Tuesday, 29 May 2018

DUAL - 2


Rapat Besar
            Jalan Kota Tua disarati lalu lalang sepeda motor, mobil pribadi dan bus Trans Jakarta. Suara mesin ketiga kendaraan yang mendominasi jalan raya membuat kondisi jalan semakin panas ditambah kemacetan memanjang sampai 1 kilometer. Para pengemudi menekan klason  Suasana seperti ini sudah jadi pemandangan umum dan lazim di Jakarta. Maka  sangat mengherankan apabila hal-hal seperti itu tiba-tiba saja tidak terlihat di pusat ibu kota kenegaraan.
            Di sebelah kiri jalan raya, terdapat gedung beton menjulan tinggi hampir menyentuh lapangan langit. Jika diperkirakan, gedung itu memiliki 30 tingkatan. Di depan gedung, terdapat halaman yang ditambah fungsinya menjadi tempat parkir bagi pengendara mobil dan sepeda motor. Dari beberapa mobil yang parkir, Honda Jazz hitam baru saja ditinggalkan pemiliknya. Sebelum menuju gedung, lelaki berambut pirang  itu menekan tombol alarm mobil.
            “Cepatlah Kak Anggara!” suruh Fiolina agak memaksa.
            “Sabarlah Fio,” jawab Anggara sambil mengepang rambutnya yang tergerai. Begitu rambutnya sudah diikat, lelaki itu mengetatkan tali pinggang seraya memperbaiki kerah dan kancing kemejanya. Saat hal-hal kecil pada dirinya sudah diselesaikan, Anggara berlari kecil menyusul perempuan ikal bergelombang itu.
            “Cepat sekali jalanmu,” ujar Anggara sambil mengambil rokok dari saku celana kemudian diapitkan ke mulut.
            “Kau tidak dengar apa kata bos tadi?”
            “Ya aku tahu. Santai saja. Ini cuma rapat mendadak saja.”
            Kini sepasang manusia itu sudah memasuki gedung. Keduanya langsung mencari lift dan kebetulan orang yang berada dalam lift itu hanya dua orang. Jadi mereka langsung saja memasuki lift. Anggara dan Fiolina berbincang sebentar dengan dua orang yang jadi teman mereka di dalam lift. Sekedar bertanya mereka akan ke lantai berapa dan apa agenda pekerjaan yang akan mereka kerjakan saat ini.
            Sudah lima menit berlalu dua laki-laki yang menjadi teman bicara mereka sudah pergi duluan. Kini hanya tersisa Anggara dan Fiolina di sana. Mereka hanya perlu melewati dua tingkatan lagi untuk sampai ke tujuan. Dua menit menunggu kini keduanya sudah menginjakkan kaki di lantai 29. Mereka berlari kecil untuk bisa sampai ke ruangan berplangkat ruang rapat anggota.
            Di depan pintu mereka mengetuk pintu sebanyak tiga kali sambil menunggu jawaban dari dalam. Begitu mendengar suara putaran kunci dan suara ‘silakan masuk’, Anggara menekan kenop pintu, mendorongnya agak lebar. Terlihat di dalam ruangan itu, sudah berkumpul mayoritas laki-laki berpakaian formal ala pegawai kantoran. Di dalam ruangan, meja dan kursi didesain seperti huruf U panjang. Ukuran ruangan yang lebar bisa memuat sampai lima puluh orang.
            “Lama sekali bocah dan perek satu ini. Kau pikir kami berada di sini cuma untuk menunggu kedatangan kalian berdua?” ujar lelaki berkacamata itu. Ia menatap Anggara tidak senang.
            Anggara balik menatap lelaki berkacamata itu dan dengan santainya, ia menarik kerah baju lelaki itu hingga posisi wajah keduanya hampir berdekatan lalu Anggara berkata, “Kau tahu ‘kan bagaimana kondisi jalanan di Jakarta seperti apa? Dan mobil kami hampir ditilang polisi—“
            “Anggara, Jonas... tenangkan diri kalian. Rapat ini akan saya mulai.” Begitu mendengar perintah dari pemimpin rapat sekaligus bos besar di organisasi itu, Anggara melepaskan cengkeraman tangannya pada kerah baju lelaki berkacamata itu. Anggara dan Fiolina mengambil kursi masing-masing sambil menunggu bos mereka membuka rapat.
            Ketika suasana mulai berangsur kondusif, pemimpin rapat mulai membuka pembicaraan, “Saya Haris Aji Pradana mengucapkan terima kasih kepada seluruh anggota HOVTA  yang sudah datang untuk mengikuti rapat pada hari ini. Salah satu agenda rapat saat ini membicarakan tentang statistika perkembangan transaksi jual beli organ tubuh manusia selama empat tahun belakangan ini.” Lelaki berambut hitam bercampur uban putih mengkilap itu menyalakan infokus guna melihat data yang sudah dikumpulkan dalam bentuk powerpoint.
            “Anda sekalian bisa melihat melalui grafik ini bahwa penjualan organ tubuh di tahun 2014 mengalami peningkatan signifikasi sebesar 84 % daripada di tahun sebelumnya, tahun 2013 yang hanya 51%. Dan selama tujuh tahun organisasi ini berjalan, di tahun 2014-lah kita mengalami laba cukup besar dari hasil penjualan organ tubuh manusia dan memasuki bulan Maret 2016 persentasi keuntungan kita bisa bertahan sampai 78%.” Para anggota HOVTA memperhatikan betul grafik batang mendukung pernyataan bos besar mereka mengenai persentase keuntungan penjualan organ tubuh manusia. Tak terkecuali Anggara tatap matanya masih melekat pada layar infokus meskipun cara duduk lelaki itu memerosotkan badannya seperti orang malas dan abai.
            “Namun memasuki bulan Juni 2016 sampai dengan Oktober 2017, kita mengalami kemerosotan persentase penjualan sampai menyentuh titik 30% pada tanggal 23 Oktober 2017.” Sang bos besar mengarahkan senter lasernya pada grafik batang pendek dengan garis batang di angka 40% tapi dengan perbedaan jarak satu milimeter lagi.
            “Begitulah hasil pemaparan saya mengenai persentase keuntungan penjualan organ tubuh manusia selama empat tahun belakangan ini. Saudara sekalian ada yang mau bertanya atau adakah pemaparan saya kurang jelas mengenai persentase penjualan organ tubuh manusia sindikat HOVTA?”
            Untuk sementara suasana rapat diliputi hening,. Belum ada pertanyaan atau sanggahan dari para peserta rapat. Ketika sudah sampai menit kedua, suara Alto yang berada dari kursi bagian tengah memecah keheningan dalam rapat itu.
            “Pak, bisa saya melihat bagaimana rumus yang Bapak pakai untuk menghitung persentase keuntungan?”
            “Oh bisa.” Lelaki berkulit kuning langsat menyuruh perempuan yang mengoperasikan komputernya membuka Microsoft Excel. Begitu mendapatkan data yang dicari, sang pemimpin rapat langsung mengembalikan pandangan pada para peserta rapat. Pada layar infokus terpampang sebuah rumus di pinggir sebelah kiri file Excel.
% laba = Σ frekuensi transaksi organ tubuh  selama setahun   x 100%
                       Σ stok organ tubuh yang didapatkan selama setahun
                      
            “Inilah rumus yang saya gunakan untuk menghitung persentase keuntungan kita. Dan kalian juga bisa melihat dari tabel ini, kalau organ tubuh yang sering menjadi permintaan pasar yakni, jantung, paru-paru, hati dan terakhir ginjal. Ginjal merupakan organ tubuh bagian dalam yang menjadi permintaan pasar paling besar. Kita semua yang berada di sini wajib mengerti bahwa setiap inci permukaan tubuh manusia adalah harta karun berharga bagi kita para penjual organ tubuh ilegal.”
            “Ada pertanyaan lain mengenai data hasil pemaparan yang sudah saya tampilkan?”
            “Saya merasa data yang Bapak sajikan tidak valid,” sanggah Jonas, lelaki berkacamata itu. Ia memiliki cacat di bagian tangan kanan. Kulit jari terdapat luka bakar dan jemarinya tinggal setengah.  
            “Apa yang membuat Anda bisa berkata kalau data yang saya berikan tidak valid, Jonas? Tolong berikan alasan Anda,” ucap Haris sambil telapak tangan mengarah pada Jonas.
            “Baiklah. Saya selalu mengikuti perkembangan organisasi ini dari awal berdirinya sampai saat ini. Saya juga Bapak percayai sebagai salah satu pengurus selain Chyntia dan Fiolina, yang bertugas menangani data-data yang berhubungan dengan jumlah penjualan organ tubuh dan segala keuntungan yang didapatkan organisasi ini—“
            “Langsung ke intinya saja, Jonas,” potong Haris.
            “Iya saya tahu, Pak. Saya bersama dengan anak buah saya sudah mencatat berapa hasil keuntungan yang didapatakan organisasi ini selama tujuh tahun. Di tahun 2010, keuntungan yang didapatkan sebesar Rp 202.455.000,00 dengan persentase 29%. Awal Januari 2011 sampai dengan Januari 2012 keuntungan kita naik 34% dengan total Rp 271.289.700,00. Semenjak Bapak memutuskan menjalin kerjasama dengan sindikat Killer Order pada Februari 2012 keuntungan yang didapatkan organisasi ini cukup meningkat dengan kisaran persentase 53 s/d 86% . Saya lanjutkan lagi. Pada tahun 2013 bulan Maret keuntungan kita naik 53% dengan total Rp 415.073.241,00. Pada tahun 2014 seperti yang Bapak katakan tadi, organisasi kita mengalami keuntungan yang cukup signifikan sebesar Rp 772.036.228,00. Dan terakhir. Pada awal tahun 2015 sampai dengan Oktober 2017, organisasi kita meraup keuntungan sebesar Rp 1.260.699.100,00 dengan persentase rata-rata 80% sampai dengan bulan Oktober 2017.” Jonas sudah menguraikan perhitungannya mengenai persentase keuntungan dan total uang yang didapatkan  organisasi itu.
            “Nah begitulah hasil koreksi saya, Pak Haris. Seperti yang saya katakan tadi, saya bersama dengan anak buah saya juga mencatat organ tubuh apa saja yang jadi permintaan pasar, frekuensi transaksi selama 10 tahun dan juga berapa keuntungan yang didapatkan dalam buku besar yang saya pegang ini.” Lelaki berkacamata itu menunjukkan buku yang sering digunakan untuk mencatat keuangan pada peserta rapat lalu buku itu diberikan kembali pada anak buah yang berada di samping Jonas.
            Sambil meluruskan posisi kacamata yang agak miring, Jonas kembali melanjutkan perkataannya, “Jadi Pak, kesimpulannya, persentase keuntungan kita masih bertahan di angka 70-80% dan kita mengalami surplus setiap tahunnya. Dugaanku, data kita sudah dimanipulasi.” Sangkaan Jonas membuat hampir peserta rapat tersontak kaget.  Tapi Anggara menatap Jonas dengan sorot mata datar. 
            “Jadi kau menuduh kalau aku memanipulasi data, Jonas?” Tiba-tiba Chyntia angkat bicara mengenai sangkaan tak berdasar dari Jonas.
            “Jangan sok tahu dan berlagak kau adalah orang paling loyal dalam organisasi ini. Kau pasti iri ‘kan kalau Pak Haris mempercayakan kami berdua untuk mengelola data keuangan grup sementara kau hanya mencari orang-orang miskin yang mau menjual organ tubuhnya atau setidaknya, mencari orang-orang yang membutuhkan organ tubuh secara cepat, ya ‘kan?” Fiolina ikut menyerang Jonas.
            “Hei, hei kenapa kalian bertiga malah berantam? Positive thinking. Mungkin saja ini kesalahan input data atau bisa saja kesalahan pengetikan. Kalian bertiga yang jika punya catatan masing-masing mengenai keuangan grup, kalian bisa saling memverifikasi apakah ada kesalahan atau memang ada unsur pemalsuan atau manipulasi data seperti yang Jonas katakan,” lerai Anggara. Lelaki itu berusaha menurunkan tensi pertengkaran antara ketiganya.
            “Benar yang dikatakan Anggara. Ini menjadi tugas kalian bertiga untuk melakukan verifikasi data keuangan grup kita. Dan rapat kali ini, kita akhiri dulu sampai di sini. Lakukan tugas kalian seperti biasa. Dan ingat. Teliti, efisien dan efektif,” tutup pimpinan rapat diikuti dengan suara tepuk tangan dari peserta rapat.
             Para peserta rapat berdiri dari bangku mereka. Perlahan meninggalkan ruangan. Anggara dan Fiolina melangkah cepat menjauh dari tempat itu.
            “Kau selalu saja suka cari aman, Gara. Jonas tengil itu harus segera diberi perhitungan. Minimal kita harus menyingkirkan dia,” ucap Fiolina pada Anggara.
            Tiba-tiba saja Anggara memberhentikan langkah kakinya sambil melihat di sekelilingnya kemudian berkata, “Pelankan suaramu, Fio. Kalau dia sampai menguping rencana kita, kita berada dalam masalah besar. Lebih baik kita bicarakan ini di mobil.”
            Anggara merangkul pundak gadis berambut cokelat ikal bergelombang itu sambil mengusap pelan pundaknya. Lelaki itu sudah tahu bagaimana trik menenangkan emosi partnernya dan trik itu selalu berhasil. Mendapat perlakuan seperti itu, Fiolina mengangguk lemah sambil mempercepat langkah kaki menuju parkiran mobil. Dari kejauhan, lelaki berkacamata itu terus mengawasi gerak-gerik rekan kerjanya. Ia sendiri belum bisa menyimpulkan apa yang sedang dibicarakan oleh mereka.

Saturday, 19 May 2018

DUAL - 1


Segelas Lemon Dingin
            Aretha melangkah santai menuju kolam renang. Ia mengenakan kimono putih membalut tubuh semampainya. Sesampainya di bibir kolam, Aretha melepaskan pengikat yang berada di pinggang lalu kimono itu dicampaikan di kursi santai yang letaknya tak jauh dari bibir kolam. Perempuan berkulit putih itu menyiapkan ancang-ancang dengan menangkupkan kedua telapak tangan ke depan. Dengan menolakkan kedua kaki ke depan, perempuan itu sudah berada di dalam air kolam. Aretha menyembulkan kepala ke permukaan untuk mengambil napas lalu kedua tangan mengepak-kepak air bak kupu-kupu  terbang lincah di udara.
            Sudah lima belas menit berlalu, Aretha berada di kolam. Melakukan tiga gaya renang dalam waktu lima belas menit ditambah dengan area kolam yang cukup luas, sukses membuat tangan, punggung dan dada perempuan itu pegal dan lelah. Akhirnya Aretha kembali ke permukaan kolam seraya berjalan ke kursi santai.
            Sambil merebahkan badan, tangan perempuan itu meraih segelas lemon dingin yang berada tak jauh dari kursi santai. Ia menyesap air lemon itu pelan-pelan, merasakan sensasi dingin terserap ke dalam batang tenggorokannya. Ia membiarkan tubuh kurusnya berbalut lingerie orange itu disinari matahari pukul 10 pagi selama tiga menit.
            Aretha membiarkan partikel cahaya tak kasat mata itu masuk ke dalam pori-pori kulitnya. Sinar matahari pagi baik untuk kesehatan, pikir Aretha. Agar ia tidak kekurangan asupan pro vitamin D dari sinar matahari, terkadang dua kali seminggu, Aretha melakukan senam kecil atau berenang di bawah pendaran sinar matahari pagi.
            Sambil berjemur, Aretha tak sadar kalau dia sudah tertidur di kursi santai. Dalam tidunya, ia bermimpi dua orang pria paruh baya menyekapnya di sebuah gudang bekas penyimpanan bahan bakar. Kedua pria itu menatap datar pada Aretha. Gudang gelap itu diperlengkapi penerangan seadanya. Perempuan itu sudah mengenal betul siapa perempuan yang berada di hadapannya.
            “Kini kau harus merasakan bagaimana sakitnya dibakar hidup-hidup, perempuan jalang! Kau harus merasakan saat-saat kulit arimu mengelupas secara paksa dan jaringan kulitmu mati rasa dan menggosong.” Pria yang memiliki tiga guratan di dahinya menatap penuh api dendam pada Aretha sambil mengguyur satu jerigen besar bensin di atas kepala perempuan itu.
            Lalu lelaki berkaus oblong hitam melemparkan puntung rokok yang masih menyala ke arah perempuan itu. Kobaran api langsung saja menyerbu tubuh Aretha tanpa menyisakan celah sedikit pun. Api mulai menjilati ujung kaki sampai ujung rambutnya. Aretha mulai menjerit kesakitan. Ia merasakan panas api serasa merobek paksa inci per inci lapisan kulit perempuan itu.
            “Tolong aku! Tolong lepaskan aku!” jerit Aretha sekuat tenaga. Kedua laki-laki itu tertawa puas menyaksikan ajal mulai menjemput perempuan malang itu.
            Akhirnya Aretha bisa sadar dari mimpi buruknya itu. Ia membangkitkan badan lalu kedua matanya tertuju pada segelas lemon yang masih tergeletak di sampingnya. Ia menyeruput lemon itu sampai tak tersisa. Perempuan itu menyeka bulir keringat yang berkumpul di dahi.
            Benar-benar mimpi buruk, ujar batin Aretha. Bersamaan dengan itu, Aretha mendengar bel bintu berdering tiga kali menandakan ada tamu mengunjungi kediamannya.
            “Bi, tolong  bukakan pintu depan,” perintah Aretha dari kolam renang.
            “Iya Non,” sahut asisten rumah tangga Aretha. Sebelum menyambut tamu, Aretha merapatkan pengikat pinggang kimono kemudian mengikat rambut panjangnya. Ketika asisten rumah tangga sudah membukakan pintu, Aretha tersenyum sambil mengangguk sebanyak dua kali melihat tamu yang mengunjungi rumahnya.
            “Aku sudah duga kalau itu kamu,” ujar Aretha sambil tangan mulusnya menjulur ke arah sofa.
            “Aku sudah menekan bel di depan pintu kamu sebanyak delapan kali dan kamu baru saja mendengar—”
             “Aku mimpi buruk. Kau tahu dua laki-laki anggota DPR yang ternyata gay yang kita bakar tiga minggu yang lalu?” Alvaro menganggukkan kepala diikuti dengan kedipan kelopak mata, membalas pertanyaaan Aretha, “ada apa dengan mereka?”
            “Aku bermimpi mereka membakarku hidup-hidup.” Perempuan berwajah Oriental itu tak berkedip selama tiga detik. Suasana pembicaraan keduanya sempat hening.
            “Kau berlebihan, Aretha. Itu hanya mimpi belaka. Lagipula, itu merupakan hukuman setimpal bagi para anggota DPR yang terkait kabar, mereka menyetujui legalisasi keberadaan kaum LGBT dan segala aktivitas mereka di negara ini. Dan aku juga tidak heran kalau mereka yang ingin melegalkan aktivitas haram mereka di negeri ini, juga merupakan penyuka sesama jenis,” terang Alvaro pada Aretha. Perempuan itu memperhatikan dengan serius apatanggapan Alvaro tentang mimpi yang dialami perempuan itu.
            “Gara-gara mimpi itu kau jadi tidak sempat mengganti pakaian renangmu.” Lelaki berwajah segitiga itu menyadarkan badannya ke sofa yang didudukinya. 
            “Oh aku lupa. Kita terlalu serius bercerita hingga aku lupa menawarkan minuman untukmu. Kau mau kubuatkan minuman?” tawar Aretha.
            “Apa minuman yang kau minum pagi ini, itu juga yang ingin kuminum,” jawab Alvaro.
            “Kau mau minum lemon dingin? Baiklah.” Aretha memanggil asisten rumah tangga, menyuruhn ya membuatkan minuman untuk tamunya. Begitu mengetahui apa yang diinginkan sang majikan, asisten itu berbalik badan menuju dapur.
            “Sambil menunggu minumanmu, bagaimana kalau kita menonton TV?” usul Aretha sambil memegang remote di tangannya.
            “Boleh juga. Tapi jangan pilih acara alay ya.” 
            “Hahaha, enggak kok. Kita nonton berita saja.” Jari telunjuk Aretha menekan tombol merah ON. Layar TV perlahan menampilkan gambar.
            Seorang mayat pria ditemukan di aliran sungai Ciliwung pada Senin, 23 Oktober 2017. Mayat ditemukan dalam kondisi sudah membengkak. Di tubuh mayat laki-laki itu terdapat bekas jahitan di area kelopak mata, dada dan perut. Mayat laki-laki bernama Joko Hadi Soesatyo, presdir plaza Matahari cabang Kelapa Gading, diduga telah dibunuh dan beberapa organ vitalnya sudah diambil. Untuk memastikan organ tubuh mana yang telah diambil, mayat lelaki itu sudah dibawa ke rumah sakit Permata Kasih untuk dilakukan uji forensik. Pihak kepolisian Metro Jaya juga masih melakukan olah TKP dan wawancara terhadap beberapa saksi yang berada di tempat kejadian perkara.  
            “Seharusnya mereka memutilasi tubuh mayat itu kecil-kecil lalu dikuburkan di tanah kosong. Dengan begitu polisi tidak akan mudah menyelidiki kita,” respons Aretha terhadap berita tersebut.
            “Kau tidak perlu takut, Aretha. Memang pada awalnya polisi pasti gencar-gencarnya melakukan penyelidikan tapi semakin lama kasus ini akan menguap begitu saja. Kau tahu kenapa? Sindikat kita, Killer Order dan HOVTA  punya banyak orang dalam di kepolisian. Bos kita yang juga berafiliasi dengan bos besar HOVTA, juga sudah memerintahkan anak buah mereka untuk mengancam atau mengimingi sejumlah uang untuk para polisi yang menyelidiki kasus-kasus berhubungan dengan sindikat kita. Kesimpulannya, kita aman,” jabar Alvaro panjang lebar.
            Aretha menanggapi penjelasan dengan anggukan pelan kepalanya serta senyuman kecil kemudian berkata, “Kalau begitu aku mau ganti baju dulu. Aku ke kamar ya sebentar.”
            Sebelum perempuan berambut lurus itu tiba di kamarnya, Alvaro dengan senyum  dan tatap nafsu berkata, “Pasti, kau melupakan sesuatu, Aretha? Kita sudah lama tidak—“
            “Ayo.” Jari telunjuk Aretha yang lurus menghadap Alvaro bergerak seperti mengajak anak anjing untuk menuju pada tuannya. Ia merespons Alvaro dengan senyum yang sama. Setelah mendapatkan lampu hijau dari perempuan itu, lelaki berpostur kurus tinggi berjalan di belakang perempuan itu menuju kamarnya.

Sunday, 6 May 2018

DUAL - Prolog



Gadis dalam mobil Camry cokelat karamel itu menatap lurus. Ia menatap jalan raya terlihat lengang. Ia sebentar saja melihat arloji melingkar di kulit putih pergelangan tangannya—jam 23.58. Aretha menolehkan kepala ke arah lelaki yang kedua tangannya berkonsentrasi pada bulatan setir juga kedua bola matanya serius menyusuri tiap bangunan terlewati begitu saja.
            “Kata mereka, di mana titik temu kita?” tanya Aretha.
           “Kau tahu proyek rusunawa lantai 20 yang kini terbengkalai selama 7 tahun itu?” Aretha mengangguk pelan menandakan dia tahu, “di sana titik temu kita. Mungkin tiga menit lagi kita akan sampai.”
         Alvaro memutar kemudi ke kiri. Mereka memasuki kawasan pemukiman di luar pusat kota. Sepanjang jalan terdapat gedung SMA bercat kuning telur. Gedung sekolah dikelilingi pagar metalik dari depan sampai ke belakang. Sekitar 100 meter dari sekolah, ratusan rangka besi berdiri kukuh di atas tanah kosong. Sudah terdapat coran semen setiap tingkatannya. Lelaki berhidung bangir itu memelankan laju mobil bawaannya di depan bangunan setengah jadi itu.
          “Itu mereka,” kata Aretha disusul dengan anggukan kepala Alvaro. Alvaro menekan pedal rem seraya memutar persneling hingga netral. Usai memutar kunci, sepasang manusia berlainan jenis itu turun dari jok mobil. Kedatangan mereka disambut dengan senyuman misteri oleh seorang laki-laki dan perempuan beroman dingin daripada Alvaro dan Aretha.
           “Mana mayat yang kaujanjikan tadi siang?” Lelaki berkumis tipis berbola mata agak cekung bertanya pada Alvaro. Lelaki berambut tebal itu menggerakkan kepalanya ke arah bagasi mobilnya. Lawan bicara Alvaro menyeringai sambil melangkah menuju bagasi mobil memastikan kondisi mayat itu.
           “Ya ya ya, secara keseluruh kondisi mayat masih bagus ya. Cuma aku menyayangkan ada luka bekas pukulan benda tumpul di kepalanya. What a pathetic this man is, ” komentar lelaki berkumis tipis itu.
            “Sok perfek loe,” komentar Aretha dengan muka kesal.
            “Ya good job-lah untuk kalian berdua. Uangnya sudah gua kirim ke ATM bos kalian. Ini resinya.” Lelaki itu mengangsurkan selembar kertas tipis pada Alvaro. Alvaro mengamati sekejap lalu disimpan dalam saku jaket kulitnya.
          “Senang berbisnis dengan kalian.” Lelaki berkumis tipis dan perempuan berambut sebahu itu berpaling dari hadapan Alvaro dan Aretha. Suara mobil mereka semakin pelan meninggalkan tempat transaksi mereka. Sementara itu Alvaro dan Aretha masih bertahan di sana.
        “Apakah selamanya kita bisa percaya pada mereka?”
         Alvaro diam sejenak mencari jawaban atas pertanyaan Aretha tapi tak lama dia membalas, “Ya selama mereka mau bertransaksi dengan kita.”