Monday, 31 August 2015

Love in Dead (Chapter 1)



“Heh anak cupu, berani-beraninya deketin Icha primadona gue, minta dihajar loe?!“ Fidel menatap geram sambil mengacungkan tinjunya ke arah wajah Aldian.
“Fidel apa yang kamu lakukan? “ sentak Icha seraya menghampiri Fidel dan teman-temannya.
Icha memandang kesal perbuatan Fidel dan teman-temannya yang selalu menyiksa Aldian. Icha tahu Aldian adalah anak kutu buku yang suka nongkrong di perpustakaan sambil membaca buku, jarangbergaul di sekolah.
“Icha sayang, kenapa kamu malah bela-belain si kutu kupret ini?Dia ini gak selevelan kita. Kita kan bintang sekolah dan dia hanya seorang pecundang.“ cerca Fidel sambil menempelkan ujung jari telunjuknya dan mendorong kasar dahi Aldian.
“Lebih baik kamu pergi dari sini. Cepat pergi!“
Icha emosi mendengar perkataan Fidel begitu merendahkan harga diri Aldian. Mengetahui reaksi Icha yang begitu marah, Fidel dan teman-temannya berhamburan pergi, membiarkan keduanya di sana. Ichamelihat Aldian dalam posisi jatuh bersandar di dinding kantin, mengulurkan tangannya untuk membantu Aldian berdiri. Aldian meraih uluran tangan Icha dan bangkit berdiri.
“Terimakasih Icha kau mau membantuku tapi kau tahu kan, kalau Fidel selalu menghajarku jika aku dekat-dekat sama kamu. Aku gak mau bikin kamu kerepotan gara-gara menolongku.“ ujar Aldian pada Icha. Ia tak berani menatap mata Icha langsung. Ada rasa yang beda ketika ia menatap mata Icha. Sebuah rasa ingin memiki tapi ia sadar bahwa orang yang berada di hadapannya bukan tercipta untuknya.
“Jadi setelah ini kamu mau ke mana, Al? Apakah ke perpustakaan?“ tanya Icha sambil mengelus rambutnya.
“TidakIcha. Setelah ini, aku mau masuk ke kelas. Kami masuk pelajaran bahasa Indonesia , pak Darwin. Mungkin aku akan dimarahi oleh beliau karena terlambat 10 menit.“ ujar Aldian seraya menyunggingkan senyum lirih padanya.
“Oh maaf kalau membuatmu berlama-lama di sini. Lagipula, aku juga masuk pelajaran lain. Sampai jumpa, Aldian “ timpal Icha sambil mengulas senyuman kecil kemudian berlalu dari hadapan Aldian, begitupula Aldian.
Sosok Aldian pendiam, jarang bergaul dan kutu buku inilah penyebab dirinya selalu menjadi korban bully oleh Fidel tak terkecualiteman sekelasnya sendiri. Semenjak kedua orang tuanya meninggal dunia karena kecelakaan, Aldian yang dulu ceria sekarang menjadi pemurung. Ia lebih suka tenggelam dalam dunianya sendiri daripada bergaul dan bermain dengan teman-teman sebayanya.
Walaupun dirinya sudah menduduki bangku kelas 11 SMA, ada hal aneh yang tak pernah hilang darinya. Dia selalu berkata bahwa ia selalu melihat kedua orang tuanya berada di hadapannya dan mengajaknya berbicara. Teman-temannya kadang merasa jengah melihat kelakuan Aldian yang aneh dan bisa dikatakan gila.
Icha adalah sosok gadis yang diam-diam disukainya. Gadis dengan rambut panjang hitam legam lurus tergerai melewati bahunya. Ia memiliki senyuman manis yang membuat lelaki mabuk kepayang tak terkecuali Aldian. Gadis itu juga populer di sekolahnya karena ia merupakan anak berprestasi dalam dunia tarik suara, model dan juga prestasi akademik. Banyak sekali laki-laki pernah menyatakan cinta padanya tetapi selalu ia tolak dengan alasan ingin fokus belajar. Ya, alasan klise yang selalu digunakan oleh para perempuan untuk menolak laki-laki secara halus.
Lonceng berdentang keras menandakan kegiatan belajar-mengajar telah usai. Para siswa berhamburan keluar dari ruang kelas mereka masing-masing. Di tengah kerumunan para siswa, terlihat seorang laki-laki tengah memanggul tas punggung dengan langkah letih. Tangannya menenteng beberapa buku pelajaran. Tatapan matanya lurus ke depan, menyaksikan teman sekelasnya pulang berbarengan sedangkan dia hanya seorang diri.
“HeyAldian!“ suara itu menegurnya dari jauh.
Sosok itu berlari kecil menghampirinya dan terpaksa Aldian harus berhenti, menunggu orang itu datang.
“Kamu pulang sendirian?“ tanya perempuan itu.
Sekarang, perempuan itu sudah berada di hadapannya. Ia tak menyangka perempuan itu adalah Icha. Entah ada angin apa yang membuat Icha sang primadona mendatanginya.
“Ya.“ jawab Aldiansingkat sambil mengangguk pelan.
“Mau pulang bersamaku?“ ajak Icha.
“Jadi bagaimana dengan Ovy dan Dian?“
“Mereka berdua ada tugas kelompok, jadi kami gak pulang sama-sama. Bagaimana, kamu mau?“ ajak Icha sekali lagi sambil menggerakkan alisnya ke atas.
“Gi-gi-gimana ya, na-na-nanti...“ Aldian gugup menanggapi tawaran Icha untuk pulang bersama dengan dirinya menaiki mobilnya. Ia tak berani membalas tatapan mata  Icha. Ia gelisah sambil menggelengkan kepala ke kanan dan kiri.
Icha bosan menunggu jawaban dari Aldian. Tanpa banyak bicara, ia langsung menarik lengan Aldian, mengikutinya. Aldian terpana melihat reaksi spontan Icha tapi ia tak bisa mengingkari perasaannya. Ia sangat senang sekali diperlakukan seperti ini. Namun kekhwatiran terbesit dalam benaknya, jika Fidel dan gengnya mempergokinya.
“Wah si culun buka start duluan nih. Ini gak bisa dibiarkan. Ji, hubungi bos Fidel.“ ujar Andy dari belakang sementara dirinya masih mengintai mereka berdua dari balik dinding laboratorium.
Sementara Anji masih menghubungi Fidel, mata Andy tak lepas mengawasi perbuatan keduanya begitu dekat bagai sudah berpacaran.
Aldian dan Icha sudah berada di dalam mobil. Aldian tak mampu mengungkapkan rasa gembiranya bisa diantar oleh gadis idamannya. Icha memutar kunci dan menaikkan tuas persneling. Mobil bergerak meninggalkan pekarangan sekolah. Para lelaki yang melihat keberuntungan Aldian cuma bisa berdecak kagum, berandai-andai mereka adalah Aldian.
Di perjalanan, pandangan Icha masih fokus mengamati jalan. Diliriknya Aldian dengan menggunakan kaca kecil yang terpasang di atas kepalanya untuk melihat apa yang sedang dilakukan oleh Aldian. Ternyata, mata Aldian memandang lekat-lekat setiap tempat yang dilaluinya.
“Hey, lihat apaan sih? Kayaknya serius banget?“ tukas Icha sambil berkonsentrasi pada kemudinya.
“Aku cuma melihat-lihat di sekelilingku aja. Ternyata beda ya, jika kita melihatnya dari dalam mobil.“
“Haha tentu saja beda, Aldian. Kamu ini lucu juga ya.“ Icha tergelak mendengar perkataan yang terlontar dari mulut Aldian. Ia menduga kalau Aldian belum pernah naik mobil.
            “Jadi kamu di antar sampai mana nih?“
            “Di depan gang Rahmat saja. Aku bisa jalan sendiri kok.“ pungkas Aldian. Matanya kembali berpaling ke depan.
            Icha menekan lembut pedal rem dengan ujung kakinya. Mobil itu berhenti tepat di depan gang kecil. Ia menekan gagang pintu. Kaki kanannya menjulur lebih dulu menapaki tanah.
            “TerimakasihIcha.“  ucap Aldian sambil mengulas senyum tipis.
            “Sama-sama.“ sahut Icha. Mobilnya berlalu meninggalkan Aldian.
            Icha pergi dan Aldian sendiri berjalan menyusuri gang kecil itu. Memang, jalan yang berada di sekitar gang itu cukup sepi. Biasanya, banyak orang mondar-mandir berangkat pagi dengan segala kesibukannya. Ada yang bepergian ke kantor, berjualan di pasar atau bertani di ladang atau sawah mereka.
Perdagangan—kota ini sepenuhnya belum terjamah oleh kegiatan industri karena masih tersedianya lahan pertanian.Lahan pertanian dimanfaatkan oleh masyarakat yang ditinggal di sana untuk bercocok tanam. Pun, banyaknya masyarakat yang bekerja sebagai pedagang, juga punya kontribusi besar untuk perkembangan pasar tradisional.
            Aldian masih berjalan menuju rumahnya. Agak jauh memang jika ditempuh dengan jalan kaki, ditambah lagi rumah pamannya memasuki persimpangan dua, membuat waktu yang ditempuhnya untuk sampai ke rumah pamannya bertambah empat menit lagi.
            Bukk! 
            Sebuah benda keras menghantam tengkuknya. Aldian jatuh tergeletak sebelum ia tiba di persimpangan dua tersebut.
            “Woi, bangun lo!“ bentak salah satu dari orang-orang asing di sana sambil menampar keras pipi Aldian.
            Aldian siuman. Ia memegangi tengkuknya yang terasa nyeri, mungkin karena terkena pukulan benda keras. Aldian mengedipkan matanya berkali-kali seraya memastikan apa yang ada di hadapannya.
            “Fidel!“
            Aldian tak begitu mengetahui di mana ia berada sekarang, yang pasti di sekitarnya banyak sekali pepohonan kelapa sawit tumbuh merata memenuhi lahan tersebut.
            Mengetahui bahwa Aldian sudah sadar, Fidel menatap Aldian dengan mata penuh amarah dan kekesalan. Ia mencengkeram kerah seragamnya sambil mengangkat, mendorong tubuhnya yang kurus ke batang kelapa sawit.
            “Heh alien, berani-beraninya loe ngembat gebetan gue, si Icha! Cari mati loe!“ Fidel berusaha menahan letupan emosinya dengan menggertakkan gigi sembari mengepalkan tinju ke arah Aldian.
            “Tu-tu-tunggu du-dulu Fidel. Tadi Icha yang mengajakku pulang bersamanya.“ ungkap Aldian gemetar. Ia tak berani menatap langsung ke arah mata Fidel dan itu sudah pasti membuatnya gugup setengah mati.
            “Apa? Si Icha ngajak loe pulang! Ngaco loe!“ Fidel tak sanggup lagi mengendalikan emosinya. Tinju di tangannya lepas begitu saja mengenai wajah Aldian.
            Ukkhhh!
            Aldian tercampak begitu pukulan itu mengenai wajahnya. Wajahnya tersungkur mencium permukaan tanah. Belum selesai rasa sakit yang diterimanya dari Fidel, hantaman demi hantaman tangan dari teman-temannya sudah terkali-kali mengenai wajahnya. Terjangan kaki juga mengenai dada dan perutnya. Aldian tak henti meraung, menjerit sambil menahan kesakitan tiada tara yang diterimanya. Melihat Aldian tak berdaya lagi, Fidel dan teman-temannya menghentikan aksinya.
            “Gua peringkatkan sekali lagi sama loe, jangan pernah gua lihat loe dekat-dekat sama Icha! Kalau sampai gua tahu, kita nggak akan segan menghabisi nyawa loe!Ngerti?“ Fidel membentak Aldian sambil berkacak pinggang.
            Aldian tak memperdulikan lagi yang dikatakan Fidel. Ancaman yang diluncurkan Fidel mengalahkan rasa sakit dan nyeri yang ditanggungnya. Ia terbatuk-batuk, susah untuk mengatur irama pernafasannya. Tulang rusuknya naik turun, tangannya masih memegangi dadanya yang sesak dan perutnya serasa terkoyak.
            Aldian berusaha bangkit berdiri dengan tenaga yang ada. Badannya serasa remuk. Ia merasa tulang-tulangnya tak melekat lagi di dagingnya. Kaki gemetar, kepala sempoyongan. Dengan langkah gontai, Aldian menyusuri jalan perkebunan untuk mencari jalan keluar, menemukan tumpangan untuk sampai ke rumahnya.

Wednesday, 26 August 2015

Berhenti Berharap



Laura menyusuri dinginnya malam sendirian. Ia diam sekaligus menangis dalam keheningan. Air matanya tak henti meluruh dari sudut pelupuk matanya. Meskipun ia diam, hatinya terus memberontak, mempertanyakan mengapa kenyataan begitu tega menyakitinya.
“Randy, apa yang kau lakukan di sini?!“ ujar Laura penuh tanda tanya ketika melihat Randy berduaan dengan perempuan lain di kafe tempat dia dan Randy bertemu.
Randy sigap melepas dekapan tangannya pada tangan Cynthia, tapi Laura sudah terlanjur melihat apa yang dilakukan mereka berdua. Wajahnya merah padam menahan emosi yang membludak, ingin segera dilampiaskan.
“Siapa perempuan ini Randy?“ tanya Cynthia pada Randy.
“Dia bukan siapa–siapaku. Dia hanya teman biasa.“ jawab Randy.
Laura terkesiap. Mimik wajah merah padam kini berubah pucat pias ketika Randy mengatakan bahwa hubungan mereka hanya sebatas teman. Tubuhnya tak sanggup lagi bertahan, seolah ingin ambruk begitu saja bagai gedung bertingkat yang terkena gempa tektonik.
“Teman kamu bilang?! Jadi kamu nggak pernah sama sekali menganggap hubungan kita?!“ ungkapnya dengan air mata berurai deras mengalir membasahi pipinya.
“Hubungan katamu?! Heh, asal kamu tahu ya, aku nggak pernah menganggap kita berdua punya hubungan spesial. Apapun!“ bentak Randy sambil berdiri berkacak pinggang.
“Kamu jahat...“
Kata- kata singkat itu mewakili kekecewaan terdalam untuk mengungkap penghianatan besar yang dilakukan oleh mantan pacarnya. Laura berlalu dari hadapan mereka berdua tanpa memperdulikan tatapan para pengunjung kafe yang melihat pertengkaran yang dilakukan oleh sepasang kekasih. Sebenarnya Cynthia ingin meminta penjelasan tentang hubungan mereka berdua pada Randy, tapi Randy menggertaknya sehingga ia tak berani ikut campur.
Senja berubah malam. Malam ini gelap gulita tiada berbintang. Di kedua daun telinganya tertempel earphone yang memutar lagu Sheila On 7 Berhenti Berharap. Ya, lagu ini yang menjadi penyulut rasa galau yang hebat karena cintanya dipermainkan dan dihianati oleh Randy. Lagu itu membuat Laura tak henti menangis terisak meneteskan air mata.
Kau ajarkan aku bahagia
Kau ajarkan aku derita
Kau tunjukkan aku bahagia
Kau tunjukkan aku derita
Kau berikan aku bahagia
Kau berikan aku deritaaa
Laura tak kuasa berteriak kencang merasakan sakit luar biasa karena lirik lagu itu begitu membunuh hati dan perasaannya. Suka duka yang dilalui bersama mantannya itu hanyalah sandiwara belaka, hanya topeng untuk melarikan diri menuju wanita yang disukainya.
Laura menekur di seberang trotoar sesuai ia berteriak, melepaskan rasa sakit hati yang menyiksa batin. Kepala berdenyut keras bagaikan ditepuk dua arah oleh tangan raksasa. Ia membeku sesaat ketika ia menghayati lagi lirik lagu itu.
Aku pulang tanpa dendam
Kuterima kekalahanku
Aku pulang tanpa dendam
Kusalutkan kemenanganmu
Pikirannya masih sibuk mencerna maksud dari lirik lagu itu. Lima menit berganti, ia menemukan satu kesimpulan tepat.
Kau bisa saja menghancurkan hatiku, memporakporandakan jiwaku, tapi kau tak bisa merebut kebahagian yang kumiliki. Kau boleh saja menang tapi aku tidak boleh menyerah.“ tukasnya dalam batin. Sekarang air matanya sudah berhenti menetes. Laura tegak berdiri seolah kekuatan yang sudah lama lenyap kini bangkit kembali. Ada sorot mata penuh keyakinan berkobar–kobar di kedua bola matanya.
Kesedihannya sudah perlahan hilang. Ia mengusap pelan air mata dari pipinya. Ada semangat baru yang muncul setelah hancur begitu dahsyat. Ia melangkahkan kaki beranjak pergi dari jalanan sepi di gang sana. Ia sudah mengikhlaskan yang terjadi padanya pada Sang Maha Kuasa. Ia ingin cepat sampai di rumah dan tidur nyenyak di kasur empuk sepanjang malam.
End

Friday, 21 August 2015

The Beginning



Sebuah pusaran hitam mengeluarkan seseorang yang tubuhnya telah dipenuhi oleh darah kering dan luka lebam hampir di sekujur tubuhnya. Luconaz belum mati sepenuhnya di tangan Daraznoz. Meskipun tombak api hitam sudah menembus jantungnya, ia hanya mengalami gagal jantung dan beruntung nyawanya masih sempat diselamatkan oleh panglima perang divisi pertahanan, Zack.
            “Aku tak menyangka Tuan Raja masih bisa bertahan walaupun tombak api hitam milik Daraznoz sudah menembus jantung Anda.” ujar Zack sambil memapah tubuh rajanya yang sudah mulai sekarat. Zack yang mengetahui bahwa rajanya kalah menghadapi Daraznoz, mengeluarkan jurus teleportasi yang bisa berpindah ke mana saja bahkan ke ruang hampa sekalipun.
            “Amnica, tolong obati raja!” ujar Zack keras.
            Amnica keluar dari ruangnya begitu mendengar bahwa raja dalam kondisi gawat. Amnica adalah ketua divisi medis dalam kerajaan Luco. Dia adalah seorang perempuan yang dikaruniai teknik penyembuhan ajaib dengan menggunakan tumbuh-tumbuhan.
            “Astaga! Kenapa raja bisa mengalami luka separah ini?” Amnica sontak terkejut melihat kondisi rajanya.
            “Aku juga tidak tahu mengapa, yang pasti aku akan meminta penjelasan pada para pengawal yang ikut berperang bersama raja.” kata Zack, tangan kirinya masih merangkul erat tubuh sang raja agar tidak ambruk.
            “Baiklah, akan kulakukan yang terbaik.” ucap Amnica mantap. Ia memberi komando kepada beberapa pasukan medis untuk membopong raja Luconaz ke ruangannya.
            “Selamat datang, tuan Daraz.”
            Hologram hitam yang terlihat buram perlahan bertranformasi menjadi sosok bertubuh kekar dengan mantel hitam dengan motif ratusan mata berpupil merah, memegang sebuah tongkat yang bercabang dua membentuk sebuah tanduk hewan.
            “Terimakasih Levithan.” sahut Daraznoz dingin.
            “Jadi apakah tuan sudah mendapatkan 7 Kitab Kehidupan yang dimiliki Luconaz?”
            “Tidak. Aku hampir terbunuh oleh bom cahaya miliknya kalau saja aku tidak mengerahkan Dark Giant Shield.”
            “Apa langkah tuan selanjutnya?”
            “Luconaz berhasil menteleportasikan 7 Kitab Kehidupan ke Bumi dan aku tidak mungkin sendirian ke sana. Aku harus memulihkan kekuatanku selama 6 tahun.”
            “Apa perlu aku mengutus Belth ke muka Bumi untuk mencari 7 Kitab Kehidupan?” usul Levithan.
            “Silakan sementara kau akan bertapa di sini.”
            “Baik Tuan.” Levithan mengundurkan diri dari hadapan Daraznoz. Daraznoz meletakkan tongkatnya di atas singgasana kemudian membentengi tubuhnya dengan perisai kegelapan.