit keberanian untuk
memastikan pemilik suara itu.
“Kau... Aretha,” kata Alvaro
setengah tak percaya.
“Mau kau apakan bungkusan itu?” kata
Aretha lagi.
Alvaro bungkam sejenak. Ia mencoba
menyusun rangkaian kata demi kata untuk dijadikan jawaban yang tepat atas
pertanyaan Aretha.
“Kau mau melenyapkanku setelah semua
kebaikan yang kulakukan padamu?” Aretha semakin intens mengintimidasi Alvaro.
Alvaro tahu semua kebaikan yang
telah diberikan saudara kembarnya, Aretha.
+++
Masih terngiang jelas di ingatan,
ketika Soraya, gadis yang begitu diidam-idamkan Alvaro, menolak pernyataan
cintanya secara mentah-mentah. Bukan hanya menolak tapi kata makian dan cacian
begitu mudah keluar dari bibir tipis dan seksi milik Soraya. Alvaro yang
terbakar api dendam, mencari berbagai cara untuk membalaskan dendam.
Alvaro mulai membuka internet,
mencari informasi detil mengenai membangkitkan saudara gaib. Sebenarnya, Alvaro
sudah lama tahu artikel tentang saudara gaib yang katanya bisa melakukan apa
saja yang diinginkan para pengguna. Di artikel yang ditemukan Alvaro, ia harus
menyediakan potongan kuku tangan dan kaki sebanyak tujuh potong, sehelai rambut
dan ia harus membungkus semua dengan kain putih di bawah naungan sinar bulan
purnama pada malam jumat.
Awalnya, Alvaro takut sesuatu yang
buruk akan terjadi padanya. Namun api dendam sudah menghanguskan akal sehat.
Apapun akan dilakukan demi membalas perbuatan Soraya yang sudah kelewatan
menolak dirinya.
Satu malam panjang berganti pagi
indah setelah lelaki muda itu menguburkan bungkusan itu di belakang rumah.
Ketika Alvaro terbangun dari tidur lelap, ia sontak terkejut mendapati seorang
wanita berdiri di samping ranjang. Alvaro mulai mengatur irama napas seraya
menenangkan diri. Ia melihat wajah wanita yang berada di samping ranjang mirip
dengannya.Berambut hitam panjang agak bergelombang. Kini dia sudah berhasil
membangkitkan saudara gaib. Alvaro mendekati wanita itu sambil membicarakan
rencana pembalasan untuk Soraya.
+++
“Tidak. Aku tidak menganggap
kebaikanmu sia-sia, Aretha. Justru, aku harus berterimakasih padamu. Kau
membuat Soraya setengah gila. Aku puas melihat dia tersiksa,” ungkap Alvaro
terbuka.
“Lalu apa untuk apa kau bawa
bungkusan itu kalau bukan kau ingin memusnahkanku, bukan? Kau juga tidak ingat
bagaimana aku berusaha memengaruhi pikiran Anastasya untuk menerimamu?” ungkit
Aretha lagi.
“Aku mengingatnya, Aretha, tapi
mengapa kau mengganggu ayah, ibu dan teman-temanku? Kenapa?” Alvaro tak mau
ditekan oleh roh Aretha, mencoba melakukan perlawanan.
“Kau tahu, Alvaro, sembilan belas
tahun yang lalu sebelum ibumu, oh bukan, ibu kita menikah dengan Sumantyo,
ayahmu, ibu kita sudah lebih dahulu menjalin hubungan gelap dengan Bagas
Hanung, seorang supir angkutan umum,” tutur Aretha dengan seringai menyeramkan.
“Tidak mungkin,” elak Alvaro dengan
wajah shock.
“Segala sesuatu mungkin saja
terjadi. Ibu kita mengandung janin dari benih Bagas. Tapi, lelaki brengsek itu
sudah menghilang entah ke mana. Tak mau nama baik keluarga Galesti Ranu
tercemar, ibu kita menggugurkan kandungan. Dan tahu ‘kan, siapa janin yang
digugurkan itu? Akulah kakakmu, Alvaro.”
“Tidak... tidak mungkin! Jangan
bercanda kau, wanita jalang!”
“Hahaha, terimalah kenyataan,
Alvaro. Sekarang, ibu kita sedang mengandung anak dari benih Sumantyo. Aku tak
mau adik kecilku terabaikan ketika anak dalam kandungan ibu lahir. Jadi, aku
berusaha keras untuk membunuh janin yang dikandung oleh ibu. Kau tahu, adikku,
aku mulai bosan dengan kehidupanku sebagai roh penasaran yang mulai
kaumanfaatkan untuk memenuhi segala inginmu. Aku ingin menikmati kehidupan
nyata sepertimu. Merasakan kasih sayang dari ibu, ayah, dan teman-temanmu,
adikku. Hahaha!”
“Kau gila... Kau gila!” pekik Alvaro
sekencang mungkin. Tangan kiri Alvaro mulai merogoh kantong celana, mencari
pemantik untuk membakar bungkusan itu. Tapi tak disangka, gerak tangan Alvaro
mendadak beku bahkan tak bisa menggerakkan kaki. Tanah yang dipijak seakan
menjadi belenggu tubuhnya.
“Dan sekarang aku butuh tubuh nyata
sebagai wadah rohku. Tapi tubuh siapa lagi yang kupakai kalau bukan tubuh adik
kecilku, ya kan?” Aretha melangkah pelan menuju Alvaro. Ia menatap adiknya
sejenak lalu meremas paksa rahang Alvaro agar terbuka.
Begitu rahang Alvaro terbuka, roh
Aretha perlahan-lahan menyusut menjadi kabut tipis.Memaksa raga lelaki itu agar
mau menyatu dengan dirinya. Alvaro jatuh berlutut. Bungkusan dalam genggaman
tangan terlepas. Ia berusaha melakukan perlawanan dengan mencekik leher lalu
membenturkan kepala ke permukaan tanah agar roh Aretha keluar dari raganya.
Tapi usaha yang dilakukan tak membuahkan hasil. Tubuh Alvaro mengejang hebat,
menggelepar ke segala arah bak ikan mas yang diletakkan di daratan.
“ARRRGGGGHHHH!!!”
Pekikan mahadahsyat Alvaro terbenam
begitu saja dalam kegelapan pekat. Kedua kelopak mata mengerjap beberapa kali
hingga kesadaran Aretha memulih.
Begitu tingkat kesadaran naik seratus
persen, Aretha meraba-raba raga yang ditempati saat ini. Mulai dari rambut
sampai ujung kaki. Semua tampak nyata dan bisa pegang oleh tangannya. Deraian
tawa Aretha memecah dari mulutnya ketika usaha yang dilakukan untuk merebut
raga Alvaro telah berhasil. Sementara roh Alvaro hanya bisa memandangi raga
miliknya ditempati roh asing.
“Terimakasih ya, Adikku, kau sudah
memberikan ragamu secara cuma-cuma. Aku akan memakai ragamu untuk keperluanku.
Dan nikmatilah kehidupanmu sebagai makhluk halus. Bye.” Aretha meninggalkan Alvaro begitu saja sambil mengambil
bungkusan kain putih yang tergeletak begitu saja di sampingnya. Perempuan itu
tersenyum misterius melihat bungkusan itu. Entah apa yang akan dilakukan Aretha
dengan bungkusan itu, hanya dirinya yang tahu.

No comments:
Post a Comment