Monday, 5 February 2018

The Beauty Symphony - 12 (TAMAT)



Firasat Fidel
            Derap tapak sneaker membungkus kaki Margareth begitu teratur mengetuk lantai keramik. Perempuan itu sudah berada di depan sebuah rumah bekas yang berada di sebelah kiri gerbang keempat. Rumah kosong itu ditumbuhi tiga pohon jati berdiri tegak memanjang ke atas seolah menjadi pagar alami bagi rumah itu.
            Suasana hampir memasuki magrib. Orang-orang berlalu lalang di sekitar sana tidak terlalu banyak. Hampir bisa dibilang sepi. Pelan-pelan Margareth memasuki rumah itu. Daun telinganya begitu awas saat mendengar suara laki-laki tengah berbincang-bincang dengan suara agak besar.
            “Thomas,” panggil Margareth dari pintu depan.
            Di dalam sana, Marthin dan Edo sedang menggulung dedaunan kering berwarna hijau muda dalam selembar kertas rokok. Sedangkan Djarot, Adit dan Anton sedang mengisap Dunhill penuh penghayatan akan kenikmatan. Di depan mereka berlima sudah tersedia dua teko tuak dan enam bungkus makanan ringan.
            Djarot mendengar ada suara perempuan sedang memanggil dirinya. Dan dia pun sudah tak asing dengan suara itu.
            Pasti itu Margareth, duga batin Djarot lalu dia bangkit berdiri sambil beranjak dari sana.
            “Eh mau ke mana, Rot? Pesta kita belum selesai,” cegah Adit sambil menuangkan tuak ke dalam cangkir plastiknya.
            Gua punya urusan sebentar. Elo tunggu aja di sini.” Djarot berusaha meyakinkan teman-temannya kalau dia takkan lama.
            “Eh Rot, kayaknya gua dengar suara perempuan manggil nama loe. Kenapa loe enggak suruh dia masuk aja? Siapa tahu bisa kita ngobrol bareng-bareng. Ya enggak?” Djarot tidak mempedulikan gelak tawa teman-temannya begitu mendengar lelucon yang disampaikan Edo. Dan Thomas tahu kalau Edo sudah mulai “fly”. Lelaki berdagu agak lancip itu sudah melinting sebanyak tiga batang.
            Djarot telah berada di ruang depan rumah kosong. Di sana, Margareth berdiri sambil melipat kedua tangan di dada.
            “Belum lamakah menunggu?” tanya Djarot dengan wajah anggap enteng.
            “Sedang apa kamu dan kawan-kawanmu di dalam sana?” tanya Margareth dengan tampang serius.
            “Ya biasa. Berpesta pora menikmati kehidupan masa muda. Mau gabung?” ajak Djarot sekadar berbasa-basi.
            “Tidak. Terimakasih. Aku cuma ingin bilang kepadamu kalau aku sudah melakukan apa yang kamu katakan. Dan sekarang—“
            “Et tunggu dulu. Kamu masih punya sejumlah persyaratan yang harus kamu penuhi. Dan saat ini aku mau kamu melakukan hal ini.” Djarot mendekatkan kepalanya ke telinga Margareth. Perempuan itu mendelikkan mata seakan kaget begitu Djarot usai membisikkan sesuatu.
            “Bisa bukan? Kalau kau ingin aku cepat mengatakan jawabanku, kau harus segera melakukannya,” tanya Djarot lagi guna memastikan.
            Margareth lebih banyak diam tanpa bisa berkata-kata. Lalu ia menjauh dari hadapan Djarot serta rumah kosong itu.
*
            Langit pagi di hari Jumat tidak menampakkan gegumpalan awan hitam pekat bertengger di hamparan angkasa. Tapi tak juga si bola api raksasa menerikkan sinar panas.Sungguh cuaca yang cocok untuk bersantai atau jalan-jalan namun tidak bagi empat lelaki ini.
            Ah, Jumat  padat Jumat penat, keluh hati Fidel. Ia sedang duduk di atas jok sepeda motor menungggu Aldo selesai mengikat tali sepatu.
             “Cepat Fidel nyalakan sepeda motormu. Nanti kita terlambat,” suruh Aldo sambil menghampiri Fidel.
            “Eh koplak. Dari tadi gua nunggu-nunggu elo. Malah elo yang bilang kita telat gara-gara gua,” balas Fidel yang kesal mendengar omongan Aldo.
               Di sebelah Fidel, Riky pun begitu. Ia berdecak tak sabar sambil bolak-balik melirik jam tangan.
            “Ohoh, cepatlah Jim. Dosenku sudah masuk lho.” Riky memperingatkan Jimmy agar ia segera keluar dari rumah. Sementara Jimmy sendiri sedang merapikan bedak yang agak tebal di bagian kening dan pipi.
            Usai merapikan bedak, Jimmy langsung mengengsel jerajak besi setelah itu mendaratkan pantat di atas jok sepeda motor Riky,
            “Kayaknya kita bakal telat lagi nih sama Mam Bretha,” ujar Fidel sambil melirik jam tangan sebelum melajukan sepeda motor.
            Keempat lelaki itu sudah siap meninggalkan kontrakan mereka. Fidel dan Riky memacu gas lebih kencang agar lebih cepat tiba di kampus. Salip menyalip terjadi di lalu lalang kendaraan bermotor di jalan lintas Asahan. Kedua pengemudi sepeda motor itu lumayan lega setelah melihat gerbang besi terbuka lebar untuk akses kampus.
            Sesampainya mereka di tempat parkir, keempat laki-laki itu mempercepat langkah mereka menuju kelas masing-masing.
            “Ayo Do. Mom itu sudah masuk.” Aldo dan Fidel terus mempercepat tungkai kaki mereka menaiki anak tangga.
            Tepat di ruangan  36 E. Di situlah ruang kuliah grup E stambuk 2014 program studi ilmu keguruan dan pendidikan jurusan pendidikan bahasa Inggris. Aldo dan Fidel merupakan mahasiswa dalam grup itu.
            “Gimana nih? Mom itu sudah masuk pula. Masuknya kita?” tanya Fidel pada Aldo. Di wajahnya yang minim jerawat terpahat kekhawatiran.
            “Ya kita coba aja dulu. Kalau enggak dibolehkan, apa boleh buat,” ungkap Aldo. Ia terlihat tanpa beban dan takut mengetuk pintu.
            Sudah tiga kali Aldo mengetuk pintu kemudian dia menekan gagang pintu. Begitu daun pintu tersingkap,  mereka menampakkan diri di hadapan dosen yang sedang mengajar.
            “Permisi Mom. Kami mau masuk. Mau mengikuti mata kuliah ini,” ucap Aldo dengan nada bicara sesopan mungkin.
            Sang dosen masih menatap kedua lelaki itu dengan tatapan tak bersahabat. “Coba lihat jam tangan kamu. Sudah jam berapa sekarang?” suruh sang dosen pada Fidel.
            “Pukul 08.40, Mam,” jawab Fidel.
            See you next week. Oke kalian keluar dan tutup pintunya,” ucap dosen berbadan gempal dan tinggi itu.
            “Tapi Mam,” bantah Aldo.
            “Kalian mau  nama kalian saya blacklist dari daftar ujian?” ancam sang dosen.
            Setelah mendengar ancaman dari sang dosen, Aldo dan Fidel langsung meninggalkan ruangan.  Kini mereka bingung entah apa yang akan  mereka lakukan saat ini. Usai menuruni anak tangga, secara kebetulan mereka berjumpa dengan Riky.
            “Hey, enggak dikasih masuk juga, Rik?” tanya Fidel.
            “Ya biasalah. Sudah mencapai batas absen maksimal,” jawab Riky seraya menghela napas pasrah.
            “Tapi gimana dengan Jimmy? Apa kita harus menunggunya sampai keluar?” tanya Fidel pada dua temannya.
            “Kupikir lebih baik kita pergi saja ke kantin dulu. Kalau dia sudah selesai, kita beritahu lewat BBM. Gimana?“ usul Aldo.
            Fidel dan Riky mengangguk setuju. Ketiga lelaki itu segera melangkahkan kaki menuju kantin. Perjalanan menuju kantin tidak terlalu memakan waktu lama. Hanya sekitar lima menit jika berjalan kaki. Begitu lima menit dihabiskan dengan bercerita, mereka sudah tiba di kantin gerbang ketiga.
            Tapi tak sengaja, mereka berpapasan dengan para personil Pentatonic band. Ketiga lelaki itu berhenti sejenak, membiarkan musuh bebunyutan lewat terlebih dahulu. Djarot yang berada di barisan terakhir tersenyum penuh misteri pada Fidel lalu memalingkan kepalanya kembali ke posisi semula.
            Apa yang mereka lakukan di sini? tanya batin Fidel.
            “Hey Aldo ke sini.” Suara perempuan memanggil nama Vinno sambil menyuruh mereka ketiga menghampiri tempat perempuan itu duduk.
            Siapa perempuan itu? tanya Fidel dalam hatinya.

No comments:

Post a Comment