Tuesday, 13 March 2018

Cokelat untuk Aini



Kulihat tanggal yang tercetak tebal dan besar di kalender—14 Februari. Aku melengos pelan sambil berpaling dari kalender yang terpaku di dinding. Kuambil segelas dari dari teko lalu kutuangkan ke dalam tenggorokan. Berkurang sudah hausku. Aku tidak pernah bermasalah dengan namanya tanggal. Mereka bertugas menentukan hari apa tanggal di bulan segini. Yang menjadi permasalahan adalah perayaan. Ya perayaannya.
            14 Februari merupakan hari Valentine sedunia. Entah siapa Valentine itu. Aku tidak mengenal dia. Bukan saudara, bukan teman bahkan tetangga di sebelah rumahku.Tapi yang pasti, media sosial akan dibanjiri kiriman status atau foto berhubungan dengan hari Valentine. Bagi yang mempunyai pasangan, mereka akan sebisa mungkin menunjukkan betapa mesranya hubungan mereka pada orang-orang di dunia maya. Bagi pasangan yang usil atau sok punya pasangan, mereka akan mengirim kiriman bersifat menyindir bahkan memperundung kaum tuna asmara yang kunjung tidak dapat pasangan di hari sial ini. Tiba-tiba bebunyian dan getar dalam saku celana bokser menginterupsi lamunan filosofisku. Ternyata ada panggilan masuk di handphone-ku.
            “Halo, Aini,” jawabku.
            “Halo sayangku. Happy Valentine day,” ucap perempuan itu via handphone.
            Happy Valentine too,” balasku datar tanpa ada penekanan kemesraan di sana.
            “Ih kok datar banget sih? Kamu itu sebenarnya sayang enggak sih samaku?” balas Aini dengan jengkel dan suara sok manja.
            “Iya, iya Jannra sayang banget sama Aini. Jannra ulangi lagi ya. Happy Valentine too, Sayangku Aini,” ulangku dengan nada penuh kemanjaan dan mesra. Padahal dalam hati aku muak dan jijik dengan apa yang kukatakan barusan.
            “Terimakasih sayangku. Makin cinta deh. Kamu tahu ‘kan tanggal 14 ini kan hari Valentine dan tiga hari setelahnya ‘kan tanggal 17, ” ujar Aini sambil menggantung apa yang dikatakannya.
            “Terus?” tanyaku yang memang tidak mengerti apa yang dikatakannya.
            “Kamu ini gimana sih? Masa enggak ingat sama anniv kita sendiri?” jawab Aini lagi dengan nada jengkel dan geram.
            “Oh ya ya, maaf aku lupa. Kamu tahu sendiri kan aku lagi sibuk bikin soal UAS untuk tanggal 27 nanti, hehehe.” Aku langsung mengambil jalan tengah dan bersikap aku yang salah karena lupa tanggal istimewa itu. Sebagai seorang guru walau masih honor satu tahun enam bulan di sebuah sekolah negeri, muridku selalu menjadi prioritas utama. Dan karena pekerjaanku sebagai guru, aku jadi lebih hapal nomor urut absen muridku daripada tanggal ulangtahun pacarku sendiri.
            “Kamu enggak ada bikin surpise atau special something buat anniv kita yang kedua?” Ya aku dan Aini sudah menjalin hubungan selama dua tahun. Kalau dipikir-pikir, konyol juga mengingat bagaimana aku menyatakan cinta padanya.
***
            Waktu itu aku masih menjadi guru praktek bahasa Indonesia di sekolah yang kini menjadi tempatku mencurah ilmu sekaligus menimba rezeki. Kulihat salah satu siswiku di kelas XII MIPA 3. Nama lengkapnya Aini Yosiana Silalahi. Gadis berwajah agak kekotakan, ada tumbuh beberapa jerawat kecil. Rambutnya panjang sebahu. Aku sering memanggilnya Aini. Dan perlu kalian tahu, kelas ini memang terkenal ribut dan kemampuan muridnya tidak terlalu menonjol di pelajaranku. Cuma siswiku yang satu ini cukup pintar. Walau dirinya tidak masuk dalam peringkat tiga besar, kemauan belajar serta keinginan bertanya seputar mata pelajaranku cukup baik.
            “Pak Jan, coba jelaskan bagaimana membedakan antara paragraf deduktif dan induktif. Soalnya Aini masih bingung,” bilang siswi itu padaku. Di tengah keributan para siswa kelas ini, rupanya masih ada salah satu muridku yang punya niat belajar. Ya cukup senang dalam hati. Lalu kuberitahu pada siswiku dengan senang hati.
            Aku juga sering mengobrol padanya lewat fb maupun WA. Dia cukup asyik diajak ngobrol walau terkadang sifat kekanak-kanakan dan manja kelewatan masih melekat dalam dirinya. Tapi aku yakin sifat itu akan hilang seiring bertambah usianya. Dan tanggal 17 Februari aku beranikan diri untuk menyatakan cinta pada siswiku ini.
            Begitu kuungkap apa yang ada di hatiku, kulihat wajahnya merah merona. Makin menggemaskan dan lucu jika melihat siswiku satu ini. Mungkin ini baru pertama kali untuknya ditembak oleh seorang laki-laki secara langsung.
            “Aduh, gi-gimana ya, Pak?”
            “Jangan panggil Bapak. Kita kan lagi di luar sekolah. Panggil saja Abang,” bilangku agar dia tidak terlalu gugup.
            “Apa tidak apa-apa seorang murid menjalin hubungan dengan gurunya?” tanya Aini, ragu.
            “Memangnya salah? Coba beritahu Abang kapan dan siapa yang mengatakan itu? Jangan biarkan hal yang belum terbukti benar atau tidaknya menghalangi kita. Lagipula, umur kita tidak terpaut terlalu jauh, cuma beda 3 tahun kok. Abang masih bisa menyesuaikan apa yang kamu pikirkan. Gimana, Aini mau jadi pacar Abang?”
            Aku menatap matanya penuh pengharapan dan kepolosan layaknya seorang anak kucing yang menggemaskan mengharapkan kasih sayang dari tuannya.
            Akhirnya dengan senyuman manis terkulum di bibir dan anggukan kepala yang senang, dia mau menjadi pacarku.
***
            “Eh Sayang kok malah enggak dijawab sih? Kamu melamun ya?” tanya Aini.
            Lamunan masa lalu buyar ketika suara Aini menyadarkanku lalu kubalas, ”Oh soal perayaan anniv kedua, aku udah pikirkan  itu semua. Dan aku yakin kamu suka,” terangku sambil memberikan gambaran mengenai rencana annniv kedua pada Aini.
            “Beneran? Nanti kayak anniv tahun lalu. Kamu mau ngajak aku ke vihara eh ternyata pas di perjalanan malah hujan deras.” Aini mencoba mengingatkanku pada kejadian satu tahun lalu. Dan aku hanya terdiam ketika mengingat kejadian itu.
            “Kamu tenang aja, Aini. Kalau soal cuaca, akhir-akhir ini cerah kok. Kita doakan saja semuanya lancar,” balasku pada pacarku. Aini berdeham pelan mengiyakan perkataanku lalu mengucapkan ‘bye’, menutup panggilan.
            Aku masih berpikir-pikir apa kejutan yang pas untuk perayaan hari jadi hubungan kami yang kedua. Jangan sampai gagal seperti tahun kemarin. Tapi mengingat sifat Aini yang cukup menyebalkan, aku ingin mengajaknya makan berdua di warung dekat pinggiran sungai lalu kudorong dia. Biar tenggelam dan hanyut dibawa aliran sungai. Tapi itu terlalu jahat dan nekat.
            Apa-apaan aku ini. Lebih baik aku tidur dan esok paginya aku memikirkan rencana itu.
***
            Seperti  biasa, hari Selasa, aku ada jadwal mengajar pukul 09.00 sampai dengan 11.30. Hari ini murid di kelas yang kuajari tidak terlalu ribut. Aku melangkah santai keluar dari ruang kelas XI IPS 1. Ada murid-murid yang kebetulan berpapasan denganku mengucapkan salam dan kubalas salam ramah juga. Aku mengamati sekumpulan murid di bawah pohon cemara asyik menikmati cokelat yang berada dalam bungkus besar berbentuk hati.Karena melihat cara makan mereka yang lahap, timbul rasa penasaranku menghampiri mereka.
            “Kalian ngapain di sini? Bukannya masuk ke kelas malah asyik makan-makan,” tegurku pada mereka sambil menatap serius.
            “Iya Pak. Pak AM enggak datang. Udah dikasi tugas memang dan kami sudah siap. Daripada kami ribut-ribut di kelas, kami makan sebentar,” balas seorang murid perempuan berkulit cokelat berbadan gendut. Aku mengangguk pelan lalu berkata lagi, “Tapi kalau boleh tahu, kalian beli cokelatnya di mana? Boleh saya tahu di mana tokonya?”
            “Oh di dekat ini, Pak. Bapak tahu kan Pajak Horas?” Aku mengangguk pelan lalu perempuan berambut ikal berdagu agak lancip melanjutkan lagi, “di depan Pajak Horas di Dsamping toko handphone Sonic Cellular ada toko roti dan cokelat bertuliskan Deliz Chococake Shop. Di situlah belinya. Harganya lumayan mahal Pak. Enampuluh ribu sekotak. Isi coklatnya 12 biji tapi sebandinglah dengan kelezatan cokelatnya, Pak.”
            “Baiklah. Tapi saya peringatkan setelah ini kalian harus masuk ke kelas. Belajar mandiri,” ingatku pada mereka, para perempuan kelas XI IPS 3.
            Aku jadi tergugah untuk membeli cokelat itu. Setelah pulang sekolah aku memutuskan untuk membelinya untuk uji coba pertama.
***
            Kutarik tali gas sepeda motorku ke sebuah toko yang terdapat figuran seorang koki memegang sebuah nampan berisikan sebuah roti dan cokelat. Di samping figuran itu terdapat tulisan Deliz Chococake Shop yang menandakan bahwa inilah toko yang kucari. Tidak terlalu jauh rupanya hanya menempuh waktu sekitar 10 menit dari sekolah tempatku mengajar.
            Bagian depan terdapat pintu fiber bening yang menjadi jalan masuk dan keluar para pelanggan toko. Di sisi kanan, terlihat seorang perempuan mengenaskan kemeja cokelat bercampur merah dengan rok 10 sentimeter di atas lutut. Dia tersenyum ramah sambil berucap, “Selamat datang di Deliz Chococake Shop.“
            “Terima kas...”
            Aku sempat terpana sesaat begitu kulihat perempuan yang berdiri di sebelah kanan pintu fiber itu. Astaga.Aku tak menyangka akan berjumpa dia di sini.
            “Agnel? Kamu Agnelia ‘kan?” Aku tetap tenang meski rasanya sesak di dada menghampiri. Agnelia Rofiany—dia mantanku ketika aku kelas XI SMA. Kami sempat berpacaran selama tiga setengah tahun dan kandas di tengah jalan karena aku ketahuan berselingkuh dengan wanita lain. Dia yang tidak bisa mentoleransi kesalahanku, meminta putus dariku. Tapi tak disangka aku bisa bertemu dengannya di momen seperti ini.
            “Iya, benar. Kamu Jannra Abigail kan?” Aku mengangguk pelan, membenarkan pertanyaannya lalu perempuan itu melanjutkan lagi, “apa kabar, Jannra? Apa pekerjaan kamu sekarang?”
            Lagi-lagi aku masih terpana akan kecantikan dan keindahan rupa mantanku satu ini. Wajah bulat dengan dagu kecil dan rata dengan riasan bedak dan krim wajah yang pas membuat wanita di hadapanku semakin cantik. Lekukan pinggangnya bak model gadis sampul. Rambutnya lurus panjang diberi pewarna di bagian ujung. Dia lebih cocok menjadi sekretaris kantor ketimbang pegawai toko.
            “Oh i-iya. Aku baik-baik saja, Agnel. Aku guru bahasa Indonesia di sekolah SMA Negeri 3. Masih honor,” jawabku lugas.
            “Oh begitu. Ngomong-ngomong, kamu ke sini mau cari apa? Nyari kue atau cokelat?”
            “Hmm, nyari cokelat aja, Nel. Katanya di sini jual cokelat yang paling enak, betul enggak sih?” tanyaku padanya.
            “Iya betul. Tapi kira-kira untuk siapa ya?” Agnelia menatapku dengan senyum penuh misteri dan sukses membuatku degdegan.
            “Ya biasa, pacar.” Kata ‘pacar’ kuucapkan dengan gerak mulut tanpa suara. Agnel hanya menyimpul senyum lalu mengangguk. “Kamu datang ke toko yang tepat.”
            “Ada apa ini, Agnel? Kenapa kamu malah ngobrol-ngobrol sama pelanggan?” tanya seorang wanita setengah baya berkulit putih bermata agak sipit. Rambutnya sebahu. Bentuk tubuhnya agak sedikit melar tapi tetap terjaga lekuk pinggulnya.
            “Ini, Bu, teman saya mau beli cokelat yang 60 ribu sekotak itu,” kata Agnel pada perempuan yang kuduga adalah pemilik toko.
            “Oh begitu. Tapi golongan darah kamu dan pacar kamu apa?” tanya perempuan bermata sipit itu.
            Lagi-lagi aku tersentak dan bertanya-tanya dalam hati. Buat apa dia bertanya tentang golongan darahku dan pacarku. Apa hubungannya cokelat dan golongan darah? Tapi aku mencoba berpikiran positif.
            “Kalau golongan darah saya B dan pacar saya 0.”
            “Baiklah kamu bisa datang ke toko ini kira-kira tanggal 16 jam 14.00?”
            “Bisa,” kataku lalu menyerahkan uang senilai 60 ribu dan pihak toko memberiku kwintasi sebagai tanda jadi. Aku berterimakasih pada Agnelia dan pemilik toko lalu meninggalkan toko itu.
            Sebelum jauh dari toko itu, aku merasa ada getar dari notifikasi Facebook Messanger.
            Kamu di mana sekarang? Kita jadi ketemuan ‘kan?
            Iya, iya. Tapi kamu hati-hati ya. Lihat kiri kanan.  Kita ketemu di Ramayana.
***
            Walau Valentine sudah lewat satu hari, tetap saja terasa sisa-sisanya bagi aku dan Aini. Malam ini kuajak Aini berkeliling kota setelah kami minum bandrek di alun-alun kota. Dia memegang perutku begitu erat. Seakan tak ingin lepas dariku sekaligus mengalirkan hangatnya tubuh nya ke tubuhku. Namun aku tetap tenang di kemudi. Tapi tubuh ini tak bisa bohong dan aku tak ingin dia melepas itu.
            “Aini, kamu tahu enggak meskipun Valentine udah lewat, sisa-sisa kasih sayang si Valentine masih terasa di hubungan kita,” ucapku pada Aini seraya menoleh ke belakang.
            “Iya Sayang. Buktinya aku sama kamu tetap mesra sampai saat ini. Tapi kamu udah persiapkan sesuatu untuk anniv kedua kita?” ungkit Aini mengenai hari jadi hubungan itu.
            “Kalau itu, enggak usah khawatir. Aku sudah persiapkan semua dengan baik. Dan aku yakin kamu pasti akan senang,” ucapku dengan menenangkan pikiran Aini.
            I am waiting your promise.”
            Aku mengangguk sekali sambil kembali fokus pada jalan di hadapanku. Sementara Aini masih nyaman di boncengan, pandanganku tak sengaja tertuju pada sebuah toko—Deliz Chococake Shop. Itu adalah toko tempatku memesan cokelat. Dan aku melihat sebuah mobil berkontainer sedang singgah di toko itu. Sang pengemudi memberikan sebuah kantong termos  besar yang biasa digunakan menyimpan nasi atau es. Termos itu berwarna hitam. Sambil menerima termos, pemiliik toko itu menyerahkan sebuah map cokelat misterius pada pengemudi mobil kontainer itu.
            Aku langsung tancap gas agar tidak ketahuan bahwa aku sedang mengamati gerak-gerik mereka. Kulirik arloji yang melingkar di lengan—pukul 22.45. Sudah saatnya aku mengantar Aini kembali ke kost.
***
            Hari inilah yang kutunggu. 17 Februari. Aku sudah membuat janji via whatsapp kalau aku akan menjemput dia di depan kost pukul 20.00 dan aku tiba pula tepat pukul 20.00. Tapi alangkah sialnya ketika teman satu kost Aini bilang kalau dia masih sibuk berdandan. Dan mungkin tujuh menit lagi baru selesai. Oke aku bisa menggunakan waktu itu untuk mengumpulkan bijuu di seluruh dunia dan membangkitkan Otsusuki Kaguya. Tapi aku memilih mengangguk sambil memberi senyum ikhlas.
            Di tengah penantian akan selesainya Aini berdandan, aku mengambil handphone dari saku celana jins untuk mengusir kebosanan. Aku agak tersentak ketika ada pesan suara masuk ke whatsapp-ku. Sebelum kubuka pesan itu, aku menengok kanan kiri manatahu ada orang yang menguping. Setelah semua aman, kubuku pesan itu, kusimak baik-baik.
            Setelah kumengerti apa maksud dari pesan suara itu, kubalas lagi
            Nanti malam aja, Sayang. Kutelepon nanti jam setengah dua belas. Aku sedang main futsal sama kawan-kawan.
            Untunglah pesan itu sudah terkirim bersamaan dengan Aini yang sudah siap berdandan. Krim wajah dioles tipis dan merata di seluruh permukaan kulit wajah. Gincu merah tua melapisi bibir tipis Aini. Dia memakai kaus oblong jingga bergambar Mickey Mouse dipadukan dengan celana jins biru dongker yang ketatnya seperti menempel di kulit. Aku sempat terpana sekaligus kaget begitu mengetahui Aini sudah berada di depan mataku.
            “Kamu kok malah bengong sih? Kita jadi ‘kan perginya?” tanya Aini dengan nada agak sewot.
            “Oh i-iya iya. Ayo naik,” suruhku padanya. Aini langsung mendaratkan pantatnya begitu kusuruh dia segera menaiki jok belakang. Aku menekan persneling lalu kupacu sepeda motorku menjauh dari kostnya.
            Begitu berada di jalan raya, pelan-pelan kukendarai sepeda motorku guna menikmati eratnya pelukan Aini. Aku sudah menyiapkan kejutan sederhana dan aku harap dia suka dan tidak terlalu mengomel sana-sini. Aku mengarahkan kemudi ke sebuah kedai kopi outdoor. Kedai kopi ini memaikan nuansa kota Paris yang terdapat petromak digantung di atas tiang besi dan pepohonan rindang. Kuberhentikan sepeda motorku ke parkiran lalu kugandeng tangan Aini menuju tempat duduk.
            “Esh, Jan, ini cewek lo?” tanya seorang pelayan laki-laki berwajah oval itu.
            “Iya, Ron. Perkenalkan namanya Aini. Kuliah di Mensenno ngambil jurusan ekonomi.” Aini mengulurkan tangan dan temanku, Ronny membalas uluran tanganku dengan remasan tangan yang bersahaja.
            “Jadi mau pesan apa nih? Enggak mau pesan menu yang spesial nih?” tawar temanku, Ronny pada kami berdua.
            “Kalau aku pesan kopi luwak pake krim cokelat ya. Kalau kamu Aini?”
            “Aku kentang goreng sama es krim pelangi ya,” ujar Aini pada pelayang itu.
            Sesudah menuliskan pesanan kami, Ronny mengundurkan diri dari hadapanku lalu pandanganku kini tertuju pada Aini.
            “Mana kejutannya? Kamu mau bohong lagi samaku?” singgung Aini. Dasar perempuan yang satu ini. Sulit sekali untuk bersabar. Namun aku memberikan senyum manis sambil berkata, “Sabar dong, Aini sayang. Kamu tunggu aja.”
            Aini cemberut mendengar jawabanku. Aku mencoba mencari topik-topik pembicaraan agar cemberut di wajahnya agak berkurang. Tapi dia menjawab sesingkat mungkin dan terkesan ketus. Aku jadi bingung sendiri apalagi yang bisa kulakukan untuk membuat mood-nya kembali baik. Tapi sebelum aku mengajak Aini ke sini, aku sudah menitipkan cokelat dan sebuah puzzle bertuliskan Happy Anniversary 2 Years Aini ‘n Jannra pada Ronny.
            Untunglah dalam waktu sepuluh menit, Ronny sudah membawa pesanan kami dan membawa kejutan yang akan kuberikan padanya. Aku mengambil kotak berisi cokelat dan potongan puzzle lalu membuka bungkusnya. Aku membuka kotak cokelat itu lalu kuberikan pada Aini.
            “Nah, kamu coba dulu.” Aku menyodorkan cokelat itu pada Aini. Ia begitu tergoda melihat keduabelas cokelat itu dibentuk seperti panda. Aini mengambil salah satu cokelat itu lalu mengunyahnya. Tak begitu lama dia mengunyahnya, kulihat roman wajahnya yang masam tiba-tiba berganti senyum semringah. Aini mengambil satu cokelat itu lagi, mengunyah begitu lahap.
            “Kamu beli cokelatnya di mana sih, Sayang? Mungkin inilah cokelat terenak yang pernah kumakan,” puji Aini sambil mengambil satu cokelat lagi.
            “Di Deliz Chococake Shop.”
            “Pantas bisa enak begini. Dan kamu tahu enggak, Say, sebelumnya, toko Deliz Chococake itu sepi pengunjung. Hampir dibilang mendekati kebangkrutan. Tapi setelah berganti kepemilikan dan manajemen, toko itu seperti bangkit dari kubur. Dalam kurun waktu satu setengah, toko itu jadi laris. Mereka yang pernah ke sana bilang bahwa cokelat buatan toko itu memang paling enak. Sampai-sampai ada yang bilang, rasa cokelat seakan-akan bisa mempengaruhi aliran darah, daya pikir sampai mood,” terang Aini kemudian tangannya beralih pada puzzle itu.
           
            “Mungkin resep mereka paten punya tapi berlebihan sekali kalau menganggap cokelat buatan mereka bisa mempengaruhi aliran darah, daya pikir sampai mood.” Aku yang penasaran dengan cokelat itu, aku mengambil satu cokelat dalam  kemasan itu. Ternyata Aini tidak bohong. Begitu dua kali kukunyah cokelat itu, bintil-bintil kecil di lidahku ikut bergembira merasakan nikmatnya cokelat yang sedang kumakan. Nutrisi dari cokelat itu dalam sekejap masuk ke peredaran darah sampai ke otakku.  Aku merasa energi positif meledak dan menyebar di saraf otakku. Energi positif yang mengandung kegembiraan dan kenikmatan. Lalu tanganku tergoda untuk mengambil satu cokelat lagi.
            Ketika aku sedang menikmati cokelat itu, aku melihat Aini sedang menyusun rangkaian acak puzzle dariku. Dan ia hampir selesai. Kulirik lagi Aini dan tampak wajahnya merah merona sambil mendekap mulut dengan kedua telapak tangannya.
            “Aw thank you, Sayang. Kejutannya so sweet banget. Aku bawa ke kost ya biar kulem,” ujar Aini. Aku mengangguk pelan sementara aku masih menikmati cokelat yang tersisa.
***
            Ada waktu juga aku menghabiskan waktu dengan kekasih gelapku. Gadis di depanku namanya Safira. Dia bekerja di salah satu salon terkenal di kota ini. Tapi tidak kebanyakan gadis yang bekerjadi salon yang selalu bahan uji coba perawatan tubuh dan wajah, perempuan satu ini tidak terlalu banyak mengonsumi peralatan rias. Dia datang padaku dengan penampilan seadanya namun tetap cantik mempesona. Rambut tergerai lurus dan hitam. Ia mengoleskan lipstik berwarna merah dan bedak ditabur tipis namun merata menampakkan aura khas wanita.
            “Mungkin ini kedua kalinya kita bisa berduaan di sini, Fira,” kataku padanya.
            “Ya kalau dipikir-pikir hubungan kita berdua ini sungguh-sungguh nekat. Memang sih aku belum punya pacar tapi kamu kan sudah punya pacar. Apa sebaiknya hubungan kita diakhiri saja, Jann?” ucap aSafira sambil membuat wajahnya murung.
            “Tidak perlu, Fira. Aku cuma butuh keberanian aja untuk mengungkap kalau aku sudah bosan dengannya. Kau tahu, dia cewek manja yang cuma bisa minta ini itu, pengen diperhatikan setiap saat. Lebih aku memilih kamu, Safira. Walau sih kamu terkesan dewasa kali dan susah diajak bercanda, kamu itu  bisa mengerti kesibukan aku dan kamu yang paling bisa jadi tempatku curhat.”
            Safira tersipu malu mendengar pengakuan jujurku. Ia mencubit gemas pergelangan tanganku dan aku pun tersenyum malu.Tapi momen itu tak berlangsung lama. Aku melihat Aini denganw ajah datar dan dingin, memegang sebotol air mineral lalu ditumpahkan di atas kepala Safira.
            “Oh jadi kamu yang selama ini diam-diam main belakang sama Jannra ya, wanita gatal!?” semprot Aini sambil telunjuknya menuding tajam ke wajah Safira.
            “Apa-apaan kamu ini? Kamu bilang aku wanita gatal?! Jaga mulut kamu itu ya! Eh biar kamu tahu ya pacar kamu itu sudah bosan sama kamu. Kamu itu cuma ABG labil yang maunya enggak penting banget—“ Tiba-tiba Aini menampar keras wajah Safira. Safira yang tak menyangka mendapat perlakuan tak menyenangkan dari Aini, pacarku.
            Safira yang terpancing emosi sontak menjambak rambut Aini. Aini pun refleks menarik kencang rambut Safira. Keributan antar wanita terjadi. Aku tak tahu harus bagaimana memisahkan kedua wanita ini. Rasanya ingin kudorong jauh kedua wanita itu agar mereka tidak semakin menjadi-jadi restoran ini. Kepalaku mulai panas. Saraf otakku serasa mengeriting.
            “HENTIKAN!” bentakku. Aku mendengus bak banteng yang dipancing kain merah oleh matador. Dan kedua wanita inilah yang menjadi kain merah, memancing amarahku meledak di sini.
            Aini dan Safira bungkam sesaat lalu Aini menoleh ke arahku dengan tatapan hampa kemudian berkata, “Kalau ini perempuan memang pilihan kamu... kita putus.”
            Lalu kujawab tanpa ragu sedikit pun, “Oke. Kita putus.” Aku menatap tajam mata Aini. Begitu mendengar jawabanku, Aini berpaling dari hadapan kami berdua meninggalkan restoran. Aku pun tak mampu melihat orang-orang di sekitarku. Kedatangan Aini dan membuat kekacauan tidak pernah terprediksi olehku. Dan selama ini aku menutup amat rapi dan rapat hubunganku dengan Safira. Bahkan nama kontak Safira telah kusimpan dengan nama samaran. Aku mulai curiga apakah selama ini ada orang yang diam-diam menguntitku?
***
            Setelah kejadian itu, hubunganku dengan Safira mulai renggang. Dia yang awalnya selalu membalas pesanku panjang dan antusias kini terkesan cuek dan bahkan tidak peduli. Dan pernah suatu hari aku ingin mengajaknya bicara via video call tapi dia sengaja tidak menjawab panggilanku. Aku yang merasa kesal akhirnya memberanikan diri bertanya secara tatap muka tapi Safira malah menjawab, “Kamu tahu, Jannra, aku mulai berpikir bagaimana rasanya jiika aku berada di posisi Aini, mantan kamu. Dan aku juga bertanya-tanya dalam hati, sudah berapa wanita yang kamu bikin seperti ini?”
            Aku menggaruk-garuk kepalaku mendengar Safira yang terkesan membela mantanku itu lalu kubalas, “Kamu kok malah belain dia sih? ‘Kan aku sudah bilang sama kamu kalau aku lebih cinta sama kamu. Dan dia itu enggak lebih dari perempuan manja yang baru beranjak dewasa.”
            “Aku merasa kamu itu bukan cowok baik-baik, Jannra. Aku minta mulai hari ini kamu jaga jarak denganku.” Safira bangkit berdiri lalu memalingkan badannya menjauhiku. Aku ingin menangkap lengannya tapi dirinya sudah jauh dariku.
            Mati aku. Mati. Sial, sial, SIAL!Dasar cewek keparat! makiku dalam hati sambil memegangi kening.
            Aku sengaja tidak menghubungi Safira tiga hari belakangan ini agar perempuan itu bisa menenangkan diri. Sayang sekali hanya karena mantan pacarku yang sialan itu, hubunganku dengan Safira putus di tengah jalan. Kucoba untuk menghubungi Safira guna menanyakan kabar sekaligus meyakinkan dirinya agar hubungan kami tidak selesai begitu saja.
            Ada keanehan ketika aku menghubungi nomor Safira. Safira mengangkat panggilanku tapi aku tidak mendengar suara apapun. Hanya hening dan denging telepon yang berbunyi amat pelan. Lama kelamaan ini membuatku takut sekaligus menaikkan rambut halus di tengkukku. 
            Belum usai keanehan yang kualami. Keheningan berganti dengan suara tangis pilu yang begitu pelan. Awalnya memang pelan namun semakin lama suara tangis itu semakin kencang dan berganti dengan suara histeris seorang wanita.
            DASAR LAKI-LAKI BANGSAT! KURANG AJAR! BAJINGAN! KAMU PANTASNYA MATI!
            Aku langsung memutus panggilan itu. Hatiku panas mendengar kata-kata yang bernada menghina dan merendahkan martabatku sebagai laki-laki. Tapi kenapa memakai nomor Safira. Dan kenapa Safira begitu teganya berbuat seperti itu padaku. Apa mungkin ini ulah Aini? Tapi tidak mungkin. Melihat perangainya yang tak lebih dari sekadar perempuan lemah dan manja, sungguh tidak memungkinkan baginya berbuat seperti itu.
            Hal seperti ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus ke rumah Safira guna memastikan keadaannya.
            Keesokan hari sekitar pukul 09.00 aku sudah sampai di rumah Safira. Rumah perempuan ini bisa dibilang rumah ukuran pas untuk masyarakat perkotaan. Rumah bercat orange bertingkat dua. Tidak ada pagar pembatas antara satu rumah dengan rumah lain. Kulihat kedua orang tua Safira sedang duduk di teras dalam kondisi cemas. Terlihat dari raut wajah mereka yang muram dan tatap mata yang layu.
            “Pak, Bu, Safira ada di dalam?”
            Mereka menatapku dengan sedih lalu ibu Safira berkata, “Sudah dua hari Safira tidak pulang ke rumah.”
            Aku tersentak ketika mendengar kabar kalau Safira sudah dua hari menghilang lalu kubalas lagi, “Jadi apakah Bapak dan Ibu sudah menghubungi polisi untuk mencari Safira?”
            Mereka hanya mengangguk lemah. Aku memutuskan pulang ke rumah untuk berpikir ke mana aku harus mencari Safira. Kutekan tombol stater sepeda motorku seraya menarik tali gas agar menjauh dari kediaman orang tua Safira. Aku menekan klason tanda pamit pada mereka.
            Sepanjang jalan, aku masih berpikir mengenai menghilangnya Safira. Sudah dua hari kata orang tua Safira. Kupikir selama dua hari itu juga perempuan ini tak bisa dihubungi. Aku bertanya pada rekan sekerjanya dan mereka bilang bahwa perempuan berkulit putih itu sudah tidak masuk kerja selama dua hari. Daripada pusing memikirkan hal itu, aku memilih mengencangkan kecepatan agar cepat sampai di kontrakan.
            Sebelum memasukkan sepeda motor ke dalam ruangan tamu, aku sempat melihat sekelebat bayangan seperti sosok manusia melewati kontrakanku. Aku bergidik ngeri. Begitu sepeda motorku sudah kumasukkan, aku mengunci pintu depan lalu berlari ke kamar.
            Aku merebahkan badan di atas pembaringan sambil membiarkan lelahku diserap oleh kasur. Sepertinya kedua mataku ikut terpejam. Mungkin sangking lelahnya. Ketika kesadaranku hampir masuk ke alam tidur, kelopak mataku terbuka lebar mendengar suara seperti orang mengetuk kaca begitu keras dari ruang tamu. Tak lama setelah itu, aku mendapat pesan dari nomor yang tidak kuketahui siapa pemiliknya.
            Aku selalu mengawasimu. Kupastikan kamu takkan pernah bisa tenang!!!
            Ini berarti dia berada di sekitar kontrakanku. Aku segera bangkit dari kasur lalu mengendap-endap menuju ruang tamu. Ekor mataku seakan-akan bergerak lebih cepat dari pada gerakan tubuhku. Inilah risiko memilih rumah kost atau kontrakan di wiliyah sepi penduduk. Pencuri atau perampok sangat menyukai kondisi sepi. Jadi mereka lebih leluasa melancarkan aksinya. Tak sengaja kulihat lagi sekelebat bayangan manusia melewati teras kontrakanku. Ini saatnya menyergap sosok itu. Akan tetapi saat muncul niat menyergap sosok itu, aku tidak punya alat yang mendukung niatku itu. Lalu kuberanikan dengan tangan kosong untuk menangkap sosok itu. Kuputar kunci pelan-pelan sambil mengintip teras.
            Tidak ada siapapun. Kemudian aku melangkah lagi sambil melihat ke sisi kiri terlebih dahulu. Tidak ada siapapun. Aku mulai paranoid. Aku beralih dari sana setelah itu berjalan lagi ke sisi kiri. Dan hal yang sama pun kutemui.
            Aku tidak mau berlama-lama di luar, langsung melangkah cepat memasuki rumah. Kuputar kunci rumahku ke kanan sambil berharap sosok itu tidak memasuki rumahku. Kuhela napas sebentar guna membuanng rasa takut yang menghimpit dada. Baru tiga langkah ingin meninggalkan ruang tamu, aku merasakan lipatan tangan menjerat batang leherku ke atas seraya menusukkan sesuatu yang tajam ke dalamnya.
            Aku meronta-ronta sambil memukulkan sikutku berulang kali pada orang yang menjerat leherku. Dia mengaduh kesakitan dan aku pun terbebas. Akan tetapi sebelum aku tahu identitas sosok itu, pandangan mataku terasa berbayang-bayang. Isi kepalaku pun mendadak lebih berat. Aku tak dapat mengukuhkan pijakan kakiku namun aku mencoba bertahan sambil berbalik ke belakang. Belum sempat aku berbalik badan, tubuhku terasa begitu ringan menimpa lantai ruang tamu.
***
            Aku tidak tahu sudah berapa lama tak sadarkan diri. Tapi kesadaranku yang berangsur pulih membuat kedua kelopak mataku mencelik. Tapi tetap saja isi kepalaku masih terasa berat. Badanku pun masih terasa lelah. Tapi entah darimana aku mendengar suara jeritan wanita dan aku mengenal sekali siapa pemilik suara itu. Saat kedua bola mataku betul-betul terbuka lebar, di depanku ada sebuah laptop yang menampakkan seorang wanita tengah disekap di sebuah tempat yang aku tak tahu di mana itu.
            “Safira!” pekikku. Di video itu, Safira menjerit dengan suara tertahan. Mulutnya disumpal dengan kain serbet. Di depan Safira, dua sosok misterius berdiri menghadapnya. Safira menatap mereka jeri dan bulir keringat menetes amat deras. Selanjutnya, satu sosok itu menaikkan rahang Safira ke atas hingga terlihat urat nadi lehernya. Untuk adegan selanjutnya, aku memilih  memejamkan mataku sambil berpaling dari layar laptop. Aku menangis sejadinya menyaksikan dua sosok itu memperlakukan Safira seperti memotong ayam. Hatiku sungguh tak menyangka ada orang yang sampai hati membunuh Safira dengan cara keji.
            “Apa yang kalian inginkan dariku?! Keluarlah!” teriakku penuh amarah. Daun telingaku begitu peka ketika mendengar derap sepatu menuju tempatku disekap. Kedua bola mataku seakan ingin lepas begitu mengetahui siapa yang datang ke kamarku. Jantungku  mencelus begitu aku mengenali betul wujud sosok misterius yang ada di dalam video yang telah selesai itu.
             “A-aini... A-agnel???” Aku mengeleng pelan tak percaya.
            “Kau tahu, Jannra, sepupuku, Aini, ingin sekali makan cokelat tapi dengan campuran darahmu. Ya sebagai sepupu kandung yang baik, aku harus menuruti permintaannya. Dan lagi pula, perbuatanmu yang menghianati Aini tidak bisa dimaafkan. Ternyata sifatmu  tidak pernah berubah ya.”
            “Aini, Aini, aku minta maaf. Agnel, tolong ampuni aku,” pelasku pada mereka sambil beruraikan air mata. Aku mulai sadar nyawaku berada di ujung pisau tajam mereka dan ketidakwarasan dua gadis di depanku.
            “Minta maafnya nanti saja, Jannra ketika cokelat buatan kami sudah siap untuk di makan.
            Entah dapat kekuatan darimana tangan halus Aini bisa begitu kuat mencengkeram rahangku hingga batang leherku menegang kencang. Sebuah baskom hijau  muda sudah siap menampung lelehan darah segar dari urat nadi leherku yang terkoyak. Sebelum kesadaranku lenyap seluruhnya, aku mendengar kedua gadis itu dengan lengkingan tawa memekikkan telinga. Kurasa ini merupakan hiburan yang menyenangkan bagi dua mantanku. Kurasa aku pun harus ikut menikmatinya. Tapi dalam kematian yang dingin dan gelap.

            Selesai.

No comments:

Post a Comment