Gadis dalam mobil Camry cokelat karamel itu menatap
lurus. Ia menatap jalan raya terlihat lengang. Ia sebentar saja melihat arloji
melingkar di kulit putih pergelangan tangannya—jam 23.58. Aretha menolehkan
kepala ke arah lelaki yang kedua tangannya berkonsentrasi pada bulatan setir
juga kedua bola matanya serius menyusuri tiap bangunan terlewati begitu saja.
“Kata
mereka, di mana titik temu kita?” tanya Aretha.
“Kau
tahu proyek rusunawa lantai 20 yang kini terbengkalai selama 7 tahun itu?”
Aretha mengangguk pelan menandakan dia tahu, “di sana titik temu kita. Mungkin
tiga menit lagi kita akan sampai.”
Alvaro
memutar kemudi ke kiri. Mereka memasuki kawasan pemukiman di luar pusat kota.
Sepanjang jalan terdapat gedung SMA bercat kuning telur. Gedung sekolah
dikelilingi pagar metalik dari depan sampai ke belakang. Sekitar 100 meter dari
sekolah, ratusan rangka besi berdiri kukuh di atas tanah kosong. Sudah terdapat
coran semen setiap tingkatannya. Lelaki berhidung bangir itu memelankan laju mobil
bawaannya di depan bangunan setengah jadi itu.
“Itu
mereka,” kata Aretha disusul dengan anggukan kepala Alvaro. Alvaro menekan
pedal rem seraya memutar persneling hingga netral. Usai memutar kunci, sepasang
manusia berlainan jenis itu turun dari jok mobil. Kedatangan mereka disambut
dengan senyuman misteri oleh seorang laki-laki dan perempuan beroman dingin
daripada Alvaro dan Aretha.
“Mana
mayat yang kaujanjikan tadi siang?” Lelaki berkumis tipis berbola mata agak
cekung bertanya pada Alvaro. Lelaki berambut tebal itu menggerakkan kepalanya
ke arah bagasi mobilnya. Lawan bicara Alvaro menyeringai sambil melangkah
menuju bagasi mobil memastikan kondisi mayat itu.
“Ya
ya ya, secara keseluruh kondisi mayat masih bagus ya. Cuma aku menyayangkan ada
luka bekas pukulan benda tumpul di kepalanya. What a pathetic this man is, ” komentar lelaki berkumis tipis itu.
“Sok
perfek loe,” komentar Aretha dengan
muka kesal.
“Ya
good job-lah untuk kalian berdua.
Uangnya sudah gua kirim ke ATM bos
kalian. Ini resinya.” Lelaki itu mengangsurkan selembar kertas tipis pada
Alvaro. Alvaro mengamati sekejap lalu disimpan dalam saku jaket kulitnya.
“Senang
berbisnis dengan kalian.” Lelaki berkumis tipis dan perempuan berambut sebahu
itu berpaling dari hadapan Alvaro dan Aretha. Suara mobil mereka semakin pelan
meninggalkan tempat transaksi mereka. Sementara itu Alvaro dan Aretha masih
bertahan di sana.
“Apakah
selamanya kita bisa percaya pada mereka?”
Alvaro
diam sejenak mencari jawaban atas pertanyaan Aretha tapi tak lama dia membalas,
“Ya selama mereka mau bertransaksi dengan kita.”

No comments:
Post a Comment