Laura menyusuri dinginnya malam
sendirian. Ia diam sekaligus menangis dalam keheningan. Air matanya tak henti
meluruh dari sudut pelupuk matanya. Meskipun ia diam, hatinya terus memberontak,
mempertanyakan mengapa kenyataan begitu tega menyakitinya.
“Randy, apa yang kau lakukan di sini?!“
ujar Laura penuh tanda tanya ketika melihat Randy berduaan dengan perempuan
lain di kafe tempat dia dan Randy bertemu.
Randy sigap melepas dekapan tangannya pada
tangan Cynthia, tapi Laura sudah terlanjur melihat apa yang dilakukan mereka
berdua. Wajahnya merah padam menahan emosi yang membludak, ingin segera
dilampiaskan.
“Siapa perempuan ini Randy?“ tanya
Cynthia pada Randy.
“Dia bukan siapa–siapaku. Dia hanya
teman biasa.“ jawab Randy.
Laura terkesiap. Mimik wajah merah padam
kini berubah pucat pias ketika Randy mengatakan bahwa hubungan mereka hanya
sebatas teman. Tubuhnya tak sanggup lagi bertahan, seolah ingin ambruk begitu
saja bagai gedung bertingkat yang terkena gempa tektonik.
“Teman kamu bilang?! Jadi kamu nggak
pernah sama sekali menganggap hubungan kita?!“ ungkapnya dengan air mata
berurai deras mengalir membasahi pipinya.
“Hubungan katamu?! Heh, asal kamu tahu
ya, aku nggak pernah menganggap kita berdua punya hubungan spesial. Apapun!“
bentak Randy sambil berdiri berkacak pinggang.
“Kamu jahat...“
Kata- kata singkat itu mewakili
kekecewaan terdalam untuk mengungkap penghianatan besar yang dilakukan oleh
mantan pacarnya. Laura berlalu dari hadapan mereka berdua tanpa memperdulikan
tatapan para pengunjung kafe yang melihat pertengkaran yang dilakukan oleh
sepasang kekasih. Sebenarnya Cynthia ingin meminta penjelasan tentang hubungan
mereka berdua pada Randy, tapi Randy menggertaknya sehingga ia tak berani ikut
campur.
Senja berubah malam. Malam ini gelap
gulita tiada berbintang. Di kedua daun telinganya tertempel earphone yang
memutar lagu Sheila On 7 Berhenti Berharap. Ya, lagu ini yang menjadi penyulut
rasa galau yang hebat karena cintanya dipermainkan dan dihianati oleh Randy.
Lagu itu membuat Laura tak henti menangis terisak meneteskan air mata.
Kau
ajarkan aku bahagia
Kau
ajarkan aku derita
Kau
tunjukkan aku bahagia
Kau
tunjukkan aku derita
Kau
berikan aku bahagia
Kau
berikan aku deritaaa
Laura tak kuasa berteriak kencang
merasakan sakit luar biasa karena lirik lagu itu begitu membunuh hati dan
perasaannya. Suka duka yang dilalui bersama mantannya itu hanyalah sandiwara
belaka, hanya topeng untuk melarikan diri menuju wanita yang disukainya.
Laura menekur di
seberang trotoar sesuai ia berteriak, melepaskan rasa sakit hati yang menyiksa
batin. Kepala berdenyut keras bagaikan ditepuk dua arah oleh tangan raksasa. Ia
membeku sesaat ketika ia menghayati lagi lirik lagu itu.
Aku
pulang tanpa dendam
Kuterima
kekalahanku
Aku
pulang tanpa dendam
Kusalutkan
kemenanganmu
Pikirannya masih sibuk mencerna maksud
dari lirik lagu itu. Lima menit berganti, ia menemukan satu kesimpulan tepat.
“Kau
bisa saja menghancurkan hatiku, memporakporandakan jiwaku, tapi kau tak bisa
merebut kebahagian yang kumiliki. Kau boleh saja menang tapi aku tidak boleh
menyerah.“ tukasnya dalam batin. Sekarang air matanya sudah berhenti
menetes. Laura tegak berdiri seolah kekuatan yang sudah lama lenyap kini
bangkit kembali. Ada sorot mata penuh keyakinan berkobar–kobar di kedua bola
matanya.
Kesedihannya sudah perlahan hilang. Ia
mengusap pelan air mata dari pipinya. Ada semangat baru yang muncul setelah
hancur begitu dahsyat. Ia melangkahkan kaki beranjak pergi dari jalanan sepi di
gang sana. Ia sudah mengikhlaskan yang terjadi padanya pada Sang Maha Kuasa. Ia
ingin cepat sampai di rumah dan tidur nyenyak di kasur empuk sepanjang malam.
End
No comments:
Post a Comment