Sunday, 4 February 2018

The Beauty Symphony - 11



Nostalgia Vinno
            Perjalanan menuju rumah kontrakan tidak memakan waktu lama. Akan tetapi Aldo memakai waktu tempuh di jalan untuk memikirkan gadis itu—Margareth.
            Entah apa yang membuat Aldo begitu memikirkan gadis yang satu ini. Padahal dari segi fisik, Margareth termasuk perempuan tipe standar. Tidak kelihatan wah. Mungkin perempuan yang satu ini bisa mengalihkan pikiran Aldo akan mantan pacarnya tiga tahun lalu.
*
            Aldo menurunkan dongkrak sepeda motor. Ia melangkah pelan memasuki rumah.  Di sana Aldo bisa melihat ketiga temannya sedang ambil kesibukan masing-masing. Fidel sedang mengayunkan jemari memetik keenam senar gitar. Riky sedang menggoreskan kertas menggunakan pensil 6B di tangan. Dan Jimmy berkonsentrasi dengan gawai pribadi miliknya.
            Ada canggung bercampur segan ketika Aldo ingin menyapa teman-temannya. Akan tetapi tak satu pun dari mereka bertiga melirik atau sekadar memastikan kalau Aldo sudah berada di sana.
            Mungkin mereka masih marah, ujar batin Aldo. Lelaki itu memasukkan sepeda motornya ke dalam ruang depan.
            Begitu sepeda motor Aldo terparkir di sana, lelaki berambut tebal itu melangkah cepat menuju kamar tidur. Sebenarnya Fidel sempat melirik sedikit padanya tapi itu hanya sekejap. Lalu Fidel kembali mencurahkan konsentrasi pada gitar.
            Aldo menapakkan kedua kakinya pada keset. Begitu kakinya sudah cukup bersih, Aldo membaringkan punggung di atas kasur. Ia melipat kedua tangan lalu ditindih dengan tempurung kepala bagian belakang.
            Bola mata memandang ke atas asbes. Aldo mulai melalangbuanakan alam pikirnya. Ia masih terbayang dengan perempuan yang menemaninya tadi di taman kampus.
            “Margareth,” gumam Aldo. Kemudian, lelaki itu merogoh saku jins mencari gawai pribadinya. Begitu mendapatkannya, Aldo membuka pengunci papan tombol lalu mengaktifkan paket data.
            Usai paket data aktif, jemari Aldo menekan ikon Facebook pada layar gawai pribadi. Saat sudah terhubung dengan Facbook, di bagian mesin pencarian, jemari Aldo mulai menekan huruf yang tertera pada papan tombol.
            Ini dia, pekik batin Aldo.
            Margareth Allysia Sianturi. Itu nama lengkap sekaligus nama profil Facebook-nya. Pertama kali Aldo membaca biodata kemudian lanjut ke album foto.
            “Mau dilihat melalui foto atau secara langsung, dia tetap saja manis,” ujar Aldo sambil menyunggingkan senyum. Memberikan reaksi pada salah satu foto yang dipilihnya.
            Aldo menyimpan foto yang dia pilih dalam folder tersendiri.
            Lumayan. Biar ada yang bisa dipandangi tiap malam sebelum tidur, ucap hati Aldo.
            Tapi yang mengherankan bagi Aldo adalah perempuan itu sangat mirip dengan mantannya dua tahun yang lalu—Yulia Fatlin Nainggolan.
*
            Nama perempuan itu merupakan mantan pertama sekaligus seseorang yang paling dibenci hingga saat ini. Bagaimana tidak benci. Vinno dan perempuan itu sudah berpacaran sejak kelas 3 SMA semester satu.
            Perjalanan cinta sepasang kekasih itu berjalan harmonis di tahun pertama. Tapi tak selamanya hubungan percintaan selalu berjalan lancar. Sudah tiba saatnya untuk para siswa kelas 3 SMA menamatkan pendidikan mereka di sekolah menengah menuju pendidikan tinggi atau melamar pekerjaan.
            Komunikasi via telepon, SMS atau media sosial tak lagi intens. Dulu bisa saja tak pernah absen menghubungi atau mengirim pesan setiap hari. Kini semenjak beda jurusan sekaligus beda perguruan tinggi, Aldo dan pacarnya jadi jarang komunikasi. Itu pun dalam sekali sebulan mereka baru bisa berkomunikasi. Tapi di situlah awal dari berakhirnya hubungan asmara yang dijalin Aldo.
            Aldo sudah memasuki perkuliahan semester dua. Di semester ini, jadwal perkuliahan untungnya tidak terlalu sibuk. Aldo sudah bisa mengatur jadwal bertelepon dengan sang pacar dua kali dalam seminggu. Dia pikir hal itu juga tidak akan mengganggu kesibukan Yulia, sang pacar.
            Malam Kamis sekitar pukul 20.00 malam, Aldo mulai mencari nomor sang pacar kemudia menekan tombol hijau untuk menghubungi.
            Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi atau berada di luar jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi, ucap Costumer Service operator Telkomnet.
            “Lho kenapa jadi begini?” ucap Aldo setengah khawatir. Ia berulang kali menghubungi nomor Adelima tapi jawaban yang dia dapatkan tetap sama.
            Aldo tak kehabisan akal. Ia membuka akun facebook-nya lalu mencari nama profil facebook pacarnya di kotak pencarian. Namun hasilnya yang didapatkan nihil. Ia tidak bisa menemukan nama pacarnya.
            Apa mungkin aku... diblokir? duga Aldo dalam hati. Aldo mulai menyerah dengan keadaan. Ia melempar telepon genggam miliknya ke ranjang bersprei biru lalu membanting badan di atas ranjang itu.
            Lelaki berwajah agak kotak itu memejamkan mata sesaat, membiarkan air mata meluruh tanpa hambatan. Ia tak tahu apa yang mesti dilakukan atau barangkali diungkap atas perlakuan sang pacar. Apakah ini yang namanya ditinggal pergi tanpa alasan jelas?
            Dua minggu sejak kejadian itu, Aldo masih belum bisa berpaling dari sang pacar. Ia masih menganggap Yulia sebagai pacarnya. Aldo berpikir mungkin saja sang pacar sedang bermasalah dengan keluarga atau teman-temannya. Dan soal akun facebook-nya yang diblokir, ia menganggap itu sebagai lampiasan kekesalan atas masalah.
            Iseng-iseng membuka facebook saat mata kuliah Pronouncation Practice. Ia melihat satu notifikasi tertera di akunnya. Merasa penasaran, Aldo membuka notifikasi itu. Ia melihat satu nofikasi dari Yulia, sang pacar.
            “Syukurlah, dia menambahkanku kembali ke dalam daftar pertemanan,” ucap Aldo lega. Tapi kelegaan itu cuma berlangsung singkat. Muncullah kekhawatiran ketika di notifikasi itu Yulia menambahkan dua foto baru dan menandai beberapa akun termasuk akun Aldo.
            Degup jantung terpacu kian kencang. Aliran darah terus memompa dari urat nadi di tangan sampai ke otak. Ubun-ubun kian panas. Mungkin mendidih. Ingin rasanya Aldo melepaskan amarah ketika ia melihat Yulia sudah menggandeng laki-laki lain. Amarah Aldo semakin memuncak ketika ia membaca caption. Happy Annniversary One Year, Darling. Keep staying with me.
            Kalau saja Aldo tidak bisa mengendalikan diri, ia bisa saja melempar telepon genggam miliknya ke tembok depan kelas. Akan tetapi ia lebih memilih memendam amarah sebisa mungkin.
            Perkuliahan hari Kamis sudah selesai. Aldo menarik tali gas sepeda motor secepat mungkin agar ia bisa tiba di rumah pamannya. Kedua kakinya melangkah tegas menuju kamar tidur. Ia mengunci pintu dari dalam lalu menyangkutkan tas punggung di balik pintu. Aldo cepat-cepat mengeluarkan telepon genggam miliknya.
            “Halo.” Setelah lama nomor sang pacar tidak bisa dihubungi, untuk saat ini nomor itu sudah tersambung.
            “Halo, Aldo sayang. Apa kabar?” sapa Yulia, manja.
            “Tidak usah bersandiwara. Sekarang kamu jelaskan siapa foto laki-laki di facebook-mu itu?” tepis Aldo dingin tanpa basa-basi.
            “Hah? Maksud kamu apa sih, Do? Aku sama sekali enggak ngerti.” Yulia yang merasa bingung, berusaha meminta penjelasan pada sang pacar.
            “Kamu enggak usah pura-pura! Sekarang jelaskan siapa laki-laki itu?!” Aldo menaikkan volume suaranya lebih kuat. Ia sudah muak dengan sandiwara buatan Yulia.
            Untuk  beberapa saat, keduanya memilih untuk bungkam. Tak mengeluarkan sebisik suara pun. Bisa saja sama-sama menunggu siapa yang akan berkata pertama kali.
            “Kamu tidak pernah ada waktu untukku.” Begitu lama dengan kediaman masing-masing, akhirnya Yulia angkat bicara.
            “Apa katamu?” ulang Aldo sekali lagi pada Yulia. Dia seakan tidak percaya dengan apa yang keluar dari mulut pacarnya.
            “Kau bilang aku tidak punya waktu untukmu? Yulia... aku sudah pernah bilang kepadamu, bukan, kalau aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Walaupun kita sekarang jarang bertemu, setidaknya aku selalu berusaha untuk menanyakan kabarmu. Tapi beginikah balasanmu atas semua yang pernah kita jalani?” Entah apa yang membuat Aldo lancar berkata-kata pada sang pacar. Padahal selama ini ketika ia bertelepon dengan sang pacar, kegugupan selalu menjadi ciri khas dalam setiap perbincangan Aldo. Dan lagi-lagi, tanpa disadari bulir mata meluncur pasti dari kedua kelopak mata.
            “Kau selalu saja bilang bahwa kau sibuk mengejar cita-citamu sebagai seorang musisi. Kau tidak pernah panjang lebar bercerita atau barangkali mendengar keluh kesahku sebagai pacarmu. Benar begitu kan, Aldo? Apakah aku tidak termasuk dalam cita-citamu?”
            Aldo tertohok mendengar perkataan Yulia. Lelaki itu hampir hilang akal membalas pertanyaan dari sang pacar.
            “Yulia, yang kamu katakan itu ti—“
            “Kita putus.” Bersamaan dengan ucapan terakhir Yulia, sambungan telepon mereka berdua sudah putus total. Aldo yang masih menginginkan Yulia mendengarkan penjelasannya, coba menghubungi kembali sang pacar. Tetapi Yulia benar-benar tidak bisa dihubungi lagi.
            “Kalau itu yang kamu mau, mulai saat ini aku sudah menganggap kamu mati.”
*
            Aldo begitu fokus mengamati awang-awang di kamar tidurnya. Tanpa disadari Fidel sudah melangkah menuju pintu kamar.
            “Sedang melamunkan apa?” tanya Fidel sambil membanting badan pelan di atas kasur.
            Aldo diam sebentar seraya melihat teman sekamarnya. “Fidel.”
            “Ada apa?” jawab Fidel tanpa memindahkan pandangan dari gawai pribadi yang sedang dipegang.
            “Aku minta maaf soal kejadian di kantin Wanada. Dan juga aku minta maaf karena telah memukulmu. Aku sungguh menyesal.” Aldo memalingkan wajah penuh sesal itu ke arah Fidel sambil menunggu jawaban atas permintaan maafnya.
            Mendengar sang teman sudah meminta maaf, membuat Fidel harus meletakkan gawainya lalu mengalihkan pandangan pada Aldo.
            “Aku juga minta maaf karena terlalu menekanmu, Vinno. Tapi lain kali, kau harus belajar mengendalikan emosi agar tanganmu tidak melukai pipiku lagi,” ujar Fidel sambil mengelus pelan pipinya yang agak membiru.
            “Aku janji. Tapi kau tahu, Fidel, aku bertemu dengan seseorang yang mirip dengan Yulia.”
            Fidel yang kurang mengerti maksud perkataan Yulia, mencoba bertanya balik. “Yulia? Maksudmu, Yulia mantan pacar kamu itu?”
            “Iya itu. Kamu enggak percaya? Ini. Kuperlihatkan padamu.” Selesai membuka kode pengaman layar, Aldo memperlihatkan foto yang dia ambil dari facebook lalu disodorkan ke hadapan wajah Fidel.
            “Udah? Mirip ‘kan?”
            “Mirip sih. Itu aja?” Aldo menganggukkan kepala dua kali.
            “Dia kuliah di kampus Mensenno juga?”
            “Iya tapi sayangnya aku lupa menanyakan dia prodi apa dan stambuk tahun berapa.” Aldo memasukkan lagi gawai pribadi ke dalam saku celana jins.
            Fidel bisa melihat sinar wajah temannya begitu berseri ditambah lagi Aldo menyunggingkan senyum kecil. Lelaki beramhut ikal itu berpikir apa mungkin temannya yang satu ini sedang jatuh cinta?
            “Mungkin kita bisa bertemu dia besok di kampus.” Fidel kembali mengambil gawainya yang tergeletak tak jauh dari bantal.
            “Ya aku pun juga tidak sabar ingin mengenalkannya pada kalian bertiga.”

No comments:

Post a Comment