Kulihat
tanggal yang tercetak tebal dan besar di kalender—14 Februari. Aku melengos
pelan sambil berpaling dari kalender yang terpaku di dinding. Kuambil segelas
dari dari teko lalu kutuangkan ke dalam tenggorokan. Berkurang sudah hausku.
Aku tidak pernah bermasalah dengan namanya tanggal. Mereka bertugas menentukan
hari apa tanggal di bulan segini. Yang menjadi permasalahan adalah perayaan. Ya
perayaannya.
14 Februari merupakan hari Valentine
sedunia. Entah siapa Valentine itu. Aku tidak mengenal dia. Bukan saudara,
bukan teman bahkan tetangga di sebelah rumahku.Tapi yang pasti, media sosial
akan dibanjiri kiriman status atau foto berhubungan dengan hari Valentine. Bagi
yang mempunyai pasangan, mereka akan sebisa mungkin menunjukkan betapa mesranya
hubungan mereka pada orang-orang di dunia maya. Bagi pasangan yang usil atau
sok punya pasangan, mereka akan mengirim kiriman bersifat menyindir bahkan
memperundung kaum tuna asmara yang kunjung tidak dapat pasangan di hari sial
ini. Tiba-tiba bebunyian dan getar dalam saku celana bokser menginterupsi
lamunan filosofisku. Ternyata ada panggilan masuk di handphone-ku.
“Halo, Aini,” jawabku.
“Halo sayangku. Happy Valentine day,” ucap perempuan itu via handphone.
“Happy
Valentine too,” balasku datar tanpa ada penekanan kemesraan di sana.
“Ih kok datar banget sih? Kamu itu sebenarnya
sayang enggak sih samaku?” balas Aini dengan jengkel dan suara sok manja.
“Iya, iya Jannra sayang banget sama Aini.
Jannra ulangi lagi ya. Happy Valentine too, Sayangku Aini,” ulangku dengan nada
penuh kemanjaan dan mesra. Padahal dalam hati aku muak dan jijik dengan apa
yang kukatakan barusan.
“Terimakasih sayangku. Makin cinta
deh. Kamu tahu ‘kan tanggal 14 ini kan hari Valentine dan tiga hari setelahnya ‘kan
tanggal 17, ” ujar Aini sambil menggantung apa yang dikatakannya.
“Terus?” tanyaku yang memang tidak
mengerti apa yang dikatakannya.
“Kamu ini gimana sih? Masa enggak
ingat sama anniv kita sendiri?” jawab
Aini lagi dengan nada jengkel dan geram.
“Oh ya ya, maaf aku lupa. Kamu tahu
sendiri kan aku lagi sibuk bikin soal UAS untuk tanggal 27 nanti, hehehe.” Aku
langsung mengambil jalan tengah dan bersikap aku yang salah karena lupa tanggal
istimewa itu. Sebagai seorang guru walau masih honor satu tahun enam bulan di
sebuah sekolah negeri, muridku selalu menjadi prioritas utama. Dan karena
pekerjaanku sebagai guru, aku jadi lebih hapal nomor urut absen muridku
daripada tanggal ulangtahun pacarku sendiri.
“Kamu enggak ada bikin surpise atau special something buat anniv
kita yang kedua?” Ya aku dan Aini sudah menjalin hubungan selama dua tahun.
Kalau dipikir-pikir, konyol juga mengingat bagaimana aku menyatakan cinta
padanya.
***
Waktu itu aku masih menjadi guru
praktek bahasa Indonesia di sekolah yang kini menjadi tempatku mencurah ilmu
sekaligus menimba rezeki. Kulihat salah satu siswiku di kelas XII MIPA 3. Nama
lengkapnya Aini Yosiana Silalahi. Gadis berwajah agak kekotakan, ada tumbuh
beberapa jerawat kecil. Rambutnya panjang sebahu. Aku sering memanggilnya Aini.
Dan perlu kalian tahu, kelas ini memang terkenal ribut dan kemampuan muridnya
tidak terlalu menonjol di pelajaranku. Cuma siswiku yang satu ini cukup pintar.
Walau dirinya tidak masuk dalam peringkat tiga besar, kemauan belajar serta
keinginan bertanya seputar mata pelajaranku cukup baik.
“Pak Jan, coba jelaskan bagaimana
membedakan antara paragraf deduktif dan induktif. Soalnya Aini masih bingung,”
bilang siswi itu padaku. Di tengah keributan para siswa kelas ini, rupanya
masih ada salah satu muridku yang punya niat belajar. Ya cukup senang dalam
hati. Lalu kuberitahu pada siswiku dengan senang hati.
Aku juga sering mengobrol padanya
lewat fb maupun WA. Dia cukup asyik diajak ngobrol walau terkadang sifat
kekanak-kanakan dan manja kelewatan masih melekat dalam dirinya. Tapi aku yakin
sifat itu akan hilang seiring bertambah usianya. Dan tanggal 17 Februari aku
beranikan diri untuk menyatakan cinta pada siswiku ini.
Begitu kuungkap apa yang ada di
hatiku, kulihat wajahnya merah merona. Makin menggemaskan dan lucu jika melihat
siswiku satu ini. Mungkin ini baru pertama kali untuknya ditembak oleh seorang
laki-laki secara langsung.
“Aduh, gi-gimana ya, Pak?”
“Jangan panggil Bapak. Kita kan lagi
di luar sekolah. Panggil saja Abang,” bilangku agar dia tidak terlalu gugup.
“Apa tidak apa-apa seorang murid
menjalin hubungan dengan gurunya?” tanya Aini, ragu.
“Memangnya salah? Coba beritahu
Abang kapan dan siapa yang mengatakan itu? Jangan biarkan hal yang belum
terbukti benar atau tidaknya menghalangi kita. Lagipula, umur kita tidak
terpaut terlalu jauh, cuma beda 3 tahun kok. Abang masih bisa menyesuaikan apa
yang kamu pikirkan. Gimana, Aini mau jadi pacar Abang?”
Aku menatap matanya penuh
pengharapan dan kepolosan layaknya seorang anak kucing yang menggemaskan
mengharapkan kasih sayang dari tuannya.
Akhirnya dengan senyuman manis
terkulum di bibir dan anggukan kepala yang senang, dia mau menjadi pacarku.
***
“Eh Sayang kok malah enggak dijawab
sih? Kamu melamun ya?” tanya Aini.
Lamunan masa lalu buyar ketika suara
Aini menyadarkanku lalu kubalas, ”Oh soal perayaan anniv kedua, aku udah pikirkan
itu semua. Dan aku yakin kamu suka,” terangku sambil memberikan gambaran
mengenai rencana annniv kedua pada Aini.
“Beneran? Nanti kayak anniv tahun lalu. Kamu mau ngajak aku ke
vihara eh ternyata pas di perjalanan malah hujan deras.” Aini mencoba
mengingatkanku pada kejadian satu tahun lalu. Dan aku hanya terdiam ketika
mengingat kejadian itu.
“Kamu tenang aja, Aini. Kalau soal
cuaca, akhir-akhir ini cerah kok. Kita doakan saja semuanya lancar,” balasku
pada pacarku. Aini berdeham pelan mengiyakan perkataanku lalu mengucapkan ‘bye’,
menutup panggilan.
Aku masih berpikir-pikir apa kejutan
yang pas untuk perayaan hari jadi hubungan kami yang kedua. Jangan sampai gagal
seperti tahun kemarin. Tapi mengingat sifat Aini yang cukup menyebalkan, aku
ingin mengajaknya makan berdua di warung dekat pinggiran sungai lalu kudorong
dia. Biar tenggelam dan hanyut dibawa aliran sungai. Tapi itu terlalu jahat dan
nekat.
Apa-apaan aku ini. Lebih baik aku
tidur dan esok paginya aku memikirkan rencana itu.
***
Seperti biasa, hari Selasa, aku ada jadwal mengajar
pukul 09.00 sampai dengan 11.30. Hari ini murid di kelas yang kuajari tidak
terlalu ribut. Aku melangkah santai keluar dari ruang kelas XI IPS 1. Ada
murid-murid yang kebetulan berpapasan denganku mengucapkan salam dan kubalas
salam ramah juga. Aku mengamati sekumpulan murid di bawah pohon cemara asyik
menikmati cokelat yang berada dalam bungkus besar berbentuk hati.Karena melihat
cara makan mereka yang lahap, timbul rasa penasaranku menghampiri mereka.
“Kalian ngapain di sini? Bukannya
masuk ke kelas malah asyik makan-makan,” tegurku pada mereka sambil menatap
serius.
“Iya Pak. Pak AM enggak datang. Udah
dikasi tugas memang dan kami sudah siap. Daripada kami ribut-ribut di kelas,
kami makan sebentar,” balas seorang murid perempuan berkulit cokelat berbadan
gendut. Aku mengangguk pelan lalu berkata lagi, “Tapi kalau boleh tahu, kalian
beli cokelatnya di mana? Boleh saya tahu di mana tokonya?”
“Oh di dekat ini, Pak. Bapak tahu
kan Pajak Horas?” Aku mengangguk pelan lalu perempuan berambut ikal berdagu
agak lancip melanjutkan lagi, “di depan Pajak Horas di Dsamping toko handphone
Sonic Cellular ada toko roti dan cokelat bertuliskan Deliz Chococake Shop. Di
situlah belinya. Harganya lumayan mahal Pak. Enampuluh ribu sekotak. Isi
coklatnya 12 biji tapi sebandinglah dengan kelezatan cokelatnya, Pak.”
“Baiklah. Tapi saya peringatkan
setelah ini kalian harus masuk ke kelas. Belajar mandiri,” ingatku pada mereka,
para perempuan kelas XI IPS 3.
Aku jadi tergugah untuk membeli
cokelat itu. Setelah pulang sekolah aku memutuskan untuk membelinya untuk uji
coba pertama.
***
Kutarik tali gas sepeda motorku ke
sebuah toko yang terdapat figuran seorang koki memegang sebuah nampan berisikan
sebuah roti dan cokelat. Di samping figuran itu terdapat tulisan Deliz
Chococake Shop yang menandakan bahwa inilah toko yang kucari. Tidak terlalu
jauh rupanya hanya menempuh waktu sekitar 10 menit dari sekolah tempatku
mengajar.
Bagian depan terdapat pintu fiber
bening yang menjadi jalan masuk dan keluar para pelanggan toko. Di sisi kanan,
terlihat seorang perempuan mengenaskan kemeja cokelat bercampur merah dengan
rok 10 sentimeter di atas lutut. Dia tersenyum ramah sambil berucap, “Selamat
datang di Deliz Chococake Shop.“
“Terima kas...”
Aku sempat terpana sesaat begitu
kulihat perempuan yang berdiri di sebelah kanan pintu fiber itu. Astaga.Aku tak
menyangka akan berjumpa dia di sini.
“Agnel? Kamu Agnelia ‘kan?” Aku
tetap tenang meski rasanya sesak di dada menghampiri. Agnelia Rofiany—dia
mantanku ketika aku kelas XI SMA. Kami sempat berpacaran selama tiga setengah
tahun dan kandas di tengah jalan karena aku ketahuan berselingkuh dengan wanita
lain. Dia yang tidak bisa mentoleransi kesalahanku, meminta putus dariku. Tapi
tak disangka aku bisa bertemu dengannya di momen seperti ini.
“Iya, benar. Kamu Jannra Abigail
kan?” Aku mengangguk pelan, membenarkan pertanyaannya lalu perempuan itu
melanjutkan lagi, “apa kabar, Jannra? Apa pekerjaan kamu sekarang?”
Lagi-lagi aku masih terpana akan
kecantikan dan keindahan rupa mantanku satu ini. Wajah bulat dengan dagu kecil
dan rata dengan riasan bedak dan krim wajah yang pas membuat wanita di
hadapanku semakin cantik. Lekukan pinggangnya bak model gadis sampul. Rambutnya
lurus panjang diberi pewarna di bagian ujung. Dia lebih cocok menjadi
sekretaris kantor ketimbang pegawai toko.
“Oh i-iya. Aku baik-baik saja,
Agnel. Aku guru bahasa Indonesia di sekolah SMA Negeri 3. Masih honor,” jawabku
lugas.
“Oh begitu. Ngomong-ngomong, kamu ke sini mau cari apa? Nyari kue atau cokelat?”
“Hmm, nyari cokelat aja, Nel.
Katanya di sini jual cokelat yang paling enak, betul enggak sih?” tanyaku
padanya.
“Iya betul. Tapi kira-kira untuk
siapa ya?” Agnelia menatapku dengan senyum penuh misteri dan sukses membuatku
degdegan.
“Ya biasa, pacar.” Kata ‘pacar’
kuucapkan dengan gerak mulut tanpa suara. Agnel hanya menyimpul senyum lalu
mengangguk. “Kamu datang ke toko yang tepat.”
“Ada apa ini, Agnel? Kenapa kamu
malah ngobrol-ngobrol sama pelanggan?” tanya seorang wanita setengah baya
berkulit putih bermata agak sipit. Rambutnya sebahu. Bentuk tubuhnya agak
sedikit melar tapi tetap terjaga lekuk pinggulnya.
“Ini, Bu, teman saya mau beli
cokelat yang 60 ribu sekotak itu,” kata Agnel pada perempuan yang kuduga adalah
pemilik toko.
“Oh begitu. Tapi golongan darah kamu
dan pacar kamu apa?” tanya perempuan bermata sipit itu.
Lagi-lagi aku tersentak dan
bertanya-tanya dalam hati. Buat apa dia bertanya tentang golongan darahku dan
pacarku. Apa hubungannya cokelat dan golongan darah? Tapi aku mencoba
berpikiran positif.
“Kalau golongan darah saya B dan
pacar saya 0.”
“Baiklah kamu bisa datang ke toko
ini kira-kira tanggal 16 jam 14.00?”
“Bisa,” kataku lalu menyerahkan uang
senilai 60 ribu dan pihak toko memberiku kwintasi sebagai tanda jadi. Aku
berterimakasih pada Agnelia dan pemilik toko lalu meninggalkan toko itu.
Sebelum jauh dari toko itu, aku
merasa ada getar dari notifikasi Facebook
Messanger.
Kamu
di mana sekarang? Kita jadi ketemuan ‘kan?
Iya,
iya. Tapi kamu hati-hati ya. Lihat kiri kanan.
Kita ketemu di Ramayana.
***
Walau Valentine sudah lewat satu
hari, tetap saja terasa sisa-sisanya bagi aku dan Aini. Malam ini kuajak Aini
berkeliling kota setelah kami minum bandrek di alun-alun kota. Dia memegang
perutku begitu erat. Seakan tak ingin lepas dariku sekaligus mengalirkan
hangatnya tubuh nya ke tubuhku. Namun aku tetap tenang di kemudi. Tapi tubuh
ini tak bisa bohong dan aku tak ingin dia melepas itu.
“Aini, kamu tahu enggak meskipun
Valentine udah lewat, sisa-sisa kasih sayang si Valentine masih terasa di
hubungan kita,” ucapku pada Aini seraya menoleh ke belakang.
“Iya Sayang. Buktinya aku sama kamu
tetap mesra sampai saat ini. Tapi kamu udah persiapkan sesuatu untuk anniv
kedua kita?” ungkit Aini mengenai hari jadi hubungan itu.
“Kalau itu, enggak usah khawatir.
Aku sudah persiapkan semua dengan baik. Dan aku yakin kamu pasti akan senang,”
ucapku dengan menenangkan pikiran Aini.
“I
am waiting your promise.”
Aku mengangguk sekali sambil kembali
fokus pada jalan di hadapanku. Sementara Aini masih nyaman di boncengan,
pandanganku tak sengaja tertuju pada sebuah toko—Deliz Chococake Shop. Itu
adalah toko tempatku memesan cokelat. Dan aku melihat sebuah mobil berkontainer
sedang singgah di toko itu. Sang pengemudi memberikan sebuah kantong
termos besar yang biasa digunakan
menyimpan nasi atau es. Termos itu berwarna hitam. Sambil menerima termos,
pemiliik toko itu menyerahkan sebuah map cokelat misterius pada pengemudi mobil
kontainer itu.
Aku langsung tancap gas agar tidak
ketahuan bahwa aku sedang mengamati gerak-gerik mereka. Kulirik arloji yang
melingkar di lengan—pukul 22.45. Sudah saatnya aku mengantar Aini kembali ke
kost.
***
Hari inilah yang kutunggu. 17
Februari. Aku sudah membuat janji via whatsapp
kalau aku akan menjemput dia di depan kost pukul 20.00 dan aku tiba pula tepat
pukul 20.00. Tapi alangkah sialnya ketika teman satu kost Aini bilang kalau dia
masih sibuk berdandan. Dan mungkin tujuh menit lagi baru selesai. Oke aku bisa
menggunakan waktu itu untuk mengumpulkan bijuu
di seluruh dunia dan membangkitkan Otsusuki
Kaguya. Tapi aku memilih mengangguk sambil memberi senyum ikhlas.
Di tengah penantian akan selesainya
Aini berdandan, aku mengambil handphone dari saku celana jins untuk mengusir
kebosanan. Aku agak tersentak ketika ada pesan suara masuk ke whatsapp-ku.
Sebelum kubuka pesan itu, aku menengok kanan kiri manatahu ada orang yang
menguping. Setelah semua aman, kubuku pesan itu, kusimak baik-baik.
Setelah kumengerti apa maksud dari
pesan suara itu, kubalas lagi
Nanti
malam aja, Sayang. Kutelepon nanti jam setengah dua belas. Aku sedang main
futsal sama kawan-kawan.
Untunglah pesan itu sudah terkirim
bersamaan dengan Aini yang sudah siap berdandan. Krim wajah dioles tipis dan
merata di seluruh permukaan kulit wajah. Gincu merah tua melapisi bibir tipis
Aini. Dia memakai kaus oblong jingga bergambar Mickey Mouse dipadukan dengan
celana jins biru dongker yang ketatnya seperti menempel di kulit. Aku sempat
terpana sekaligus kaget begitu mengetahui Aini sudah berada di depan mataku.
“Kamu kok malah bengong sih? Kita
jadi ‘kan perginya?” tanya Aini dengan nada agak sewot.
“Oh i-iya iya. Ayo naik,” suruhku
padanya. Aini langsung mendaratkan pantatnya begitu kusuruh dia segera menaiki
jok belakang. Aku menekan persneling lalu kupacu sepeda motorku menjauh dari
kostnya.
Begitu berada di jalan raya,
pelan-pelan kukendarai sepeda motorku guna menikmati eratnya pelukan Aini. Aku
sudah menyiapkan kejutan sederhana dan aku harap dia suka dan tidak terlalu
mengomel sana-sini. Aku mengarahkan kemudi ke sebuah kedai kopi outdoor. Kedai kopi ini memaikan nuansa
kota Paris yang terdapat petromak digantung di atas tiang besi dan pepohonan
rindang. Kuberhentikan sepeda motorku ke parkiran lalu kugandeng tangan Aini
menuju tempat duduk.
“Esh, Jan, ini cewek lo?” tanya
seorang pelayan laki-laki berwajah oval itu.
“Iya, Ron. Perkenalkan namanya Aini.
Kuliah di Mensenno ngambil jurusan ekonomi.” Aini mengulurkan tangan dan
temanku, Ronny membalas uluran tanganku dengan remasan tangan yang bersahaja.
“Jadi mau pesan apa nih? Enggak mau
pesan menu yang spesial nih?” tawar temanku, Ronny pada kami berdua.
“Kalau aku pesan kopi luwak pake
krim cokelat ya. Kalau kamu Aini?”
“Aku kentang goreng sama es krim
pelangi ya,” ujar Aini pada pelayang itu.
Sesudah menuliskan pesanan kami,
Ronny mengundurkan diri dari hadapanku lalu pandanganku kini tertuju pada Aini.
“Mana kejutannya? Kamu mau bohong
lagi samaku?” singgung Aini. Dasar perempuan yang satu ini. Sulit sekali untuk
bersabar. Namun aku memberikan senyum manis sambil berkata, “Sabar dong, Aini
sayang. Kamu tunggu aja.”
Aini cemberut mendengar jawabanku.
Aku mencoba mencari topik-topik pembicaraan agar cemberut di wajahnya agak
berkurang. Tapi dia menjawab sesingkat mungkin dan terkesan ketus. Aku jadi
bingung sendiri apalagi yang bisa kulakukan untuk membuat mood-nya kembali baik. Tapi sebelum aku mengajak Aini ke sini, aku
sudah menitipkan cokelat dan sebuah puzzle bertuliskan Happy Anniversary 2 Years Aini ‘n Jannra pada Ronny.
Untunglah dalam waktu sepuluh menit,
Ronny sudah membawa pesanan kami dan membawa kejutan yang akan kuberikan
padanya. Aku mengambil kotak berisi cokelat dan potongan puzzle lalu membuka
bungkusnya. Aku membuka kotak cokelat itu lalu kuberikan pada Aini.
“Nah, kamu coba dulu.” Aku
menyodorkan cokelat itu pada Aini. Ia begitu tergoda melihat keduabelas cokelat
itu dibentuk seperti panda. Aini mengambil salah satu cokelat itu lalu
mengunyahnya. Tak begitu lama dia mengunyahnya, kulihat roman wajahnya yang
masam tiba-tiba berganti senyum semringah. Aini mengambil satu cokelat itu
lagi, mengunyah begitu lahap.
“Kamu beli cokelatnya di mana sih,
Sayang? Mungkin inilah cokelat terenak yang pernah kumakan,” puji Aini sambil
mengambil satu cokelat lagi.
“Di Deliz Chococake Shop.”
“Pantas bisa enak begini. Dan kamu
tahu enggak, Say, sebelumnya, toko Deliz Chococake itu sepi pengunjung. Hampir
dibilang mendekati kebangkrutan. Tapi setelah berganti kepemilikan dan manajemen,
toko itu seperti bangkit dari kubur. Dalam kurun waktu satu setengah, toko itu
jadi laris. Mereka yang pernah ke sana bilang bahwa cokelat buatan toko itu
memang paling enak. Sampai-sampai ada yang bilang, rasa cokelat seakan-akan
bisa mempengaruhi aliran darah, daya pikir sampai mood,” terang Aini kemudian tangannya beralih pada puzzle itu.
“Mungkin resep mereka paten punya
tapi berlebihan sekali kalau menganggap cokelat buatan mereka bisa mempengaruhi
aliran darah, daya pikir sampai mood.”
Aku yang penasaran dengan cokelat itu, aku mengambil satu cokelat dalam kemasan itu. Ternyata Aini tidak bohong.
Begitu dua kali kukunyah cokelat itu, bintil-bintil kecil di lidahku ikut
bergembira merasakan nikmatnya cokelat yang sedang kumakan. Nutrisi dari
cokelat itu dalam sekejap masuk ke peredaran darah sampai ke otakku. Aku merasa energi positif meledak dan
menyebar di saraf otakku. Energi positif yang mengandung kegembiraan dan
kenikmatan. Lalu tanganku tergoda untuk mengambil satu cokelat lagi.
Ketika aku sedang menikmati cokelat
itu, aku melihat Aini sedang menyusun rangkaian acak puzzle dariku. Dan ia
hampir selesai. Kulirik lagi Aini dan tampak wajahnya merah merona sambil
mendekap mulut dengan kedua telapak tangannya.
“Aw thank you, Sayang. Kejutannya so
sweet banget. Aku bawa ke kost ya biar kulem,” ujar Aini. Aku mengangguk
pelan sementara aku masih menikmati cokelat yang tersisa.
***
Ada waktu juga aku menghabiskan
waktu dengan kekasih gelapku. Gadis di depanku namanya Safira. Dia bekerja di
salah satu salon terkenal di kota ini. Tapi tidak kebanyakan gadis yang
bekerjadi salon yang selalu bahan uji coba perawatan tubuh dan wajah, perempuan
satu ini tidak terlalu banyak mengonsumi peralatan rias. Dia datang padaku
dengan penampilan seadanya namun tetap cantik mempesona. Rambut tergerai lurus
dan hitam. Ia mengoleskan lipstik berwarna merah dan bedak ditabur tipis namun
merata menampakkan aura khas wanita.
“Mungkin ini kedua kalinya kita bisa
berduaan di sini, Fira,” kataku padanya.
“Ya kalau dipikir-pikir hubungan
kita berdua ini sungguh-sungguh nekat. Memang sih aku belum punya pacar tapi
kamu kan sudah punya pacar. Apa sebaiknya hubungan kita diakhiri saja, Jann?”
ucap aSafira sambil membuat wajahnya murung.
“Tidak perlu, Fira. Aku cuma butuh
keberanian aja untuk mengungkap kalau aku sudah bosan dengannya. Kau tahu, dia
cewek manja yang cuma bisa minta ini itu, pengen diperhatikan setiap saat.
Lebih aku memilih kamu, Safira. Walau sih kamu terkesan dewasa kali dan susah
diajak bercanda, kamu itu bisa mengerti
kesibukan aku dan kamu yang paling bisa jadi tempatku curhat.”
Safira tersipu malu mendengar
pengakuan jujurku. Ia mencubit gemas pergelangan tanganku dan aku pun tersenyum
malu.Tapi momen itu tak berlangsung lama. Aku melihat Aini denganw ajah datar
dan dingin, memegang sebotol air mineral lalu ditumpahkan di atas kepala
Safira.
“Oh jadi kamu yang selama ini
diam-diam main belakang sama Jannra ya, wanita gatal!?” semprot Aini sambil
telunjuknya menuding tajam ke wajah Safira.
“Apa-apaan kamu ini? Kamu bilang aku
wanita gatal?! Jaga mulut kamu itu ya! Eh biar kamu tahu ya pacar kamu itu
sudah bosan sama kamu. Kamu itu cuma ABG labil yang maunya enggak penting
banget—“ Tiba-tiba Aini menampar keras wajah Safira. Safira yang tak menyangka
mendapat perlakuan tak menyenangkan dari Aini, pacarku.
Safira yang terpancing emosi sontak
menjambak rambut Aini. Aini pun refleks menarik kencang rambut Safira. Keributan
antar wanita terjadi. Aku tak tahu harus bagaimana memisahkan kedua wanita ini.
Rasanya ingin kudorong jauh kedua wanita itu agar mereka tidak semakin
menjadi-jadi restoran ini. Kepalaku mulai panas. Saraf otakku serasa
mengeriting.
“HENTIKAN!” bentakku. Aku mendengus
bak banteng yang dipancing kain merah oleh matador. Dan kedua wanita inilah
yang menjadi kain merah, memancing amarahku meledak di sini.
Aini dan Safira bungkam sesaat lalu
Aini menoleh ke arahku dengan tatapan hampa kemudian berkata, “Kalau ini
perempuan memang pilihan kamu... kita putus.”
Lalu kujawab tanpa ragu sedikit pun,
“Oke. Kita putus.” Aku menatap tajam mata Aini. Begitu mendengar jawabanku,
Aini berpaling dari hadapan kami berdua meninggalkan restoran. Aku pun tak
mampu melihat orang-orang di sekitarku. Kedatangan Aini dan membuat kekacauan
tidak pernah terprediksi olehku. Dan selama ini aku menutup amat rapi dan rapat
hubunganku dengan Safira. Bahkan nama kontak Safira telah kusimpan dengan nama
samaran. Aku mulai curiga apakah selama ini ada orang yang diam-diam
menguntitku?
***
Setelah kejadian itu, hubunganku
dengan Safira mulai renggang. Dia yang awalnya selalu membalas pesanku panjang
dan antusias kini terkesan cuek dan bahkan tidak peduli. Dan pernah suatu hari
aku ingin mengajaknya bicara via video
call tapi dia sengaja tidak menjawab panggilanku. Aku yang merasa kesal
akhirnya memberanikan diri bertanya secara tatap muka tapi Safira malah
menjawab, “Kamu tahu, Jannra, aku mulai berpikir bagaimana rasanya jiika aku
berada di posisi Aini, mantan kamu. Dan aku juga bertanya-tanya dalam hati,
sudah berapa wanita yang kamu bikin seperti ini?”
Aku menggaruk-garuk kepalaku
mendengar Safira yang terkesan membela mantanku itu lalu kubalas, “Kamu kok
malah belain dia sih? ‘Kan aku sudah bilang sama kamu kalau aku lebih cinta
sama kamu. Dan dia itu enggak lebih dari perempuan manja yang baru beranjak
dewasa.”
“Aku merasa kamu itu bukan cowok
baik-baik, Jannra. Aku minta mulai hari ini kamu jaga jarak denganku.” Safira
bangkit berdiri lalu memalingkan badannya menjauhiku. Aku ingin menangkap
lengannya tapi dirinya sudah jauh dariku.
Mati
aku. Mati. Sial, sial, SIAL!Dasar cewek keparat! makiku dalam hati sambil
memegangi kening.
Aku sengaja tidak menghubungi Safira
tiga hari belakangan ini agar perempuan itu bisa menenangkan diri. Sayang
sekali hanya karena mantan pacarku yang sialan itu, hubunganku dengan Safira
putus di tengah jalan. Kucoba untuk menghubungi Safira guna menanyakan kabar
sekaligus meyakinkan dirinya agar hubungan kami tidak selesai begitu saja.
Ada keanehan ketika aku menghubungi
nomor Safira. Safira mengangkat panggilanku tapi aku tidak mendengar suara
apapun. Hanya hening dan denging telepon yang berbunyi amat pelan. Lama
kelamaan ini membuatku takut sekaligus menaikkan rambut halus di tengkukku.
Belum usai keanehan yang kualami.
Keheningan berganti dengan suara tangis pilu yang begitu pelan. Awalnya memang
pelan namun semakin lama suara tangis itu semakin kencang dan berganti dengan
suara histeris seorang wanita.
DASAR LAKI-LAKI BANGSAT! KURANG
AJAR! BAJINGAN! KAMU PANTASNYA MATI!
Aku langsung memutus panggilan itu.
Hatiku panas mendengar kata-kata yang bernada menghina dan merendahkan
martabatku sebagai laki-laki. Tapi kenapa memakai nomor Safira. Dan kenapa
Safira begitu teganya berbuat seperti itu padaku. Apa mungkin ini ulah Aini?
Tapi tidak mungkin. Melihat perangainya yang tak lebih dari sekadar perempuan
lemah dan manja, sungguh tidak memungkinkan baginya berbuat seperti itu.
Hal seperti ini tidak bisa
dibiarkan. Aku harus ke rumah Safira guna memastikan keadaannya.
Keesokan hari sekitar pukul 09.00
aku sudah sampai di rumah Safira. Rumah perempuan ini bisa dibilang rumah
ukuran pas untuk masyarakat perkotaan. Rumah bercat orange bertingkat dua.
Tidak ada pagar pembatas antara satu rumah dengan rumah lain. Kulihat kedua
orang tua Safira sedang duduk di teras dalam kondisi cemas. Terlihat dari raut
wajah mereka yang muram dan tatap mata yang layu.
“Pak, Bu, Safira ada di dalam?”
Mereka menatapku dengan sedih lalu
ibu Safira berkata, “Sudah dua hari Safira tidak pulang ke rumah.”
Aku tersentak ketika mendengar kabar
kalau Safira sudah dua hari menghilang lalu kubalas lagi, “Jadi apakah Bapak
dan Ibu sudah menghubungi polisi untuk mencari Safira?”
Mereka hanya mengangguk lemah. Aku
memutuskan pulang ke rumah untuk berpikir ke mana aku harus mencari Safira.
Kutekan tombol stater sepeda motorku seraya menarik tali gas agar menjauh dari
kediaman orang tua Safira. Aku menekan klason tanda pamit pada mereka.
Sepanjang jalan, aku masih berpikir
mengenai menghilangnya Safira. Sudah dua hari kata orang tua Safira. Kupikir
selama dua hari itu juga perempuan ini tak bisa dihubungi. Aku bertanya pada
rekan sekerjanya dan mereka bilang bahwa perempuan berkulit putih itu sudah
tidak masuk kerja selama dua hari. Daripada pusing memikirkan hal itu, aku
memilih mengencangkan kecepatan agar cepat sampai di kontrakan.
Sebelum memasukkan sepeda motor ke
dalam ruangan tamu, aku sempat melihat sekelebat bayangan seperti sosok manusia
melewati kontrakanku. Aku bergidik ngeri. Begitu sepeda motorku sudah
kumasukkan, aku mengunci pintu depan lalu berlari ke kamar.
Aku merebahkan badan di atas
pembaringan sambil membiarkan lelahku diserap oleh kasur. Sepertinya kedua
mataku ikut terpejam. Mungkin sangking lelahnya. Ketika kesadaranku hampir
masuk ke alam tidur, kelopak mataku terbuka lebar mendengar suara seperti orang
mengetuk kaca begitu keras dari ruang tamu. Tak lama setelah itu, aku mendapat
pesan dari nomor yang tidak kuketahui siapa pemiliknya.
Aku
selalu mengawasimu. Kupastikan kamu takkan pernah bisa tenang!!!
Ini berarti dia berada di sekitar
kontrakanku. Aku segera bangkit dari kasur lalu mengendap-endap menuju ruang
tamu. Ekor mataku seakan-akan bergerak lebih cepat dari pada gerakan tubuhku.
Inilah risiko memilih rumah kost atau kontrakan di wiliyah sepi penduduk. Pencuri
atau perampok sangat menyukai kondisi sepi. Jadi mereka lebih leluasa
melancarkan aksinya. Tak sengaja kulihat lagi sekelebat bayangan manusia melewati
teras kontrakanku. Ini saatnya menyergap sosok itu. Akan tetapi saat muncul
niat menyergap sosok itu, aku tidak punya alat yang mendukung niatku itu. Lalu
kuberanikan dengan tangan kosong untuk menangkap sosok itu. Kuputar kunci
pelan-pelan sambil mengintip teras.
Tidak ada siapapun. Kemudian aku
melangkah lagi sambil melihat ke sisi kiri terlebih dahulu. Tidak ada siapapun.
Aku mulai paranoid. Aku beralih dari sana setelah itu berjalan lagi ke sisi
kiri. Dan hal yang sama pun kutemui.
Aku tidak mau berlama-lama di luar,
langsung melangkah cepat memasuki rumah. Kuputar kunci rumahku ke kanan sambil
berharap sosok itu tidak memasuki rumahku. Kuhela napas sebentar guna membuanng
rasa takut yang menghimpit dada. Baru tiga langkah ingin meninggalkan ruang
tamu, aku merasakan lipatan tangan menjerat batang leherku ke atas seraya
menusukkan sesuatu yang tajam ke dalamnya.
Aku meronta-ronta sambil memukulkan
sikutku berulang kali pada orang yang menjerat leherku. Dia mengaduh kesakitan
dan aku pun terbebas. Akan tetapi sebelum aku tahu identitas sosok itu,
pandangan mataku terasa berbayang-bayang. Isi kepalaku pun mendadak lebih
berat. Aku tak dapat mengukuhkan pijakan kakiku namun aku mencoba bertahan
sambil berbalik ke belakang. Belum sempat aku berbalik badan, tubuhku terasa
begitu ringan menimpa lantai ruang tamu.
***
Aku tidak tahu sudah berapa lama tak
sadarkan diri. Tapi kesadaranku yang berangsur pulih membuat kedua kelopak
mataku mencelik. Tapi tetap saja isi kepalaku masih terasa berat. Badanku pun
masih terasa lelah. Tapi entah darimana aku mendengar suara jeritan wanita dan
aku mengenal sekali siapa pemilik suara itu. Saat kedua bola mataku betul-betul
terbuka lebar, di depanku ada sebuah laptop yang menampakkan seorang wanita
tengah disekap di sebuah tempat yang aku tak tahu di mana itu.
“Safira!” pekikku. Di video itu,
Safira menjerit dengan suara tertahan. Mulutnya disumpal dengan kain serbet. Di
depan Safira, dua sosok misterius berdiri menghadapnya. Safira menatap mereka
jeri dan bulir keringat menetes amat deras. Selanjutnya, satu sosok itu
menaikkan rahang Safira ke atas hingga terlihat urat nadi lehernya. Untuk
adegan selanjutnya, aku memilih
memejamkan mataku sambil berpaling dari layar laptop. Aku menangis
sejadinya menyaksikan dua sosok itu memperlakukan Safira seperti memotong ayam.
Hatiku sungguh tak menyangka ada orang yang sampai hati membunuh Safira dengan
cara keji.
“Apa yang kalian inginkan dariku?!
Keluarlah!” teriakku penuh amarah. Daun telingaku begitu peka ketika mendengar
derap sepatu menuju tempatku disekap. Kedua bola mataku seakan ingin lepas
begitu mengetahui siapa yang datang ke kamarku. Jantungku mencelus begitu aku mengenali betul wujud
sosok misterius yang ada di dalam video yang telah selesai itu.
“A-aini... A-agnel???” Aku mengeleng pelan tak
percaya.
“Kau tahu, Jannra, sepupuku, Aini,
ingin sekali makan cokelat tapi dengan campuran darahmu. Ya sebagai sepupu
kandung yang baik, aku harus menuruti permintaannya. Dan lagi pula, perbuatanmu
yang menghianati Aini tidak bisa dimaafkan. Ternyata sifatmu tidak pernah berubah ya.”
“Aini, Aini, aku minta maaf. Agnel,
tolong ampuni aku,” pelasku pada mereka sambil beruraikan air mata. Aku mulai
sadar nyawaku berada di ujung pisau tajam mereka dan ketidakwarasan dua gadis
di depanku.
“Minta maafnya nanti saja, Jannra
ketika cokelat buatan kami sudah siap untuk di makan.
Entah dapat kekuatan darimana tangan
halus Aini bisa begitu kuat mencengkeram rahangku hingga batang leherku
menegang kencang. Sebuah baskom hijau
muda sudah siap menampung lelehan darah segar dari urat nadi leherku
yang terkoyak. Sebelum kesadaranku lenyap seluruhnya, aku mendengar kedua gadis
itu dengan lengkingan tawa memekikkan telinga. Kurasa ini merupakan hiburan
yang menyenangkan bagi dua mantanku. Kurasa aku pun harus ikut menikmatinya.
Tapi dalam kematian yang dingin dan gelap.
Selesai.