Thursday, 1 February 2018

The Beauty Symphony - 10



Margareth dan Aldo
            “Hei.” Suara perempuan itu sontak mengagetkan Aldo. Untung saja gitar yang dipegangnya tidak lepas.
            Aldo mengarahkan matanya pada perempuan yang menyapa secara tiba-tiba. Rambut hitam sebahu tumbuh indah di atas kulit kepala. Bulu mata dan kelopak mata berkedip berulang-ulang kemudian perempuan itu menorehkan senyum.
            “Boleh bergabung dengan kamu?” tanya perempuan itu.
            Aldo seakan tak bisa melepaskan tatap matanya pada gadis itu. Dalam sekali lirik, ia sudah menyimpulkan bahwa perempuan yang ada di hadapannya saat ini merupakan perempuan manis.
            “O-oh enggak apa-apa. Silakan duduk.” Aldo mengulurkan tangan sambil menggeser bokong, memberi tempat untuk perempuan itu.
             Saat ini perempuan itu sudah bersama dengan Aldo. Aldo berusaha menahan kegugupan dalam hati begitu dia berada di sebelah perempuan itu.
            “Maaf ya aku mengagetkan kamu,” ucap perempuan itu dengan raut wajah sesal.
            “Enggak apa-apa. Tidak usah terlalu dipikirkan. Aku yang seharusnya berterimakasih. Kalau kamu enggak datang, pasti aku akan melamun terus di bangku ini,” kilah Aldo sambil memangku gitar di atas paha.
            “Benarkah? Tapi apa yang kamu lamunkan? Kelihatannya serius banget.”
            Perempuan itu mulai memberikan perhatian akan jawaban Aldo. Tatapan perempuan itu seolah memadamkan api amarah yang sempat marak di hati Aldo. Membuat Aldo tak konsentrasi memainkan kunci-kunci gitar.
            “Bukan masalah penting. Aku cuma ingin memberikan pelajaran pada Pentatonic band untuk tidak mengacau jika kami sedang konser,” jawab Aldo sambil meletakkan kembali gitarnya di samping bangku taman.
            “Pentatonic band...? Sepertinya aku pernah mendengar nama band itu.” Perempuan itu sedikit mendongak sambil memegangi dagu.
            Aldo bisa melihat kalau perempuan yang ada di sampingnya tidak tahu sama sekali tentang Pentatonik band. “Kau kenal dengan Djarot? atau Naryo?”
            “Kalau Djarot dan Adit, aku kenal dengan mereka. Jadi mereka itu teman satu band?” Aldo mengangguk setuju.
            “Pentatonic band berusaha menghancurkan band kalian?” tanya perempuan itu tak percaya.
            “Aku pun tidak tahu pasti kalau mereka punya tujuan seperti itu. Tapi kalau mereka sampai menghalalkan segala cara untuk menghancurkan The Beauty Symphony, sampai kapanpun mereka tidak akan pernah menjadi band yang sukses dan terkenal.”
            Perempuan itu hanya mengangguk takzim mendengar pernyataan dari Aldo. “Tapi tunggu dulu. Berarti kamu anak band juga ‘kan? Apa tadi nama band-mu?”
            “The Beauty Symphony,” ujar Aldo dengan mantap.
            “Dengar dari orang-orang, band kalian itu jago banget mengarasemen lagu orang. Isn’t right?”
            “Kalau dibilang jago sama orang lain, kayaknya enggak terlalu bagus banget sih. Cuma kami berterimakasih banyak kalau orang lain bilang kami jago mengarasmen. Tapi itu semua engak terlepas dari usaha dan kerja kearas para personil band. Karena tidak mudah untuk mengubah suatu lagu,” jelas Aldo panjang lebar.
            “Boleh aku request satu lagu?” pinta Margareth.
            “Boleh. Mau request lagu apa?”
            “Berhenti berharap dari Sheila On 7. Tapi ambil dari kunci nada C#m. Oke?”
            Vinno terheran mendengar lagu permintaan dari Margareth. Ditambah dengan kunci nada lumayan tinggi. Vinno ingin mendengar apakah Margareth sanggup menyanyikan lagu permintaannya dengan baik. Sebelum masuk ke lirik, lelaki berwajah bulat kekotakan itu mengambil interlude.
            Aku tak percaya lagi dengan apa yang kauberi
            Aku terdampar di sini tersudut menunggu mati
            Aku percaya lagi akan guna matahari
            Yang dulu selalu terangi sudut gelap hati ini...
            Dalam hati, Aldo begitu terkesima mendengar suara Margareth. Halus tapi sanggup mengambil nada tinggi. Aldo hampir tidak percaya kalau kalau yang dia dengar saat ini adalah suara Margareth.
            Aku pulang tanpa dendam
            Kuterima kekalahanku
            Aku pulang tanpa dendam
            Kusalut ‘kan kemenanganmu
            Jemari Aldo semakin bersemangat memetik sambil memindahkan kunci nada. Margareth semakin menunjukkan performa terbaiknya dalam menyanyikan lagu permintaannya.
            kau ajarkan aku bahagia
            kau ajarkan aku derita
            kau tunjukkan aku bahagia
            kau tunjukkan aku derita
            kau berikan aku bahagia
            kau berikan aku derita
            Sesaat usai menyanyikan sepenggal lirik terakhir, Aldo menyudahi permainan gitarnya. Ia melihat ke arah Margareth sambil berdecak kagum.
            “Aku sih yes setelah mendengar kamu bernyanyi. Suara kamu itu halus tapi sanggup mengambil nada tinggi tanpa terdengar fals. Hebat kamu,” komentar Aldo dengan sedikit gaya bicara Anang.
             “Terimakasih banyak, Aldo. Aku merasa terhormat dipuji sama vokalis band terkenal seperti kamu,” puji Margareth.
            “Ah kamu, Margreth. Aku belum bisa dikatakan terkenal. Band ini pun masih bisa dikatakan band lokal ya walaupun tinggal tunggu teken kontrak dari label rekaman nasional,” seloroh Aldo sambil menggaruk kecil kepala.
            “Aduh sangking seriusnya kita nyanyi, kita jadi lupa memperkenalkan diri. Namaku Aldo.” Aldo mengulurkan tangannya.
            “Margareth.” Perempuan itu ikut membalas jabat tangan Aldo.
            Di sinilah momen canggung itu terjadi walau hanya beberapa saat. Kedua insan berlainan jenis itu menatap satu sama lain. Entah apa yang mereka katakan lewat tatap itu, hanya mereka berdua saja yang tahu.
            “Ehm, Margareth, terimakasih. Berkat kamu aku jadi merasa lebih baik,” ujar Aldo sambil menoreh senyum kecil.
            “Benarkah? Padahal aku tidak memberikan nasihat apapun. Kita hanya bernyanyi saja,” balas Margareth seraya tersenyum juga.
            Aldo membuka resleting tas gitar lalu meletakkan gitar miliknya. Begitu tersimpan, ia mulai memanggul gitar itu di kedua pundak sambil bangkit berdiri.
            “Mungkin aku bisa memperkenalkan kamu pada teman-teman satu band-ku,” ucap Aldo sebelum memalingkan badan.
            “Senang rasanya kalau bisa berkenalan dengan temanmu nanti—”
            “Atau mungkin... kita bisa nyanyi dalam satu panggung,” ajak Aldo secara tak langsung kemudian dia beranjak pergi dari hadapan Margareth.
            “Kau tidak sedang bercanda bukan, Aldo? Suaraku jelek,” pungkir Margareth.
            “Itu semua tidak benar setelah kau nanti latihan dengan kami,” pungkas Aldo sambil menaikkan bokong di atas jok motor. Usai menekan klakson, sepeda motor Aldo memelesat meninggalkan lingkungan kampus.

No comments:

Post a Comment