Segelas Lemon
Dingin
Aretha
melangkah santai menuju kolam renang. Ia mengenakan kimono putih membalut tubuh
semampainya. Sesampainya di bibir kolam, Aretha melepaskan pengikat yang berada
di pinggang lalu kimono itu dicampaikan di kursi santai yang letaknya tak jauh
dari bibir kolam. Perempuan berkulit putih itu menyiapkan ancang-ancang dengan
menangkupkan kedua telapak tangan ke depan. Dengan menolakkan kedua kaki ke
depan, perempuan itu sudah berada di dalam air kolam. Aretha menyembulkan
kepala ke permukaan untuk mengambil napas lalu kedua tangan mengepak-kepak air
bak kupu-kupu terbang lincah di udara.
Sudah
lima belas menit berlalu, Aretha berada di kolam. Melakukan tiga gaya renang
dalam waktu lima belas menit ditambah dengan area kolam yang cukup luas, sukses
membuat tangan, punggung dan dada perempuan itu pegal dan lelah. Akhirnya
Aretha kembali ke permukaan kolam seraya berjalan ke kursi santai.
Sambil
merebahkan badan, tangan perempuan itu meraih segelas lemon dingin yang berada
tak jauh dari kursi santai. Ia menyesap air lemon itu pelan-pelan, merasakan
sensasi dingin terserap ke dalam batang tenggorokannya. Ia membiarkan tubuh
kurusnya berbalut lingerie orange itu disinari matahari pukul 10 pagi selama
tiga menit.
Aretha
membiarkan partikel cahaya tak kasat mata itu masuk ke dalam pori-pori
kulitnya. Sinar matahari pagi baik untuk
kesehatan, pikir Aretha. Agar ia tidak kekurangan asupan pro vitamin D dari
sinar matahari, terkadang dua kali seminggu, Aretha melakukan senam kecil atau
berenang di bawah pendaran sinar matahari pagi.
Sambil
berjemur, Aretha tak sadar kalau dia sudah tertidur di kursi santai. Dalam
tidunya, ia bermimpi dua orang pria paruh baya menyekapnya di sebuah gudang
bekas penyimpanan bahan bakar. Kedua pria itu menatap datar pada Aretha. Gudang
gelap itu diperlengkapi penerangan seadanya. Perempuan itu sudah mengenal betul
siapa perempuan yang berada di hadapannya.
“Kini
kau harus merasakan bagaimana sakitnya dibakar hidup-hidup, perempuan jalang!
Kau harus merasakan saat-saat kulit arimu mengelupas secara paksa dan jaringan
kulitmu mati rasa dan menggosong.” Pria yang memiliki tiga guratan di dahinya
menatap penuh api dendam pada Aretha sambil mengguyur satu jerigen besar bensin
di atas kepala perempuan itu.
Lalu
lelaki berkaus oblong hitam melemparkan puntung rokok yang masih menyala ke
arah perempuan itu. Kobaran api langsung saja menyerbu tubuh Aretha tanpa
menyisakan celah sedikit pun. Api mulai menjilati ujung kaki sampai ujung
rambutnya. Aretha mulai menjerit kesakitan. Ia merasakan panas api serasa
merobek paksa inci per inci lapisan kulit perempuan itu.
“Tolong
aku! Tolong lepaskan aku!” jerit Aretha sekuat tenaga. Kedua laki-laki itu
tertawa puas menyaksikan ajal mulai menjemput perempuan malang itu.
Akhirnya
Aretha bisa sadar dari mimpi buruknya itu. Ia membangkitkan badan lalu kedua
matanya tertuju pada segelas lemon yang masih tergeletak di sampingnya. Ia
menyeruput lemon itu sampai tak tersisa. Perempuan itu menyeka bulir keringat
yang berkumpul di dahi.
Benar-benar mimpi buruk, ujar batin
Aretha. Bersamaan dengan itu, Aretha mendengar bel bintu berdering tiga kali
menandakan ada tamu mengunjungi kediamannya.
“Bi,
tolong bukakan pintu depan,” perintah
Aretha dari kolam renang.
“Iya
Non,” sahut asisten rumah tangga Aretha. Sebelum menyambut tamu, Aretha
merapatkan pengikat pinggang kimono kemudian mengikat rambut panjangnya. Ketika
asisten rumah tangga sudah membukakan pintu, Aretha tersenyum sambil mengangguk
sebanyak dua kali melihat tamu yang mengunjungi rumahnya.
“Aku
sudah duga kalau itu kamu,” ujar Aretha sambil tangan mulusnya menjulur ke arah
sofa.
“Aku
sudah menekan bel di depan pintu kamu sebanyak delapan kali dan kamu baru saja
mendengar—”
“Aku mimpi buruk. Kau tahu dua laki-laki
anggota DPR yang ternyata gay yang
kita bakar tiga minggu yang lalu?” Alvaro menganggukkan kepala diikuti dengan
kedipan kelopak mata, membalas pertanyaaan Aretha, “ada apa dengan mereka?”
“Aku
bermimpi mereka membakarku hidup-hidup.” Perempuan berwajah Oriental itu tak
berkedip selama tiga detik. Suasana pembicaraan keduanya sempat hening.
“Kau
berlebihan, Aretha. Itu hanya mimpi belaka. Lagipula, itu merupakan hukuman
setimpal bagi para anggota DPR yang terkait kabar, mereka menyetujui legalisasi
keberadaan kaum LGBT dan segala aktivitas mereka di negara ini. Dan aku juga
tidak heran kalau mereka yang ingin melegalkan aktivitas haram mereka di negeri
ini, juga merupakan penyuka sesama jenis,” terang Alvaro pada Aretha. Perempuan
itu memperhatikan dengan serius apatanggapan Alvaro tentang mimpi yang dialami
perempuan itu.
“Gara-gara
mimpi itu kau jadi tidak sempat mengganti pakaian renangmu.” Lelaki berwajah
segitiga itu menyadarkan badannya ke sofa yang didudukinya.
“Oh
aku lupa. Kita terlalu serius bercerita hingga aku lupa menawarkan minuman
untukmu. Kau mau kubuatkan minuman?” tawar Aretha.
“Apa
minuman yang kau minum pagi ini, itu juga yang ingin kuminum,” jawab Alvaro.
“Kau
mau minum lemon dingin? Baiklah.” Aretha memanggil asisten rumah tangga,
menyuruhn ya membuatkan minuman untuk tamunya. Begitu mengetahui apa yang
diinginkan sang majikan, asisten itu berbalik badan menuju dapur.
“Sambil
menunggu minumanmu, bagaimana kalau kita menonton TV?” usul Aretha sambil
memegang remote di tangannya.
“Boleh
juga. Tapi jangan pilih acara alay ya.”
“Hahaha, enggak kok. Kita nonton
berita saja.” Jari telunjuk Aretha menekan tombol merah ON. Layar TV perlahan
menampilkan gambar.
Seorang mayat pria ditemukan di aliran sungai
Ciliwung pada Senin, 23 Oktober 2017. Mayat ditemukan dalam kondisi sudah
membengkak. Di tubuh mayat laki-laki itu terdapat bekas jahitan di area kelopak
mata, dada dan perut. Mayat laki-laki bernama Joko Hadi Soesatyo, presdir plaza
Matahari cabang Kelapa Gading, diduga telah dibunuh dan beberapa organ vitalnya
sudah diambil. Untuk memastikan organ tubuh mana yang telah diambil, mayat
lelaki itu sudah dibawa ke rumah sakit Permata Kasih untuk dilakukan uji
forensik. Pihak kepolisian Metro Jaya juga masih melakukan olah TKP dan
wawancara terhadap beberapa saksi yang berada di tempat kejadian perkara.
“Seharusnya
mereka memutilasi tubuh mayat itu kecil-kecil lalu dikuburkan di tanah kosong.
Dengan begitu polisi tidak akan mudah menyelidiki kita,” respons Aretha
terhadap berita tersebut.
“Kau
tidak perlu takut, Aretha. Memang pada awalnya polisi pasti gencar-gencarnya
melakukan penyelidikan tapi semakin lama kasus ini akan menguap begitu saja.
Kau tahu kenapa? Sindikat kita, Killer Order dan HOVTA punya banyak orang dalam di kepolisian. Bos
kita yang juga berafiliasi dengan bos besar HOVTA, juga sudah memerintahkan
anak buah mereka untuk mengancam atau mengimingi sejumlah uang untuk para
polisi yang menyelidiki kasus-kasus berhubungan dengan sindikat kita.
Kesimpulannya, kita aman,” jabar Alvaro panjang lebar.
Aretha
menanggapi penjelasan dengan anggukan pelan kepalanya serta senyuman kecil
kemudian berkata, “Kalau begitu aku mau ganti baju dulu. Aku ke kamar ya
sebentar.”
Sebelum
perempuan berambut lurus itu tiba di kamarnya, Alvaro dengan senyum dan tatap nafsu berkata, “Pasti, kau
melupakan sesuatu, Aretha? Kita sudah lama tidak—“
“Ayo.”
Jari telunjuk Aretha yang lurus menghadap Alvaro bergerak seperti mengajak anak
anjing untuk menuju pada tuannya. Ia merespons Alvaro dengan senyum yang sama.
Setelah mendapatkan lampu hijau dari perempuan itu, lelaki berpostur kurus
tinggi berjalan di belakang perempuan itu menuju kamarnya.

No comments:
Post a Comment