Wednesday, 26 August 2015

Berhenti Berharap



Laura menyusuri dinginnya malam sendirian. Ia diam sekaligus menangis dalam keheningan. Air matanya tak henti meluruh dari sudut pelupuk matanya. Meskipun ia diam, hatinya terus memberontak, mempertanyakan mengapa kenyataan begitu tega menyakitinya.
“Randy, apa yang kau lakukan di sini?!“ ujar Laura penuh tanda tanya ketika melihat Randy berduaan dengan perempuan lain di kafe tempat dia dan Randy bertemu.
Randy sigap melepas dekapan tangannya pada tangan Cynthia, tapi Laura sudah terlanjur melihat apa yang dilakukan mereka berdua. Wajahnya merah padam menahan emosi yang membludak, ingin segera dilampiaskan.
“Siapa perempuan ini Randy?“ tanya Cynthia pada Randy.
“Dia bukan siapa–siapaku. Dia hanya teman biasa.“ jawab Randy.
Laura terkesiap. Mimik wajah merah padam kini berubah pucat pias ketika Randy mengatakan bahwa hubungan mereka hanya sebatas teman. Tubuhnya tak sanggup lagi bertahan, seolah ingin ambruk begitu saja bagai gedung bertingkat yang terkena gempa tektonik.
“Teman kamu bilang?! Jadi kamu nggak pernah sama sekali menganggap hubungan kita?!“ ungkapnya dengan air mata berurai deras mengalir membasahi pipinya.
“Hubungan katamu?! Heh, asal kamu tahu ya, aku nggak pernah menganggap kita berdua punya hubungan spesial. Apapun!“ bentak Randy sambil berdiri berkacak pinggang.
“Kamu jahat...“
Kata- kata singkat itu mewakili kekecewaan terdalam untuk mengungkap penghianatan besar yang dilakukan oleh mantan pacarnya. Laura berlalu dari hadapan mereka berdua tanpa memperdulikan tatapan para pengunjung kafe yang melihat pertengkaran yang dilakukan oleh sepasang kekasih. Sebenarnya Cynthia ingin meminta penjelasan tentang hubungan mereka berdua pada Randy, tapi Randy menggertaknya sehingga ia tak berani ikut campur.
Senja berubah malam. Malam ini gelap gulita tiada berbintang. Di kedua daun telinganya tertempel earphone yang memutar lagu Sheila On 7 Berhenti Berharap. Ya, lagu ini yang menjadi penyulut rasa galau yang hebat karena cintanya dipermainkan dan dihianati oleh Randy. Lagu itu membuat Laura tak henti menangis terisak meneteskan air mata.
Kau ajarkan aku bahagia
Kau ajarkan aku derita
Kau tunjukkan aku bahagia
Kau tunjukkan aku derita
Kau berikan aku bahagia
Kau berikan aku deritaaa
Laura tak kuasa berteriak kencang merasakan sakit luar biasa karena lirik lagu itu begitu membunuh hati dan perasaannya. Suka duka yang dilalui bersama mantannya itu hanyalah sandiwara belaka, hanya topeng untuk melarikan diri menuju wanita yang disukainya.
Laura menekur di seberang trotoar sesuai ia berteriak, melepaskan rasa sakit hati yang menyiksa batin. Kepala berdenyut keras bagaikan ditepuk dua arah oleh tangan raksasa. Ia membeku sesaat ketika ia menghayati lagi lirik lagu itu.
Aku pulang tanpa dendam
Kuterima kekalahanku
Aku pulang tanpa dendam
Kusalutkan kemenanganmu
Pikirannya masih sibuk mencerna maksud dari lirik lagu itu. Lima menit berganti, ia menemukan satu kesimpulan tepat.
Kau bisa saja menghancurkan hatiku, memporakporandakan jiwaku, tapi kau tak bisa merebut kebahagian yang kumiliki. Kau boleh saja menang tapi aku tidak boleh menyerah.“ tukasnya dalam batin. Sekarang air matanya sudah berhenti menetes. Laura tegak berdiri seolah kekuatan yang sudah lama lenyap kini bangkit kembali. Ada sorot mata penuh keyakinan berkobar–kobar di kedua bola matanya.
Kesedihannya sudah perlahan hilang. Ia mengusap pelan air mata dari pipinya. Ada semangat baru yang muncul setelah hancur begitu dahsyat. Ia melangkahkan kaki beranjak pergi dari jalanan sepi di gang sana. Ia sudah mengikhlaskan yang terjadi padanya pada Sang Maha Kuasa. Ia ingin cepat sampai di rumah dan tidur nyenyak di kasur empuk sepanjang malam.
End

No comments:

Post a Comment