“Heh anak cupu, berani-beraninya deketin Icha primadona gue, minta dihajar loe?!“ Fidel menatap geram sambil mengacungkan tinjunya ke arah wajah Aldian.
“Fidel apa yang kamu lakukan? “ sentak Icha seraya
menghampiri Fidel dan teman-temannya.
Icha memandang kesal perbuatan Fidel dan
teman-temannya yang selalu menyiksa Aldian. Icha tahu Aldian adalah anak kutu
buku yang suka nongkrong di perpustakaan sambil membaca buku, jarangbergaul di
sekolah.
“Icha sayang, kenapa kamu malah bela-belain si kutu
kupret ini?Dia ini gak selevelan kita. Kita kan bintang sekolah dan dia hanya
seorang pecundang.“ cerca Fidel sambil menempelkan ujung jari telunjuknya dan
mendorong kasar dahi Aldian.
“Lebih baik kamu pergi dari sini. Cepat pergi!“
Icha emosi mendengar perkataan Fidel begitu
merendahkan harga diri Aldian. Mengetahui reaksi Icha yang begitu marah, Fidel
dan teman-temannya berhamburan pergi, membiarkan keduanya di sana. Ichamelihat
Aldian dalam posisi jatuh bersandar di dinding kantin, mengulurkan tangannya
untuk membantu Aldian berdiri. Aldian meraih uluran tangan Icha dan bangkit
berdiri.
“Terimakasih Icha kau mau membantuku tapi kau tahu
kan, kalau Fidel selalu menghajarku jika aku dekat-dekat sama kamu. Aku gak mau
bikin kamu kerepotan gara-gara menolongku.“ ujar Aldian pada Icha. Ia tak
berani menatap mata Icha langsung. Ada rasa yang beda ketika ia menatap mata
Icha. Sebuah rasa ingin memiki tapi ia sadar bahwa orang yang berada di hadapannya
bukan tercipta untuknya.
“Jadi setelah ini kamu mau ke mana, Al? Apakah ke
perpustakaan?“ tanya Icha sambil mengelus rambutnya.
“TidakIcha. Setelah ini, aku mau masuk ke kelas.
Kami masuk pelajaran bahasa Indonesia , pak Darwin. Mungkin aku akan dimarahi
oleh beliau karena terlambat 10 menit.“ ujar Aldian seraya menyunggingkan
senyum lirih padanya.
“Oh maaf kalau membuatmu berlama-lama di sini.
Lagipula, aku juga masuk pelajaran lain. Sampai jumpa, Aldian “ timpal Icha
sambil mengulas senyuman kecil kemudian berlalu dari hadapan Aldian, begitupula
Aldian.
Sosok Aldian pendiam, jarang bergaul dan kutu buku
inilah penyebab dirinya selalu menjadi korban bully oleh Fidel tak terkecualiteman sekelasnya sendiri. Semenjak
kedua orang tuanya meninggal dunia karena kecelakaan, Aldian yang dulu ceria
sekarang menjadi pemurung. Ia lebih suka tenggelam dalam dunianya sendiri
daripada bergaul dan bermain dengan teman-teman sebayanya.
Walaupun dirinya sudah menduduki bangku kelas 11 SMA,
ada hal aneh yang tak pernah hilang darinya. Dia selalu berkata bahwa ia selalu
melihat kedua orang tuanya berada di hadapannya dan mengajaknya berbicara.
Teman-temannya kadang merasa jengah melihat kelakuan Aldian yang aneh dan bisa
dikatakan gila.
Icha adalah sosok gadis yang diam-diam disukainya.
Gadis dengan rambut panjang hitam legam lurus tergerai melewati bahunya. Ia memiliki
senyuman manis yang membuat lelaki mabuk kepayang tak terkecuali Aldian. Gadis
itu juga populer di sekolahnya karena ia merupakan anak berprestasi dalam dunia
tarik suara, model dan juga prestasi akademik. Banyak sekali laki-laki pernah menyatakan
cinta padanya tetapi selalu ia tolak dengan alasan ingin fokus belajar. Ya,
alasan klise yang selalu digunakan oleh para perempuan untuk menolak laki-laki
secara halus.
Lonceng berdentang keras menandakan kegiatan belajar-mengajar
telah usai. Para siswa berhamburan keluar dari ruang kelas mereka
masing-masing. Di tengah kerumunan para siswa, terlihat seorang laki-laki
tengah memanggul tas punggung dengan langkah letih. Tangannya menenteng
beberapa buku pelajaran. Tatapan matanya lurus ke depan, menyaksikan teman
sekelasnya pulang berbarengan sedangkan dia hanya seorang diri.
“HeyAldian!“ suara itu menegurnya dari jauh.
Sosok itu berlari kecil menghampirinya dan terpaksa
Aldian harus berhenti, menunggu orang itu datang.
“Kamu pulang sendirian?“ tanya perempuan itu.
Sekarang, perempuan itu sudah berada di hadapannya.
Ia tak menyangka perempuan itu adalah Icha. Entah ada angin apa yang membuat
Icha sang primadona mendatanginya.
“Ya.“ jawab Aldiansingkat sambil mengangguk pelan.
“Mau pulang bersamaku?“ ajak Icha.
“Jadi bagaimana dengan Ovy dan Dian?“
“Mereka berdua ada tugas kelompok, jadi kami gak
pulang sama-sama. Bagaimana, kamu mau?“ ajak Icha sekali lagi sambil
menggerakkan alisnya ke atas.
“Gi-gi-gimana ya, na-na-nanti...“ Aldian gugup
menanggapi tawaran Icha untuk pulang bersama dengan dirinya menaiki mobilnya.
Ia tak berani membalas tatapan mata Icha.
Ia gelisah sambil menggelengkan kepala ke kanan dan kiri.
Icha bosan menunggu jawaban dari Aldian. Tanpa
banyak bicara, ia langsung menarik lengan Aldian, mengikutinya. Aldian terpana
melihat reaksi spontan Icha tapi ia tak bisa mengingkari perasaannya. Ia sangat
senang sekali diperlakukan seperti ini. Namun kekhwatiran terbesit dalam
benaknya, jika Fidel dan gengnya mempergokinya.
“Wah si culun buka start duluan nih. Ini gak bisa dibiarkan. Ji, hubungi bos Fidel.“
ujar Andy dari belakang sementara dirinya masih mengintai mereka berdua dari
balik dinding laboratorium.
Sementara Anji masih menghubungi Fidel, mata Andy
tak lepas mengawasi perbuatan keduanya begitu dekat bagai sudah berpacaran.
Aldian dan Icha sudah berada di dalam mobil. Aldian
tak mampu mengungkapkan rasa gembiranya bisa diantar oleh gadis idamannya. Icha
memutar kunci dan menaikkan tuas persneling. Mobil bergerak meninggalkan
pekarangan sekolah. Para lelaki yang melihat keberuntungan Aldian cuma bisa
berdecak kagum, berandai-andai mereka adalah Aldian.
Di perjalanan, pandangan Icha masih fokus mengamati
jalan. Diliriknya Aldian dengan menggunakan kaca kecil yang terpasang di atas
kepalanya untuk melihat apa yang sedang dilakukan oleh Aldian. Ternyata, mata
Aldian memandang lekat-lekat setiap tempat yang dilaluinya.
“Hey, lihat apaan sih? Kayaknya serius banget?“
tukas Icha sambil berkonsentrasi pada kemudinya.
“Aku cuma melihat-lihat di sekelilingku aja.
Ternyata beda ya, jika kita melihatnya dari dalam mobil.“
“Haha tentu saja beda, Aldian. Kamu ini lucu juga
ya.“ Icha tergelak mendengar perkataan yang terlontar dari mulut Aldian. Ia
menduga kalau Aldian belum pernah naik mobil.
“Jadi kamu di antar sampai mana nih?“
“Di depan gang Rahmat saja. Aku bisa
jalan sendiri kok.“ pungkas Aldian. Matanya kembali berpaling ke depan.
Icha menekan lembut pedal rem dengan
ujung kakinya. Mobil itu berhenti tepat di depan gang kecil. Ia menekan gagang
pintu. Kaki kanannya menjulur lebih dulu menapaki tanah.
“TerimakasihIcha.“ ucap Aldian sambil mengulas senyum tipis.
“Sama-sama.“ sahut Icha. Mobilnya
berlalu meninggalkan Aldian.
Icha pergi dan Aldian sendiri berjalan
menyusuri gang kecil itu. Memang, jalan yang berada di sekitar gang itu cukup
sepi. Biasanya, banyak orang mondar-mandir berangkat pagi dengan segala
kesibukannya. Ada yang bepergian ke kantor, berjualan di pasar atau bertani di
ladang atau sawah mereka.
Perdagangan—kota ini sepenuhnya belum terjamah oleh
kegiatan industri karena masih tersedianya lahan pertanian.Lahan pertanian
dimanfaatkan oleh masyarakat yang ditinggal di sana untuk bercocok tanam. Pun,
banyaknya masyarakat yang bekerja sebagai pedagang, juga punya kontribusi besar
untuk perkembangan pasar tradisional.
Aldian masih berjalan menuju
rumahnya. Agak jauh memang jika ditempuh dengan jalan kaki, ditambah lagi rumah
pamannya memasuki persimpangan dua, membuat waktu yang ditempuhnya untuk sampai
ke rumah pamannya bertambah empat menit lagi.
Sebuah benda keras menghantam
tengkuknya. Aldian jatuh tergeletak sebelum ia tiba di persimpangan dua
tersebut.
“Woi, bangun lo!“ bentak salah satu
dari orang-orang asing di sana sambil menampar keras pipi Aldian.
Aldian siuman. Ia memegangi
tengkuknya yang terasa nyeri, mungkin karena terkena pukulan benda keras. Aldian
mengedipkan matanya berkali-kali seraya memastikan apa yang ada di hadapannya.
“Fidel!“
Aldian tak begitu mengetahui di mana
ia berada sekarang, yang pasti di sekitarnya banyak sekali pepohonan kelapa
sawit tumbuh merata memenuhi lahan tersebut.
Mengetahui bahwa Aldian sudah sadar,
Fidel menatap Aldian dengan mata penuh amarah dan kekesalan. Ia mencengkeram kerah
seragamnya sambil mengangkat, mendorong tubuhnya yang kurus ke batang kelapa
sawit.
“Heh alien, berani-beraninya loe
ngembat gebetan gue, si Icha! Cari mati loe!“ Fidel berusaha menahan letupan emosinya
dengan menggertakkan gigi sembari mengepalkan tinju ke arah Aldian.
“Tu-tu-tunggu du-dulu Fidel. Tadi
Icha yang mengajakku pulang bersamanya.“ ungkap Aldian gemetar. Ia tak berani
menatap langsung ke arah mata Fidel dan itu sudah pasti membuatnya gugup
setengah mati.
“Apa? Si Icha ngajak loe pulang! Ngaco
loe!“ Fidel tak sanggup lagi mengendalikan emosinya. Tinju di tangannya lepas
begitu saja mengenai wajah Aldian.
Ukkhhh!
Aldian tercampak begitu pukulan itu
mengenai wajahnya. Wajahnya tersungkur mencium permukaan tanah. Belum selesai
rasa sakit yang diterimanya dari Fidel, hantaman demi hantaman tangan dari
teman-temannya sudah terkali-kali mengenai wajahnya. Terjangan kaki juga
mengenai dada dan perutnya. Aldian tak henti meraung, menjerit sambil menahan
kesakitan tiada tara yang diterimanya. Melihat Aldian tak berdaya lagi, Fidel
dan teman-temannya menghentikan aksinya.
“Gua peringkatkan sekali lagi sama
loe, jangan pernah gua lihat loe dekat-dekat sama Icha! Kalau sampai gua tahu,
kita nggak akan segan menghabisi nyawa loe!Ngerti?“ Fidel membentak Aldian
sambil berkacak pinggang.
Aldian tak memperdulikan lagi yang
dikatakan Fidel. Ancaman yang diluncurkan Fidel mengalahkan rasa sakit dan
nyeri yang ditanggungnya. Ia terbatuk-batuk, susah untuk mengatur irama
pernafasannya. Tulang rusuknya naik turun, tangannya masih memegangi dadanya
yang sesak dan perutnya serasa terkoyak.
Aldian berusaha bangkit berdiri
dengan tenaga yang ada. Badannya serasa remuk. Ia merasa tulang-tulangnya tak
melekat lagi di dagingnya. Kaki gemetar, kepala sempoyongan. Dengan langkah
gontai, Aldian menyusuri jalan perkebunan untuk mencari jalan keluar, menemukan
tumpangan untuk sampai ke rumahnya.
