9 November
Pipi Lili selalu memerah jika
mengingat Endo. Lelaki itu selalu menjadi bayang-bayang dan lamunan indah dalam
benaknya. Ia begitu memuja sosok berambut kriting, tinggi, dan berkacamata
sampai-sampai di dalam pintu lemari pakaiannya lima lembar foto lelaki itu
ditempel begitu rapi. Dipandangi setiap ia ingin melakukan aktivitas di luar
rumah.
“Andai kamu tahu kalau aku begitu
memuja sampai aku hilang akal sehat, Endo,” gumam Lili. Ia tersenyum kecil,
memandangi botol kecil yang ada dalam lemarinya kemudian menutup pintulemaripakaiannya.
Lili menutup pintu kamar pelan. Ia
mengikat rambut ikal yang mulai melewati bahu. Sebenarnya Lili bisa saja menyempatkan
diri mengikat rambutnya tapi ia lebih banyak menghabiskan waktu memandangi
foto-foto itu.
Perempuan itu ingat betul saat
ibunya tanpa sengaja membuka pintu. Ibunya mengomeli dirinya dengan kecepatan
bicara 40 km/jam. Ia tidak peduli. Sang ibu geleng-geleng kepala melihat
tingkah sang anak lalu meninggalkan putrinya sendirian di sana.
*
Di sekolah pun Lili selalu berusaha
menyempatkan diri untuk melihat Endo. Di kelas di taman, dan setiap tempat di
sekolah yang dilewati Endo. Tak luput dari pengawasannya. Seolah dia merupakan
pengagum sekaligus pengutit rahasia. Tapi sayangnya akhir-akhir ini Endo sering
tidak menampakkan diri.
Ke
mana lelaki pujaanku itu? Haruskah kubertanya pada teman-temannya? pikir
Lili sambil mengelus dagu bulatnya. Lili tersentak seperti ada wahyu turun dari
langit ke kepalanya.
Aha!
Aku tanya saja pada Richard. Mungkin dia tahu di mana Endo berada.
Lili segera menuju tempat tongkrongan Richard,
kantin mas Doy. Di kantin berukuran 8x10 meter dilengkapi tiga meja panjang,
Richard sedang lahap menikmati mi kuah sampai kuahnya menempel di pinggir bibirnya.
“Untung aku tahu kamu di sini. Aku
mau nanya satu hal sama kamu,” kata Lili sambil duduk di depan Richard.
“Pasti tentang—“
“Ya Endo. Kamu pandai sekali membaca
pikiranku, hahaha.” Perempuan berkulit putih vanili itu tertawa senang.
Memang tidak begitu banyak para
siswa berada di kantin itu tapi mendengar percakapan mereka berdua, membuat
para penghuni kantin menoleh. Sadar dirinya menjadi bahan perhatian, Richard
menyilangkan sendok dan garpu di atas mangkuk yang masih berisi mi.
“Kita bicara saja di luar,” tahan
Richard.
Sebelum meninggalkan kantin, Richard
membayar mi pesanannya terlebih dahulu. Lalu diikuti Lili di belakang. Kini
mereka berdua berada di samping koperasi, jauh dari kantin.
“Sekarang kau bisa mengatakan di
mana dia. Kau tahu ‘kan, aku menyukai Endo dan aku ingin mengungkapkan perasaan
padanya,” jelas Lili. Tapi bukannya menjawab pertanyaan Lili, lelaki berkulit
langsat itu memilih bungkam. Menatap iba perempuan itu. Lili masih sabar
menunggu jawaban Richard.
Richard terus berdoa dalam hati
semoga ada keajaiban terjadi agar dia tidak berlama-lama dengan perempuan itu.
Suara bel elektronik membahana ke
seluruh penjuru sekolah. Daun telinga
Richard sigap menangkap suara itu. Ia mengembuskan napas lega. Keajaiban itu telah
terjadi.
“Sudah waktunya masuk, Lil. Setelah
pulang sekolah, aku akan beritahu deh apa yang terjadi sebenarnya,” tandas
Richard sambil berbalik badan meninggalkan Lili.
“Aku tunggu ya.” Lili juga berpaling
meninggalkan Richard menuju kelasnya.
Sepanjang perjalanan menuju kelas,
semua orang di sana menatap Lili dengan tatapan jeri dan janggal. Sudah dua hari belakangan ini tak sedikit penghuni
sekolah mendengar desas-desus itu. Sebuah berita tidak mengenakkan tentang
dirinya.
“Kenapa sihdia terus-terusan mencari Endo? Dasar cewek psycho!” bisik dua orang perempuan yang berdiri 60 meter dari
tempat Lili berjalan saat ini.
Lili mendengar jelas suara bisik-bisik itu
meskipun yang mereka bicarakan adalah dirinya, ia tetap memilih abai sambil
berjalan menuju ruang kelasnya yang hampir sampai.
Dalam kelas pun, konsentrasi Lili
tak tertuju pada pelajaran Biologi yang dijelaskan Ibu Corry. Ia menatap lurus
sambil tersenyum sendiri. Yang ada di pikirannya adalah ketika pertama kali
dirinya mengenal Endo.
***
5
November
Lili bilang dibilang sosok gadis
introvert-ekstrovert. Bisa sewaktu-waktu ia menjadi seseorang yang tertutup dan
tak banyak bicara ketika mood sedang
turun. Dan bisa jadi orang yang gemar bicara atau membercandai teman-temannya
kalau mood sedang baik. Seperti
seseorang yang terkena kelainan jiwa—kepribadian ganda. Tapi bagi teman akrab
yang sudah lama mengenal Lili, ia tidak begitu.
Suatu ketika, Lili duduk di depan
taman kelas sambil fokus membaca novel di tangannya. Salah satu teman Lili, Rasya,
bilang kalau Lili sedang serius, tidak boleh ada yang bisa mengganggunya.
Bahkan seekor singa pun akan dimarahi kalau singa itu mencoba mengusiknya.
Ketika Lili menikmati alur cerita
dalam novelnya, tiga orang laki-laki terlibat kejar-kejaran. Ketiga lelaki itu
sedang menuju ke tempat Lili. Lili menyorotkan pandangan tak senang pada para
laki-laki itu.
“Hei, kalian punya pikiran ‘kan?”
tanya Lili sambil menutup novelnya sebentar.
“Apa maksudmu hah? Kau merasa sekolah
ini Bapakmu? Kalau kau mau baca buku, kan bisa di perpustakaan,” sanggah Farid,
laki-laki berbadan bongsor. Merasa kesenangannya diusik, lelaki itu menghampiri
Lili yang masih duduk dan menatap dirinya tak senang.
Melihat situasi mulai memanas, Endo
dan Richard segera turun tangan menahan Farid.
“Sabar, Bro. Dia cewek. Gua tahu elo benar tapi jangan
pakai otot. Oke?” lerai Endo sambil memegang pundak Farid.
“Kita biarkan aja si Endo ngurus ini
cewek,” tambah Richard.
Endo langsung membelalakkan bola
matanya pada Richard. Tapi malah dibalas kedipan mata kanan.
“Eh Ndo, lo kan jomblo. Lo bisa
manfaatkan ini momen buat kenalan sama nih cewek. Gua sama Farid mau pergi. Bye,” pamit Richard sambil menarik
tangan Farid, membiarkan laki-laki dan perempuan itu berdua.
“Maafkan temanku yang gempal itu ya.
Dia orangnya emosian,” ucap Endo sambil mengulas senyum kecil.
“Jadi dia pikir karena badannya besar,
akut takut? Kukepret kepalanya peang tuh,” ketus Lili sambil menaruh bukunya di
lantai depan kelas.
“Tapi coba aku lihat buku apa yang
kamu baca tadi,” pinta Endo. Perempuan kulit putih itu langsung memberikan buku
yang dibacanya pada Endo.
“Hmm, kamu suka ya karya-karya
sastra klasik karangan Marah Roesli, Abdoel Moeis, Pramoedya Ananda Toer?”
“Begitulah. Karya sastra yang seperti
inilah yang membuatku kagum dengan
kelihaian para pengarang zaman dulu dalam mengolah kata,” jelas Lili.
“Aku juga suka sastra. Tapi aku
lebih suka membaca karya luar negeri,” balas Endo.
Lili tersenyum senang begitu
mengetahui kalau laki-laki yang berada di dekatnya saat ini, juga penyuka karya
sastra. Tak masalah itu karya sastra dalam negeri atau luar negeri. Dalam hati
Lili, ia pesimis jika melihat anak remaja seumurannya tidak suka membaca.
Padahal dengan membaca, kita bisa mengetahui bagaimana keadaan dunia
sebenarnya. Minimal peka terhadap segala perubahan yang terjadi di sekitar
kita. Dengan membaca, kita bisa menambah ilmu dan wawasan yang tak sepenuhnya
kita dapat di bangku sekolah atau perkuliahan.
“Eh kapan-kapan kita tukaran buku yuk?
Aku juga kepengen baca buku sastra luar negeri. Kamu mau nggak?” usul Lili pada
Endo.
“Boleh juga tuh. Kamu tentukan aja
kapan kamu mau ke rumahku.”
“Gimana kalau kalau hari Kamis? Senin,
Selasa dan Rabu aku sibuk les.”
Endo menanggapi usulan Lili dengan
mengganggukkan kepala dua kali. Lili dan Endo memilih berpisah ketika lonceng
masuk kelas membahana bunyinya ke seluruh penjuru sekolah. Lili melambaikan
tangan kanan menandakan perpisahan walau perpisahan yang mereka akhiri hanya
berlangsung sampai pulang sekolah.
Lili terus saja berpikir mengapa
hari-hari berjalan begitu lambat. Ingin rasanya dia menyudahi ceramah dan penjelasan
guru lesnya agar ia cepat pulang. Bolak-balik melirik arloji yang terikat di
pergelangan tangan jadi kebiasaannya semenjak dia mengenal Endo. Lelaki yang
baru hari ini dikenalnya, entah kenapa bisa menyita perhatian dan hati Lili.
Perempuan berambut hitam lurus itu menyempatkan membuat puisi di sela kegiatan
les. Tangan kanan sudah memegang pena hitam dan di bawah tangannya ada secarik
kertas kosong. Sebelum dia merangkai kata, perempuan itu memikirkan terlebih
dahulu kata apa saja yang akan ditulis.
Ke
mana saja kau kucari
Belahan
utara dan selatan yang melintangi bumi tak jua ketemu
Aku
lelah dalam pencarian yang hampir kukira sia-sia
Kumengira
kau bersembunyi kar’na malumu
Tak
boleh malumu itu halangi aku ‘tuk miliki
S’bab
kamulah inti dari mulut letihku lantunkan ribuan doa pada Sang Kuasa
Masih sepenggal bait puisi ditulis Lili. Banyak ide
dan ekspresi ingin disampaikan perempuan itu dalam puisinya akan tetapi Lili
berpikir bahwa apa yang dia tuliskan dalam puisi, melebihi dari apa yang tengah
dirasakan.
***
Endo mencurahkan ujung teko ke dalam
gelas plastik sebanyak dua kali. Ia tak habis pikir tak hilang-hilang juga rasa
pahit obat yang barusan diminumnya.
“Ibu, sampai kapan aku harus meminum
obat sialan ini?” tanya Endo dengan nada jengkel sambil meletakkan kembali
gelas yang dia pegang di atas meja.
Ibunda Endo hanya menatap penuh
harap pada anak lelakinya. Hanya diam yang juga menjadi jawaban kedua untuk
pertanyaan anaknya. Sang ibunda memilih berdoa dalam hati agar sang Tuhan sudi
menurunkan mukjizat-Nya untuk kesembuhan Endo.
***
6
November
Lili sudah memutuskan pakaian apa
yang akan dikenakan untuk bertemu dengan lelaki pujaannya, Endo. Tubuh
sintalnya dibaluti kaus merah bergambar Winnie The Pooh dan celana jins pendek
setengah paha. Sudah tiga kali ia mengganti pakaian demi tampil menarik di
hadapan Endo dan kini ia sudah siap pergi sambil menyimpan tiga novel yang akan
ditukarkan dengan Endo di dalam ranselnya.
Lili memutar kunci sepeda motor
untuk menyalakan mesinnya. Begitu deru mesin terdengar, Lili mendaratkan
bokongnya di atas jok. Sebelum meninggalkan rumah, ia sudah pamit terlebih
dahulu pada ibunya.
Perempuan berambut kucir kuda itu
sudah tiba di depan pagar besi berwarna perak. Sang tuan rumah berinisiatif
menuju sumber suara yang berasal dari depan pagar rumahnya.
“Baru datang ya, Lil?” tanya Endo.
“Iya nih, En. Bukain dong pagarnya.
Di luar lagi panas,” ucap Lili sambil mengipas leher menggunakan tangannya.
Endo menganggukkan kepala membalas perkataan Lili. Sebentar saja, pagar terbuka
lebar, mempersilakan Lili dan sepeda motornya masuk ke dalam kediaman Endo.
“Mana Ibu kamu, En?” tanya Lili
begitu ia memarkirkan sepeda motornya.
“Ibuku lagi di ruang tamu. Lagi baca
majalah.”
“Bukan hanya kamu aja yang suka membaca
tapi Ibu kamu juga.”
“Ya bisa dibilang kebiasaan membaca
ini menurun dari Ibuku. Tapi bedanya mamaku suka baca majalah sama tabloid. Oh itu Ibuku,” tunjuk Endo kemudian Lili
menghampiri Ibu Endo yang sedang membaca. Ibu Endo menurunkan majalahnya saat
ia melihat seorang perempuan sebaya dengan putranya menghampiri dirinya.
“Perkenalkan tante nama saya Lili
Aulia Kasih. Saya temannya Endo,” ucap Lili sambil menyalam punggung tangan
perempuan paruh baya itu.
“Oh saya kira kamu ini pacar anak
saya,” gurau Ibunda Endo pada Lili. Pipi perempuan itu merah semu mendengar
gurauan Ibunda Endo padanya.
“Ibu...” Endo memandang ibunya
dengan wajah malu bercampur kesal.
“Kalau begitu duduk dulu, Dek. Endo,
kamu bikin minum sama pacar ups maksud Ibu teman kamu ini,” ujar ibunya sambil
menyuruh anaknya ke dapur.
Bola mata Lili mengitari seisi ruang
tamu keluarga Endo. Di sana bisa terlihat ada dua rak buku berisi berbagai
macam jenis buku terpajang rapi. Bisa disimpulkan kalau keluarga Endo merupakan
keluarga yang mencintai buku dan karya sastra. Inilah yang membuat Lili
bersemangat untuk berbincang-bincang dengan Endo.
“Silakan diminum dulu, Dek.” Ibunda
Endo tiba dengan sebuah nampan yang di atasnya terdapat gelas berisi cairan
kuning jeruk bercampur pecahan es batu. Lili mengangguk takzim sambil meraih
gelas yang disodorkan ibunda Endo padanya. Lili menyeruput sedikit cairan itu
lalu meletakkan gelasnya kembali ke atas meja.
“Nah kalian berdua ngobrol saja di
sini dan jaga rumah selagi Ibu mau pergi,” ucap ibunda Endo.
“Tante mau pergi ke mana?” tanya
Lili.
“Biasa. Menghadiri arisan. Doakan
Tante ya mudah-mudahan giliran Tante yang narik,” kelakar Ibunda Endo sambil
berpaling meninggalkan mereka.
Begitu perempuan paruh baya itu
pergi, kini Lili mengarahkan pandangan pada Endo yang kini sedang duduk di
sebelahnya.
“Ibu kamu orangnya ramah dan suka
bercanda ya, En?”
“Begitulah. Ibuku terkadang suka
berlebihan dan itu yang membuatku kesal. Oh ya, mana buku yang kamu bawa?”
Lili menegakkan badan sambil menurunkan
ransel dari kedua pundaknya. Tangan kanannya menarik resleting seraya mengaduk
isi tas. Ia mengeluarkan tiga novel yang dia bawa dari rumah.
“Ini,” kata Lili sambil
mengangsurkan pada Endo. Lelaki itu menerima buku yang diberikan Lili padanya.
“Tunggu sebentar,” tahan Endo
kemudian membalikkan badan meninggalkan gadis itu. Tak berselang lama, lelaki
itu sudah menenteng lima novel tebal di tangan kanannya.
“Aku harap kamu akan menyukainya.”
Endo meletakkan novel itu di atas meja lalu Lili mengambil buku-buku itu,
memasukkannya ke dalam ransel.
“Terimakasih, Endo tapi kalau boleh
tahu di mana ayahmu?”
Endo diam sejenak sambil berpikir
apakah pertanyaan Lili perlu dijawab atau dia menunggu kesadaran Lili untuk
tidak menanyakan pertanyaan semacam itu. Tapi Endo memilih menjawab pertanyaan
itu.
“Dia sudah mati. Dia memilih
meninggalkan kami demi perempuan lain,” jawab Endo dengan nada bicara dingin.
“Maaf. Aku tidak bermaksud—“
“Tidak apa-apa. Never mind. Omong-omong, apa yang terselip di ransel itu?” tunjuk
Endo pada sebuah kertas yang menyempil keluar dari kantong ranselnya.
“Eh ini bukan apa-apa. Ini hanya
kertas biasa tapi nanti deh kukasi
padamu setelah aku pulang dari sini,” ujar Lili gugup sambil menekan kertas itu
hingga tak terlihat lagi.
“Ya sudah tapi boleh aku bertanya
padamu—satu hal?” Kini Endo memandang serius ke arah bola mata Lili.
Perempuan itu merasa kalau tatapan Endo
bereaksi pada degup jantungnya. Yang semula pelan kini kencang dan seirama
dengan hela napasnya. Lili hanya mengangguk kikuk mengiyakan pertanyaan Endo.
“Jika kau punya waktu hidup satu
minggu lagi, hal-hal macam apa yang akan kau
lakukan?”
Bola mata Lili yang jernih terbelalak
begitu mendengar pertanyaan Endo. Dan dalam hati ia bertanya-tanya pertanyaan
macam apa yang diajukan lelaki itu padanya. Namun perempuan itu tetap berpikir
positif dan menjawab pertanyaan Endo seperti menjawab pertanyaan bersifat umum.
“Kalau aku punya waktu seminggu, aku
bakal habiskan waktu bersama dengan orang-orang yang kukasihi. Aku bakal
meminta maaf dan memaafkan jika aku atau orang lain punya kesalahan padaku.
Satu lagi, jika ada cinta yang belum kuungkap selama aku hidup, aku akan
mengutarakan itu. Diterima atau tidak, itu urusan belakang. Aku tidak ingin ada
penyesalan,” ungkap Lili sambil menatap Endo penuh keyakinan.
Endo mengulas senyum kecil menyimak
jawaban Lili lalu membalas, “Kalau tidak diungkap sih, menurutku, itu tidak apa-apa. Karena ada perasaan yang
sejatinya harus dipendam dan memang cuma kamu sendiri yang boleh mengetahuinya.
Secepat dan selambat apapun itu diungkap, suatu saat pasti akan terlupakan.”
“Tidak seperti itu. Semua perasaan
berhak untuk diungkap. Jika ditolak atau diterima, ya syukuri saja. Anggap saja
semua itu bagian dari pendewasaan diri,” balas Lili. Keduanya tidak menyadari
kalau Ibunda Endo sudah melewati mereka dan pergi tanpa sepatah kata. Ibunda
Endo tahu benar kalau mereka dalam pembicaraan serius.
“Hati-hati ya Tante.” Meskipun
sedang dalam pembicaraan serius, lirikan mata Lili mengarah pada Ibunda Endo tampil
cantik dengan paduan kemeja khusus wanita dewasa dan celana satin panjang
hitam.
“Oh ya, Nak. Kalian serius banget
sampai-sampai Tante tidak berani menyapa kalian.” Lili
tertawa kecil menutupi rasa malunya. Tak terlihat lagi Ibunda Endo di sana. Ia
sudah meninggalkan mereka bersamaan suara daun pintu yang tertutup.
“Jadi sampai mana cerita kita tadi?”
sambung Endo.
Lili memilih mengganti topik
pembicaraan ke arah umum. Seputar sekolah, kegiatan sehari-hari, sampai penulis
favorit. Sepanjang pembicaraan mereka, tidak ada yang pasif maupun terlalu
mendominasi. Keduanya mendapatkan porsi berimbang dalam hal memberi dan
menjawab pertanyaan. Kadang disertai gelak tawa dan pukulan gemas Lili pada Endo.
Ini semakin menguatkan perasaan Lili pada lelaki di depannya. Ingin diungkap
momen itu juga tapi perempuan itu masih ragu. Dalam pikirnya masih perlu
beberapa pendekatan lagi.
“Sudah jam tiga sore, aku harus
pulang,” kata Lili lalu membalikkan posisi lengannya sehabis menengok arloji.
Ia meraih tas yang tergeletak di lantai kemudian bangkit berdiri.
Sesudah berpamitan pada tuan rumah,
Lili mulai melangkah menuju pintu ruang tamu.
“Tunggu, aku yakin kamu pasti
melupakan sesuatu,” cegat Endo sambil telunjuknya menunjuk pada Lili yang sedang
memegang gagang pintu.
“Apa?” sahutnya.
Sebelum membuka pintu, Lili berpikir
sejenak apa yang dimaksud oleh Endo. Lili menepuk jidatnya sendiri begitu dia
mengerti apa yang Endo bicarakan. Wajah Lili memerah ketika ia akan mengambil
barang yang tadi disembunyikannya rapat-rapat. Dengan menahan detak jantung tak
karuan, Lili menggeser pangkuan ransel sebelah kanan sambil membuka resleting
kantong ransel paling depan.
Lipatan kertas itu agak lecek tapi
Lili menekan-nekan kertas itu agar tidak terlihat terlalu kusut.
“Maaf,” kata Lili sambil menyodorkan
kertas itu pada Endo. Lelaki berambut keriting itu menerimanya. Selesai
memberikan kertas itu, Lili mendorong gagang pintu hingga terbuka disusul
dengan dirinya langsung keluar dari ruang tamu.
Dasar
cewek aneh. Sebenarnya apa yang ditulis dia dalam kertas ini? ujar batin
Endo seraya memutar badan, mengambil gelas yang tertinggal di atas meja.
***
Usai meletakkan buku bacaan yang
telah selesai dia baca, kaki Endo segera beranjak menuju kasur pembaringan.
Sebelum dia merebahkan badan, tak sengaja ekor matanya melihat kertas yang
diterimanya dari Lili tadi siang.
Kertas itu kini sudah berada di
tangannya.Akan tetapi, Endo akan membuka perekat kertas itu, mendadak
paru-parunya seakan mengembang bak balon tiup. Kemudian dirinya terbatuk-batuk
begitu keras hingga terasa sesak di dada. Hal itu terus menerus terjadi hingga
ceceran darah sudah mengotori lantai kamarnya.
“I-i-ibu.” Kertas yang dipegangnya
terlepas dari tangannya. Denyut saraf di dalam kepala begitu kencang dan
menusuk hingga membuatnya terhuyung-huyung. Tak bisa menahan keseimbangan, tubuh
Endo jatuh begitu saja di atas permukaan lantai.
“Endo!”pekik sang ibunda sambil
tergopoh-gopoh menghampiri putranya.
***
Lili masuk sekolah seperti biasa.
Dan seperti biasa pula keadaan kelasnya selalu ramai dengan teman-temannya yang
asyik mengerjakan PR. Teman dekat Lili, Rasya melihat Lili santai meletakkan
tas di atas kursi tempatnya duduk lalu meninggalkan kelas.
“Lil, loe udah siap PR bahasa Inggris belum?” tanya Rasya sambil
tangannya menulis.
“Udah, Ras,” jawab Lili.
“Tumben-tumbenan loe siap? Biasanya loe kan paling heboh sana-sini kalau belum siap PR apalagi PR
bahasa Inggris,” balas Rasya.
“Ya selagi gua masih bisa ngerjain
sendiri, enggak mungkin dong terus-terusan minta tolong sama teman, ya kan?”
Rasya menggangguk setuju dengan apa
yang dikatakan Lili. Begitu sudah selesai berbicara dengan temannya, Lili
lanjut melangkah meninggalkan temannya. Tapi dalam hati Rasya menduga kalau ada sesuatu yang tengah
dipikirkan temannya itu.
Kalau
kau ingin datang untuk sekedar melihat, datang saja pagi-pagi ke kelas XI IPS
1. Itulah ruang kelasku.
Berbekal perkataan Endo, Lili melangkah menuju kelas
XI IPS 1 untuk sekadar melihat apakah lelaki pujaannya berada di sana atau
tidak. Tidak sampai lima menit, Lili berada di depan pintu kelas XI IPS 1. Ia
lanjut saja berjalan sambil lirik matanya seolah menerawangi isi kelas.
“Eh kamu Richard, kan?” Perempuan
berambut panjang itumencegat seorang laki-laki kurus berkulit putih.
“Iya kenapa? Bukannya kamu perempuan
yang cari masalah sama Sony ‘kan?”
“Namaku Lili. Aku ke sini mau nanya,
kamu kenal sama Endo ‘kan?” Lelaki itu mengangguk pelan lalu dilanjutkan,
“Benar ini kelasnya Endo?”
“Iya benar. Kenapa cari Endo? Kamu
ada perlu apa sama dia?” tanya Adi selidik.
“Tidak. Tidak ada apa-apa?” Dengan
wajah agak kecewa, Lili membalikkan badan meninggalkan Richard. Lelaki kurus
itu bingung dengan apa yang terjadi dengan perempuan yang barusan mengobrol
dengannya.
***
Selang infus masih tertancap di urat
nadi Endo. Detak jantung Endo mulai tidak stabil. Itu yang tergambar di
kardioelektrograf di samping kepala lelaki itu. Sang ibu sedang tertidur di
sampingnya. Dalam tidur Endo, ia memimpikan seorang gadis tengah berbincang
penuh kehangatan dan canda tawa. Di tengah perbincangan, gadis itu memberikan sebuah
lipatan kertas padanya.
“Bacalah. Aku yakin kamu suka,” ucap
gadis itu sambil menyimpulkan senyum manis.
Perlahan tapi pasti, Endo membuka
kelopak matanya. Dadanya masih menyisakan sesak dan sakit menyiksa. Ia berusaha
mengatur irama pernapasannya agar lebih rileks. Kepalanya menoleh ke kiri ada
ibundanya tertidur dengan posisi kedua tangan dilpat menimpa kepala.
“I-ibu,”panggil Endo dengan nada
bicara lirih tapi itu belum cukup untuk membangunkan ibunya. Endo mencoba
memanggil ibunya.
“I-ibu... a-aduh, I-ibu.” Telinga
ibundanya peka begitu ia mendengar suara putranya memanggil dirinya. Sontak
sang ibunda menegakkan kepala, memastikan apakah yang memanggil dirinya itu
adalah anaknya.
“Endo kamu sudah sadar, Nak? Puji
Tuhan kamu sudah sadar. Ada perlu apa anakku? Apa yang bisa Ibu bantu untuk
kamu?” tanya Ibundanya dengan hati gembira sambil memberikan pelukan refleks
pada putranya.
“Ker-tas, Bu.”
“Kertas? Kertas apa?” tanya sang Ibu
bingung sambil melonggarkan pelukannya. Tapi kebetulan ibunya membawa tas
sandang di pundak lalu membuka resleting tas. Perempuan paruh baya itu
mengaduk-aduk isi tas lalu mengeluarkan sesuatu yang dia yakini dicari oleh
anaknya.
“Maksud kamu ini?” Sang ibu
menunjukkan sebuah kertas dikotori darah kering. Endo mengangguk pelan
mengiyakan pertanyaan sang ibu. perempuan itu mendekatkan lipatan kertas itu ke
tangan anaknya. Endo sudah mendapatkan kertas itu. Pelan-pelan ia membuka
lipatan kertas itu, membaca tulisan yang ada di sana secara seksama.
Aku berikrar dalam sungguhku
kalau aku takkan mudah menjatuhkan hati
Kalau
aku mesti mawas diri mesti awas hati
Jangan
sampai aku salah serahkan hati kecil pada sang pujaan hati
Aku
gadis yang ternyata mengingkari ikrar suci
Kamu
datang di saat aku butuh dan ingin seseorang
Seseorang
yang kan kujatuhkan hatiku padanya
Tak
cukupkah hanya berharap dan mengira kalau kamu pastinya ingin?
Maka
kertas kumal inilah jadi pengantara kalau aku menyatakan perasaanku
Perasaan
yang menghasratkan kalau aku mencintai dirimu
Sejak
pertemuan tak terkira...
L.A.K,
06/11/2016
Melihat pilihan kata yang dituliskan
perempuan itu, Endo mengambil kesimpulan bahwa Lili mengakui perasaannya pada
Endo. Ia juga berkesimpulan kalau Lili menyukai dirinya dan berharap Endo juga
menyukai dirinya. Lelaki berambut keriting itu mengulas senyum tipis membaca
untaian kata yang disusun Lili dalam kertasnya. Lelaki itu melipat kembali
kertas itu lalu diselipkan di dalam bantal.
Kalau
kau tahu keadaanku sebenarnya, apakah kau masih akan mencintaiku? Endo
membatin. Ia tak tahu apakah harus membalas cinta Lili padahal kondisinya saat
ini tengah kritis bahkan mengangkat tangan pun susah.
“Bu, bisaaku minta tolong?” Ibunda
Endo menjawab dengan anggukan kepala.
“Ibu... punya... pulpen dan
ker-rtas?”
“Untuk apa?”
“Aku ingin menulis,” jawabnya dengan
suara lirih. Sang Ibunda merogoh isi tasnya guna mencari apa yang diinginkan
anaknya. Tak menemukan barang yang dicari, ibunda Endo berlari meninggalkan
putranya menuju meja resepsionis rumah sakit.
“Ibu ke meja resepsionis sebentar.
Mencari pulpen dan kertas,” kata Ibundanya seraya meninggalkan Endo di ruangan
itu.
***
Dalam kamar tidur berukuran 4x5
meter itu, perempuan berkulit putih itu duduk di atas ranjang, melayangkan
pikirannya ke dunia angan-angan. Memikirkan sesuatu yang mungkin hanya dia
sendiri yang mengetahui.
Bagaimana
ya tanggapan dia sama puisi? Bagus enggak ya? Apakah dia bisa menangkap makna
yang terdapat di puisiku? Dia tahu enggak ya kalau aku suka sama dia?Pertanyaan
demi pertanyaan menjejali hati dan pikiran Lili. Dia tidak bisa menenangkan
dirinya sendiri.
***
Sementara itu ibunda Endo sudah
kembali dengan selembar kertas HVS dan pulpen di tangan. Sang anak memutar
lehernya ke arah pintu ketika seorang perempuan paruh baya menghampiri dirinya.
Sang ibu menyerahkan kertas dan pena itu pada putranya.
“Ibu...,” kata Endo dengan napas
tersengal. Ibunya menatap penuh perhatian dan Endo menganggap tatapan mata
ibunya sebagai jawaban ‘iya’.
“To-tolong I-ibu tu-tulis puisi
y-yang khu-kuucapkan ini. S-setelah itu hubungi Ri-richard.” Wajah Endo memutih
bagai kertas tisu. Ia refleks memegang dada serasa ditimpa beban berat. Hela
napasnya terputus-putus.
“Iya, Nak. Ibu akan tulis puisi yang
kamu bilang itu. Bilang saja kalimatnya pelan-pelan. Tidak usah terburu-buru,”
ujar sang ibu dengan roman sedih.
***
9
November
Masih segar dalam ingatan Richard
ketika ibunda Endo menyuruhnya ke rumah sakit Harapan Bersama. Dan yang membuat
dirinya tambah khawatir, Endo sedang dalam kondisi kritis. Ibu dari teman
akrabnya ingin menitipkan sesuatu padanya.
Richard melajukan sepeda motor yang
ditungganginya begitu kencang sampai-sampai angin malam begitu kuat menerpa
dadanya. Lelaki itu sudah lama mengetahui kalau Endo mengidap kanker paru-paru.
Selama ini, dia bertahan hidup dengan resep obat-obatan herbal China. Meski
begitu, ada masa ketika tubuh seseorang tidak bisa lagi menahan penyakitnya
walau mencoba menangguhkan masa hidup dengan menggunakan obat-obatan semanjur
apapun itu. Dan bisa jadi di sini batas tubuh Endo bisa menahan kanker yang
sudah menuju stadium akhir.
Tiga puluh menit Richard bergumul
dengan kencangnya angin malam kini ia sudah tiba di halaman depan rumah sakit
Harapan Bersama seraya memarkirkan sepeda motornya. Ia dengan langkah kaki
terburu-buru mencari ruangan tempat sahabatnya dirawat.
Lama mencari akhirnya Richard
menemukan ruangan tempat Endo dirawat. Ketika akan memasuki ruangan, lelaki
kurus itu mendapati ibunda Endo tengah menangis tersedu-sedu sambil menyebutkan
nama Endo dalam isak tangis menyedihkan itu.
“Lho, tante, kenapa tante ada di
sini? Mana Endo? Dia masih di dalam ‘kan?” Richard memberikan serentetan
pertanyaan tentang keberadaan Endo.
Dengan suara serak bercampur isak
tangis ibunda Endo menjawab, “Endo... Endo dia tidak ada di sana. Dia... dia sudah
meninggalkan kita semua untuk selamanya.”
Richard menggelengkan kepala dan
mulai mengeluarkan suara isak tangis yang tertahan di tenggorokannya. “Itu
enggak mungkin ‘kan, Bu. Endo enggak mungkin meninggal,” bantah Richard seraya
menitikkan air mata dari kedua pelupuk matanya.
“Kalau kamu enggak percaya, kamu
jalan saja lurus lalu belok kiri. Lima meter dari sana ada ruangan tempat Endo
berada saat ini,” terang ibunda Endo dengan tatapan hampa.
Richard berbalik badan meninggalkan
ibunda Endo di sana. Ia melangkah lemas dan gontai, tak menerima kenyataan yang
ada. Teman yang selama ini paling setia dan suka memberikan nasihat dan
semangat, teman sepermainan di olahraga basket kini telah tiada. Hatinya masih
dipenuhi rasa sesak dan perih setelah disakiti oleh pukulan takdir yang amat
menyakitkan. Ia ingin melihat wajah temannya sekali lagi mengucapkan selamat
tinggal untuk selamanya.
Begitu sampai di ruangan yang
dituju, lelaki kurus itu melihat seorang suster telah keluar dari ruangan itu.
Sebelum suster itu menjauh, Richard menahan suster itu.
“Suster, apakah jenazah teman saya
ada di sana?”
“Namanya siapa?”
“Endo Hasnanto Purba.” Suster
berambut sebahu itu menggangguk sekali ketika nama jenazah yang disebutkan anak
lelaki itu memang ada di ruangan itu.
“Boleh saya masuk sebentar? Saya
ingin lihat wajah teman saya,” lanjut Richard. Suster itu menggangguk lagi
menyanggupi permintaan Richard. Kedua kakinnya bergetar hebat begitu ia memasuki
pintu kamar jenazah. Aura dingin dan kematian begitu melekat di sana bak parfum
pewangi ruangan.
“Ini dia,” tunjuk sang suster.
Lagi-lagi, kedua tangan Richard mengeluarkan butiran keringat dingin diikuti
gemetaran kedua tangannya. Hatinya masih diselimuti gentar sekaligus sesak di
dada saat membuka kain penutup jenazah. Ketika kain penutup sudah
memperlihatkan wajah Endo, Richard tak mampu menahan isak tangisnya. Ia ingin
menuntaskan rasa pedih nelangsa ditinggalkan sahabatnya dengan memeluk erat badan
Endo seolah Richard ingin memberikan pelukan terakhir sebelum tubuh dingin Endo
terkubur dalam tanah.
***
Richard mengelap air mata yang
menetes dengan menggesekkan bahunya ke pelupuk mata. Dan setelah bel pulang sekolah berbunyi, Richard akan
menemui Lili. Perempuan itu masih tidak terima kalau Endo meninggal dunia. Ia
berusaha menyangkal kenyataan dan mengganggap lelaki yang dicintainya hanya
pergi berlibur dan akan kembali lagi bersekolah.
Lelaki berambut lurus itu berjalan
penuh kesiapan menghampiri Lili yang sudah lama menunggu di gerbang depan. Lili
tidak sendiri. Dia ditemani seorang perempuan yang juga dia kenali—Rasya.
Sebelum pulang sekolah, Richard sudah menghubungi Rasya lewat whatsapp guna menemani Lili yang akan
menunggu dirinya di depan gerbang sekolah. Awalnya Rasya menolak, akan tetapi
setelah dipaksa berulang kali Rasya mengiyakan ajakan Richard.
“Kamu udah lama nunggu, Lil?”
“Ya enggak lama sih. Untung ada
Rasya di sini,” jawab Lili sambil menunjuk Rasya menggunakan jempolnya.
“Kamu ingin tahu kan di mana Endo?”
Lili mengangguk penuh antusias lalu melanjutkan pembicaraan lagi, “Ikut
denganku. Kamu akan tahu di mana Endo sebenarnya. Kamu bawa sepeda motor ‘kan,
Lil?”
“Bawa kok.” Setelah mengetahui kalau
Lili membawa sepeda motor, ketiganya beranjak dari gerbang depan menuju area
parkir. Sesudah menemukan sepeda motor masing-masing, mereka menghidupkan mesin
meininggalkan pekarangan sekolah.
Perjalanan menuju rumah ibu almarhum
Endo berlangsung begitu cepat. Sekitar lima belas menit bergumul di jalan raya,
ketiganya telah sampai di sebuah rumah bercat biru, berpagar besi keperakan.
Richard turun terlebih dahulu dari jok sepeda motor lalu melangkah menuju
pagar, memencet bel yang tersedia di samping pagar.
Sesudah memencet bel dua kali,
seorang perempuan paruh baya berambut hitam agak kusut menampakkan diri di
hadapan mereka sambil memberikan senyum samar.
“Kalian kan temannya almarhum anak
saya—?”
“Siapa yang Tante maksud dengan
almarhum? Endo enggak mungkin—“
“Cukup Lili!” bentak Richard penuh
emosi. Lili, Rasya dan ibunda Endo diam sesaat begitu Richard membentak Lili
karena dia terus-terusan menyangkal bahwa Endo masih hidup.
“Tante... bisakah kami masuk?”
Richard menarik napas lalu diembuskan pelan-pelan untuk menurunkan lonjakan
emosi yang sempat menguasai hatinya.
“Silakan.” Ibu Endo membuka rantai
gembok membelenggu pagar lalu mempersilakan mereka bertiga masuk. Ketika
memasuki ruang tamu, membawa angan Lili ke masa lalu ketika dia berkunjung ke
rumah Endo, bertukar novel pada lelaki itu.
Begitu mereka bertiga duduk di atas
sofa, Richard langsung membuka pembicaraan, “Sekarang Tante bisa berikan kertas
itu pada perempuan ini,” tunjuk Richard pada Lili. Perempuan berkulit putih itu
kebingungan dengan apa yang dikatakan lelaki itu.
“Kertas apa yang kamu maksud,
Chard?”
“Kertas yang akan menyadarkan kamu
kalau dia benar-benar telah tiada, Lil.”
Tangan kanan ibunda Endo bergetar
ketika akan menyerahkan kertas itu pada Lili. Kedua bola matanya memerah, hendak
meneteskan air mata namun tertahan di pelupuk mata. Lili menerima kertas itu
dengan hati dipenuhi tanda tanya tentang apa isi
Andai tak
termilikiku hidup 24 jam
Kan kupastikan rasa ini benar terungkap
Karena maut hampir menarik napasku hingga tercekat
Aku mencintaimu walau sekejap bahkan sesaat
Mungkin tak ada lagi waktu tuk jabarkan alasan demi
alasan
Namun bila di surga nanti
Aku ingin lihat bibir indahmu goreskan senyum
terindah
Biar aku tenang menghadap sang Ilahi...
Lili tak mampu membendung tangisnya
membaca kata demi kata yang diungkapkan Endo lewat puisi yang diungkapkannya.
Sulit bahkan teramat sulit bagi Lili untuk mempercayai bahwa Endo, lelaki
pujaannya sudah menghadap sang Tuhan. Ia sungguh menyesal tidak mengungkapkan
perasaannya kepada Endo.
“Ikhlaskan dia, Lil. Aku yakin di
surga sana Endo bakal sedih lihat kamu begini.” Rasya perlahan menghampiri
sahabatnya yang tengah terpukul. Ia memberikan semangat dan sentuhan hangat di
pundak kawannya.
Lili dengan berat hati mencoba
melupakan Endo dari kehidupannya. Lalu ia teringat akan foto-foto yang
dipajangnya di dalam lemari pakaian dan sebuah botol kaca kecil yang menyimpan
cairan aneh di dalamnya.
Aku
mencintainya. Aku akan menyusulnya, ucap batin Lili.
Selesai.
No comments:
Post a Comment