Saturday, 19 May 2018

DUAL - 1


Segelas Lemon Dingin
            Aretha melangkah santai menuju kolam renang. Ia mengenakan kimono putih membalut tubuh semampainya. Sesampainya di bibir kolam, Aretha melepaskan pengikat yang berada di pinggang lalu kimono itu dicampaikan di kursi santai yang letaknya tak jauh dari bibir kolam. Perempuan berkulit putih itu menyiapkan ancang-ancang dengan menangkupkan kedua telapak tangan ke depan. Dengan menolakkan kedua kaki ke depan, perempuan itu sudah berada di dalam air kolam. Aretha menyembulkan kepala ke permukaan untuk mengambil napas lalu kedua tangan mengepak-kepak air bak kupu-kupu  terbang lincah di udara.
            Sudah lima belas menit berlalu, Aretha berada di kolam. Melakukan tiga gaya renang dalam waktu lima belas menit ditambah dengan area kolam yang cukup luas, sukses membuat tangan, punggung dan dada perempuan itu pegal dan lelah. Akhirnya Aretha kembali ke permukaan kolam seraya berjalan ke kursi santai.
            Sambil merebahkan badan, tangan perempuan itu meraih segelas lemon dingin yang berada tak jauh dari kursi santai. Ia menyesap air lemon itu pelan-pelan, merasakan sensasi dingin terserap ke dalam batang tenggorokannya. Ia membiarkan tubuh kurusnya berbalut lingerie orange itu disinari matahari pukul 10 pagi selama tiga menit.
            Aretha membiarkan partikel cahaya tak kasat mata itu masuk ke dalam pori-pori kulitnya. Sinar matahari pagi baik untuk kesehatan, pikir Aretha. Agar ia tidak kekurangan asupan pro vitamin D dari sinar matahari, terkadang dua kali seminggu, Aretha melakukan senam kecil atau berenang di bawah pendaran sinar matahari pagi.
            Sambil berjemur, Aretha tak sadar kalau dia sudah tertidur di kursi santai. Dalam tidunya, ia bermimpi dua orang pria paruh baya menyekapnya di sebuah gudang bekas penyimpanan bahan bakar. Kedua pria itu menatap datar pada Aretha. Gudang gelap itu diperlengkapi penerangan seadanya. Perempuan itu sudah mengenal betul siapa perempuan yang berada di hadapannya.
            “Kini kau harus merasakan bagaimana sakitnya dibakar hidup-hidup, perempuan jalang! Kau harus merasakan saat-saat kulit arimu mengelupas secara paksa dan jaringan kulitmu mati rasa dan menggosong.” Pria yang memiliki tiga guratan di dahinya menatap penuh api dendam pada Aretha sambil mengguyur satu jerigen besar bensin di atas kepala perempuan itu.
            Lalu lelaki berkaus oblong hitam melemparkan puntung rokok yang masih menyala ke arah perempuan itu. Kobaran api langsung saja menyerbu tubuh Aretha tanpa menyisakan celah sedikit pun. Api mulai menjilati ujung kaki sampai ujung rambutnya. Aretha mulai menjerit kesakitan. Ia merasakan panas api serasa merobek paksa inci per inci lapisan kulit perempuan itu.
            “Tolong aku! Tolong lepaskan aku!” jerit Aretha sekuat tenaga. Kedua laki-laki itu tertawa puas menyaksikan ajal mulai menjemput perempuan malang itu.
            Akhirnya Aretha bisa sadar dari mimpi buruknya itu. Ia membangkitkan badan lalu kedua matanya tertuju pada segelas lemon yang masih tergeletak di sampingnya. Ia menyeruput lemon itu sampai tak tersisa. Perempuan itu menyeka bulir keringat yang berkumpul di dahi.
            Benar-benar mimpi buruk, ujar batin Aretha. Bersamaan dengan itu, Aretha mendengar bel bintu berdering tiga kali menandakan ada tamu mengunjungi kediamannya.
            “Bi, tolong  bukakan pintu depan,” perintah Aretha dari kolam renang.
            “Iya Non,” sahut asisten rumah tangga Aretha. Sebelum menyambut tamu, Aretha merapatkan pengikat pinggang kimono kemudian mengikat rambut panjangnya. Ketika asisten rumah tangga sudah membukakan pintu, Aretha tersenyum sambil mengangguk sebanyak dua kali melihat tamu yang mengunjungi rumahnya.
            “Aku sudah duga kalau itu kamu,” ujar Aretha sambil tangan mulusnya menjulur ke arah sofa.
            “Aku sudah menekan bel di depan pintu kamu sebanyak delapan kali dan kamu baru saja mendengar—”
             “Aku mimpi buruk. Kau tahu dua laki-laki anggota DPR yang ternyata gay yang kita bakar tiga minggu yang lalu?” Alvaro menganggukkan kepala diikuti dengan kedipan kelopak mata, membalas pertanyaaan Aretha, “ada apa dengan mereka?”
            “Aku bermimpi mereka membakarku hidup-hidup.” Perempuan berwajah Oriental itu tak berkedip selama tiga detik. Suasana pembicaraan keduanya sempat hening.
            “Kau berlebihan, Aretha. Itu hanya mimpi belaka. Lagipula, itu merupakan hukuman setimpal bagi para anggota DPR yang terkait kabar, mereka menyetujui legalisasi keberadaan kaum LGBT dan segala aktivitas mereka di negara ini. Dan aku juga tidak heran kalau mereka yang ingin melegalkan aktivitas haram mereka di negeri ini, juga merupakan penyuka sesama jenis,” terang Alvaro pada Aretha. Perempuan itu memperhatikan dengan serius apatanggapan Alvaro tentang mimpi yang dialami perempuan itu.
            “Gara-gara mimpi itu kau jadi tidak sempat mengganti pakaian renangmu.” Lelaki berwajah segitiga itu menyadarkan badannya ke sofa yang didudukinya. 
            “Oh aku lupa. Kita terlalu serius bercerita hingga aku lupa menawarkan minuman untukmu. Kau mau kubuatkan minuman?” tawar Aretha.
            “Apa minuman yang kau minum pagi ini, itu juga yang ingin kuminum,” jawab Alvaro.
            “Kau mau minum lemon dingin? Baiklah.” Aretha memanggil asisten rumah tangga, menyuruhn ya membuatkan minuman untuk tamunya. Begitu mengetahui apa yang diinginkan sang majikan, asisten itu berbalik badan menuju dapur.
            “Sambil menunggu minumanmu, bagaimana kalau kita menonton TV?” usul Aretha sambil memegang remote di tangannya.
            “Boleh juga. Tapi jangan pilih acara alay ya.” 
            “Hahaha, enggak kok. Kita nonton berita saja.” Jari telunjuk Aretha menekan tombol merah ON. Layar TV perlahan menampilkan gambar.
            Seorang mayat pria ditemukan di aliran sungai Ciliwung pada Senin, 23 Oktober 2017. Mayat ditemukan dalam kondisi sudah membengkak. Di tubuh mayat laki-laki itu terdapat bekas jahitan di area kelopak mata, dada dan perut. Mayat laki-laki bernama Joko Hadi Soesatyo, presdir plaza Matahari cabang Kelapa Gading, diduga telah dibunuh dan beberapa organ vitalnya sudah diambil. Untuk memastikan organ tubuh mana yang telah diambil, mayat lelaki itu sudah dibawa ke rumah sakit Permata Kasih untuk dilakukan uji forensik. Pihak kepolisian Metro Jaya juga masih melakukan olah TKP dan wawancara terhadap beberapa saksi yang berada di tempat kejadian perkara.  
            “Seharusnya mereka memutilasi tubuh mayat itu kecil-kecil lalu dikuburkan di tanah kosong. Dengan begitu polisi tidak akan mudah menyelidiki kita,” respons Aretha terhadap berita tersebut.
            “Kau tidak perlu takut, Aretha. Memang pada awalnya polisi pasti gencar-gencarnya melakukan penyelidikan tapi semakin lama kasus ini akan menguap begitu saja. Kau tahu kenapa? Sindikat kita, Killer Order dan HOVTA  punya banyak orang dalam di kepolisian. Bos kita yang juga berafiliasi dengan bos besar HOVTA, juga sudah memerintahkan anak buah mereka untuk mengancam atau mengimingi sejumlah uang untuk para polisi yang menyelidiki kasus-kasus berhubungan dengan sindikat kita. Kesimpulannya, kita aman,” jabar Alvaro panjang lebar.
            Aretha menanggapi penjelasan dengan anggukan pelan kepalanya serta senyuman kecil kemudian berkata, “Kalau begitu aku mau ganti baju dulu. Aku ke kamar ya sebentar.”
            Sebelum perempuan berambut lurus itu tiba di kamarnya, Alvaro dengan senyum  dan tatap nafsu berkata, “Pasti, kau melupakan sesuatu, Aretha? Kita sudah lama tidak—“
            “Ayo.” Jari telunjuk Aretha yang lurus menghadap Alvaro bergerak seperti mengajak anak anjing untuk menuju pada tuannya. Ia merespons Alvaro dengan senyum yang sama. Setelah mendapatkan lampu hijau dari perempuan itu, lelaki berpostur kurus tinggi berjalan di belakang perempuan itu menuju kamarnya.

No comments:

Post a Comment