Nostalgia Vinno
Perjalanan menuju rumah kontrakan tidak memakan
waktu lama. Akan tetapi Aldo memakai waktu tempuh di jalan untuk memikirkan
gadis itu—Margareth.
Entah apa yang membuat Aldo begitu
memikirkan gadis yang satu ini. Padahal dari segi fisik, Margareth termasuk
perempuan tipe standar. Tidak kelihatan wah. Mungkin perempuan yang satu ini
bisa mengalihkan pikiran Aldo akan mantan pacarnya tiga tahun lalu.
*
Aldo menurunkan dongkrak sepeda
motor. Ia melangkah pelan memasuki rumah.
Di sana Aldo bisa melihat ketiga temannya sedang ambil kesibukan masing-masing.
Fidel sedang mengayunkan jemari memetik keenam senar gitar. Riky sedang
menggoreskan kertas menggunakan pensil 6B di tangan. Dan Jimmy berkonsentrasi
dengan gawai pribadi miliknya.
Ada canggung bercampur segan ketika
Aldo ingin menyapa teman-temannya. Akan tetapi tak satu pun dari mereka bertiga
melirik atau sekadar memastikan kalau Aldo sudah berada di sana.
Mungkin
mereka masih marah, ujar batin Aldo. Lelaki itu memasukkan sepeda motornya
ke dalam ruang depan.
Begitu sepeda motor Aldo terparkir
di sana, lelaki berambut tebal itu melangkah cepat menuju kamar tidur.
Sebenarnya Fidel sempat melirik sedikit padanya tapi itu hanya sekejap. Lalu
Fidel kembali mencurahkan konsentrasi pada gitar.
Aldo menapakkan kedua kakinya pada
keset. Begitu kakinya sudah cukup bersih, Aldo membaringkan punggung di atas
kasur. Ia melipat kedua tangan lalu ditindih dengan tempurung kepala bagian
belakang.
Bola mata memandang ke atas asbes.
Aldo mulai melalangbuanakan alam pikirnya. Ia masih terbayang dengan perempuan
yang menemaninya tadi di taman kampus.
“Margareth,” gumam Aldo. Kemudian,
lelaki itu merogoh saku jins mencari gawai pribadinya. Begitu mendapatkannya,
Aldo membuka pengunci papan tombol lalu mengaktifkan paket data.
Usai paket data aktif, jemari Aldo
menekan ikon Facebook pada layar gawai pribadi. Saat sudah terhubung dengan
Facbook, di bagian mesin pencarian, jemari Aldo mulai menekan huruf yang
tertera pada papan tombol.
Ini
dia, pekik batin Aldo.
Margareth Allysia Sianturi. Itu nama
lengkap sekaligus nama profil Facebook-nya. Pertama kali Aldo membaca biodata
kemudian lanjut ke album foto.
“Mau dilihat melalui foto atau
secara langsung, dia tetap saja manis,” ujar Aldo sambil menyunggingkan senyum.
Memberikan reaksi pada salah satu foto yang dipilihnya.
Aldo menyimpan foto yang dia pilih
dalam folder tersendiri.
Lumayan.
Biar ada yang bisa dipandangi tiap malam sebelum tidur, ucap hati Aldo.
Tapi yang mengherankan bagi Aldo
adalah perempuan itu sangat mirip dengan mantannya dua tahun yang lalu—Yulia
Fatlin Nainggolan.
*
Nama perempuan itu merupakan mantan
pertama sekaligus seseorang yang paling dibenci hingga saat ini. Bagaimana
tidak benci. Vinno dan perempuan itu sudah berpacaran sejak kelas 3 SMA
semester satu.
Perjalanan cinta sepasang kekasih
itu berjalan harmonis di tahun pertama. Tapi tak selamanya hubungan percintaan
selalu berjalan lancar. Sudah tiba saatnya untuk para siswa kelas 3 SMA
menamatkan pendidikan mereka di sekolah menengah menuju pendidikan tinggi atau
melamar pekerjaan.
Komunikasi via telepon, SMS atau
media sosial tak lagi intens. Dulu bisa saja tak pernah absen menghubungi atau
mengirim pesan setiap hari. Kini semenjak beda jurusan sekaligus beda perguruan
tinggi, Aldo dan pacarnya jadi jarang komunikasi. Itu pun dalam sekali sebulan
mereka baru bisa berkomunikasi. Tapi di situlah awal dari berakhirnya hubungan
asmara yang dijalin Aldo.
Aldo sudah memasuki perkuliahan
semester dua. Di semester ini, jadwal perkuliahan untungnya tidak terlalu sibuk.
Aldo sudah bisa mengatur jadwal bertelepon dengan sang pacar dua kali dalam
seminggu. Dia pikir hal itu juga tidak akan mengganggu kesibukan Yulia, sang
pacar.
Malam Kamis sekitar pukul 20.00
malam, Aldo mulai mencari nomor sang pacar kemudia menekan tombol hijau untuk
menghubungi.
Nomor
yang Anda tuju tidak dapat dihubungi atau berada di luar jangkauan. Cobalah
beberapa saat lagi, ucap Costumer Service operator Telkomnet.
“Lho kenapa jadi begini?” ucap Aldo
setengah khawatir. Ia berulang kali menghubungi nomor Adelima tapi jawaban yang
dia dapatkan tetap sama.
Aldo tak kehabisan akal. Ia membuka
akun facebook-nya lalu mencari nama
profil facebook pacarnya di kotak
pencarian. Namun hasilnya yang didapatkan nihil. Ia tidak bisa menemukan nama
pacarnya.
Apa
mungkin aku... diblokir? duga Aldo dalam hati. Aldo mulai menyerah dengan
keadaan. Ia melempar telepon genggam miliknya ke ranjang bersprei biru lalu
membanting badan di atas ranjang itu.
Lelaki berwajah agak kotak itu
memejamkan mata sesaat, membiarkan air mata meluruh tanpa hambatan. Ia tak tahu
apa yang mesti dilakukan atau barangkali diungkap atas perlakuan sang pacar.
Apakah ini yang namanya ditinggal pergi tanpa alasan jelas?
Dua minggu sejak kejadian itu, Aldo
masih belum bisa berpaling dari sang pacar. Ia masih menganggap Yulia sebagai
pacarnya. Aldo berpikir mungkin saja sang pacar sedang bermasalah dengan
keluarga atau teman-temannya. Dan soal akun facebook-nya
yang diblokir, ia menganggap itu sebagai lampiasan kekesalan atas masalah.
Iseng-iseng membuka facebook saat
mata kuliah Pronouncation Practice. Ia melihat satu notifikasi tertera di
akunnya. Merasa penasaran, Aldo membuka notifikasi itu. Ia melihat satu
nofikasi dari Yulia, sang pacar.
“Syukurlah, dia menambahkanku
kembali ke dalam daftar pertemanan,” ucap Aldo lega. Tapi kelegaan itu cuma
berlangsung singkat. Muncullah kekhawatiran ketika di notifikasi itu Yulia
menambahkan dua foto baru dan menandai beberapa akun termasuk akun Aldo.
Degup jantung terpacu kian kencang.
Aliran darah terus memompa dari urat nadi di tangan sampai ke otak. Ubun-ubun
kian panas. Mungkin mendidih. Ingin rasanya Aldo melepaskan amarah ketika ia
melihat Yulia sudah menggandeng laki-laki lain. Amarah Aldo semakin memuncak
ketika ia membaca caption. Happy Annniversary One Year, Darling. Keep
staying with me.
Kalau saja Aldo tidak bisa
mengendalikan diri, ia bisa saja melempar telepon genggam miliknya ke tembok
depan kelas. Akan tetapi ia lebih memilih memendam amarah sebisa mungkin.
Perkuliahan hari Kamis sudah
selesai. Aldo menarik tali gas sepeda motor secepat mungkin agar ia bisa tiba
di rumah pamannya. Kedua kakinya melangkah tegas menuju kamar tidur. Ia
mengunci pintu dari dalam lalu menyangkutkan tas punggung di balik pintu. Aldo
cepat-cepat mengeluarkan telepon genggam miliknya.
“Halo.” Setelah lama nomor sang
pacar tidak bisa dihubungi, untuk saat ini nomor itu sudah tersambung.
“Halo, Aldo sayang. Apa kabar?” sapa
Yulia, manja.
“Tidak usah bersandiwara. Sekarang
kamu jelaskan siapa foto laki-laki di facebook-mu
itu?” tepis Aldo dingin tanpa basa-basi.
“Hah? Maksud kamu apa sih, Do? Aku
sama sekali enggak ngerti.” Yulia yang merasa bingung, berusaha meminta
penjelasan pada sang pacar.
“Kamu enggak usah pura-pura!
Sekarang jelaskan siapa laki-laki itu?!” Aldo menaikkan volume suaranya lebih
kuat. Ia sudah muak dengan sandiwara buatan Yulia.
Untuk beberapa saat, keduanya memilih untuk
bungkam. Tak mengeluarkan sebisik suara pun. Bisa saja sama-sama menunggu siapa
yang akan berkata pertama kali.
“Kamu tidak pernah ada waktu
untukku.” Begitu lama dengan kediaman masing-masing, akhirnya Yulia angkat
bicara.
“Apa katamu?” ulang Aldo sekali lagi
pada Yulia. Dia seakan tidak percaya dengan apa yang keluar dari mulut
pacarnya.
“Kau bilang aku tidak punya waktu
untukmu? Yulia... aku sudah pernah bilang kepadamu, bukan, kalau aku tidak akan
pernah meninggalkanmu. Walaupun kita sekarang jarang bertemu, setidaknya aku
selalu berusaha untuk menanyakan kabarmu. Tapi beginikah balasanmu atas semua
yang pernah kita jalani?” Entah apa yang membuat Aldo lancar berkata-kata pada
sang pacar. Padahal selama ini ketika ia bertelepon dengan sang pacar,
kegugupan selalu menjadi ciri khas dalam setiap perbincangan Aldo. Dan
lagi-lagi, tanpa disadari bulir mata meluncur pasti dari kedua kelopak mata.
“Kau selalu saja bilang bahwa kau
sibuk mengejar cita-citamu sebagai seorang musisi. Kau tidak pernah panjang
lebar bercerita atau barangkali mendengar keluh kesahku sebagai pacarmu. Benar
begitu kan, Aldo? Apakah aku tidak termasuk dalam cita-citamu?”
Aldo tertohok mendengar perkataan
Yulia. Lelaki itu hampir hilang akal membalas pertanyaan dari sang pacar.
“Yulia, yang kamu katakan itu ti—“
“Kita putus.” Bersamaan dengan
ucapan terakhir Yulia, sambungan telepon mereka berdua sudah putus total. Aldo
yang masih menginginkan Yulia mendengarkan penjelasannya, coba menghubungi
kembali sang pacar. Tetapi Yulia benar-benar tidak bisa dihubungi lagi.
“Kalau itu yang kamu mau, mulai saat
ini aku sudah menganggap kamu mati.”
*
Aldo begitu fokus mengamati
awang-awang di kamar tidurnya. Tanpa disadari Fidel sudah melangkah menuju
pintu kamar.
“Sedang melamunkan apa?” tanya Fidel
sambil membanting badan pelan di atas kasur.
Aldo diam sebentar seraya melihat
teman sekamarnya. “Fidel.”
“Ada apa?” jawab Fidel tanpa
memindahkan pandangan dari gawai pribadi yang sedang dipegang.
“Aku minta maaf soal kejadian di
kantin Wanada. Dan juga aku minta maaf karena telah memukulmu. Aku sungguh
menyesal.” Aldo memalingkan wajah penuh sesal itu ke arah Fidel sambil menunggu
jawaban atas permintaan maafnya.
Mendengar sang teman sudah meminta
maaf, membuat Fidel harus meletakkan gawainya lalu mengalihkan pandangan pada
Aldo.
“Aku juga minta maaf karena terlalu
menekanmu, Vinno. Tapi lain kali, kau harus belajar mengendalikan emosi agar
tanganmu tidak melukai pipiku lagi,” ujar Fidel sambil mengelus pelan pipinya
yang agak membiru.
“Aku janji. Tapi kau tahu, Fidel,
aku bertemu dengan seseorang yang mirip dengan Yulia.”
Fidel yang kurang mengerti maksud
perkataan Yulia, mencoba bertanya balik. “Yulia? Maksudmu, Yulia mantan pacar
kamu itu?”
“Iya itu. Kamu enggak percaya? Ini.
Kuperlihatkan padamu.” Selesai membuka kode pengaman layar, Aldo memperlihatkan
foto yang dia ambil dari facebook
lalu disodorkan ke hadapan wajah Fidel.
“Udah? Mirip ‘kan?”
“Mirip sih. Itu aja?” Aldo
menganggukkan kepala dua kali.
“Dia kuliah di kampus Mensenno
juga?”
“Iya tapi sayangnya aku lupa
menanyakan dia prodi apa dan stambuk tahun berapa.” Aldo memasukkan lagi gawai
pribadi ke dalam saku celana jins.
Fidel bisa melihat sinar wajah
temannya begitu berseri ditambah lagi Aldo menyunggingkan senyum kecil. Lelaki
beramhut ikal itu berpikir apa mungkin temannya yang satu ini sedang jatuh
cinta?
“Mungkin kita bisa bertemu dia besok
di kampus.” Fidel kembali mengambil gawainya yang tergeletak tak jauh dari
bantal.
“Ya aku pun juga tidak sabar ingin
mengenalkannya pada kalian bertiga.”

No comments:
Post a Comment