Ribuan
burung bersenandung di angkasa, menyanyikan himne indah nan merdu mengagungkan
kebesaran Sang Pencipta. Awan biru dan tipis masih mengambang di hamparan
langit pagi. Berbagai kalangan mulai dari orang dewasa sampai anak sekolah,
mulai memadati jalan raya. Sinar mentari tidak begitu terik menaungi apa yang
berada di bawah termasuk mobil Merchedes terparkir
rapi di antara puluhan mobil lain di area parkir dekat taman mini hotel.
Di koridor hotel tampak sepasang
kekasih beranjak keluar dari kamar mereka. Sang pria merangkul pundak si
perempuan lalu mendekatkan wajah sang wanita ke bibir sang pria. Wanita muda
nan jelita itu tersipu malu sambil mengulas senyum kecil. Cahyana tidak
menyangka, Robert berani menunjukkan sifat romantis di muka umum. Namun, saat
ini suasana di koridor tidak begitu ramai. Tidak begitu sepi.
Robert menekan tombol otamatis di
kunci agar pintu mobil terbuka sendiri. Ia menyuruh Cahyana masuk ke dalam
terlebih dahulu disusul dirinya.
Begitu keduanya sudah berada di dalam, Robert tidak
langsung menyalakan mesin mobil. Kedua bola mata lelaki itu jernih tanpa kotoran menatap lekat ke dalam
bola mata Cahyana. Perempuan itu hanya membalas pandang lelaki yang ada di
sampingnya. Pancaran gelombang elektromagnetik transparan seolah mengirimkan
pesan tersembunyi yang hanya dimengerti keduanya. Mereka tak menyadari kalau
bibir mereka mulai mendekat satu sama lain.
Robert perlahan memundurkan kepala
kemudian disusul Cahyana. Tidak butuh waktu lama, mereka sudah melepaskan
pagutan bibir masing-masing.
“Aku tidak tahu kalau kamu bisa
seromantis ini pada perempuan,” ucap Cahyana seraya memuji.
“Benarkah?” tanya Robert tak percaya.
Cahyana menganggukkan kepala
sebanyak dua kali sambil belahan bibirnya mengulum senyum indah.
“Terimakasih, Cahyana. Aku senang
dengan pujianmu, tapi, bolehkah aku bertanya padamu?”
“Apa itu?” balasnya.
“Perihal pernikahanmu dengan Adi.
Apakah kamu benar-benar mencintai suamimu?”
Cahyana agak tersentak mendengar
pertanyaan dari Robert. Otak kiri Cahyana sedang menyusun kata demi kata,
mempresentasikan jawaban logis atas pertanyaan lelaki itu.
“Awalnya, aku menikahi dirinya atas
nama cinta tetapi entah mengapa cinta yang selama ini kupersembahkan padanya,
meluntur sedikit demi sedikit. Lagi, dengan sikapnya yang suka mendadak aneh,
membuat aku takut padanya. Dan perlu kamu tahu, Robert, dia tidak bisa memenuhi
kebutuhan pribadiku. Untung saja, toko butikku laris manis jadi aku bisa
memenuhi kebutuhanku dari usaha sendiri. Bahkan, rumah yang kami tinggali saat
ini, sebagian besar dibeli memakai uangku. Dia hanya menambah sedikit dari uang
miliknya.”
Robert tertegun dengan apa yang
diceritakan Cahyana. Terkadang, wajah rupawan dan kekayaan melimpah bisa
membuat seseorang jatuh cinta. Tapi, mereka lupa akan esensi cinta sesungguhnya.
Wajah rupawan perlahan menua dimakan usia. Kekayaan melimpahbisa saja raib
ditelan kebutuhan yang semakin meningkat dan beragam-ragam, sesuai dengan hati
manusia. Robert memang tidak menang di segi wajah tapi dia menang di segi
material. Ia bisa memenuhi semua yang diinginkan dan dibutuhkan Cahyana. Pun,
tidak sulit baginya memperoleh berlembar-lembar rupiah yang selalu berbaris
rapi di dalam dompet.
Tapi, ada satu perkataan Cahyana
yang terekam jelas di pikirannya—suka mendadak aneh. Apa maksud dari perkataan
itu? Robert berusaha menanyakan hal itu langsung pada perempuan yang duduk di
sampingnya.
“Sedikit hal yang ingin kutanyakan
padamu. Apa maksudnya ‘suka mendadak aneh’? Bisa kau jelaskan padaku?”
“Maaf, Robert, saat ini aku tidak
tertarik menceritakan hal itu padamu. Perlu kau tahu, dari lubuk hatiku yang terdalam,
aku mulai mencintaimu... aku ingin meninggalkan Adi dan hidup bersamamu,
Robert.”
Robert sejenak melihat ke arah wajah
Cahyana. Ia ingin mengetahui, apakah ada kejujuran tersirat di dalam kata-kata
yang begitu mantap mengumbar cinta. Cahyana menyunggingkan senyuman manis
ketika lelaki itu memalingkan pandangan. Robert pun tak ingin membohongi
perasaannya sendiri. Ia juga menginginkan Cahyana, seutuhnya. Namun, Robert
masih memikirkan perasaan Adi ketika mengetahui sang istri berpaling hati dan memilih
dirinya sebagai pengganti.
“Sebenarnya, aku juga mencintaimu,
Cahyana. Sejak pertama kali kita bertemu, secercah perasaan telah bersemi di
lubuk hatiku, tapi tak pernah terpikir olehku bagaimana cara agar kau bisa
mengkhianati suami dan meninggalkannya. Tidak sama sekali. Aku ingin engkau
menjelaskan padanya kalau kau ingin mengakhiri perjalanan rumah tangga kalian
secara baik-baik, tanpa tersimpan dendam dan penyesalan di hati yang
meninggalkan dan ditinggalkan.”
Cahyana mencoba menerjemahkan maksud
perkataan Robert. Jika ditelaah dengan baik, tak ada perpisahan yang tidak
menimbulkan luka dan penyesalan. Sekalipun mereka melakukan secara baik-baik
dan tidak sepihak. Memang, pernikahan ia dengan Adi baru menginjak usia tujuh
bulan tapi Cahyana tahu, kalau Adi benar-benar mencintai dirinya, setulus hati.
Seolah cinta yang diberikan Adi bagai aliran sungai yang tak pernah berhenti di
kala panas sengatan mentari dan dingin udara malam. Namun, Cahyana merasa kalau
cinta yang berada di hati tak membara seperti pertama kali ia bertemu dengan Adi.
Perlahan mendingin dan beku bagai bongkahan es kutub Utara. Ada cinta lain
mencoba berusaha melengkapi kekosongan di hati.
“Aku pun juga belum menemukan caranya tapi jika kau terpaksa
meninggalkannya, hubungi saja aku. Aku selalu siap menjemput dirimu.”
Robertmemecah keheningan dalam kebisuan Cahyana. Ia mencoba menerka-nerka apa
yang ada di dalam pikiran perempuan itu. Dan berharap, terkaannya menunjukkan
kebenaran.
Cahyana mengangguk lemah menanggapi
perkataan Robert. Ia memilih mengakhiri pembicaraan begitu mobil Merchedes
milik Robert akan tiba di kediaman Cahyana kira-kira 200 meter lagi.
Keempat roda mobil milik Robert
berhenti bergulir saat jemari kaki menekan pedal rem, begitu lembut. Cahyana
membuka pintu samping, mengeluarkan kaki jenjangnya diikuti dengan seluruh
tubuh.
“Sampai jumpa, Robert,” ucap wanita
itu pada Robert. Robert tersenyum kecil membalas salam perpisahan Cahyana.
Robert memelesatkan jauh mobilnya meninggalkan kediaman Cahyana.
Cahyana melangkah menuju pagar
rumah. Tapi, ada satu keanehan yang terlihat saat ini. Ia tidak melihat gembok
yang mengunci pagar rumah. Cahyana tak mau ambil pusing. Tubuhnya juga sudah
lelah.Butuh tidur cukup setelah melakukan banyak aktivitas bersama Robert
termasuk pergelutan berahi di dalam selimut semalaman.
Pintu tersingkap saat tangan lembut
Cahyana menjamah gagang pintu.
Mengapa
Adi lupa untuk mengunci pintu? Bagaimana kalau pencuri masuk dan menjarah semua
harta-hartaku? Cahyana bersungut-sungut dalam hati melihat kelakukan
suaminya yang ceroboh. Ia berharap bisa menemukan Adi, menegur tindakannya yang
terkesan kurang berhati-hati.
“Sayang... Sayang.Kamu di mana?”
panggil Cahyana dari ruang tamu. Ia tak kunjung mendapat sapaan dari Adi ketika
ia memanggil suaminya berulang kali.
Cahyana memutuskan berjalan terus ke
kamar. Ia beranggapan kalau suaminya sedang tertidur pulas sehingga
berkali-kali dirinya memanggil, ia tak dengarkan.
Tapi, ada suasana beda di dalam
rumah. Kesunyianseakan merajai seisi ruangan rumah. Derap kaki Cahyana bagai
ledakan bom kecil di tengah kediamannya sendiri. Ada getaran ketakutan
pelan-pelan menjalari pikiran. Cahyana berusaha
menyingkirkan segala perasaan negatif yang mulai menghantui.
Cahyana sudah diperhadapkan dengan
sebuah pintu kayu berukuran 70x190 sentimeter dengan gagang besi di sebelah
kanan. Detak jantung bertalu-talu saat tangan lembutnya menjamah besi yang
menempel di sana. Telapak tangan Cahyana menekan gagang pintu, mendorong pintu
hingga terbuka lebar.
Di sana, ia melihat Adi sedang
berdiri membelakangi dirinya. Cahyana menghampiri suaminya yang masih mematung
di depan ranjang mereka.
“Sayang... Sayang, sedang apa kamu
di sana?” tegur Cahyana hati-hati. Ia tetap menjaga setiap derap telapak kaki
yang menginjak lantai keramik kamar.
Adi sama sekali tidak membalas
pertanyaan istrinya. Bibir terkatup erat seakan-akan diam yang menjadi
satu-satunya jawaban pasti atas pertanyaan Cahyana.
“Sayang, kenapa kamu diam saja?
Jawab aku.” Cahyana sudah berada di hadapan punggung suaminya. Bukannya mengutarakan
jawaban, Adi lantas berbalik badan secepat kilat, melayangkan telapak tangan ke
pipi Cahyana sebelah kanan.
Plak!
Telapak tangan Adi yang lebar beradu
keras dengan lesung pipi yang terpahat permanen di wajah Cahyana. Menimbulkan
tepukan teras yang membuat kepala Cahyana teleng ke kiri.
“A-a-apaan ini?! Kenapa kamu
tiba-tiba menampar saya, hah?!” bentak Cahyana sambil memegangi pipi kanan yang
memerah dan terdapat cap tangan Adi di sana.
“Aku tak menyangka selama ini saya
sudah salah menikahi penipu murahan seperti kamu, Yanna!” balas Adi yang juga
tak kalah murka seperti istrinya. Rupanya, Adi sudah melampiaskan semua amarah
yang menggunung sejak dokter Rama membeberkan tabir rahasia yang selama
disimpan Cahyana begitu rapi.
“Apa maksudmu?! Aku tidak menyangka
kamu bisa berbicara setega itu padaku.” Cahyana tak menyadari bola matanya
mulai memerah, menitikkan setitik air yang meluncur dari samping pelupuk mata.
Bukannya mendapat pengakuan jujur
dari sang istri, Adi mulai naik pitam dan mendorong tubuh istrinya ke lemari
yang berada di belakang Cahyana.
Bruukkk!
Cahyana mengerang kesakitan ketika
punggung menghantam keras kayu yang menutupi seisi pakaian. Ia juga memegangi
tempurung kepala yang ikut merasakan benturan yang dibuat suaminya.
Adi mencengkeram kedua pundak
Cahyana lalu mengarahkan tatapan mata menusuk dan tajam ke arah mata istrinya.
“Tidak usah bermain drama lagi,
Yanna! Kamu pikir sepintar apapun dirimu menyembunyikan bangkai, suatu hari
pasti aromanya akan tercium juga. Aku sama sekali tidak berpikir, ternyata kamu
bersekongkol dengan dokter Rama untuk menipuku sekeji ini. Mengapa kamu tidak
jujur kepadaku kalau aku mandul, Yanna?! Seandainya, kau mau jujur padaku, aku
tidak akan menaruh harapanku terlalu besar untuk mempunyai anak! Apa yang
sebenarnya ada di pikiranmu?!”
Air
muka Adi tak bisa menyembunyikan kekecewaan yang begitu dalam atas
kebohongan yang diperbuat istrinya. Ingin sekali Adi membenturkan kepala
Cahyana berkali-kali ke lemari kayu yang ada di depan saat ini. Tapi, lelaki
itu mengurungkan niat dengan alasan ia masih menyayangi istrinya walaupun
perbuatan yang dilakukan belum bisa diterima oleh lelaki itu.
“Aku terpaksa melakukannya karena
aku juga menyayangimu, Adi. Aku mau membuatmu terpuruk dengan kondisimu yang tidak bisa menghasilkan
keturunan untuk keluarga kita. Aku tidak punya jalan lain selain membohongimu
dan membuatmu seolah-olah berharap kalau aku akan mempunyai anak begitu aku
lepas dari pekerjaanku. Sekali lagi, maafkan aku, Adi. Maafkan aku,” tutur
Cahyana sambil meneteskan bulir-bulir air mata seraya mendekati suaminya.
“Jangan mendekat!” hardik Adi seraya
mengacungkan jari telunjuk di muka istri. “Pergi kau dari hadapanku! Pergi!”
Melihat kondisi Adi yang terbakar
api amarah, Cahyana memilih menarik diri dari hadapan suaminya. Ia berbalik
badan sembari melewati pintu yang sedari tadi terbuka. Sebelum melangkah lebih
jauh, ia melihat suaminya duduk di atas ranjang sambil menundukkan kepala
menghadap lantai.
Terbesit belas kasihan Cahyana menyaksikan
kondisi suaminya amat frustrasi. Ingin sekali ia menghampiri, mengusap-usap
lembut punggung suaminya agar segala kesedihan yang mendera berkurang dratis.
Tapi itu tak mungkin dilakukan. Cahyana menyadari ia adalah akar permasalahan
yang menyebabkan kondisi suaminya seperti itu. Ia memilih terus menjauh hingga
tiba di pintu keluar. Sesampainya di pekarangan rumah, Cahyana membuka kontak handphone, menghubungi salah satu nomor
yang tertera.
“Halo, Robert.”
“Halo, Cahyana. Ada apa kamu
menghubungiku?”
“Ceritanya panjang, tapi bisakah
kamu menjemputku di rumah?”
“Oh kebetulan sekali. Aku juga
sedang dalam perjalanan menuju Danau Toba. Kami segenap kru film akan melakukan
shooting pertama di sana. Dan
kuusahakan, aku akan tiba di rumahmu secepatnya.”
“Baiklah. Aku akan menunggu di depan
pagar rumahku. Cepat, ya.” Cahyana mematikan handphone sembari bergerak keluar dari kediamannya, menunggu
kedatangan Robert.
Sementara itu, Adi masih membenamkan
wajah dalam tangis pilu. Ia masih tidak bisa menerima kenyataan kalau Cahyana
tega membohongi dirinya. Cucuran air mata masih setia membasahi lantai keramik
kamar. Urat saraf bola mata Adi memerah. Kelopak mata masih sembap, dibasahi
bulir-bullir air mata yang masih menggenang di sana.
Adi tak menyangka kalau wanita yang
selama ini disayang, dipuja, dan diagung-agungkan akan mengkhianati dirinya
begitu kejam. Adi perlahan mengangkat wajah, menegakkan posisi badan sambil
menghapus sisa air mata yang menempel di wajah. Ia tak melihat Cahyana berada
di kamar. Mungkin istrinya sudah pergi ke negeri antah berantah yang tidak bisa
ditemukan olehnya. Atau, pulang ke rumah orang tuanya sambil membawa
berjuta-juta keluh kesah yang terbalut air mata kesedihan. Jika seandainya,
perceraian adalah satu-satu jalan menyelesaikan persoalan ini, ia harus siap
menempuh jalan menyakitkan itu. Tapi, ia belum siap menerima jalan itu. Ia
masih mengharapkan berbagai kemungkinan yang bisa menyelesaikan persoalan ini
tanpa harus melewati jalan perceraian. Pasti ada jalan.
Adi merebahkan tubuh di atas
ranjang. Alam pikir mengawang jauh entah ke mana arah dan tujuan. Dirinya masih
ingat saat ia dan Cahyana berjumpa pertama kali di toko butiknya. Keduanya
hanya berpacaran selama tiga bulan. Setelah itu, Adi memantapkan niat untuk
melamar Cahyana di depan orang tuanya. Dan kini apa yang telah dilewatinya
tinggal menyisakan puing-puing kehancuran. Kebohongan dan pengkhiatan
merongrong pondasi kejujuran dan keterbukaan yang selama ini dijunjung tinggi Adi
dan istrinya.
“Aku tidak habis pikir mengapa
wanita jalang itu tega menyakiti ketulusan hati sahabatku.”
Dalam pembaringan, Adi mendengar
secercah suara yang berasal dari kamarnya. Adi membangkitkan badan seraya
memastikan siapa pemilik suara bariton itu.
“Kamu? Kenapa kamu bisa berada di
sini?” tanya Adi sambil menghampiri lelaki yang berada tak jauh dari
ranjangnya.
“Jangan pedulikan di mana tempat
tinggalku sekarang tapi aku harus benar-benar mengungkapkan siapa jati dirimu
sebenarnya, Adi.” Lelaki yang berada di depan Adi hanya menyeringai.
“Apa maksud perkataanmu itu? Dan
siapa yang kau sebut sahabat? Aku tidak pernah mempunyai sahabat sepertimu. Bripka
Dharmawan adalah satu-satunya sahabat yang kumiliki.”
“Sahabatmu yang Bripka itu ‘kan?
Sayang sekali, dia sudah kuenyahkan dari muka bumi ini, Adi. Sangat berbahaya
jika dia sempat mengetahui jati diriku. Bisa-bisa kau juga ikut terancam, Adi.”
“Jadi... kau...,” Lidah Adi tak
mampu meneruskan perkataan. Ia tak menduga kalau lelaki itulah yang sudah
menghabisi sahabat terdekatnya.
Luapan amarah begitu berapi-api
terkumpul dalam satu kepalan tangan. Adi melayangkan tinju hingga membuat
lelaki itu tersungkur mencium lantai kamar Adi.
“Silakan kau pukul aku sepuas
mungkin, Adi! Tapi ingatlah, sewaktu kau kecil akulah yang menjadi pelindungmu
dari kekejaman ayah dan ibumu. Akulah yang selalu menemanimu kala kau kesepian
dan teman-temanmu menganggap kau sudah gila, Adi! Tidakkah kau ingat?!” sergah
lelaki itu meskipun hantaman tangan Adi belum usai menerpa wajahnya.
Adi mendadak menghentikan kepalan
tangan sebelum menyentuh wajah lelaki itu. Sakit kepala yang selama ini
menghantuinya datang lagi. Adi terjengkang sendiri, menjauh dari lelaki itu. Denyut
saraf di kepala bak palu menghantam bertubi-tubi. Ia masih memegangi kepala
yang serasa panas dan meletup-letup isinya.
“Siapa kau sebenarnya? Tolong...
katakan padaku..., Arrrgggh,” tanya Adi, meraung kesakitan. Semua jaringan
saraf di otak serasa dibetot sampai keluar dari tempurung kepala.
“Namaku Santoso.Dan yang akan
kulakukan sekarang, membalas semua kejahatan yang pernah dilakukan istrimu padamu.Sekaligus,
mencaritahu apakah Robert adalah biang keladi atas kehancuran rumah tanggamu
dengan Cahyana,” pungkas Santoso sambil mengambil kunci mobil yang jatuh dari
kantong kemejanya.
Sesudah mengambil kunci itu, Santoso
mempercepat langkah menuju garasi. Adi cepat-cepat bangkit menyusul Santoso
yang masih berada tak jauh dari tempatnya berdiri.
“Apa yang mau kaulakukan dengan
kunci itu?”
“Mencari keberadaan Cahyana dan
Robert sampai dapat,” jawab Santoso disertai tatapan nanar. Entah apa yang terjadi,
Adi seperti tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa mengikuti Santoso ke
manapun ia pergi. Keduanya sudah tiba di depan muka pintu garasi. Dengan kunci
yang dipegang saat ini, Santoso menarik tirai alumunium yang menutupi mobil Adi
yang terparkir di sana.
“Apa yang kau mau lakukan dengan
parang itu? Jangan melakukan tindakan nekat pada mereka apalagi pada istriku,
Cahyana. Jangan sekalipun. Jika kau nekat, aku takkan segan-segan membunuhmu!”
Santoso meraih parang yang tergantung
di dinding sebelah kiri di dalam gudang. Tapi, terlebih dahulu Santoso membuang
sarung lalumenaruh parang itu di atas jok mobil.
“Tenang saja, Adi. Ini hanya untuk berjaga-jaga
saja. Bisa saja, mereka berdua berusaha melawan ketika kita mempergoki mereka
sedang berselingkuh.” Santoso mengembang senyumjahat di kedua belah bibir cokelat
seraya menutup pintu samping.
“Cahyana tidak mungkin melakukan
perbuatan senista itu,” bantah Adi.
“Dan sekarang waktunya untuk
menemukan kebenaran. Katakan padaku di mana toko butik milik istrimu berada.”
“Toko itu terletak di pusat kota
Pematangsiantar. Berjarak enam blok dari jalan Surabaya,” jelas Adi cepat.
“Baiklah kalau begitu. Let’s go.” Santoso mendorong tuas
persneling ke depan, meninggalkan kediaman Adi yang kosong tak berpenghuni.

No comments:
Post a Comment