Rapat Besar
Jalan
Kota Tua disarati lalu lalang sepeda motor, mobil pribadi dan bus Trans Jakarta.
Suara mesin ketiga kendaraan yang mendominasi jalan raya membuat kondisi jalan
semakin panas ditambah kemacetan memanjang sampai 1 kilometer. Para pengemudi
menekan klason Suasana seperti ini sudah
jadi pemandangan umum dan lazim di Jakarta. Maka sangat mengherankan apabila hal-hal seperti
itu tiba-tiba saja tidak terlihat di pusat ibu kota kenegaraan.
Di
sebelah kiri jalan raya, terdapat gedung beton menjulan tinggi hampir menyentuh
lapangan langit. Jika diperkirakan, gedung itu memiliki 30 tingkatan. Di depan
gedung, terdapat halaman yang ditambah fungsinya menjadi tempat parkir bagi
pengendara mobil dan sepeda motor. Dari beberapa mobil yang parkir, Honda Jazz hitam baru saja ditinggalkan pemiliknya.
Sebelum menuju gedung, lelaki berambut pirang
itu menekan tombol alarm mobil.
“Cepatlah
Kak Anggara!” suruh Fiolina agak memaksa.
“Sabarlah
Fio,” jawab Anggara sambil mengepang rambutnya yang tergerai. Begitu rambutnya
sudah diikat, lelaki itu mengetatkan tali pinggang seraya memperbaiki kerah dan
kancing kemejanya. Saat hal-hal kecil pada dirinya sudah diselesaikan, Anggara
berlari kecil menyusul perempuan ikal bergelombang itu.
“Cepat
sekali jalanmu,” ujar Anggara sambil mengambil rokok dari saku celana kemudian
diapitkan ke mulut.
“Kau
tidak dengar apa kata bos tadi?”
“Ya
aku tahu. Santai saja. Ini cuma rapat mendadak saja.”
Kini
sepasang manusia itu sudah memasuki gedung. Keduanya langsung mencari lift dan
kebetulan orang yang berada dalam lift itu hanya dua orang. Jadi mereka
langsung saja memasuki lift. Anggara dan Fiolina berbincang sebentar dengan dua
orang yang jadi teman mereka di dalam lift. Sekedar bertanya mereka akan ke
lantai berapa dan apa agenda pekerjaan yang akan mereka kerjakan saat ini.
Sudah
lima menit berlalu dua laki-laki yang menjadi teman bicara mereka sudah pergi
duluan. Kini hanya tersisa Anggara dan Fiolina di sana. Mereka hanya perlu
melewati dua tingkatan lagi untuk sampai ke tujuan. Dua menit menunggu kini keduanya
sudah menginjakkan kaki di lantai 29. Mereka berlari kecil untuk bisa sampai ke
ruangan berplangkat ruang rapat anggota.
Di
depan pintu mereka mengetuk pintu sebanyak tiga kali sambil menunggu jawaban
dari dalam. Begitu mendengar suara putaran kunci dan suara ‘silakan masuk’,
Anggara menekan kenop pintu, mendorongnya agak lebar. Terlihat di dalam ruangan
itu, sudah berkumpul mayoritas laki-laki berpakaian formal ala pegawai
kantoran. Di dalam ruangan, meja dan kursi didesain seperti huruf U panjang.
Ukuran ruangan yang lebar bisa memuat sampai lima puluh orang.
“Lama
sekali bocah dan perek satu ini. Kau pikir kami berada di sini cuma untuk
menunggu kedatangan kalian berdua?” ujar lelaki berkacamata itu. Ia menatap
Anggara tidak senang.
Anggara
balik menatap lelaki berkacamata itu dan dengan santainya, ia menarik kerah
baju lelaki itu hingga posisi wajah keduanya hampir berdekatan lalu Anggara
berkata, “Kau tahu ‘kan bagaimana kondisi jalanan di Jakarta seperti apa? Dan
mobil kami hampir ditilang polisi—“
“Anggara,
Jonas... tenangkan diri kalian. Rapat ini akan saya mulai.” Begitu mendengar
perintah dari pemimpin rapat sekaligus bos besar di organisasi itu, Anggara
melepaskan cengkeraman tangannya pada kerah baju lelaki berkacamata itu.
Anggara dan Fiolina mengambil kursi masing-masing sambil menunggu bos mereka
membuka rapat.
Ketika
suasana mulai berangsur kondusif, pemimpin rapat mulai membuka pembicaraan,
“Saya Haris Aji Pradana mengucapkan terima kasih kepada seluruh anggota
HOVTA yang sudah datang untuk mengikuti
rapat pada hari ini. Salah satu agenda rapat saat ini membicarakan tentang
statistika perkembangan transaksi jual beli organ tubuh manusia selama empat
tahun belakangan ini.” Lelaki berambut hitam bercampur uban putih mengkilap itu
menyalakan infokus guna melihat data yang sudah dikumpulkan dalam bentuk powerpoint.
“Anda
sekalian bisa melihat melalui grafik ini bahwa penjualan organ tubuh di tahun
2014 mengalami peningkatan signifikasi sebesar 84 % daripada di tahun
sebelumnya, tahun 2013 yang hanya 51%. Dan selama tujuh tahun organisasi ini
berjalan, di tahun 2014-lah kita mengalami laba cukup besar dari hasil
penjualan organ tubuh manusia dan memasuki bulan Maret 2016 persentasi
keuntungan kita bisa bertahan sampai 78%.” Para anggota HOVTA memperhatikan
betul grafik batang mendukung pernyataan bos besar mereka mengenai persentase
keuntungan penjualan organ tubuh manusia. Tak terkecuali Anggara tatap matanya
masih melekat pada layar infokus meskipun cara duduk lelaki itu memerosotkan
badannya seperti orang malas dan abai.
“Namun
memasuki bulan Juni 2016 sampai dengan Oktober 2017, kita mengalami kemerosotan
persentase penjualan sampai menyentuh titik 30% pada tanggal 23 Oktober 2017.”
Sang bos besar mengarahkan senter lasernya pada grafik batang pendek dengan
garis batang di angka 40% tapi dengan perbedaan jarak satu milimeter lagi.
“Begitulah
hasil pemaparan saya mengenai persentase keuntungan penjualan organ tubuh
manusia selama empat tahun belakangan ini. Saudara sekalian ada yang mau
bertanya atau adakah pemaparan saya kurang jelas mengenai persentase penjualan
organ tubuh manusia sindikat HOVTA?”
Untuk
sementara suasana rapat diliputi hening,. Belum ada pertanyaan atau sanggahan
dari para peserta rapat. Ketika sudah sampai menit kedua, suara Alto yang
berada dari kursi bagian tengah memecah keheningan dalam rapat itu.
“Pak,
bisa saya melihat bagaimana rumus yang Bapak pakai untuk menghitung persentase
keuntungan?”
“Oh
bisa.” Lelaki berkulit kuning langsat menyuruh perempuan yang mengoperasikan
komputernya membuka Microsoft Excel. Begitu mendapatkan data yang dicari, sang
pemimpin rapat langsung mengembalikan pandangan pada para peserta rapat. Pada
layar infokus terpampang sebuah rumus di pinggir sebelah kiri file Excel.
|
%
laba = Σ frekuensi transaksi organ tubuh selama setahun x
100%
Σ stok organ tubuh yang didapatkan selama setahun |
“Inilah
rumus yang saya gunakan untuk menghitung persentase keuntungan kita. Dan kalian
juga bisa melihat dari tabel ini, kalau organ tubuh yang sering menjadi
permintaan pasar yakni, jantung, paru-paru, hati dan terakhir ginjal. Ginjal
merupakan organ tubuh bagian dalam yang menjadi permintaan pasar paling besar.
Kita semua yang berada di sini wajib mengerti bahwa setiap inci permukaan tubuh
manusia adalah harta karun berharga bagi kita para penjual organ tubuh ilegal.”
“Ada
pertanyaan lain mengenai data hasil pemaparan yang sudah saya tampilkan?”
“Saya
merasa data yang Bapak sajikan tidak valid,” sanggah Jonas, lelaki berkacamata
itu. Ia memiliki cacat di bagian tangan kanan. Kulit jari terdapat luka bakar
dan jemarinya tinggal setengah.
“Apa
yang membuat Anda bisa berkata kalau data yang saya berikan tidak valid, Jonas?
Tolong berikan alasan Anda,” ucap Haris sambil telapak tangan mengarah pada
Jonas.
“Baiklah.
Saya selalu mengikuti perkembangan organisasi ini dari awal berdirinya sampai
saat ini. Saya juga Bapak percayai sebagai salah satu pengurus selain Chyntia
dan Fiolina, yang bertugas menangani data-data yang berhubungan dengan jumlah
penjualan organ tubuh dan segala keuntungan yang didapatkan organisasi ini—“
“Langsung
ke intinya saja, Jonas,” potong Haris.
“Iya
saya tahu, Pak. Saya bersama dengan anak buah saya sudah mencatat berapa hasil
keuntungan yang didapatakan organisasi ini selama tujuh tahun. Di tahun 2010,
keuntungan yang didapatkan sebesar Rp 202.455.000,00 dengan persentase 29%.
Awal Januari 2011 sampai dengan Januari 2012 keuntungan kita naik 34% dengan
total Rp 271.289.700,00. Semenjak Bapak memutuskan menjalin kerjasama dengan
sindikat Killer Order pada Februari 2012 keuntungan yang didapatkan organisasi
ini cukup meningkat dengan kisaran persentase 53 s/d 86% . Saya lanjutkan lagi.
Pada tahun 2013 bulan Maret keuntungan kita naik 53% dengan total Rp
415.073.241,00. Pada tahun 2014 seperti yang Bapak katakan tadi, organisasi
kita mengalami keuntungan yang cukup signifikan sebesar Rp 772.036.228,00. Dan
terakhir. Pada awal tahun 2015 sampai dengan Oktober 2017, organisasi kita
meraup keuntungan sebesar Rp 1.260.699.100,00 dengan persentase rata-rata 80%
sampai dengan bulan Oktober 2017.” Jonas sudah menguraikan perhitungannya mengenai
persentase keuntungan dan total uang yang didapatkan organisasi itu.
“Nah
begitulah hasil koreksi saya, Pak Haris. Seperti yang saya katakan tadi, saya
bersama dengan anak buah saya juga mencatat organ tubuh apa saja yang jadi
permintaan pasar, frekuensi transaksi selama 10 tahun dan juga berapa
keuntungan yang didapatkan dalam buku besar yang saya pegang ini.” Lelaki
berkacamata itu menunjukkan buku yang sering digunakan untuk mencatat keuangan
pada peserta rapat lalu buku itu diberikan kembali pada anak buah yang berada
di samping Jonas.
Sambil
meluruskan posisi kacamata yang agak miring, Jonas kembali melanjutkan
perkataannya, “Jadi Pak, kesimpulannya, persentase keuntungan kita masih
bertahan di angka 70-80% dan kita mengalami surplus setiap tahunnya. Dugaanku,
data kita sudah dimanipulasi.” Sangkaan Jonas membuat hampir peserta rapat
tersontak kaget. Tapi Anggara menatap
Jonas dengan sorot mata datar.
“Jadi
kau menuduh kalau aku memanipulasi data, Jonas?” Tiba-tiba Chyntia angkat
bicara mengenai sangkaan tak berdasar dari Jonas.
“Jangan
sok tahu dan berlagak kau adalah orang paling loyal dalam organisasi ini. Kau
pasti iri ‘kan kalau Pak Haris mempercayakan kami berdua untuk mengelola data
keuangan grup sementara kau hanya mencari orang-orang miskin yang mau menjual
organ tubuhnya atau setidaknya, mencari orang-orang yang membutuhkan organ
tubuh secara cepat, ya ‘kan?” Fiolina ikut menyerang Jonas.
“Hei,
hei kenapa kalian bertiga malah berantam? Positive
thinking. Mungkin saja ini kesalahan input data atau bisa saja kesalahan
pengetikan. Kalian bertiga yang jika punya catatan masing-masing mengenai
keuangan grup, kalian bisa saling memverifikasi apakah ada kesalahan atau
memang ada unsur pemalsuan atau manipulasi data seperti yang Jonas katakan,”
lerai Anggara. Lelaki itu berusaha menurunkan tensi pertengkaran antara
ketiganya.
“Benar
yang dikatakan Anggara. Ini menjadi tugas kalian bertiga untuk melakukan
verifikasi data keuangan grup kita. Dan rapat kali ini, kita akhiri dulu sampai
di sini. Lakukan tugas kalian seperti biasa. Dan ingat. Teliti, efisien dan
efektif,” tutup pimpinan rapat diikuti dengan suara tepuk tangan dari peserta
rapat.
Para peserta rapat berdiri dari bangku mereka.
Perlahan meninggalkan ruangan. Anggara dan Fiolina melangkah cepat menjauh dari
tempat itu.
“Kau
selalu saja suka cari aman, Gara. Jonas tengil itu harus segera diberi
perhitungan. Minimal kita harus menyingkirkan dia,” ucap Fiolina pada Anggara.
Tiba-tiba
saja Anggara memberhentikan langkah kakinya sambil melihat di sekelilingnya
kemudian berkata, “Pelankan suaramu, Fio. Kalau dia sampai menguping rencana
kita, kita berada dalam masalah besar. Lebih baik kita bicarakan ini di mobil.”
Anggara
merangkul pundak gadis berambut cokelat ikal bergelombang itu sambil mengusap
pelan pundaknya. Lelaki itu sudah tahu bagaimana trik menenangkan emosi
partnernya dan trik itu selalu berhasil. Mendapat perlakuan seperti itu,
Fiolina mengangguk lemah sambil mempercepat langkah kaki menuju parkiran mobil.
Dari kejauhan, lelaki berkacamata itu terus mengawasi gerak-gerik rekan
kerjanya. Ia sendiri belum bisa menyimpulkan apa yang sedang dibicarakan oleh
mereka.

No comments:
Post a Comment