Sunday, 6 May 2018

DUAL - Prolog



Gadis dalam mobil Camry cokelat karamel itu menatap lurus. Ia menatap jalan raya terlihat lengang. Ia sebentar saja melihat arloji melingkar di kulit putih pergelangan tangannya—jam 23.58. Aretha menolehkan kepala ke arah lelaki yang kedua tangannya berkonsentrasi pada bulatan setir juga kedua bola matanya serius menyusuri tiap bangunan terlewati begitu saja.
            “Kata mereka, di mana titik temu kita?” tanya Aretha.
           “Kau tahu proyek rusunawa lantai 20 yang kini terbengkalai selama 7 tahun itu?” Aretha mengangguk pelan menandakan dia tahu, “di sana titik temu kita. Mungkin tiga menit lagi kita akan sampai.”
         Alvaro memutar kemudi ke kiri. Mereka memasuki kawasan pemukiman di luar pusat kota. Sepanjang jalan terdapat gedung SMA bercat kuning telur. Gedung sekolah dikelilingi pagar metalik dari depan sampai ke belakang. Sekitar 100 meter dari sekolah, ratusan rangka besi berdiri kukuh di atas tanah kosong. Sudah terdapat coran semen setiap tingkatannya. Lelaki berhidung bangir itu memelankan laju mobil bawaannya di depan bangunan setengah jadi itu.
          “Itu mereka,” kata Aretha disusul dengan anggukan kepala Alvaro. Alvaro menekan pedal rem seraya memutar persneling hingga netral. Usai memutar kunci, sepasang manusia berlainan jenis itu turun dari jok mobil. Kedatangan mereka disambut dengan senyuman misteri oleh seorang laki-laki dan perempuan beroman dingin daripada Alvaro dan Aretha.
           “Mana mayat yang kaujanjikan tadi siang?” Lelaki berkumis tipis berbola mata agak cekung bertanya pada Alvaro. Lelaki berambut tebal itu menggerakkan kepalanya ke arah bagasi mobilnya. Lawan bicara Alvaro menyeringai sambil melangkah menuju bagasi mobil memastikan kondisi mayat itu.
           “Ya ya ya, secara keseluruh kondisi mayat masih bagus ya. Cuma aku menyayangkan ada luka bekas pukulan benda tumpul di kepalanya. What a pathetic this man is, ” komentar lelaki berkumis tipis itu.
            “Sok perfek loe,” komentar Aretha dengan muka kesal.
            “Ya good job-lah untuk kalian berdua. Uangnya sudah gua kirim ke ATM bos kalian. Ini resinya.” Lelaki itu mengangsurkan selembar kertas tipis pada Alvaro. Alvaro mengamati sekejap lalu disimpan dalam saku jaket kulitnya.
          “Senang berbisnis dengan kalian.” Lelaki berkumis tipis dan perempuan berambut sebahu itu berpaling dari hadapan Alvaro dan Aretha. Suara mobil mereka semakin pelan meninggalkan tempat transaksi mereka. Sementara itu Alvaro dan Aretha masih bertahan di sana.
        “Apakah selamanya kita bisa percaya pada mereka?”
         Alvaro diam sejenak mencari jawaban atas pertanyaan Aretha tapi tak lama dia membalas, “Ya selama mereka mau bertransaksi dengan kita.” 

No comments:

Post a Comment