Tuesday, 29 May 2018

DUAL - 2


Rapat Besar
            Jalan Kota Tua disarati lalu lalang sepeda motor, mobil pribadi dan bus Trans Jakarta. Suara mesin ketiga kendaraan yang mendominasi jalan raya membuat kondisi jalan semakin panas ditambah kemacetan memanjang sampai 1 kilometer. Para pengemudi menekan klason  Suasana seperti ini sudah jadi pemandangan umum dan lazim di Jakarta. Maka  sangat mengherankan apabila hal-hal seperti itu tiba-tiba saja tidak terlihat di pusat ibu kota kenegaraan.
            Di sebelah kiri jalan raya, terdapat gedung beton menjulan tinggi hampir menyentuh lapangan langit. Jika diperkirakan, gedung itu memiliki 30 tingkatan. Di depan gedung, terdapat halaman yang ditambah fungsinya menjadi tempat parkir bagi pengendara mobil dan sepeda motor. Dari beberapa mobil yang parkir, Honda Jazz hitam baru saja ditinggalkan pemiliknya. Sebelum menuju gedung, lelaki berambut pirang  itu menekan tombol alarm mobil.
            “Cepatlah Kak Anggara!” suruh Fiolina agak memaksa.
            “Sabarlah Fio,” jawab Anggara sambil mengepang rambutnya yang tergerai. Begitu rambutnya sudah diikat, lelaki itu mengetatkan tali pinggang seraya memperbaiki kerah dan kancing kemejanya. Saat hal-hal kecil pada dirinya sudah diselesaikan, Anggara berlari kecil menyusul perempuan ikal bergelombang itu.
            “Cepat sekali jalanmu,” ujar Anggara sambil mengambil rokok dari saku celana kemudian diapitkan ke mulut.
            “Kau tidak dengar apa kata bos tadi?”
            “Ya aku tahu. Santai saja. Ini cuma rapat mendadak saja.”
            Kini sepasang manusia itu sudah memasuki gedung. Keduanya langsung mencari lift dan kebetulan orang yang berada dalam lift itu hanya dua orang. Jadi mereka langsung saja memasuki lift. Anggara dan Fiolina berbincang sebentar dengan dua orang yang jadi teman mereka di dalam lift. Sekedar bertanya mereka akan ke lantai berapa dan apa agenda pekerjaan yang akan mereka kerjakan saat ini.
            Sudah lima menit berlalu dua laki-laki yang menjadi teman bicara mereka sudah pergi duluan. Kini hanya tersisa Anggara dan Fiolina di sana. Mereka hanya perlu melewati dua tingkatan lagi untuk sampai ke tujuan. Dua menit menunggu kini keduanya sudah menginjakkan kaki di lantai 29. Mereka berlari kecil untuk bisa sampai ke ruangan berplangkat ruang rapat anggota.
            Di depan pintu mereka mengetuk pintu sebanyak tiga kali sambil menunggu jawaban dari dalam. Begitu mendengar suara putaran kunci dan suara ‘silakan masuk’, Anggara menekan kenop pintu, mendorongnya agak lebar. Terlihat di dalam ruangan itu, sudah berkumpul mayoritas laki-laki berpakaian formal ala pegawai kantoran. Di dalam ruangan, meja dan kursi didesain seperti huruf U panjang. Ukuran ruangan yang lebar bisa memuat sampai lima puluh orang.
            “Lama sekali bocah dan perek satu ini. Kau pikir kami berada di sini cuma untuk menunggu kedatangan kalian berdua?” ujar lelaki berkacamata itu. Ia menatap Anggara tidak senang.
            Anggara balik menatap lelaki berkacamata itu dan dengan santainya, ia menarik kerah baju lelaki itu hingga posisi wajah keduanya hampir berdekatan lalu Anggara berkata, “Kau tahu ‘kan bagaimana kondisi jalanan di Jakarta seperti apa? Dan mobil kami hampir ditilang polisi—“
            “Anggara, Jonas... tenangkan diri kalian. Rapat ini akan saya mulai.” Begitu mendengar perintah dari pemimpin rapat sekaligus bos besar di organisasi itu, Anggara melepaskan cengkeraman tangannya pada kerah baju lelaki berkacamata itu. Anggara dan Fiolina mengambil kursi masing-masing sambil menunggu bos mereka membuka rapat.
            Ketika suasana mulai berangsur kondusif, pemimpin rapat mulai membuka pembicaraan, “Saya Haris Aji Pradana mengucapkan terima kasih kepada seluruh anggota HOVTA  yang sudah datang untuk mengikuti rapat pada hari ini. Salah satu agenda rapat saat ini membicarakan tentang statistika perkembangan transaksi jual beli organ tubuh manusia selama empat tahun belakangan ini.” Lelaki berambut hitam bercampur uban putih mengkilap itu menyalakan infokus guna melihat data yang sudah dikumpulkan dalam bentuk powerpoint.
            “Anda sekalian bisa melihat melalui grafik ini bahwa penjualan organ tubuh di tahun 2014 mengalami peningkatan signifikasi sebesar 84 % daripada di tahun sebelumnya, tahun 2013 yang hanya 51%. Dan selama tujuh tahun organisasi ini berjalan, di tahun 2014-lah kita mengalami laba cukup besar dari hasil penjualan organ tubuh manusia dan memasuki bulan Maret 2016 persentasi keuntungan kita bisa bertahan sampai 78%.” Para anggota HOVTA memperhatikan betul grafik batang mendukung pernyataan bos besar mereka mengenai persentase keuntungan penjualan organ tubuh manusia. Tak terkecuali Anggara tatap matanya masih melekat pada layar infokus meskipun cara duduk lelaki itu memerosotkan badannya seperti orang malas dan abai.
            “Namun memasuki bulan Juni 2016 sampai dengan Oktober 2017, kita mengalami kemerosotan persentase penjualan sampai menyentuh titik 30% pada tanggal 23 Oktober 2017.” Sang bos besar mengarahkan senter lasernya pada grafik batang pendek dengan garis batang di angka 40% tapi dengan perbedaan jarak satu milimeter lagi.
            “Begitulah hasil pemaparan saya mengenai persentase keuntungan penjualan organ tubuh manusia selama empat tahun belakangan ini. Saudara sekalian ada yang mau bertanya atau adakah pemaparan saya kurang jelas mengenai persentase penjualan organ tubuh manusia sindikat HOVTA?”
            Untuk sementara suasana rapat diliputi hening,. Belum ada pertanyaan atau sanggahan dari para peserta rapat. Ketika sudah sampai menit kedua, suara Alto yang berada dari kursi bagian tengah memecah keheningan dalam rapat itu.
            “Pak, bisa saya melihat bagaimana rumus yang Bapak pakai untuk menghitung persentase keuntungan?”
            “Oh bisa.” Lelaki berkulit kuning langsat menyuruh perempuan yang mengoperasikan komputernya membuka Microsoft Excel. Begitu mendapatkan data yang dicari, sang pemimpin rapat langsung mengembalikan pandangan pada para peserta rapat. Pada layar infokus terpampang sebuah rumus di pinggir sebelah kiri file Excel.
% laba = Σ frekuensi transaksi organ tubuh  selama setahun   x 100%
                       Σ stok organ tubuh yang didapatkan selama setahun
                      
            “Inilah rumus yang saya gunakan untuk menghitung persentase keuntungan kita. Dan kalian juga bisa melihat dari tabel ini, kalau organ tubuh yang sering menjadi permintaan pasar yakni, jantung, paru-paru, hati dan terakhir ginjal. Ginjal merupakan organ tubuh bagian dalam yang menjadi permintaan pasar paling besar. Kita semua yang berada di sini wajib mengerti bahwa setiap inci permukaan tubuh manusia adalah harta karun berharga bagi kita para penjual organ tubuh ilegal.”
            “Ada pertanyaan lain mengenai data hasil pemaparan yang sudah saya tampilkan?”
            “Saya merasa data yang Bapak sajikan tidak valid,” sanggah Jonas, lelaki berkacamata itu. Ia memiliki cacat di bagian tangan kanan. Kulit jari terdapat luka bakar dan jemarinya tinggal setengah.  
            “Apa yang membuat Anda bisa berkata kalau data yang saya berikan tidak valid, Jonas? Tolong berikan alasan Anda,” ucap Haris sambil telapak tangan mengarah pada Jonas.
            “Baiklah. Saya selalu mengikuti perkembangan organisasi ini dari awal berdirinya sampai saat ini. Saya juga Bapak percayai sebagai salah satu pengurus selain Chyntia dan Fiolina, yang bertugas menangani data-data yang berhubungan dengan jumlah penjualan organ tubuh dan segala keuntungan yang didapatkan organisasi ini—“
            “Langsung ke intinya saja, Jonas,” potong Haris.
            “Iya saya tahu, Pak. Saya bersama dengan anak buah saya sudah mencatat berapa hasil keuntungan yang didapatakan organisasi ini selama tujuh tahun. Di tahun 2010, keuntungan yang didapatkan sebesar Rp 202.455.000,00 dengan persentase 29%. Awal Januari 2011 sampai dengan Januari 2012 keuntungan kita naik 34% dengan total Rp 271.289.700,00. Semenjak Bapak memutuskan menjalin kerjasama dengan sindikat Killer Order pada Februari 2012 keuntungan yang didapatkan organisasi ini cukup meningkat dengan kisaran persentase 53 s/d 86% . Saya lanjutkan lagi. Pada tahun 2013 bulan Maret keuntungan kita naik 53% dengan total Rp 415.073.241,00. Pada tahun 2014 seperti yang Bapak katakan tadi, organisasi kita mengalami keuntungan yang cukup signifikan sebesar Rp 772.036.228,00. Dan terakhir. Pada awal tahun 2015 sampai dengan Oktober 2017, organisasi kita meraup keuntungan sebesar Rp 1.260.699.100,00 dengan persentase rata-rata 80% sampai dengan bulan Oktober 2017.” Jonas sudah menguraikan perhitungannya mengenai persentase keuntungan dan total uang yang didapatkan  organisasi itu.
            “Nah begitulah hasil koreksi saya, Pak Haris. Seperti yang saya katakan tadi, saya bersama dengan anak buah saya juga mencatat organ tubuh apa saja yang jadi permintaan pasar, frekuensi transaksi selama 10 tahun dan juga berapa keuntungan yang didapatkan dalam buku besar yang saya pegang ini.” Lelaki berkacamata itu menunjukkan buku yang sering digunakan untuk mencatat keuangan pada peserta rapat lalu buku itu diberikan kembali pada anak buah yang berada di samping Jonas.
            Sambil meluruskan posisi kacamata yang agak miring, Jonas kembali melanjutkan perkataannya, “Jadi Pak, kesimpulannya, persentase keuntungan kita masih bertahan di angka 70-80% dan kita mengalami surplus setiap tahunnya. Dugaanku, data kita sudah dimanipulasi.” Sangkaan Jonas membuat hampir peserta rapat tersontak kaget.  Tapi Anggara menatap Jonas dengan sorot mata datar. 
            “Jadi kau menuduh kalau aku memanipulasi data, Jonas?” Tiba-tiba Chyntia angkat bicara mengenai sangkaan tak berdasar dari Jonas.
            “Jangan sok tahu dan berlagak kau adalah orang paling loyal dalam organisasi ini. Kau pasti iri ‘kan kalau Pak Haris mempercayakan kami berdua untuk mengelola data keuangan grup sementara kau hanya mencari orang-orang miskin yang mau menjual organ tubuhnya atau setidaknya, mencari orang-orang yang membutuhkan organ tubuh secara cepat, ya ‘kan?” Fiolina ikut menyerang Jonas.
            “Hei, hei kenapa kalian bertiga malah berantam? Positive thinking. Mungkin saja ini kesalahan input data atau bisa saja kesalahan pengetikan. Kalian bertiga yang jika punya catatan masing-masing mengenai keuangan grup, kalian bisa saling memverifikasi apakah ada kesalahan atau memang ada unsur pemalsuan atau manipulasi data seperti yang Jonas katakan,” lerai Anggara. Lelaki itu berusaha menurunkan tensi pertengkaran antara ketiganya.
            “Benar yang dikatakan Anggara. Ini menjadi tugas kalian bertiga untuk melakukan verifikasi data keuangan grup kita. Dan rapat kali ini, kita akhiri dulu sampai di sini. Lakukan tugas kalian seperti biasa. Dan ingat. Teliti, efisien dan efektif,” tutup pimpinan rapat diikuti dengan suara tepuk tangan dari peserta rapat.
             Para peserta rapat berdiri dari bangku mereka. Perlahan meninggalkan ruangan. Anggara dan Fiolina melangkah cepat menjauh dari tempat itu.
            “Kau selalu saja suka cari aman, Gara. Jonas tengil itu harus segera diberi perhitungan. Minimal kita harus menyingkirkan dia,” ucap Fiolina pada Anggara.
            Tiba-tiba saja Anggara memberhentikan langkah kakinya sambil melihat di sekelilingnya kemudian berkata, “Pelankan suaramu, Fio. Kalau dia sampai menguping rencana kita, kita berada dalam masalah besar. Lebih baik kita bicarakan ini di mobil.”
            Anggara merangkul pundak gadis berambut cokelat ikal bergelombang itu sambil mengusap pelan pundaknya. Lelaki itu sudah tahu bagaimana trik menenangkan emosi partnernya dan trik itu selalu berhasil. Mendapat perlakuan seperti itu, Fiolina mengangguk lemah sambil mempercepat langkah kaki menuju parkiran mobil. Dari kejauhan, lelaki berkacamata itu terus mengawasi gerak-gerik rekan kerjanya. Ia sendiri belum bisa menyimpulkan apa yang sedang dibicarakan oleh mereka.

No comments:

Post a Comment