Firasat Fidel
Derap tapak sneaker membungkus kaki Margareth begitu teratur mengetuk lantai
keramik. Perempuan itu sudah berada di depan sebuah rumah bekas yang berada di
sebelah kiri gerbang keempat. Rumah kosong itu ditumbuhi tiga pohon jati
berdiri tegak memanjang ke atas seolah menjadi pagar alami bagi rumah itu.
Suasana hampir memasuki magrib.
Orang-orang berlalu lalang di sekitar sana tidak terlalu banyak. Hampir bisa
dibilang sepi. Pelan-pelan Margareth memasuki rumah itu. Daun telinganya begitu
awas saat mendengar suara laki-laki tengah berbincang-bincang dengan suara agak
besar.
“Thomas,” panggil Margareth dari
pintu depan.
Di dalam sana, Marthin dan Edo
sedang menggulung dedaunan kering berwarna hijau muda dalam selembar kertas
rokok. Sedangkan Djarot, Adit dan Anton sedang mengisap Dunhill penuh
penghayatan akan kenikmatan. Di depan mereka berlima sudah tersedia dua teko
tuak dan enam bungkus makanan ringan.
Djarot mendengar ada suara perempuan
sedang memanggil dirinya. Dan dia pun sudah tak asing dengan suara itu.
Pasti
itu Margareth, duga batin Djarot lalu dia bangkit berdiri sambil beranjak
dari sana.
“Eh mau ke mana, Rot? Pesta kita
belum selesai,” cegah Adit sambil menuangkan tuak ke dalam cangkir plastiknya.
“Gua
punya urusan sebentar. Elo tunggu aja
di sini.” Djarot berusaha meyakinkan teman-temannya kalau dia takkan lama.
“Eh Rot, kayaknya gua dengar suara
perempuan manggil nama loe. Kenapa
loe enggak suruh dia masuk aja? Siapa tahu bisa kita ngobrol bareng-bareng. Ya
enggak?” Djarot tidak mempedulikan gelak tawa teman-temannya begitu mendengar
lelucon yang disampaikan Edo. Dan Thomas tahu kalau Edo sudah mulai “fly”. Lelaki
berdagu agak lancip itu sudah melinting sebanyak tiga batang.
Djarot telah berada di ruang depan
rumah kosong. Di sana, Margareth berdiri sambil melipat kedua tangan di dada.
“Belum lamakah menunggu?” tanya
Djarot dengan wajah anggap enteng.
“Sedang apa kamu dan kawan-kawanmu
di dalam sana?” tanya Margareth dengan tampang serius.
“Ya biasa. Berpesta pora menikmati
kehidupan masa muda. Mau gabung?” ajak Djarot sekadar berbasa-basi.
“Tidak. Terimakasih. Aku cuma ingin
bilang kepadamu kalau aku sudah melakukan apa yang kamu katakan. Dan sekarang—“
“Et tunggu dulu. Kamu masih punya
sejumlah persyaratan yang harus kamu penuhi. Dan saat ini aku mau kamu
melakukan hal ini.” Djarot mendekatkan kepalanya ke telinga Margareth.
Perempuan itu mendelikkan mata seakan kaget begitu Djarot usai membisikkan
sesuatu.
“Bisa bukan? Kalau kau ingin aku
cepat mengatakan jawabanku, kau harus segera melakukannya,” tanya Djarot lagi
guna memastikan.
Margareth lebih banyak diam tanpa
bisa berkata-kata. Lalu ia menjauh dari hadapan Djarot serta rumah kosong itu.
*
Langit pagi di hari Jumat tidak
menampakkan gegumpalan awan hitam pekat bertengger di hamparan angkasa. Tapi
tak juga si bola api raksasa menerikkan sinar panas.Sungguh cuaca yang cocok
untuk bersantai atau jalan-jalan namun tidak bagi empat lelaki ini.
Ah,
Jumat padat Jumat penat, keluh hati
Fidel. Ia sedang duduk di atas jok sepeda motor menungggu Aldo selesai mengikat
tali sepatu.
“Cepat Fidel nyalakan sepeda motormu. Nanti
kita terlambat,” suruh Aldo sambil menghampiri Fidel.
“Eh koplak. Dari tadi gua
nunggu-nunggu elo. Malah elo yang
bilang kita telat gara-gara gua,” balas Fidel yang kesal mendengar omongan Aldo.
Di sebelah Fidel, Riky pun begitu. Ia berdecak tak sabar sambil bolak-balik
melirik jam tangan.
“Ohoh, cepatlah Jim. Dosenku sudah
masuk lho.” Riky memperingatkan Jimmy agar ia segera keluar dari rumah. Sementara
Jimmy sendiri sedang merapikan bedak yang agak tebal di bagian kening dan pipi.
Usai merapikan bedak, Jimmy langsung
mengengsel jerajak besi setelah itu mendaratkan pantat di atas jok sepeda motor
Riky,
“Kayaknya kita bakal telat lagi nih
sama Mam Bretha,” ujar Fidel sambil melirik jam tangan sebelum melajukan sepeda
motor.
Keempat lelaki itu sudah siap
meninggalkan kontrakan mereka. Fidel dan Riky memacu gas lebih kencang agar
lebih cepat tiba di kampus. Salip menyalip terjadi di lalu lalang kendaraan
bermotor di jalan lintas Asahan. Kedua pengemudi sepeda motor itu lumayan lega
setelah melihat gerbang besi terbuka lebar untuk akses kampus.
Sesampainya mereka di tempat parkir,
keempat laki-laki itu mempercepat langkah mereka menuju kelas masing-masing.
“Ayo Do. Mom itu sudah masuk.” Aldo dan Fidel terus mempercepat tungkai kaki
mereka menaiki anak tangga.
Tepat di ruangan 36 E. Di situlah ruang kuliah grup E stambuk
2014 program studi ilmu keguruan dan pendidikan jurusan pendidikan bahasa
Inggris. Aldo dan Fidel merupakan mahasiswa dalam grup itu.
“Gimana nih? Mom itu sudah masuk pula. Masuknya kita?” tanya Fidel pada Aldo. Di
wajahnya yang minim jerawat terpahat kekhawatiran.
“Ya kita coba aja dulu. Kalau enggak
dibolehkan, apa boleh buat,” ungkap Aldo. Ia terlihat tanpa beban dan takut
mengetuk pintu.
Sudah tiga kali Aldo mengetuk pintu
kemudian dia menekan gagang pintu. Begitu daun pintu tersingkap, mereka menampakkan diri di hadapan dosen yang
sedang mengajar.
“Permisi Mom. Kami mau masuk. Mau mengikuti mata kuliah ini,” ucap Aldo
dengan nada bicara sesopan mungkin.
Sang dosen masih menatap kedua
lelaki itu dengan tatapan tak bersahabat. “Coba lihat jam tangan kamu. Sudah jam
berapa sekarang?” suruh sang dosen pada Fidel.
“Pukul 08.40, Mam,” jawab Fidel.
“See
you next week. Oke kalian keluar dan tutup pintunya,” ucap dosen berbadan
gempal dan tinggi itu.
“Tapi Mam,” bantah Aldo.
“Kalian mau nama kalian saya blacklist dari daftar ujian?” ancam sang dosen.
Setelah mendengar ancaman dari sang
dosen, Aldo dan Fidel langsung meninggalkan ruangan. Kini mereka bingung entah apa yang akan mereka lakukan saat ini. Usai menuruni anak
tangga, secara kebetulan mereka berjumpa dengan Riky.
“Hey, enggak dikasih masuk juga,
Rik?” tanya Fidel.
“Ya biasalah. Sudah mencapai batas
absen maksimal,” jawab Riky seraya menghela napas pasrah.
“Tapi gimana dengan Jimmy? Apa kita
harus menunggunya sampai keluar?” tanya Fidel pada dua temannya.
“Kupikir lebih baik kita pergi saja
ke kantin dulu. Kalau dia sudah selesai, kita beritahu lewat BBM. Gimana?“ usul
Aldo.
Fidel dan Riky mengangguk setuju.
Ketiga lelaki itu segera melangkahkan kaki menuju kantin. Perjalanan menuju
kantin tidak terlalu memakan waktu lama. Hanya sekitar lima menit jika berjalan
kaki. Begitu lima menit dihabiskan dengan bercerita, mereka sudah tiba di
kantin gerbang ketiga.
Tapi tak sengaja, mereka berpapasan
dengan para personil Pentatonic band.
Ketiga lelaki itu berhenti sejenak, membiarkan musuh bebunyutan lewat terlebih
dahulu. Djarot yang berada di barisan terakhir tersenyum penuh misteri pada
Fidel lalu memalingkan kepalanya kembali ke posisi semula.
Apa
yang mereka lakukan di sini? tanya batin Fidel.
“Hey Aldo ke sini.” Suara perempuan
memanggil nama Vinno sambil menyuruh mereka ketiga menghampiri tempat perempuan
itu duduk.
Siapa perempuan itu? tanya Fidel dalam
hatinya.


