Monday, 6 June 2016

Absurd : Misteri Tiga Wajah Iblis - 14



Ribuan burung bersenandung di angkasa, menyanyikan himne indah nan merdu mengagungkan kebesaran Sang Pencipta. Awan biru dan tipis masih mengambang di hamparan langit pagi. Berbagai kalangan mulai dari orang dewasa sampai anak sekolah, mulai memadati jalan raya. Sinar mentari tidak begitu terik menaungi apa yang berada di bawah termasuk mobil Merchedes terparkir rapi di antara puluhan mobil lain di area parkir dekat taman mini hotel.
            Di koridor hotel tampak sepasang kekasih beranjak keluar dari kamar mereka. Sang pria merangkul pundak si perempuan lalu mendekatkan wajah sang wanita ke bibir sang pria. Wanita muda nan jelita itu tersipu malu sambil mengulas senyum kecil. Cahyana tidak menyangka, Robert berani menunjukkan sifat romantis di muka umum. Namun, saat ini suasana di koridor tidak begitu ramai. Tidak begitu sepi.
            Robert menekan tombol otamatis di kunci agar pintu mobil terbuka sendiri. Ia menyuruh Cahyana masuk ke dalam terlebih dahulu disusul dirinya.
            Begitu  keduanya sudah berada di dalam, Robert tidak langsung menyalakan mesin mobil. Kedua bola mata lelaki itu  jernih tanpa kotoran menatap lekat ke dalam bola mata Cahyana. Perempuan itu hanya membalas pandang lelaki yang ada di sampingnya. Pancaran gelombang elektromagnetik transparan seolah mengirimkan pesan tersembunyi yang hanya dimengerti keduanya. Mereka tak menyadari kalau bibir mereka mulai mendekat satu sama lain.
            Robert perlahan memundurkan kepala kemudian disusul Cahyana. Tidak butuh waktu lama, mereka sudah melepaskan pagutan bibir masing-masing.
            “Aku tidak tahu kalau kamu bisa seromantis ini pada perempuan,” ucap Cahyana seraya memuji.
            “Benarkah?” tanya  Robert tak percaya.
            Cahyana menganggukkan kepala sebanyak dua kali sambil belahan bibirnya mengulum senyum indah.
            “Terimakasih, Cahyana. Aku senang dengan pujianmu, tapi, bolehkah aku bertanya padamu?”
            “Apa itu?” balasnya.
            “Perihal pernikahanmu dengan Adi. Apakah kamu benar-benar mencintai suamimu?”
            Cahyana agak tersentak mendengar pertanyaan dari Robert. Otak kiri Cahyana sedang menyusun kata demi kata, mempresentasikan jawaban logis atas pertanyaan lelaki itu.
            “Awalnya, aku menikahi dirinya atas nama cinta tetapi entah mengapa cinta yang selama ini kupersembahkan padanya, meluntur sedikit demi sedikit. Lagi, dengan sikapnya yang suka mendadak aneh, membuat aku takut padanya. Dan perlu kamu tahu, Robert, dia tidak bisa memenuhi kebutuhan pribadiku. Untung saja, toko butikku laris manis jadi aku bisa memenuhi kebutuhanku dari usaha sendiri. Bahkan, rumah yang kami tinggali saat ini, sebagian besar dibeli memakai uangku. Dia hanya menambah sedikit dari uang miliknya.”
            Robert tertegun dengan apa yang diceritakan Cahyana. Terkadang, wajah rupawan dan kekayaan melimpah bisa membuat seseorang jatuh cinta. Tapi, mereka lupa akan esensi cinta sesungguhnya. Wajah rupawan perlahan menua dimakan usia. Kekayaan melimpahbisa saja raib ditelan kebutuhan yang semakin meningkat dan beragam-ragam, sesuai dengan hati manusia. Robert memang tidak menang di segi wajah tapi dia menang di segi material. Ia bisa memenuhi semua yang diinginkan dan dibutuhkan Cahyana. Pun, tidak sulit baginya memperoleh berlembar-lembar rupiah yang selalu berbaris rapi di dalam dompet.
            Tapi, ada satu perkataan Cahyana yang terekam jelas di pikirannya—suka mendadak aneh. Apa maksud dari perkataan itu? Robert berusaha menanyakan hal itu langsung pada perempuan yang duduk di sampingnya.
            “Sedikit hal yang ingin kutanyakan padamu. Apa maksudnya ‘suka mendadak aneh’? Bisa kau jelaskan padaku?”
            “Maaf, Robert, saat ini aku tidak tertarik menceritakan hal itu padamu. Perlu kau tahu, dari lubuk hatiku yang terdalam, aku mulai mencintaimu... aku ingin meninggalkan Adi dan hidup bersamamu, Robert.”
            Robert sejenak melihat ke arah wajah Cahyana. Ia ingin mengetahui, apakah ada kejujuran tersirat di dalam kata-kata yang begitu mantap mengumbar cinta. Cahyana menyunggingkan senyuman manis ketika lelaki itu memalingkan pandangan. Robert pun tak ingin membohongi perasaannya sendiri. Ia juga menginginkan Cahyana, seutuhnya. Namun, Robert masih memikirkan perasaan Adi ketika mengetahui sang istri berpaling hati dan memilih dirinya sebagai pengganti.
            “Sebenarnya, aku juga mencintaimu, Cahyana. Sejak pertama kali kita bertemu, secercah perasaan telah bersemi di lubuk hatiku, tapi tak pernah terpikir olehku bagaimana cara agar kau bisa mengkhianati suami dan meninggalkannya. Tidak sama sekali. Aku ingin engkau menjelaskan padanya kalau kau ingin mengakhiri perjalanan rumah tangga kalian secara baik-baik, tanpa tersimpan dendam dan penyesalan di hati yang meninggalkan dan ditinggalkan.”
            Cahyana mencoba menerjemahkan maksud perkataan Robert. Jika ditelaah dengan baik, tak ada perpisahan yang tidak menimbulkan luka dan penyesalan. Sekalipun mereka melakukan secara baik-baik dan tidak sepihak. Memang, pernikahan ia dengan Adi baru menginjak usia tujuh bulan tapi Cahyana tahu, kalau Adi benar-benar mencintai dirinya, setulus hati. Seolah cinta yang diberikan Adi bagai aliran sungai yang tak pernah berhenti di kala panas sengatan mentari dan dingin udara malam. Namun, Cahyana merasa kalau cinta yang berada di hati tak membara seperti pertama kali ia bertemu dengan Adi. Perlahan mendingin dan beku bagai bongkahan es kutub Utara. Ada cinta lain mencoba berusaha melengkapi kekosongan di hati.
              “Aku pun juga belum menemukan caranya tapi jika kau terpaksa meninggalkannya, hubungi saja aku. Aku selalu siap menjemput dirimu.” Robertmemecah keheningan dalam kebisuan Cahyana. Ia mencoba menerka-nerka apa yang ada di dalam pikiran perempuan itu. Dan berharap, terkaannya menunjukkan kebenaran.
            Cahyana mengangguk lemah menanggapi perkataan Robert. Ia memilih mengakhiri pembicaraan begitu mobil Merchedes milik Robert akan tiba di kediaman Cahyana kira-kira 200 meter lagi.
            Keempat roda mobil milik Robert berhenti bergulir saat jemari kaki menekan pedal rem, begitu lembut. Cahyana membuka pintu samping, mengeluarkan kaki jenjangnya diikuti dengan seluruh tubuh.
            “Sampai jumpa, Robert,” ucap wanita itu pada Robert. Robert tersenyum kecil membalas salam perpisahan Cahyana. Robert memelesatkan jauh mobilnya meninggalkan kediaman Cahyana.
            Cahyana melangkah menuju pagar rumah. Tapi, ada satu keanehan yang terlihat saat ini. Ia tidak melihat gembok yang mengunci pagar rumah. Cahyana tak mau ambil pusing. Tubuhnya juga sudah lelah.Butuh tidur cukup setelah melakukan banyak aktivitas bersama Robert termasuk pergelutan berahi di dalam selimut semalaman.
            Pintu tersingkap saat tangan lembut Cahyana menjamah gagang pintu.
            Mengapa Adi lupa untuk mengunci pintu? Bagaimana kalau pencuri masuk dan menjarah semua harta-hartaku? Cahyana bersungut-sungut dalam hati melihat kelakukan suaminya yang ceroboh. Ia berharap bisa menemukan Adi, menegur tindakannya yang terkesan kurang berhati-hati.
            “Sayang... Sayang.Kamu di mana?” panggil Cahyana dari ruang tamu. Ia tak kunjung mendapat sapaan dari Adi ketika ia memanggil suaminya berulang kali.
            Cahyana memutuskan berjalan terus ke kamar. Ia beranggapan kalau suaminya sedang tertidur pulas sehingga berkali-kali dirinya memanggil, ia tak dengarkan.
            Tapi, ada suasana beda di dalam rumah. Kesunyianseakan merajai seisi ruangan rumah. Derap kaki Cahyana bagai ledakan bom kecil di tengah kediamannya sendiri. Ada getaran ketakutan pelan-pelan menjalari pikiran. Cahyana berusaha  menyingkirkan segala perasaan negatif yang mulai menghantui.
            Cahyana sudah diperhadapkan dengan sebuah pintu kayu berukuran 70x190 sentimeter dengan gagang besi di sebelah kanan. Detak jantung bertalu-talu saat tangan lembutnya menjamah besi yang menempel di sana. Telapak tangan Cahyana menekan gagang pintu, mendorong pintu hingga terbuka lebar.
            Di sana, ia melihat Adi sedang berdiri membelakangi dirinya. Cahyana menghampiri suaminya yang masih mematung di depan ranjang mereka.
            “Sayang... Sayang, sedang apa kamu di sana?” tegur Cahyana hati-hati. Ia tetap menjaga setiap derap telapak kaki yang menginjak lantai keramik kamar.
            Adi sama sekali tidak membalas pertanyaan istrinya. Bibir terkatup erat seakan-akan diam yang menjadi satu-satunya jawaban pasti atas pertanyaan Cahyana.
            “Sayang, kenapa kamu diam saja? Jawab aku.” Cahyana sudah berada di hadapan punggung suaminya. Bukannya mengutarakan jawaban, Adi lantas berbalik badan secepat kilat, melayangkan telapak tangan ke pipi Cahyana sebelah kanan.
            Plak!
            Telapak tangan Adi yang lebar beradu keras dengan lesung pipi yang terpahat permanen di wajah Cahyana. Menimbulkan tepukan teras yang membuat kepala Cahyana teleng ke kiri.
            “A-a-apaan ini?! Kenapa kamu tiba-tiba menampar saya, hah?!” bentak Cahyana sambil memegangi pipi kanan yang memerah dan terdapat cap tangan Adi di sana.
            “Aku tak menyangka selama ini saya sudah salah menikahi penipu murahan seperti kamu, Yanna!” balas Adi yang juga tak kalah murka seperti istrinya. Rupanya, Adi sudah melampiaskan semua amarah yang menggunung sejak dokter Rama membeberkan tabir rahasia yang selama disimpan Cahyana begitu rapi.
            “Apa maksudmu?! Aku tidak menyangka kamu bisa berbicara setega itu padaku.” Cahyana tak menyadari bola matanya mulai memerah, menitikkan setitik air yang meluncur dari samping pelupuk mata.
            Bukannya mendapat pengakuan jujur dari sang istri, Adi mulai naik pitam dan mendorong tubuh istrinya ke lemari yang berada di belakang Cahyana.
            Bruukkk!
            Cahyana mengerang kesakitan ketika punggung menghantam keras kayu yang menutupi seisi pakaian. Ia juga memegangi tempurung kepala yang ikut merasakan benturan yang dibuat suaminya.
            Adi mencengkeram kedua pundak Cahyana lalu mengarahkan tatapan mata menusuk dan tajam ke arah mata istrinya.
            “Tidak usah bermain drama lagi, Yanna! Kamu pikir sepintar apapun dirimu menyembunyikan bangkai, suatu hari pasti aromanya akan tercium juga. Aku sama sekali tidak berpikir, ternyata kamu bersekongkol dengan dokter Rama untuk menipuku sekeji ini. Mengapa kamu tidak jujur kepadaku kalau aku mandul, Yanna?! Seandainya, kau mau jujur padaku, aku tidak akan menaruh harapanku terlalu besar untuk mempunyai anak! Apa yang sebenarnya ada di pikiranmu?!”
            Air  muka Adi tak bisa menyembunyikan kekecewaan yang begitu dalam atas kebohongan yang diperbuat istrinya. Ingin sekali Adi membenturkan kepala Cahyana berkali-kali ke lemari kayu yang ada di depan saat ini. Tapi, lelaki itu mengurungkan niat dengan alasan ia masih menyayangi istrinya walaupun perbuatan yang dilakukan belum bisa diterima oleh lelaki itu.
            “Aku terpaksa melakukannya karena aku juga menyayangimu, Adi. Aku mau membuatmu terpuruk dengan  kondisimu yang tidak bisa menghasilkan keturunan untuk keluarga kita. Aku tidak punya jalan lain selain membohongimu dan membuatmu seolah-olah berharap kalau aku akan mempunyai anak begitu aku lepas dari pekerjaanku. Sekali lagi, maafkan aku, Adi. Maafkan aku,” tutur Cahyana sambil meneteskan bulir-bulir air mata seraya mendekati suaminya.
            “Jangan mendekat!” hardik Adi seraya mengacungkan jari telunjuk di muka istri. “Pergi kau dari hadapanku! Pergi!”
            Melihat kondisi Adi yang terbakar api amarah, Cahyana memilih menarik diri dari hadapan suaminya. Ia berbalik badan sembari melewati pintu yang sedari tadi terbuka. Sebelum melangkah lebih jauh, ia melihat suaminya duduk di atas ranjang sambil menundukkan kepala menghadap lantai.
            Terbesit belas kasihan Cahyana menyaksikan kondisi suaminya amat frustrasi. Ingin sekali ia menghampiri, mengusap-usap lembut punggung suaminya agar segala kesedihan yang mendera berkurang dratis. Tapi itu tak mungkin dilakukan. Cahyana menyadari ia adalah akar permasalahan yang menyebabkan kondisi suaminya seperti itu. Ia memilih terus menjauh hingga tiba di pintu keluar. Sesampainya di pekarangan rumah, Cahyana membuka kontak handphone, menghubungi salah satu nomor yang tertera.
            “Halo, Robert.”
            “Halo, Cahyana. Ada apa kamu menghubungiku?”
            “Ceritanya panjang, tapi bisakah kamu menjemputku di rumah?”
            “Oh kebetulan sekali. Aku juga sedang dalam perjalanan menuju Danau Toba. Kami segenap kru film akan melakukan shooting pertama di sana. Dan kuusahakan, aku akan tiba di rumahmu secepatnya.”
            “Baiklah. Aku akan menunggu di depan pagar rumahku. Cepat, ya.” Cahyana mematikan handphone sembari bergerak keluar dari kediamannya, menunggu kedatangan Robert.
            Sementara itu, Adi masih membenamkan wajah dalam tangis pilu. Ia masih tidak bisa menerima kenyataan kalau Cahyana tega membohongi dirinya. Cucuran air mata masih setia membasahi lantai keramik kamar. Urat saraf bola mata Adi memerah. Kelopak mata masih sembap, dibasahi bulir-bullir air mata yang masih menggenang di sana.
            Adi tak menyangka kalau wanita yang selama ini disayang, dipuja, dan diagung-agungkan akan mengkhianati dirinya begitu kejam. Adi perlahan mengangkat wajah, menegakkan posisi badan sambil menghapus sisa air mata yang menempel di wajah. Ia tak melihat Cahyana berada di kamar. Mungkin istrinya sudah pergi ke negeri antah berantah yang tidak bisa ditemukan olehnya. Atau, pulang ke rumah orang tuanya sambil membawa berjuta-juta keluh kesah yang terbalut air mata kesedihan. Jika seandainya, perceraian adalah satu-satu jalan menyelesaikan persoalan ini, ia harus siap menempuh jalan menyakitkan itu. Tapi, ia belum siap menerima jalan itu. Ia masih mengharapkan berbagai kemungkinan yang bisa menyelesaikan persoalan ini tanpa harus melewati jalan perceraian. Pasti ada jalan.
            Adi merebahkan tubuh di atas ranjang. Alam pikir mengawang jauh entah ke mana arah dan tujuan. Dirinya masih ingat saat ia dan Cahyana berjumpa pertama kali di toko butiknya. Keduanya hanya berpacaran selama tiga bulan. Setelah itu, Adi memantapkan niat untuk melamar Cahyana di depan orang tuanya. Dan kini apa yang telah dilewatinya tinggal menyisakan puing-puing kehancuran. Kebohongan dan pengkhiatan merongrong pondasi kejujuran dan keterbukaan yang selama ini dijunjung tinggi Adi dan istrinya.
            “Aku tidak habis pikir mengapa wanita jalang itu tega menyakiti ketulusan hati sahabatku.”
            Dalam pembaringan, Adi mendengar secercah suara yang berasal dari kamarnya. Adi membangkitkan badan seraya memastikan siapa pemilik suara bariton itu.
            “Kamu? Kenapa kamu bisa berada di sini?” tanya Adi sambil menghampiri lelaki yang berada tak jauh dari ranjangnya.
            “Jangan pedulikan di mana tempat tinggalku sekarang tapi aku harus benar-benar mengungkapkan siapa jati dirimu sebenarnya, Adi.” Lelaki yang berada di depan Adi hanya menyeringai.
            “Apa maksud perkataanmu itu? Dan siapa yang kau sebut sahabat? Aku tidak pernah mempunyai sahabat sepertimu. Bripka Dharmawan adalah satu-satunya sahabat yang kumiliki.”
            “Sahabatmu yang Bripka itu ‘kan? Sayang sekali, dia sudah kuenyahkan dari muka bumi ini, Adi. Sangat berbahaya jika dia sempat mengetahui jati diriku. Bisa-bisa kau juga ikut terancam, Adi.”
            “Jadi... kau...,” Lidah Adi tak mampu meneruskan perkataan. Ia tak menduga kalau lelaki itulah yang sudah menghabisi sahabat terdekatnya.
            Luapan amarah begitu berapi-api terkumpul dalam satu kepalan tangan. Adi melayangkan tinju hingga membuat lelaki itu tersungkur mencium lantai kamar Adi.
            “Silakan kau pukul aku sepuas mungkin, Adi! Tapi ingatlah, sewaktu kau kecil akulah yang menjadi pelindungmu dari kekejaman ayah dan ibumu. Akulah yang selalu menemanimu kala kau kesepian dan teman-temanmu menganggap kau sudah gila, Adi! Tidakkah kau ingat?!” sergah lelaki itu meskipun hantaman tangan Adi belum usai menerpa wajahnya.
            Adi mendadak menghentikan kepalan tangan sebelum menyentuh wajah lelaki itu. Sakit kepala yang selama ini menghantuinya datang lagi. Adi terjengkang sendiri, menjauh dari lelaki itu. Denyut saraf di kepala bak palu menghantam bertubi-tubi. Ia masih memegangi kepala yang serasa panas dan meletup-letup isinya.
            “Siapa kau sebenarnya? Tolong... katakan padaku..., Arrrgggh,” tanya Adi, meraung kesakitan. Semua jaringan saraf di otak serasa dibetot sampai keluar dari tempurung kepala.
            “Namaku Santoso.Dan yang akan kulakukan sekarang, membalas semua kejahatan yang pernah dilakukan istrimu padamu.Sekaligus, mencaritahu apakah Robert adalah biang keladi atas kehancuran rumah tanggamu dengan Cahyana,” pungkas Santoso sambil mengambil kunci mobil yang jatuh dari kantong kemejanya.
            Sesudah mengambil kunci itu, Santoso mempercepat langkah menuju garasi. Adi cepat-cepat bangkit menyusul Santoso yang masih berada tak jauh dari tempatnya berdiri.
            “Apa yang mau kaulakukan dengan kunci itu?”
            “Mencari keberadaan Cahyana dan Robert sampai dapat,” jawab Santoso disertai tatapan nanar. Entah apa yang terjadi, Adi seperti tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa mengikuti Santoso ke manapun ia pergi. Keduanya sudah tiba di depan muka pintu garasi. Dengan kunci yang dipegang saat ini, Santoso menarik tirai alumunium yang menutupi mobil Adi yang  terparkir di sana.
            “Apa yang kau mau lakukan dengan parang itu? Jangan melakukan tindakan nekat pada mereka apalagi pada istriku, Cahyana. Jangan sekalipun. Jika kau nekat, aku takkan segan-segan membunuhmu!”
            Santoso meraih parang yang tergantung di dinding sebelah kiri di dalam gudang. Tapi, terlebih dahulu Santoso membuang sarung lalumenaruh parang itu di atas jok mobil.
            “Tenang saja, Adi. Ini hanya untuk berjaga-jaga saja. Bisa saja, mereka berdua berusaha melawan ketika kita mempergoki mereka sedang berselingkuh.” Santoso mengembang senyumjahat di kedua belah bibir cokelat seraya menutup pintu samping.
            “Cahyana tidak mungkin melakukan perbuatan senista itu,” bantah Adi.
            “Dan sekarang waktunya untuk menemukan kebenaran. Katakan padaku di mana toko butik milik istrimu berada.”
            “Toko itu terletak di pusat kota Pematangsiantar. Berjarak enam blok dari jalan Surabaya,” jelas Adi cepat.
            “Baiklah kalau begitu. Let’s go.” Santoso mendorong tuas persneling ke depan, meninggalkan kediaman Adi yang kosong tak berpenghuni.

No comments:

Post a Comment