Tuesday, 29 September 2015

Penyesalan dalam Perpisahan

Aku terpekur di sini
Ditemani angin berhembus lirih
Terjebak dalam kehampaan
Terluka karena kepedihan
    Kenyataan sudah menghadapkanku
    Kalau kau takkan iringi langkahku lagi
    Takdir sudah menuliskan untukku
    Bahwa kau hanya bayangan dalam pikiranku
    Waktu sudah menghapusku
    Juga menghapus kenangan tentang dirimu
Apakah kau melihatku
Di saat aku berlinang air mata
Apakah kau bahagia apakah kau tertawa riang
Di sini aku merana tanpa hadirmu
Oh sang Ilahi pertemukanlah kami
Walau waktuku hanya sejenak
Kuingin ucapkan selamat tinggal untuk terakhir kalinya

Tuesday, 22 September 2015

Pelangi di Medan Perang



Hujan deras turun membasahi mayat – mayat tentara bergelimpangan di medan perang. Dada dan perut tertembus oleh peluru timah yang panas dan tajam membuat darah bercampur air hujan mengalir deras bagai mata air. Darah dan mayat mereka adalah bukti perang masih berkelanjutan di sana. Suara desing senapan jarak jauh menjadi nyanyian penuh  tragedi dan duka jikalau peluru – peluru itu sudah menembus tubuh  mereka.Para tentara tetap was – was dan terus menajamkan penglihatan mereka meskipun derasnya air hujan menghalangi mereka.
            Sementara itu di barak pengungsian, wajah para pengungsi diselimuti ketakutan, kegelisahan, dan air mata. Sudah lima hari mereka berada di sana. Kebutuhan sandang dan pangan mereka bergantung pada sumbangan para relawan dari berbagai negara. Bukan hanya terbatas dalam kebutuhan sandang dan pangan, mereka terbatas dalam kebutuhan air bersih. Perusahaan penyedia air lumpuh total dan tak bisa beroperasi selama perang masih berlanjut. Mereka harus berbagi air bersih dengan sesama pengungsi dalam memenuhi air minum dan MCK. 
            Awan gelap meneteskan ribuan liter air ke permukaan tanah juga membasahi bagian atas kain tenda. Di dalam tenda, puluhan pengungsi tidur berhimpitan dan berdesakan satu sama lain.Di atas tikar seluas 15 meter, mereka harus rela tidur diterpa deru nafas panas yang berhembus ke wajah mereka. Mereka berharap bisa kembali ke rumah mereka masing – masing tapi perang memupuskan harapan mereka.
            Di antara kerumunan pengungsi yang tidur, seorang anak kecil memakai kaus oblong melipat kedua tangannya di atas lutunya sambil menopangkan dagu di atas lipatan tangannya. Wajah penuh keseriusan mengamati tetesan – tetesan air menitik deras dari langit. Sepertinya ia sedang meresapi titik air yang menetes tanpa henti ke atas permukaan tanah.
            “ Horushi, kamu tidak tidur nak? “ tanya seorang wanita dari belakangnya.
            “ Tidak bu. Aku tidak ingin tidur. Di dalam sempit. “ jawab Horushi singkat tanpa menengok ke belakang.
            Nanoku menghampiri anaknya yang sedang duduk di depan pintu tenda. Nanoku mengambil tempat duduk di sebelah kanan anaknya.
            “ Apa yang kamu pikirkan Horushi? “
            Horushi diam sesaat. Ia sedang merangkai jawaban tepat untuk menjawab pertanyaan ibunya.
            “ Aku berpikir perang yang terjadi di negara ini sama seperti hujan yang turun siang ini, bu. Deras daan tiada habisnya. Aku melihat ketakutan, duka, dan kesedihan di wajah mereka, bu. Mereka kehilangan orang tua, sanak saudara, orang – orang yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan perang ini dan ayah... “ Horushi tidak mampu meneruskan kata – katanya. Tetes air mata sudah terlebih dahulu membasahi wajah polosnya. Yang diingatnya sebelum ia dan ibunya dievakuasi yaitu sebuah rudal mendarat tepat di atas rumah mereka dan ayahnya sedang berusaha mengeluarkan mereka.
            Ledakan besar menghempaskan tubuh mereka ketika rudal itu meluluhlantakan rumah mereka. Ketika Horushi bangkit berdiri, ia melihat kobaran api besar menghanguskan rumah yang menjadi tempat tinggal mereka selama 9 tahun dan menyadari rudal itu sudah menghantarkan ayahnya ke surga. Horushi histeris, meraung, memanggilnama ayahnya, berharap sang ayah bisa mendengar suaranya dan mendatangi dirinya, namun ia tak melihat ayahnya datang menyambut dirinya. Di depannya hanya tertinggal puing – puing rumah yang sudah menjadi arang.
            Horushi masih tenggelam dalam kesedihannya. Kejadian itu membekas dalam benaknya dan mungkin menimbulkan luka abadi yang tak tahu kapan akan sembuh. Horushi memutar ulang ingatannya saat ayahnya menemani dirinya bermain saat ibunya sedang sibuk di dapur serta ayahnya selalu membacakan dongeng menemani dirinya tidur pada malam hari.
            Nanoku terdiam. Ia bisa merasakan kesedihan yang mendalam karena anaknya sudah kehilangan sosok ayah yang dibanggakannya. Ia pun merasakan hal yang sama dengan anaknya. Nanoku kehilangan sosok suami yang sangat dicintainya dan kini ia harus merawat anaknya sendirian tanpa seorang suami.
            “ Nak, apakah kamu tahu apa yang terjadi setelah hujan deras? “ Nanoku membuka mulutnya setelah begitu lama ia diam.
            Horushi menggeleng pelan menanggapi pertanyaan ibunya.
            “ Ibu selalu meyakinkan diri bahwa selalu ada pelangi indah sehabis hujan deras. Selalu ada kebahagian setelah kesedihan. Selalu ada sukacita setelah dukacita dan selalu ada tawa riang setelah air mata. “ tutur Nanoku sambil mengusap pelan sudut kelopak matanya. Ia juga mengelus rambut anaknya penuh kasih.
            “ Bagaimana ibu bisa seyakin itu? “ sahut Horushi seraya menatap penuh binar ke arah ibunya.
            “ Tuhan tidak akan membiarkan hambaNya terlalu lama dalam penderitaan. Tuhan pasti akan menolong hambaNya. Ibu percaya perang juga akan berhenti demikian juga hujan ini. Setelah hujan reda, sinar matahari akan membiaskan percikan air dan memunculkan pelangi indah. “
            Nanoku menyuruh anaknya mengalihkan pandanganya ke arah hujan sembari mengelap air mata yang tersisa di wajah anaknya. Di luar sana, hujan semakin berkurang intensitasnya, tidak sederas beberapa menit lalu.
            Hujan deras sudah tergantikan rintik – rintik gerimis kecil. Awan gelap tak lagi merajai langit. Seberkas cahaya terang mulaimenampakkan wujudnya. Lama kelamaan rintik – rintik gerimis itu berhenti dan bulatan berpijar sudah keluar dari persembunyiannya. Ia siap menyinari permukaan bumi yang telah lama diguyur hujan deras selama satu setengah jam.
            Dari ujung bulatan berpijar itu tercipta suatu lengkungan warna – warni yang jatuh ke permukaan tanah. Horushi sumringah ketika ia melihat warna – warni indah itu terbias di langit biru.
            “ Ma, aku melihatnya! Aku melihatnya!... Pelangi. “
            Nanoku tersenyum kecil melihat kepolosan anaknya dan ia pun juga melihatnya. Ia yakin bahwa apa yang dikatakan pada anaknya tentang pelangi bukanlah omong kosong belaka. Ia yakin kalau pelangi yang terbias di langit adalah penanda bahwa perang akan segera berakhir.
            “ Aku tak menyangka bahwa pelangi ciptaan Tuhan bisa seindah ini dan diantara warna di pelangi itu ada warna yang paling  kusukai yaitu biru. “ Horushi menunjuk salah satu warna yang berada di bawah warna hijau.
            “ Ibu juga suka warna biru, Horushi. Bagi ibu warna biru adalah lambang sebuah kedamaian. Warna biru menunjukkan bahwa selalu ada kedamaian setelah perang. “ Nanoku menghela nafas kecil seraya bangkit berdiri.
            “ Untuk itu kita tidak boleh menyerah kepada keadaan. Biarpun perang, kita tidak boleh membuang harapan kita dan pasti kedamaian akan terwujud. Sekarang ayo kita makan dulu, Horushi, para relawan sudah membuat masakan enak untuk kita. “ pungkas Nanoku sambil memberikan tangannya pada anaknya. Horushi menjemput tangan ibunya dan bersama – sama pergi ke dapur umum.
Selesai
           

Tuesday, 15 September 2015

Survival



Yuna masih bersembunyi di balik rerimbunan pohon bambu. Wajahnya kaku diselimuti ketakutan luar biasa. Mulutnya mengatup rapat, menyembunyikan suara tangis dalam hati. Terekam jelas dalam ingatannya bagaimana sang pembunuh bertopeng badut mendaratkan kapaknya ke arah dada Verna. Darah kental hangat memancar deras bagai air mancur ketika ujung kapak yang lancip itu menyobek jantung Verna.
Sebenarnya ia tak sendirian. Sebelumnya ia bersama dengan Irfan mencari jalan keluar dari hutan untuk meminta pertolongan kepada penduduk di daerah sekitar hutan. Ketika mereka sudah sampai di jalan setapak, mereka berdua memutuskan untuk berhenti sejenak.
“Yun, kita berhenti dulu di sini.“ ujar Irfan dengan nafas tersengal.
“Kenapa harus berhenti?! Pembunuh bertopeng itu masih mengejar kita dibelakang!“ balas Yuna sedikit tegang.
“Aku penasaran dengan orangyang berada di balik topeng itu. Aku memutuskan untuk menghadapinya.“ ungkap Irfan penuh kemantapan.
“Kamu jangan nekat Irfan! Dia membawa senjata dan kita...“ Yuna mengangkat bahunya ke atas sambil membuka tangannya yang kosong menandakan mereka tak punya senjata untuk melawan pembunuh bertopeng itu.
“Aku punya ide untuk mengungkap siapa orang di balik topeng itu dan kamu Yuna jaga diri kamu baik–baik ya... aku pergi.“  pungkas Irfan sambil menatap mata Yuna sarat dengan keyakinan di hati. Irfan membalikkan badannya dan berlalu dari hadapan Yuna.
            Irfan sudah menjauh dari hadapannya. Ia sendirian ditemani langit jingga yang mulai memudar menjadi hitam. Yuna ragu untuk meneruskan perjalanannya ke pemukiman penduduk. Ia berkompromi dengan pikirannya mencari hal yang bisa dilakukannya saat ini. Hingga 10 menit berlalu, ia tak kunjung mendapatkan ide brilian, yang ada ia malah bengong di samping rerimbunan pohon bambu.
            Tap tap tap
            Telinganya peka begitu mendengar langkah kaki hendak mendekati dirinya. Secepat kilat Yuna bersembunyi di balik rerimbunan pohon bambu. Suara langkah kaki semakin dekat menuju tempat dia bersembunyi.
            Tap tap tap
            Yuna mengintip dengan mata kirinya di balik rerimbunan, melihat pembunuh bertopeng itu sedang mengayunkan kapaknya, membelah tanaman – tanaman liar yang menghalangi jalannya sembari memalingkan kepalanya ke kiri dan ke kanan untuk mengamati sesuatu yang mencurigakan di sana. Bola mata Yuna masih fokus tertuju pada pembunuh itu, tak menduga pandangannya dan pembunuh bertopeng itu saling bertemu.
            “Gawat!“ gumam Yuna sambil mengembalikan posisi badannya.
            Sempat dilihatnya pembunuh itu sedang mendekat ke arahnya. Jantungnya memompa kencang darah yang mengalir ke seluruh tubuhnya. Yuna menangis tertahan membayangkan dirinya akan menyusul teman–temannya yang mati di tangan pembunuh bertopeng. Ia memutar ulang ingatannya bagaimana pembunuh bertopeng itu memecahkan batok kepala dan memburaikan usus Ariel secara keji dan brutal. Yuna tak sanggup menahan rasa mual melihat mayat temannya tewas secara mengerikan.
            Dalam kesenduan, Yuna tak mendengar suara langkah kaki pembunuh itu. Entah ke mana ia pergi, dirinya tak tahu. Yuna mengambil nafas pendek dan dihembuskannya cepat. Ia bersyukur bisa lolos dari cengkeraman maut sang pembunuh.
            Itu tak berlangsung lama. Secara mengejutkan beberapa batang bambu roboh. Ia kembali mendengar suara tebasan  kapak mengenai batang bambu. Untung saja, batang bambu yang besar itu tak mengenai kepalanya. Ia masih bisa mengelak dan mundur dari sana.
            “Menyerah saja Yuna, Irfan tak kembali. Ia sudah pergi menyelamatkan dirinya sendiri.“ ujar sang pembunuh bertopeng. Dipanggulnya kapak berukuran sedang di atas bahunya.
            “Kamu?! Jangan–jangan...“ Yuna tak melanjutkan perkataannya.
            “Ya.. aku Doni...“ sahut sang pembunuh sambil melepaskan topeng badut yang melekat di wajahnya.
            Bola mata membulat lebar, deru nafas tersendat dan tergegap. Yuna masih membeku di tempat ia duduk sembari menatap  penuh rasa tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
            “Kenapa Doni?! Kenapa kamu tega melakukan hal ini?!“ pekik Yuna sarat pertanyaan.
             Sekian lama Doni menyeringai ke arah Yuna, ia hanya tertawa sinis menanggapi pertanyaan Yuna.
            “Yuna Yuna. Kamu itu naif atau goblok sih?! Kamu gak sadar kalau selama ini Irfan menyukai Verna! Tapi kamu masih saja mengejar–ngejar Irfan yang sama sekali tidak mencintaimu. Kamu tahu aku selalu mencintaimu dan menunggu kamu berpaling dari Irfan, tapi kamu tak pernah memperdulikan perasaanku. Oh aku hampir lupa Ariel. Dia juga suka padamu lho. Aku pun tak menduga kalau perkemahan ini adalah ide bagus untuk menghabisi kalian semua! Hahaha! “ Doni tertawa terbahak–bahak melihat rencananya untuk membunuh teman–temannya terwujud. Yuna menangis tersedu–sedu dalam keputusasaan meratapi kemalangannya di hadapan Doni.
            “Ahk!“ Doni menjerit ketika sesuatu yang keras menghantam tengkuknya.
            Doni beserta kapaknya jatuh di hadapan Yuna. Irfan langsung menghajar Doni Doni tergeletak di tanah.
            “Irfaann! Akhirnya kau datang!“ Doni berteriak seolah menyambut kedatangan Irfan meskipun pukulan bertubi – tubi terus didaratkan oleh Irfan.
            Yuna menjauh dari tempat laga Irfan dan Doni. Ia mundur beberapa langkah dengan menggunakan kedua tangannya. Ia menyaksikan kedua laki – laki itu sedang adu jotos begitu sengit. Itu terlihat ada luka lebam dan memar menghiasi daerah mata dan pipi keduanya. Bibir Doni pecah – pecah terkena hantaman tangan bertubi – tubi dari Irfan.
            Doni melihat ada celah untuk melancarkan serangan balasan. Ketika nafas Irfan ngos-ngosan, dengan sengaja Doni membenturkan kepalanya sendiri ke kepala Irfan.
            Arrgghh!
            Tubuh Irfan terhempas ke belakang dan terjengkang. Ia mengaduh kesakitan, memegangi keningnya yang terasa nyeri.
            “ Mampus kau Irfan! “ Donni sudah menggenggam sebilah belati, ujung mata belati itu siap menembus perutnya.
            Bola mata Doni memutih. Suaranya serak tercekik seperti hewan hendak disembelih. Genangan darah segar meluber dari dalam mulutnya. Ia mengerang tak jelas, badannya kejang – kejang sesaat.
            Irfan keheranan melihat Doni. Secara mengejutkan, tubuh Doni ambruk di atas permukaan tanah. Setelah dilihat, ternyata sebuah kapak menancap di kepala Doni. Ia juga melihat Yuna menangis tersedu – sedu di belakang mayat Doni.
            “ Terimakasih Yuna. Kau telah menyelamatkan nyawaku. “ tutur Doni sambil mendekat dan merangkul tubuh Yuna. Bisa saja dia terbunuh kalau Yuna tak melakukan tindakan nekat seperti itu.
           
           

Wednesday, 9 September 2015

Natalia



Senyumanmu membuat kumabuk
Tawamu mencairkan hati ini
Bibir merahmu ingin sekali kukecup
Seakan kau sudah menjadi milikku
            Suara lembut yang kudengar pagi ini
            Serasa kuterpana dalam surga
            Kerlingan mata memanjakan pikiranku
            Seolah dunia hanya delusi semata
Namun kau masih bersama lelaki itu
Ah sialnya nasibku
Kutunggu dirimu hingga dia pergi
Dan biarkan aku merajai hatimu
Jadikan aku dan dirimu satu
Dalam lautan api cinta yang membara

Thursday, 3 September 2015

Pembalasan Indra



“ Akhirnya kita sampai di sini . “ ucap Revan singkat .
            Revan mengokohkan pijakan kakinya begitu juga dengan Chandra . Chandra melihatsekilas rumah bertingkat 2 yang temboknya dilapisi cat berwarna hijau muda sedikit pudar di bagian luar . Ia ingat saat sang penculik menelepondan meninta mereka untuk menemui dan membawa uang tebusan untuk membebaskan adik mereka , Findy .
            “ Apa kau siap kak ? “ tanya Chandra sambil melirik kakaknya .
            “ Kau meragukanku ? “ Revan berbalik menatap Chandra .
            “ Tidak . Aku hanya ingin memastikan kakak untuk tetap berhati – hati . Mungkin saja sang penculik sudah memasang berbagai jebakan di rumah ini . “ tandas Chandra sambil melangkah mendahului kakaknya .
            Revan menyusul adiknya yang sudah berjalan duluan . Bola mata mereka terus teliti mengamati apa yang mencurigakan di sekitar rumah ini . Kini , tangan Revan sudah memegang gagang pintu yang telah berdebu dan berkarat .
            Kriieeettt
            Pintu bergesekan dengan lantai menimbulkan suara deritan ngilu di telinga mereka dan Chandra sempat menutup kedua telinganya . Akan tetapi , Revan terperangah melihat isi dari rumah kosong bertingkat itu , itu mengingatkannya pada suatu kejadian pahit yang membekas di pikirannya . Bisa saja itu luka lama yang sudah ia kubur dalam – dalam dan tak ingin diungkit kembali .
            “ Hey , apa yang kau pikirkan ? Kenapa kau melamun di saat genting seperti ini ? “ Chandra menyentak kakaknya yang diam terpaku menatap ruangan kosong tak terawat itu .
            “ Tak bisakah kau sopan kepada kakakmu ?! “ Emosi Revan sedikit terpancing mendengar perkataan adiknya tersebut .
            Suara Chandra sontak membuyarkan lamunan masa – masa SMA yang sudah dilaluinya 3 tahun lalu . Cerita – cerita indah tak pernah terlupakan dan takkan terulang lagi kedua kalinya , yang pasti akan dikenangnya sampai tua nanti .
            “ Baiklah . Kau memeriksa lantai satu dan aku di lantai dua . “ Revan memberikan penjelasan tentang rute pencarian mereka di rumah ini dan keduanya tampak memiliki wilayahnya masing – masing .
            Tak didengarkan adiknya membantah apa yang diucapkan , ia menuruti sambil melangkah meninggalkan tempat kakaknya berdiri . Chandra memulai penyisiran di bagian dapur dan Revan menapakkan kakinya , menaiki puluhan anak tangga yang membawanya ke lantai dua .
            Sekarang Chandra sudah tiba di dapur . Pandangannya menyoroti ruang dapur dan menemukan sebuah kompor gas terongggok dua tungku bak besi tua tak layak pakai dan sudah saatnya masuk dapur peleburan .
            Krieettt
            Seketika perhatiannya beralih pada pintu salah satu kamar yang terbuka sendiri . Sedikit kaget , tapi ia masih bisa mengendalikan diri dan berpindah haluan menuju kamar tersebut .
            Derap kaki pelan – pelan menginjak lantai yang sudah diselimuti debu . Jejak – jejak sendal jepit tercetak jelas bersambung dari ruang dapur hingga di depan kamar . Awalnya , Chandra ragu untuk masuk ke dalam tapi ia tampak lebih menuruti instingnya dan perlahan menyingkap pintu itu .
            Dirinya tak menduga ternyata banyak sekali boneka – boneka teddy bear berwarna pink berserakan di lantai . Kondisi boneka tertutup debu dan koyak di bagian perut sehingga kapas dalam boneka terburai . Boneka itu tampak menyedihkan kondisi s’perti itu . Namun , ia melihat foto – foto bertebaran di atas ranjang usang dipenuhi sarang laba – laba . Chandra berjalan ke depan sambil berjinjit melangkahi boneka – boneka malang tersebut .
            Ia memunguti foto itu satu per satu dan diamatinya dengan seksama . Matanya terbeliak sambil menggeleng pelan menunjukkan rasa ketidakpercayaan atas apa yang dilihatnya . Di sana terpampang seorang perempuan dan laki – laki berfoto begitu dekat , ia menduga keduanya merupakan sepasang kekasih . Namun , pandangannya tak mau lepas pada salah satu foto yang memperlihatkan seorang perempuan tergantung dengan seutas tali tambang dengan wajah memutih bak kapas , mata melotot menahan rasa sakit yang mencengkeram lehernya .
            “ Aku harus menyelamatkan kakak . “ tandas Chandra dalam hati .
            Kreeekkk
            Belum sempat dirinya berbalik badan , terdengar suara seseorang telah mengunci pintu . Pintu benar – benar sudah terkunci . Ia terjebak . Chandra melesat menuju pintu , berulang kali ia mengetok – ketok dan coba menggedor – gedor berharap pintu tak terkunci . “ HEI BUKA PINTUNYA ! BUKA ! “ jeritnya dari dalam .
             Revan baru saja selesai memeriksa salah satu pintu dari dua pintu yang berada di lantai dua . Ia terkejut mendengar suara orang mengetok dan menggedor pintu di lantai bawah .
            “ HEI BUKAAA !!! “ kali ini Chandra memekik keras agar kakaknya yang berada di lantas atas mendengarkannya .
            Telinga bereaksi penuh mendengar jeritan dari lantai bawah . Revan mengenal sekali suar pekikan keras tersebut .
            “ Chandra ?!“
            Revan sudah memastikan bahwa itu betul – betul suara adiknya , Chandra . Revan mempercepat langkah kakinya menuruni tangga , tapi matanya beralih pada pintu kedua yang gagangnya bergerak sendiri .
            Kreekk kreeek nggiikkk
            “ Biarkan saja ia di sana . Dia akan baik - baik saja . “
            Suara itu berasal dari dalam pintu . Ketika pintu mulai tersingkap sedikit , Revan menghentikan langkahnya dan terus memperhatikan siapa gerangan orang yang akan keluar dari sana . Revan memutuskan untuk kembali dan orang tersebut sudah berada di depan pintu , berdiri memandanginya .
            “ Ka..ka..mu ... Indra ?! APA YANG KAMU LAKUKAN ?! “ Bibir Revan bergetar , tak mempercayai apa yang ia lihat di depannya
            “Oh Revan apa kabar ?! Lama kita tidak berjumpa . Aku hanya memastikan kalau ikatan tali pada adikmu takkan lepas lagi . Soalnya dia mau melarikan diri , tapi tenanglah aku sudah bisa menenangkannya . “ jelas Indra sambil tersenyum samar . Tangan kanannya memanggul stick baseball yang diletakkan di atas pundaknya .
            “ Kenapa ? kenapa kamu tega berbuat seperti ini ? Apa salah adikku padamu ?! “
            “ Ya kuakui adikmu memang tak punya salah apa – apa , tapi ... “
            Indra menggantung perkataannya seolah ingin membuat Revan penasaran .
            “ Kau sudah membunuh adikku . “ kata – kata itu lepas begitu saja dari mulutnya . Revan terpaku menatap heran Indra . Ia tak mengerti sama sekali dengan apa yang dikatakan oleh sahabat lamanya itu .
            “ Aku sama sekali tidak mengerti apa yang kaukatakan . Membunuh ? Aku tidak pernah membunuh adikmu ?! “ Revan tak mau kalah , ia tetap ngotot bahwa ia tak pernah melakukan apapun pada adiknya .
            “ DIAM SAJA KAU BAJINGAN ! Kau pikir aku tidak tidak tahu kalau kau dan adikku punya hubungan istimewa . Pasti kau heran kenapa aku bisa tahu sejauh ini kan ? Aku dan adikku begitu kompak . Dia selalu bercerita tentang kamu yang menjadi pacarnya sekaligus menjadi teman baikku . Tapi semuanya berubah saat aku ... “
            Revan tak membantah kalau dia dan Ririn , adik perempuannya Indra , pernah menjalin hubungan spesial . Ia sempat terperangah dengan penuturan Indra yang mengatakan bahwa Ririn selalu bercerita apapun tentang dirinya pada kakaknya .
            “ Menemukan adikku tewas gantung diri . Aku tak kuasa menahan kesedihan saat membaca surat terakhirnya . Di situ dia mengungkapkan bahwa kau berselingkuh dengan temannya sendiri padahal ia sudah terlalu menyayangimu dan parahnya lagi , ketika ia ingin meminta penjelasan darimu , kau malah menghindar darinya . Aku juga heran kenapa kau tiba – tiba menghindar dariku . Jadi ini alasannya . “ Sorot mata Indra kini jauh dari tajam . Ia makin menguatkan pegangannya pada stick tersebut . Mungkin ia tak sanggup lagi menahan pedihnya kehilangan adik yang begitu disayanginya .
            Revan membisu . Sorot matanya lemah , air mata sudah berkumpul di pelupuk matanya . Lagi – lagi , apa yang dikatakan Indra benar . Ia tak bisa mengelak dari kenyataan . Revan hanya bisa menunduk lesu , menyesali perbuatannya di masa lalu – menyiakan – nyiakan seseorang yang begitu menyayanginya .
            “ MATI LAH KAU ! “
            Sementara , Revan masih tenggelam dalam penyesalan , Indra sudah mengambil ancang – ancang , memegang kencang stick di atas kepalanya dan siap menghunjam kepala Revan .
            Revan segera tersadar begitu sesuatu akan menghantam kepalanya . Revan berhasil menangkisnya dengan kedua tangannya . Untung saja , dia sigap , jika tidak , bisa saja stick itu akan meretakkan tulang tengkoraknya .
            “ Kumohon Indra . Kita bisa membicarakan ini baik – baik . Secara kepala dingin . “ Sambil memegang stick , Revan mencoba membujuknya pelan – pelan agar dia menghentikan niatnya .
            “ Buat apa aku berkompromi dengan pembunuh seperti kau ?! Apakah dengan kau meminta maaf padaku bisa mengurangi kebencianku dan menghidupkan adikku ?! Kau harus membayar semua perbuatanmu , Revaaannn ! “ Indra menjerit , suara serak bercampur dengan air mata yang terus membasahi pipnya . Nuraninya telah dibutakan oleh dendam . Kembali Indra melakukan perlawanan dengan menggoyang – goyangkan ke kanan dan ke kiri , tapi Revan tak mau melepaskannya begitu saja .
            Buuukkk                                     
            Suara debukan kaki mengenai dada Revan . Tendangan telapak kaki itu begitu keras sampai membuat Revan jatuh tertunduk , punggungnya mengenai dinding . Revan terbatuk – batuk , ia merasakan sesak hebat di dadanya .
            “ Inilah saatnya ... “ Indra kembali meletakkan stick itu di atas kepalanya .
            Guubrraaaak !!!
            Di tengah kesesakannya , ia melirik ke lantai bahwa . Adiknya telah menobrak pintu dan berlari kencang ke arahnya . Cepat sekali ia tiba di sana . Tanpa banyak basa – basi , Chandra mendaratkan tinjunya ke arah wajah Indra . Indra mengerang kesakitan dan tanpa sadarinya , kunci yang berada di dalam kantong atas kemejanya terjatuh .
            “ Revan ambil kuncinya ! “ Chandra mengunci kedua pergelangan tangan  Indra dan mengambil stick baseball yang berada di dalam tangannya .
            Revan mencoba bangkit tapi ia masih memegangi dadanya yang sesak . Dengan sedikit tertatih , ia mengambil kunci berada tak juah dari pintu kedua .
            “ Lepaskan aku , bodoh ! “ Indra dalam keadaan terkunci , memberontak , berusaha  melepaskan kuncian Chandra pada kedua pergelangan tangannya . Tapi usaha tampak sia – sia , Chandra makin menguatkan kunciannya .
            Kini , tangannya sudah menggenggam kunci itu . Ia memasukkan ujung kunci ke dalam lubang secara hati – hati dan putarnya ke kanan – dan terbuka . Revan langsung menekan gagang pintu dan didorongnya sehingga pintu tersingkap lebar .
            Ia menemukan adiknya dalam keadaan tak sadarkan diri dengan keadaan kedua kaki dan tangan terikat serta mulut disumpal lakban . Matanya mengitari sekeliling ruangan mencari sesuatu yang bisa dipakai untuk memotong tali . Setelah lama mencari , akhirnya ia menemukan sebuah cutter tergeletak di atas sebuah lemari kecil . Revan langsung meraih cutter dan mengiris tali yang mengikat tubuh adiknya .
            Tali yang mengikatnya sudah terlepas , tapi Findy masih saja dalam keadaan tak sadarkan diri . Revan menepuk – nepuk lembut pipi kanan dan kiri adiknya berharap adiknya akan sadar .          
            Alis matanya berkedut , matanya mengerjap – kerjap . Rupanya , ia sudah bisa menggerakkan urat wajahnya . Melihat hal ini , Revan menghentikan usahanya .
            “ Kak Revan ! “ Findy kaget melihat kakaknya berada di hadapannya . Langsung saja , ia memeluk erat tubuh kakaknya .
            “ Kamu aman bersama kakak , Fin . Sekarang ayo kita keluar dari sini . “ Revan menggenggam tangan adiknya Agar ia tak lepas lagi .
            Indra melesatkan kepalan tangannya ke wajah Revan . Tak disangka , Chandra pingsan . Indra berhasl melumpuhkan Chandra .Revan tercampak begitu terkena pukulan Indra . Indra bersiap melakukan serangan kedua .
            “ Arrggh ! “
            “ Kak Indra aku mohon jangan sakiti kak Revan ! “ Findy bersimpuh di hadapan Indra berusaha menghadang pukulan yang akan dilancarkan oleh Indra .
            “ Kakak Revan sudah menebus kesalahannya selama ini . Kak Revan hampir dimasukkan ke rumah sakit jiwa karena setiap malam kakakku mengigau dalam mimpinya . Ia bilang dirinya selalu bertemu dengan Ririn dengan kondisi mengerikan . Kumohon maafkan kak Revan ! Kumohon ! “ Indra tak kuasa menahan lelehan air mata di sudut pelupuk matanya . Lamat – lamat , Indra menurunkan stick baseballnya dan melonggarkan genggamannya pada stick baseball . Melihat keteguhan hati Findy , mengingatkan dirinya pada sosok Ririn yang sudah lama meninggalkannya . Indra merasa kalau sosok Ririn berada dalam diri Findy – rendah hati dan penuh kelembutan , tergambar jelas sekali .
            “ Angkat tangan kalian ! “ sebuah suara tegas dan terkesan memerintah itu mengejutkan mereka . Sekolompok polisi mengacungkan pistol revolver ke arah mereka .  Mereka bertiga serempak mengangkat tangan begitu mendengar komando dari pihak kepolisian .
            “ Apakah anda saudara Indra ? “ tanya salah satu polisi yang berada di sampingnya .
            “ Betul pak . “ jawab Indra singkat .
            “ Kalau begitu ikut dengan kami . Anda ditahan dengan tuduhan penculikan . “ Sang polisi mengambil sebuah borgol dari kantong celananya . Dibukanya pengait borgol itu dan polisi meletakkan kedua tangan Indra dalam borgol itu .
            “ Sebelum aku pergi aku ingin menitipkan sesuatu padamu , Revan . Jaga adikmu baik – baik . “ tandas Indra sambil menunjukkan sesimpul senyum lirih di bibirnya .
            “ Selamat tinggal . “ Beberapa polisi membawa Indra menuju mobil tahanan sementara lainnya mengevakuasi mereka bertiga .

Selesai