Margareth dan Aldo
“Hei.” Suara perempuan itu sontak mengagetkan Aldo.
Untung saja gitar yang dipegangnya tidak lepas.
Aldo mengarahkan matanya pada
perempuan yang menyapa secara tiba-tiba. Rambut hitam sebahu tumbuh indah di
atas kulit kepala. Bulu mata dan kelopak mata berkedip berulang-ulang kemudian
perempuan itu menorehkan senyum.
“Boleh bergabung dengan kamu?” tanya
perempuan itu.
Aldo seakan tak bisa melepaskan
tatap matanya pada gadis itu. Dalam sekali lirik, ia sudah menyimpulkan bahwa
perempuan yang ada di hadapannya saat ini merupakan perempuan manis.
“O-oh enggak apa-apa. Silakan
duduk.” Aldo mengulurkan tangan sambil menggeser bokong, memberi tempat untuk
perempuan itu.
Saat ini perempuan itu sudah bersama dengan
Aldo. Aldo berusaha menahan kegugupan dalam hati begitu dia berada di sebelah
perempuan itu.
“Maaf ya aku mengagetkan kamu,” ucap
perempuan itu dengan raut wajah sesal.
“Enggak apa-apa. Tidak usah terlalu
dipikirkan. Aku yang seharusnya berterimakasih. Kalau kamu enggak datang, pasti
aku akan melamun terus di bangku ini,” kilah Aldo sambil memangku gitar di atas
paha.
“Benarkah? Tapi apa yang kamu
lamunkan? Kelihatannya serius banget.”
Perempuan itu mulai memberikan
perhatian akan jawaban Aldo. Tatapan perempuan itu seolah memadamkan api amarah
yang sempat marak di hati Aldo. Membuat Aldo tak konsentrasi memainkan
kunci-kunci gitar.
“Bukan masalah penting. Aku cuma
ingin memberikan pelajaran pada Pentatonic band untuk tidak mengacau jika kami
sedang konser,” jawab Aldo sambil meletakkan kembali gitarnya di samping bangku
taman.
“Pentatonic band...? Sepertinya aku
pernah mendengar nama band itu.”
Perempuan itu sedikit mendongak sambil memegangi dagu.
Aldo bisa melihat kalau perempuan
yang ada di sampingnya tidak tahu sama sekali tentang Pentatonik band. “Kau
kenal dengan Djarot? atau Naryo?”
“Kalau Djarot dan Adit, aku kenal dengan
mereka. Jadi mereka itu teman satu band?” Aldo mengangguk setuju.
“Pentatonic band berusaha
menghancurkan band kalian?” tanya perempuan itu tak percaya.
“Aku pun tidak tahu pasti kalau
mereka punya tujuan seperti itu. Tapi kalau mereka sampai menghalalkan segala
cara untuk menghancurkan The Beauty
Symphony, sampai kapanpun mereka tidak akan pernah menjadi band yang sukses
dan terkenal.”
Perempuan itu hanya mengangguk takzim
mendengar pernyataan dari Aldo. “Tapi tunggu dulu. Berarti kamu anak band juga
‘kan? Apa tadi nama band-mu?”
“The Beauty Symphony,” ujar Aldo
dengan mantap.
“Dengar dari orang-orang, band
kalian itu jago banget mengarasemen lagu orang. Isn’t right?”
“Kalau dibilang jago sama orang
lain, kayaknya enggak terlalu bagus banget sih. Cuma kami berterimakasih banyak
kalau orang lain bilang kami jago mengarasmen. Tapi itu semua engak terlepas
dari usaha dan kerja kearas para personil band. Karena tidak mudah untuk mengubah
suatu lagu,” jelas Aldo panjang lebar.
“Boleh aku request satu lagu?” pinta Margareth.
“Boleh. Mau request lagu apa?”
“Berhenti berharap dari Sheila On 7.
Tapi ambil dari kunci nada C#m. Oke?”
Vinno terheran mendengar lagu
permintaan dari Margareth. Ditambah dengan kunci nada lumayan tinggi. Vinno
ingin mendengar apakah Margareth sanggup menyanyikan lagu permintaannya dengan
baik. Sebelum masuk ke lirik, lelaki berwajah bulat kekotakan itu mengambil interlude.
Aku
tak percaya lagi dengan apa yang kauberi
Aku
terdampar di sini tersudut menunggu mati
Aku
percaya lagi akan guna matahari
Yang
dulu selalu terangi sudut gelap hati ini...
Dalam hati, Aldo begitu terkesima mendengar suara
Margareth. Halus tapi sanggup mengambil nada tinggi. Aldo hampir tidak percaya
kalau kalau yang dia dengar saat ini adalah suara Margareth.
Aku
pulang tanpa dendam
Kuterima
kekalahanku
Aku
pulang tanpa dendam
Kusalut
‘kan kemenanganmu
Jemari Aldo semakin bersemangat memetik sambil
memindahkan kunci nada. Margareth semakin menunjukkan performa terbaiknya dalam
menyanyikan lagu permintaannya.
kau
ajarkan aku bahagia
kau
ajarkan aku derita
kau
tunjukkan aku bahagia
kau
tunjukkan aku derita
kau
berikan aku bahagia
kau
berikan aku derita
Sesaat usai menyanyikan sepenggal lirik terakhir, Aldo
menyudahi permainan gitarnya. Ia melihat ke arah Margareth sambil berdecak
kagum.
“Aku sih yes setelah mendengar kamu bernyanyi. Suara kamu itu halus tapi
sanggup mengambil nada tinggi tanpa terdengar fals. Hebat kamu,” komentar Aldo
dengan sedikit gaya bicara Anang.
“Terimakasih banyak, Aldo. Aku merasa
terhormat dipuji sama vokalis band terkenal seperti kamu,” puji Margareth.
“Ah kamu, Margreth. Aku belum bisa
dikatakan terkenal. Band ini pun masih bisa dikatakan band lokal ya walaupun
tinggal tunggu teken kontrak dari label rekaman nasional,” seloroh Aldo sambil
menggaruk kecil kepala.
“Aduh sangking seriusnya kita
nyanyi, kita jadi lupa memperkenalkan diri. Namaku Aldo.” Aldo mengulurkan
tangannya.
“Margareth.” Perempuan itu ikut
membalas jabat tangan Aldo.
Di sinilah momen canggung itu
terjadi walau hanya beberapa saat. Kedua insan berlainan jenis itu menatap satu
sama lain. Entah apa yang mereka katakan lewat tatap itu, hanya mereka berdua
saja yang tahu.
“Ehm, Margareth, terimakasih. Berkat
kamu aku jadi merasa lebih baik,” ujar Aldo sambil menoreh senyum kecil.
“Benarkah? Padahal aku tidak
memberikan nasihat apapun. Kita hanya bernyanyi saja,” balas Margareth seraya
tersenyum juga.
Aldo membuka resleting tas gitar
lalu meletakkan gitar miliknya. Begitu tersimpan, ia mulai memanggul gitar itu
di kedua pundak sambil bangkit berdiri.
“Mungkin aku bisa memperkenalkan
kamu pada teman-teman satu band-ku,” ucap Aldo sebelum memalingkan badan.
“Senang rasanya kalau bisa
berkenalan dengan temanmu nanti—”
“Atau mungkin... kita bisa nyanyi
dalam satu panggung,” ajak Aldo secara tak langsung kemudian dia beranjak pergi
dari hadapan Margareth.
“Kau tidak sedang bercanda bukan,
Aldo? Suaraku jelek,” pungkir Margareth.
“Itu semua tidak benar setelah kau
nanti latihan dengan kami,” pungkas Aldo sambil menaikkan bokong di atas jok
motor. Usai menekan klakson, sepeda motor Aldo memelesat meninggalkan
lingkungan kampus.

No comments:
Post a Comment