Tuesday, 22 September 2015

Pelangi di Medan Perang



Hujan deras turun membasahi mayat – mayat tentara bergelimpangan di medan perang. Dada dan perut tertembus oleh peluru timah yang panas dan tajam membuat darah bercampur air hujan mengalir deras bagai mata air. Darah dan mayat mereka adalah bukti perang masih berkelanjutan di sana. Suara desing senapan jarak jauh menjadi nyanyian penuh  tragedi dan duka jikalau peluru – peluru itu sudah menembus tubuh  mereka.Para tentara tetap was – was dan terus menajamkan penglihatan mereka meskipun derasnya air hujan menghalangi mereka.
            Sementara itu di barak pengungsian, wajah para pengungsi diselimuti ketakutan, kegelisahan, dan air mata. Sudah lima hari mereka berada di sana. Kebutuhan sandang dan pangan mereka bergantung pada sumbangan para relawan dari berbagai negara. Bukan hanya terbatas dalam kebutuhan sandang dan pangan, mereka terbatas dalam kebutuhan air bersih. Perusahaan penyedia air lumpuh total dan tak bisa beroperasi selama perang masih berlanjut. Mereka harus berbagi air bersih dengan sesama pengungsi dalam memenuhi air minum dan MCK. 
            Awan gelap meneteskan ribuan liter air ke permukaan tanah juga membasahi bagian atas kain tenda. Di dalam tenda, puluhan pengungsi tidur berhimpitan dan berdesakan satu sama lain.Di atas tikar seluas 15 meter, mereka harus rela tidur diterpa deru nafas panas yang berhembus ke wajah mereka. Mereka berharap bisa kembali ke rumah mereka masing – masing tapi perang memupuskan harapan mereka.
            Di antara kerumunan pengungsi yang tidur, seorang anak kecil memakai kaus oblong melipat kedua tangannya di atas lutunya sambil menopangkan dagu di atas lipatan tangannya. Wajah penuh keseriusan mengamati tetesan – tetesan air menitik deras dari langit. Sepertinya ia sedang meresapi titik air yang menetes tanpa henti ke atas permukaan tanah.
            “ Horushi, kamu tidak tidur nak? “ tanya seorang wanita dari belakangnya.
            “ Tidak bu. Aku tidak ingin tidur. Di dalam sempit. “ jawab Horushi singkat tanpa menengok ke belakang.
            Nanoku menghampiri anaknya yang sedang duduk di depan pintu tenda. Nanoku mengambil tempat duduk di sebelah kanan anaknya.
            “ Apa yang kamu pikirkan Horushi? “
            Horushi diam sesaat. Ia sedang merangkai jawaban tepat untuk menjawab pertanyaan ibunya.
            “ Aku berpikir perang yang terjadi di negara ini sama seperti hujan yang turun siang ini, bu. Deras daan tiada habisnya. Aku melihat ketakutan, duka, dan kesedihan di wajah mereka, bu. Mereka kehilangan orang tua, sanak saudara, orang – orang yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan perang ini dan ayah... “ Horushi tidak mampu meneruskan kata – katanya. Tetes air mata sudah terlebih dahulu membasahi wajah polosnya. Yang diingatnya sebelum ia dan ibunya dievakuasi yaitu sebuah rudal mendarat tepat di atas rumah mereka dan ayahnya sedang berusaha mengeluarkan mereka.
            Ledakan besar menghempaskan tubuh mereka ketika rudal itu meluluhlantakan rumah mereka. Ketika Horushi bangkit berdiri, ia melihat kobaran api besar menghanguskan rumah yang menjadi tempat tinggal mereka selama 9 tahun dan menyadari rudal itu sudah menghantarkan ayahnya ke surga. Horushi histeris, meraung, memanggilnama ayahnya, berharap sang ayah bisa mendengar suaranya dan mendatangi dirinya, namun ia tak melihat ayahnya datang menyambut dirinya. Di depannya hanya tertinggal puing – puing rumah yang sudah menjadi arang.
            Horushi masih tenggelam dalam kesedihannya. Kejadian itu membekas dalam benaknya dan mungkin menimbulkan luka abadi yang tak tahu kapan akan sembuh. Horushi memutar ulang ingatannya saat ayahnya menemani dirinya bermain saat ibunya sedang sibuk di dapur serta ayahnya selalu membacakan dongeng menemani dirinya tidur pada malam hari.
            Nanoku terdiam. Ia bisa merasakan kesedihan yang mendalam karena anaknya sudah kehilangan sosok ayah yang dibanggakannya. Ia pun merasakan hal yang sama dengan anaknya. Nanoku kehilangan sosok suami yang sangat dicintainya dan kini ia harus merawat anaknya sendirian tanpa seorang suami.
            “ Nak, apakah kamu tahu apa yang terjadi setelah hujan deras? “ Nanoku membuka mulutnya setelah begitu lama ia diam.
            Horushi menggeleng pelan menanggapi pertanyaan ibunya.
            “ Ibu selalu meyakinkan diri bahwa selalu ada pelangi indah sehabis hujan deras. Selalu ada kebahagian setelah kesedihan. Selalu ada sukacita setelah dukacita dan selalu ada tawa riang setelah air mata. “ tutur Nanoku sambil mengusap pelan sudut kelopak matanya. Ia juga mengelus rambut anaknya penuh kasih.
            “ Bagaimana ibu bisa seyakin itu? “ sahut Horushi seraya menatap penuh binar ke arah ibunya.
            “ Tuhan tidak akan membiarkan hambaNya terlalu lama dalam penderitaan. Tuhan pasti akan menolong hambaNya. Ibu percaya perang juga akan berhenti demikian juga hujan ini. Setelah hujan reda, sinar matahari akan membiaskan percikan air dan memunculkan pelangi indah. “
            Nanoku menyuruh anaknya mengalihkan pandanganya ke arah hujan sembari mengelap air mata yang tersisa di wajah anaknya. Di luar sana, hujan semakin berkurang intensitasnya, tidak sederas beberapa menit lalu.
            Hujan deras sudah tergantikan rintik – rintik gerimis kecil. Awan gelap tak lagi merajai langit. Seberkas cahaya terang mulaimenampakkan wujudnya. Lama kelamaan rintik – rintik gerimis itu berhenti dan bulatan berpijar sudah keluar dari persembunyiannya. Ia siap menyinari permukaan bumi yang telah lama diguyur hujan deras selama satu setengah jam.
            Dari ujung bulatan berpijar itu tercipta suatu lengkungan warna – warni yang jatuh ke permukaan tanah. Horushi sumringah ketika ia melihat warna – warni indah itu terbias di langit biru.
            “ Ma, aku melihatnya! Aku melihatnya!... Pelangi. “
            Nanoku tersenyum kecil melihat kepolosan anaknya dan ia pun juga melihatnya. Ia yakin bahwa apa yang dikatakan pada anaknya tentang pelangi bukanlah omong kosong belaka. Ia yakin kalau pelangi yang terbias di langit adalah penanda bahwa perang akan segera berakhir.
            “ Aku tak menyangka bahwa pelangi ciptaan Tuhan bisa seindah ini dan diantara warna di pelangi itu ada warna yang paling  kusukai yaitu biru. “ Horushi menunjuk salah satu warna yang berada di bawah warna hijau.
            “ Ibu juga suka warna biru, Horushi. Bagi ibu warna biru adalah lambang sebuah kedamaian. Warna biru menunjukkan bahwa selalu ada kedamaian setelah perang. “ Nanoku menghela nafas kecil seraya bangkit berdiri.
            “ Untuk itu kita tidak boleh menyerah kepada keadaan. Biarpun perang, kita tidak boleh membuang harapan kita dan pasti kedamaian akan terwujud. Sekarang ayo kita makan dulu, Horushi, para relawan sudah membuat masakan enak untuk kita. “ pungkas Nanoku sambil memberikan tangannya pada anaknya. Horushi menjemput tangan ibunya dan bersama – sama pergi ke dapur umum.
Selesai
           

No comments:

Post a Comment