Monday, 5 February 2018

The Beauty Symphony - 12 (TAMAT)



Firasat Fidel
            Derap tapak sneaker membungkus kaki Margareth begitu teratur mengetuk lantai keramik. Perempuan itu sudah berada di depan sebuah rumah bekas yang berada di sebelah kiri gerbang keempat. Rumah kosong itu ditumbuhi tiga pohon jati berdiri tegak memanjang ke atas seolah menjadi pagar alami bagi rumah itu.
            Suasana hampir memasuki magrib. Orang-orang berlalu lalang di sekitar sana tidak terlalu banyak. Hampir bisa dibilang sepi. Pelan-pelan Margareth memasuki rumah itu. Daun telinganya begitu awas saat mendengar suara laki-laki tengah berbincang-bincang dengan suara agak besar.
            “Thomas,” panggil Margareth dari pintu depan.
            Di dalam sana, Marthin dan Edo sedang menggulung dedaunan kering berwarna hijau muda dalam selembar kertas rokok. Sedangkan Djarot, Adit dan Anton sedang mengisap Dunhill penuh penghayatan akan kenikmatan. Di depan mereka berlima sudah tersedia dua teko tuak dan enam bungkus makanan ringan.
            Djarot mendengar ada suara perempuan sedang memanggil dirinya. Dan dia pun sudah tak asing dengan suara itu.
            Pasti itu Margareth, duga batin Djarot lalu dia bangkit berdiri sambil beranjak dari sana.
            “Eh mau ke mana, Rot? Pesta kita belum selesai,” cegah Adit sambil menuangkan tuak ke dalam cangkir plastiknya.
            Gua punya urusan sebentar. Elo tunggu aja di sini.” Djarot berusaha meyakinkan teman-temannya kalau dia takkan lama.
            “Eh Rot, kayaknya gua dengar suara perempuan manggil nama loe. Kenapa loe enggak suruh dia masuk aja? Siapa tahu bisa kita ngobrol bareng-bareng. Ya enggak?” Djarot tidak mempedulikan gelak tawa teman-temannya begitu mendengar lelucon yang disampaikan Edo. Dan Thomas tahu kalau Edo sudah mulai “fly”. Lelaki berdagu agak lancip itu sudah melinting sebanyak tiga batang.
            Djarot telah berada di ruang depan rumah kosong. Di sana, Margareth berdiri sambil melipat kedua tangan di dada.
            “Belum lamakah menunggu?” tanya Djarot dengan wajah anggap enteng.
            “Sedang apa kamu dan kawan-kawanmu di dalam sana?” tanya Margareth dengan tampang serius.
            “Ya biasa. Berpesta pora menikmati kehidupan masa muda. Mau gabung?” ajak Djarot sekadar berbasa-basi.
            “Tidak. Terimakasih. Aku cuma ingin bilang kepadamu kalau aku sudah melakukan apa yang kamu katakan. Dan sekarang—“
            “Et tunggu dulu. Kamu masih punya sejumlah persyaratan yang harus kamu penuhi. Dan saat ini aku mau kamu melakukan hal ini.” Djarot mendekatkan kepalanya ke telinga Margareth. Perempuan itu mendelikkan mata seakan kaget begitu Djarot usai membisikkan sesuatu.
            “Bisa bukan? Kalau kau ingin aku cepat mengatakan jawabanku, kau harus segera melakukannya,” tanya Djarot lagi guna memastikan.
            Margareth lebih banyak diam tanpa bisa berkata-kata. Lalu ia menjauh dari hadapan Djarot serta rumah kosong itu.
*
            Langit pagi di hari Jumat tidak menampakkan gegumpalan awan hitam pekat bertengger di hamparan angkasa. Tapi tak juga si bola api raksasa menerikkan sinar panas.Sungguh cuaca yang cocok untuk bersantai atau jalan-jalan namun tidak bagi empat lelaki ini.
            Ah, Jumat  padat Jumat penat, keluh hati Fidel. Ia sedang duduk di atas jok sepeda motor menungggu Aldo selesai mengikat tali sepatu.
             “Cepat Fidel nyalakan sepeda motormu. Nanti kita terlambat,” suruh Aldo sambil menghampiri Fidel.
            “Eh koplak. Dari tadi gua nunggu-nunggu elo. Malah elo yang bilang kita telat gara-gara gua,” balas Fidel yang kesal mendengar omongan Aldo.
               Di sebelah Fidel, Riky pun begitu. Ia berdecak tak sabar sambil bolak-balik melirik jam tangan.
            “Ohoh, cepatlah Jim. Dosenku sudah masuk lho.” Riky memperingatkan Jimmy agar ia segera keluar dari rumah. Sementara Jimmy sendiri sedang merapikan bedak yang agak tebal di bagian kening dan pipi.
            Usai merapikan bedak, Jimmy langsung mengengsel jerajak besi setelah itu mendaratkan pantat di atas jok sepeda motor Riky,
            “Kayaknya kita bakal telat lagi nih sama Mam Bretha,” ujar Fidel sambil melirik jam tangan sebelum melajukan sepeda motor.
            Keempat lelaki itu sudah siap meninggalkan kontrakan mereka. Fidel dan Riky memacu gas lebih kencang agar lebih cepat tiba di kampus. Salip menyalip terjadi di lalu lalang kendaraan bermotor di jalan lintas Asahan. Kedua pengemudi sepeda motor itu lumayan lega setelah melihat gerbang besi terbuka lebar untuk akses kampus.
            Sesampainya mereka di tempat parkir, keempat laki-laki itu mempercepat langkah mereka menuju kelas masing-masing.
            “Ayo Do. Mom itu sudah masuk.” Aldo dan Fidel terus mempercepat tungkai kaki mereka menaiki anak tangga.
            Tepat di ruangan  36 E. Di situlah ruang kuliah grup E stambuk 2014 program studi ilmu keguruan dan pendidikan jurusan pendidikan bahasa Inggris. Aldo dan Fidel merupakan mahasiswa dalam grup itu.
            “Gimana nih? Mom itu sudah masuk pula. Masuknya kita?” tanya Fidel pada Aldo. Di wajahnya yang minim jerawat terpahat kekhawatiran.
            “Ya kita coba aja dulu. Kalau enggak dibolehkan, apa boleh buat,” ungkap Aldo. Ia terlihat tanpa beban dan takut mengetuk pintu.
            Sudah tiga kali Aldo mengetuk pintu kemudian dia menekan gagang pintu. Begitu daun pintu tersingkap,  mereka menampakkan diri di hadapan dosen yang sedang mengajar.
            “Permisi Mom. Kami mau masuk. Mau mengikuti mata kuliah ini,” ucap Aldo dengan nada bicara sesopan mungkin.
            Sang dosen masih menatap kedua lelaki itu dengan tatapan tak bersahabat. “Coba lihat jam tangan kamu. Sudah jam berapa sekarang?” suruh sang dosen pada Fidel.
            “Pukul 08.40, Mam,” jawab Fidel.
            See you next week. Oke kalian keluar dan tutup pintunya,” ucap dosen berbadan gempal dan tinggi itu.
            “Tapi Mam,” bantah Aldo.
            “Kalian mau  nama kalian saya blacklist dari daftar ujian?” ancam sang dosen.
            Setelah mendengar ancaman dari sang dosen, Aldo dan Fidel langsung meninggalkan ruangan.  Kini mereka bingung entah apa yang akan  mereka lakukan saat ini. Usai menuruni anak tangga, secara kebetulan mereka berjumpa dengan Riky.
            “Hey, enggak dikasih masuk juga, Rik?” tanya Fidel.
            “Ya biasalah. Sudah mencapai batas absen maksimal,” jawab Riky seraya menghela napas pasrah.
            “Tapi gimana dengan Jimmy? Apa kita harus menunggunya sampai keluar?” tanya Fidel pada dua temannya.
            “Kupikir lebih baik kita pergi saja ke kantin dulu. Kalau dia sudah selesai, kita beritahu lewat BBM. Gimana?“ usul Aldo.
            Fidel dan Riky mengangguk setuju. Ketiga lelaki itu segera melangkahkan kaki menuju kantin. Perjalanan menuju kantin tidak terlalu memakan waktu lama. Hanya sekitar lima menit jika berjalan kaki. Begitu lima menit dihabiskan dengan bercerita, mereka sudah tiba di kantin gerbang ketiga.
            Tapi tak sengaja, mereka berpapasan dengan para personil Pentatonic band. Ketiga lelaki itu berhenti sejenak, membiarkan musuh bebunyutan lewat terlebih dahulu. Djarot yang berada di barisan terakhir tersenyum penuh misteri pada Fidel lalu memalingkan kepalanya kembali ke posisi semula.
            Apa yang mereka lakukan di sini? tanya batin Fidel.
            “Hey Aldo ke sini.” Suara perempuan memanggil nama Vinno sambil menyuruh mereka ketiga menghampiri tempat perempuan itu duduk.
            Siapa perempuan itu? tanya Fidel dalam hatinya.

Sunday, 4 February 2018

The Beauty Symphony - 11



Nostalgia Vinno
            Perjalanan menuju rumah kontrakan tidak memakan waktu lama. Akan tetapi Aldo memakai waktu tempuh di jalan untuk memikirkan gadis itu—Margareth.
            Entah apa yang membuat Aldo begitu memikirkan gadis yang satu ini. Padahal dari segi fisik, Margareth termasuk perempuan tipe standar. Tidak kelihatan wah. Mungkin perempuan yang satu ini bisa mengalihkan pikiran Aldo akan mantan pacarnya tiga tahun lalu.
*
            Aldo menurunkan dongkrak sepeda motor. Ia melangkah pelan memasuki rumah.  Di sana Aldo bisa melihat ketiga temannya sedang ambil kesibukan masing-masing. Fidel sedang mengayunkan jemari memetik keenam senar gitar. Riky sedang menggoreskan kertas menggunakan pensil 6B di tangan. Dan Jimmy berkonsentrasi dengan gawai pribadi miliknya.
            Ada canggung bercampur segan ketika Aldo ingin menyapa teman-temannya. Akan tetapi tak satu pun dari mereka bertiga melirik atau sekadar memastikan kalau Aldo sudah berada di sana.
            Mungkin mereka masih marah, ujar batin Aldo. Lelaki itu memasukkan sepeda motornya ke dalam ruang depan.
            Begitu sepeda motor Aldo terparkir di sana, lelaki berambut tebal itu melangkah cepat menuju kamar tidur. Sebenarnya Fidel sempat melirik sedikit padanya tapi itu hanya sekejap. Lalu Fidel kembali mencurahkan konsentrasi pada gitar.
            Aldo menapakkan kedua kakinya pada keset. Begitu kakinya sudah cukup bersih, Aldo membaringkan punggung di atas kasur. Ia melipat kedua tangan lalu ditindih dengan tempurung kepala bagian belakang.
            Bola mata memandang ke atas asbes. Aldo mulai melalangbuanakan alam pikirnya. Ia masih terbayang dengan perempuan yang menemaninya tadi di taman kampus.
            “Margareth,” gumam Aldo. Kemudian, lelaki itu merogoh saku jins mencari gawai pribadinya. Begitu mendapatkannya, Aldo membuka pengunci papan tombol lalu mengaktifkan paket data.
            Usai paket data aktif, jemari Aldo menekan ikon Facebook pada layar gawai pribadi. Saat sudah terhubung dengan Facbook, di bagian mesin pencarian, jemari Aldo mulai menekan huruf yang tertera pada papan tombol.
            Ini dia, pekik batin Aldo.
            Margareth Allysia Sianturi. Itu nama lengkap sekaligus nama profil Facebook-nya. Pertama kali Aldo membaca biodata kemudian lanjut ke album foto.
            “Mau dilihat melalui foto atau secara langsung, dia tetap saja manis,” ujar Aldo sambil menyunggingkan senyum. Memberikan reaksi pada salah satu foto yang dipilihnya.
            Aldo menyimpan foto yang dia pilih dalam folder tersendiri.
            Lumayan. Biar ada yang bisa dipandangi tiap malam sebelum tidur, ucap hati Aldo.
            Tapi yang mengherankan bagi Aldo adalah perempuan itu sangat mirip dengan mantannya dua tahun yang lalu—Yulia Fatlin Nainggolan.
*
            Nama perempuan itu merupakan mantan pertama sekaligus seseorang yang paling dibenci hingga saat ini. Bagaimana tidak benci. Vinno dan perempuan itu sudah berpacaran sejak kelas 3 SMA semester satu.
            Perjalanan cinta sepasang kekasih itu berjalan harmonis di tahun pertama. Tapi tak selamanya hubungan percintaan selalu berjalan lancar. Sudah tiba saatnya untuk para siswa kelas 3 SMA menamatkan pendidikan mereka di sekolah menengah menuju pendidikan tinggi atau melamar pekerjaan.
            Komunikasi via telepon, SMS atau media sosial tak lagi intens. Dulu bisa saja tak pernah absen menghubungi atau mengirim pesan setiap hari. Kini semenjak beda jurusan sekaligus beda perguruan tinggi, Aldo dan pacarnya jadi jarang komunikasi. Itu pun dalam sekali sebulan mereka baru bisa berkomunikasi. Tapi di situlah awal dari berakhirnya hubungan asmara yang dijalin Aldo.
            Aldo sudah memasuki perkuliahan semester dua. Di semester ini, jadwal perkuliahan untungnya tidak terlalu sibuk. Aldo sudah bisa mengatur jadwal bertelepon dengan sang pacar dua kali dalam seminggu. Dia pikir hal itu juga tidak akan mengganggu kesibukan Yulia, sang pacar.
            Malam Kamis sekitar pukul 20.00 malam, Aldo mulai mencari nomor sang pacar kemudia menekan tombol hijau untuk menghubungi.
            Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi atau berada di luar jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi, ucap Costumer Service operator Telkomnet.
            “Lho kenapa jadi begini?” ucap Aldo setengah khawatir. Ia berulang kali menghubungi nomor Adelima tapi jawaban yang dia dapatkan tetap sama.
            Aldo tak kehabisan akal. Ia membuka akun facebook-nya lalu mencari nama profil facebook pacarnya di kotak pencarian. Namun hasilnya yang didapatkan nihil. Ia tidak bisa menemukan nama pacarnya.
            Apa mungkin aku... diblokir? duga Aldo dalam hati. Aldo mulai menyerah dengan keadaan. Ia melempar telepon genggam miliknya ke ranjang bersprei biru lalu membanting badan di atas ranjang itu.
            Lelaki berwajah agak kotak itu memejamkan mata sesaat, membiarkan air mata meluruh tanpa hambatan. Ia tak tahu apa yang mesti dilakukan atau barangkali diungkap atas perlakuan sang pacar. Apakah ini yang namanya ditinggal pergi tanpa alasan jelas?
            Dua minggu sejak kejadian itu, Aldo masih belum bisa berpaling dari sang pacar. Ia masih menganggap Yulia sebagai pacarnya. Aldo berpikir mungkin saja sang pacar sedang bermasalah dengan keluarga atau teman-temannya. Dan soal akun facebook-nya yang diblokir, ia menganggap itu sebagai lampiasan kekesalan atas masalah.
            Iseng-iseng membuka facebook saat mata kuliah Pronouncation Practice. Ia melihat satu notifikasi tertera di akunnya. Merasa penasaran, Aldo membuka notifikasi itu. Ia melihat satu nofikasi dari Yulia, sang pacar.
            “Syukurlah, dia menambahkanku kembali ke dalam daftar pertemanan,” ucap Aldo lega. Tapi kelegaan itu cuma berlangsung singkat. Muncullah kekhawatiran ketika di notifikasi itu Yulia menambahkan dua foto baru dan menandai beberapa akun termasuk akun Aldo.
            Degup jantung terpacu kian kencang. Aliran darah terus memompa dari urat nadi di tangan sampai ke otak. Ubun-ubun kian panas. Mungkin mendidih. Ingin rasanya Aldo melepaskan amarah ketika ia melihat Yulia sudah menggandeng laki-laki lain. Amarah Aldo semakin memuncak ketika ia membaca caption. Happy Annniversary One Year, Darling. Keep staying with me.
            Kalau saja Aldo tidak bisa mengendalikan diri, ia bisa saja melempar telepon genggam miliknya ke tembok depan kelas. Akan tetapi ia lebih memilih memendam amarah sebisa mungkin.
            Perkuliahan hari Kamis sudah selesai. Aldo menarik tali gas sepeda motor secepat mungkin agar ia bisa tiba di rumah pamannya. Kedua kakinya melangkah tegas menuju kamar tidur. Ia mengunci pintu dari dalam lalu menyangkutkan tas punggung di balik pintu. Aldo cepat-cepat mengeluarkan telepon genggam miliknya.
            “Halo.” Setelah lama nomor sang pacar tidak bisa dihubungi, untuk saat ini nomor itu sudah tersambung.
            “Halo, Aldo sayang. Apa kabar?” sapa Yulia, manja.
            “Tidak usah bersandiwara. Sekarang kamu jelaskan siapa foto laki-laki di facebook-mu itu?” tepis Aldo dingin tanpa basa-basi.
            “Hah? Maksud kamu apa sih, Do? Aku sama sekali enggak ngerti.” Yulia yang merasa bingung, berusaha meminta penjelasan pada sang pacar.
            “Kamu enggak usah pura-pura! Sekarang jelaskan siapa laki-laki itu?!” Aldo menaikkan volume suaranya lebih kuat. Ia sudah muak dengan sandiwara buatan Yulia.
            Untuk  beberapa saat, keduanya memilih untuk bungkam. Tak mengeluarkan sebisik suara pun. Bisa saja sama-sama menunggu siapa yang akan berkata pertama kali.
            “Kamu tidak pernah ada waktu untukku.” Begitu lama dengan kediaman masing-masing, akhirnya Yulia angkat bicara.
            “Apa katamu?” ulang Aldo sekali lagi pada Yulia. Dia seakan tidak percaya dengan apa yang keluar dari mulut pacarnya.
            “Kau bilang aku tidak punya waktu untukmu? Yulia... aku sudah pernah bilang kepadamu, bukan, kalau aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Walaupun kita sekarang jarang bertemu, setidaknya aku selalu berusaha untuk menanyakan kabarmu. Tapi beginikah balasanmu atas semua yang pernah kita jalani?” Entah apa yang membuat Aldo lancar berkata-kata pada sang pacar. Padahal selama ini ketika ia bertelepon dengan sang pacar, kegugupan selalu menjadi ciri khas dalam setiap perbincangan Aldo. Dan lagi-lagi, tanpa disadari bulir mata meluncur pasti dari kedua kelopak mata.
            “Kau selalu saja bilang bahwa kau sibuk mengejar cita-citamu sebagai seorang musisi. Kau tidak pernah panjang lebar bercerita atau barangkali mendengar keluh kesahku sebagai pacarmu. Benar begitu kan, Aldo? Apakah aku tidak termasuk dalam cita-citamu?”
            Aldo tertohok mendengar perkataan Yulia. Lelaki itu hampir hilang akal membalas pertanyaan dari sang pacar.
            “Yulia, yang kamu katakan itu ti—“
            “Kita putus.” Bersamaan dengan ucapan terakhir Yulia, sambungan telepon mereka berdua sudah putus total. Aldo yang masih menginginkan Yulia mendengarkan penjelasannya, coba menghubungi kembali sang pacar. Tetapi Yulia benar-benar tidak bisa dihubungi lagi.
            “Kalau itu yang kamu mau, mulai saat ini aku sudah menganggap kamu mati.”
*
            Aldo begitu fokus mengamati awang-awang di kamar tidurnya. Tanpa disadari Fidel sudah melangkah menuju pintu kamar.
            “Sedang melamunkan apa?” tanya Fidel sambil membanting badan pelan di atas kasur.
            Aldo diam sebentar seraya melihat teman sekamarnya. “Fidel.”
            “Ada apa?” jawab Fidel tanpa memindahkan pandangan dari gawai pribadi yang sedang dipegang.
            “Aku minta maaf soal kejadian di kantin Wanada. Dan juga aku minta maaf karena telah memukulmu. Aku sungguh menyesal.” Aldo memalingkan wajah penuh sesal itu ke arah Fidel sambil menunggu jawaban atas permintaan maafnya.
            Mendengar sang teman sudah meminta maaf, membuat Fidel harus meletakkan gawainya lalu mengalihkan pandangan pada Aldo.
            “Aku juga minta maaf karena terlalu menekanmu, Vinno. Tapi lain kali, kau harus belajar mengendalikan emosi agar tanganmu tidak melukai pipiku lagi,” ujar Fidel sambil mengelus pelan pipinya yang agak membiru.
            “Aku janji. Tapi kau tahu, Fidel, aku bertemu dengan seseorang yang mirip dengan Yulia.”
            Fidel yang kurang mengerti maksud perkataan Yulia, mencoba bertanya balik. “Yulia? Maksudmu, Yulia mantan pacar kamu itu?”
            “Iya itu. Kamu enggak percaya? Ini. Kuperlihatkan padamu.” Selesai membuka kode pengaman layar, Aldo memperlihatkan foto yang dia ambil dari facebook lalu disodorkan ke hadapan wajah Fidel.
            “Udah? Mirip ‘kan?”
            “Mirip sih. Itu aja?” Aldo menganggukkan kepala dua kali.
            “Dia kuliah di kampus Mensenno juga?”
            “Iya tapi sayangnya aku lupa menanyakan dia prodi apa dan stambuk tahun berapa.” Aldo memasukkan lagi gawai pribadi ke dalam saku celana jins.
            Fidel bisa melihat sinar wajah temannya begitu berseri ditambah lagi Aldo menyunggingkan senyum kecil. Lelaki beramhut ikal itu berpikir apa mungkin temannya yang satu ini sedang jatuh cinta?
            “Mungkin kita bisa bertemu dia besok di kampus.” Fidel kembali mengambil gawainya yang tergeletak tak jauh dari bantal.
            “Ya aku pun juga tidak sabar ingin mengenalkannya pada kalian bertiga.”

Thursday, 1 February 2018

The Beauty Symphony - 10



Margareth dan Aldo
            “Hei.” Suara perempuan itu sontak mengagetkan Aldo. Untung saja gitar yang dipegangnya tidak lepas.
            Aldo mengarahkan matanya pada perempuan yang menyapa secara tiba-tiba. Rambut hitam sebahu tumbuh indah di atas kulit kepala. Bulu mata dan kelopak mata berkedip berulang-ulang kemudian perempuan itu menorehkan senyum.
            “Boleh bergabung dengan kamu?” tanya perempuan itu.
            Aldo seakan tak bisa melepaskan tatap matanya pada gadis itu. Dalam sekali lirik, ia sudah menyimpulkan bahwa perempuan yang ada di hadapannya saat ini merupakan perempuan manis.
            “O-oh enggak apa-apa. Silakan duduk.” Aldo mengulurkan tangan sambil menggeser bokong, memberi tempat untuk perempuan itu.
             Saat ini perempuan itu sudah bersama dengan Aldo. Aldo berusaha menahan kegugupan dalam hati begitu dia berada di sebelah perempuan itu.
            “Maaf ya aku mengagetkan kamu,” ucap perempuan itu dengan raut wajah sesal.
            “Enggak apa-apa. Tidak usah terlalu dipikirkan. Aku yang seharusnya berterimakasih. Kalau kamu enggak datang, pasti aku akan melamun terus di bangku ini,” kilah Aldo sambil memangku gitar di atas paha.
            “Benarkah? Tapi apa yang kamu lamunkan? Kelihatannya serius banget.”
            Perempuan itu mulai memberikan perhatian akan jawaban Aldo. Tatapan perempuan itu seolah memadamkan api amarah yang sempat marak di hati Aldo. Membuat Aldo tak konsentrasi memainkan kunci-kunci gitar.
            “Bukan masalah penting. Aku cuma ingin memberikan pelajaran pada Pentatonic band untuk tidak mengacau jika kami sedang konser,” jawab Aldo sambil meletakkan kembali gitarnya di samping bangku taman.
            “Pentatonic band...? Sepertinya aku pernah mendengar nama band itu.” Perempuan itu sedikit mendongak sambil memegangi dagu.
            Aldo bisa melihat kalau perempuan yang ada di sampingnya tidak tahu sama sekali tentang Pentatonik band. “Kau kenal dengan Djarot? atau Naryo?”
            “Kalau Djarot dan Adit, aku kenal dengan mereka. Jadi mereka itu teman satu band?” Aldo mengangguk setuju.
            “Pentatonic band berusaha menghancurkan band kalian?” tanya perempuan itu tak percaya.
            “Aku pun tidak tahu pasti kalau mereka punya tujuan seperti itu. Tapi kalau mereka sampai menghalalkan segala cara untuk menghancurkan The Beauty Symphony, sampai kapanpun mereka tidak akan pernah menjadi band yang sukses dan terkenal.”
            Perempuan itu hanya mengangguk takzim mendengar pernyataan dari Aldo. “Tapi tunggu dulu. Berarti kamu anak band juga ‘kan? Apa tadi nama band-mu?”
            “The Beauty Symphony,” ujar Aldo dengan mantap.
            “Dengar dari orang-orang, band kalian itu jago banget mengarasemen lagu orang. Isn’t right?”
            “Kalau dibilang jago sama orang lain, kayaknya enggak terlalu bagus banget sih. Cuma kami berterimakasih banyak kalau orang lain bilang kami jago mengarasmen. Tapi itu semua engak terlepas dari usaha dan kerja kearas para personil band. Karena tidak mudah untuk mengubah suatu lagu,” jelas Aldo panjang lebar.
            “Boleh aku request satu lagu?” pinta Margareth.
            “Boleh. Mau request lagu apa?”
            “Berhenti berharap dari Sheila On 7. Tapi ambil dari kunci nada C#m. Oke?”
            Vinno terheran mendengar lagu permintaan dari Margareth. Ditambah dengan kunci nada lumayan tinggi. Vinno ingin mendengar apakah Margareth sanggup menyanyikan lagu permintaannya dengan baik. Sebelum masuk ke lirik, lelaki berwajah bulat kekotakan itu mengambil interlude.
            Aku tak percaya lagi dengan apa yang kauberi
            Aku terdampar di sini tersudut menunggu mati
            Aku percaya lagi akan guna matahari
            Yang dulu selalu terangi sudut gelap hati ini...
            Dalam hati, Aldo begitu terkesima mendengar suara Margareth. Halus tapi sanggup mengambil nada tinggi. Aldo hampir tidak percaya kalau kalau yang dia dengar saat ini adalah suara Margareth.
            Aku pulang tanpa dendam
            Kuterima kekalahanku
            Aku pulang tanpa dendam
            Kusalut ‘kan kemenanganmu
            Jemari Aldo semakin bersemangat memetik sambil memindahkan kunci nada. Margareth semakin menunjukkan performa terbaiknya dalam menyanyikan lagu permintaannya.
            kau ajarkan aku bahagia
            kau ajarkan aku derita
            kau tunjukkan aku bahagia
            kau tunjukkan aku derita
            kau berikan aku bahagia
            kau berikan aku derita
            Sesaat usai menyanyikan sepenggal lirik terakhir, Aldo menyudahi permainan gitarnya. Ia melihat ke arah Margareth sambil berdecak kagum.
            “Aku sih yes setelah mendengar kamu bernyanyi. Suara kamu itu halus tapi sanggup mengambil nada tinggi tanpa terdengar fals. Hebat kamu,” komentar Aldo dengan sedikit gaya bicara Anang.
             “Terimakasih banyak, Aldo. Aku merasa terhormat dipuji sama vokalis band terkenal seperti kamu,” puji Margareth.
            “Ah kamu, Margreth. Aku belum bisa dikatakan terkenal. Band ini pun masih bisa dikatakan band lokal ya walaupun tinggal tunggu teken kontrak dari label rekaman nasional,” seloroh Aldo sambil menggaruk kecil kepala.
            “Aduh sangking seriusnya kita nyanyi, kita jadi lupa memperkenalkan diri. Namaku Aldo.” Aldo mengulurkan tangannya.
            “Margareth.” Perempuan itu ikut membalas jabat tangan Aldo.
            Di sinilah momen canggung itu terjadi walau hanya beberapa saat. Kedua insan berlainan jenis itu menatap satu sama lain. Entah apa yang mereka katakan lewat tatap itu, hanya mereka berdua saja yang tahu.
            “Ehm, Margareth, terimakasih. Berkat kamu aku jadi merasa lebih baik,” ujar Aldo sambil menoreh senyum kecil.
            “Benarkah? Padahal aku tidak memberikan nasihat apapun. Kita hanya bernyanyi saja,” balas Margareth seraya tersenyum juga.
            Aldo membuka resleting tas gitar lalu meletakkan gitar miliknya. Begitu tersimpan, ia mulai memanggul gitar itu di kedua pundak sambil bangkit berdiri.
            “Mungkin aku bisa memperkenalkan kamu pada teman-teman satu band-ku,” ucap Aldo sebelum memalingkan badan.
            “Senang rasanya kalau bisa berkenalan dengan temanmu nanti—”
            “Atau mungkin... kita bisa nyanyi dalam satu panggung,” ajak Aldo secara tak langsung kemudian dia beranjak pergi dari hadapan Margareth.
            “Kau tidak sedang bercanda bukan, Aldo? Suaraku jelek,” pungkir Margareth.
            “Itu semua tidak benar setelah kau nanti latihan dengan kami,” pungkas Aldo sambil menaikkan bokong di atas jok motor. Usai menekan klakson, sepeda motor Aldo memelesat meninggalkan lingkungan kampus.