Hujan deras turun membasahi mayat – mayat tentara
bergelimpangan di medan perang. Dada dan perut tertembus oleh peluru timah yang
panas dan tajam membuat darah bercampur air hujan mengalir deras bagai mata
air. Darah dan mayat mereka adalah bukti perang masih berkelanjutan di sana.
Suara desing senapan jarak jauh menjadi nyanyian penuh tragedi dan duka jikalau peluru – peluru itu
sudah menembus tubuh mereka.Para tentara
tetap was – was dan terus menajamkan penglihatan mereka meskipun derasnya air
hujan menghalangi mereka.
Sementara itu di barak pengungsian,
wajah para pengungsi diselimuti ketakutan, kegelisahan, dan air mata. Sudah
lima hari mereka berada di sana. Kebutuhan sandang dan pangan mereka bergantung
pada sumbangan para relawan dari berbagai negara. Bukan hanya terbatas dalam
kebutuhan sandang dan pangan, mereka terbatas dalam kebutuhan air bersih. Perusahaan
penyedia air lumpuh total dan tak bisa beroperasi selama perang masih
berlanjut. Mereka harus berbagi air bersih dengan sesama pengungsi dalam memenuhi
air minum dan MCK.
Awan gelap meneteskan ribuan liter
air ke permukaan tanah juga membasahi bagian atas kain tenda. Di dalam tenda,
puluhan pengungsi tidur berhimpitan dan berdesakan satu sama lain.Di atas tikar
seluas 15 meter, mereka harus rela tidur diterpa deru nafas panas yang berhembus
ke wajah mereka. Mereka berharap bisa kembali ke rumah mereka masing – masing
tapi perang memupuskan harapan mereka.
Di antara kerumunan pengungsi yang
tidur, seorang anak kecil memakai kaus oblong melipat kedua tangannya di atas
lutunya sambil menopangkan dagu di atas lipatan tangannya. Wajah penuh
keseriusan mengamati tetesan – tetesan air menitik deras dari langit.
Sepertinya ia sedang meresapi titik air yang menetes tanpa henti ke atas
permukaan tanah.
“ Horushi, kamu tidak tidur nak? “
tanya seorang wanita dari belakangnya.
“ Tidak bu. Aku tidak ingin tidur.
Di dalam sempit. “ jawab Horushi singkat tanpa menengok ke belakang.
Nanoku menghampiri anaknya yang
sedang duduk di depan pintu tenda. Nanoku mengambil tempat duduk di sebelah
kanan anaknya.
“ Apa yang kamu pikirkan Horushi? “
Horushi diam sesaat. Ia sedang merangkai
jawaban tepat untuk menjawab pertanyaan ibunya.
“ Aku berpikir perang yang terjadi
di negara ini sama seperti hujan yang turun siang ini, bu. Deras daan tiada
habisnya. Aku melihat ketakutan, duka, dan kesedihan di wajah mereka, bu.
Mereka kehilangan orang tua, sanak saudara, orang – orang yang sama sekali
tidak ada hubungannya dengan perang ini dan ayah... “ Horushi tidak mampu
meneruskan kata – katanya. Tetes air mata sudah terlebih dahulu membasahi wajah
polosnya. Yang diingatnya sebelum ia dan ibunya dievakuasi yaitu sebuah rudal
mendarat tepat di atas rumah mereka dan ayahnya sedang berusaha mengeluarkan
mereka.
Ledakan besar menghempaskan tubuh
mereka ketika rudal itu meluluhlantakan rumah mereka. Ketika Horushi bangkit
berdiri, ia melihat kobaran api besar menghanguskan rumah yang menjadi tempat
tinggal mereka selama 9 tahun dan menyadari rudal itu sudah menghantarkan
ayahnya ke surga. Horushi histeris, meraung, memanggilnama ayahnya, berharap
sang ayah bisa mendengar suaranya dan mendatangi dirinya, namun ia tak melihat
ayahnya datang menyambut dirinya. Di depannya hanya tertinggal puing – puing
rumah yang sudah menjadi arang.
Horushi masih tenggelam dalam
kesedihannya. Kejadian itu membekas dalam benaknya dan mungkin menimbulkan luka
abadi yang tak tahu kapan akan sembuh. Horushi memutar ulang ingatannya saat
ayahnya menemani dirinya bermain saat ibunya sedang sibuk di dapur serta
ayahnya selalu membacakan dongeng menemani dirinya tidur pada malam hari.
Nanoku terdiam. Ia bisa merasakan
kesedihan yang mendalam karena anaknya sudah kehilangan sosok ayah yang
dibanggakannya. Ia pun merasakan hal yang sama dengan anaknya. Nanoku
kehilangan sosok suami yang sangat dicintainya dan kini ia harus merawat
anaknya sendirian tanpa seorang suami.
“ Nak, apakah kamu tahu apa yang
terjadi setelah hujan deras? “ Nanoku membuka mulutnya setelah begitu lama ia
diam.
Horushi menggeleng pelan menanggapi
pertanyaan ibunya.
“ Ibu selalu meyakinkan diri bahwa selalu ada pelangi indah sehabis hujan
deras. Selalu ada kebahagian setelah kesedihan. Selalu ada sukacita setelah
dukacita dan selalu ada tawa riang setelah air mata. “ tutur Nanoku sambil
mengusap pelan sudut kelopak matanya. Ia juga mengelus rambut anaknya penuh
kasih.
“ Bagaimana ibu bisa seyakin itu? “
sahut Horushi seraya menatap penuh binar ke arah ibunya.
“ Tuhan tidak akan membiarkan hambaNya
terlalu lama dalam penderitaan. Tuhan pasti akan menolong hambaNya. Ibu percaya
perang juga akan berhenti demikian juga hujan ini. Setelah hujan reda, sinar
matahari akan membiaskan percikan air dan memunculkan pelangi indah. “
Nanoku menyuruh anaknya mengalihkan
pandanganya ke arah hujan sembari mengelap air mata yang tersisa di wajah
anaknya. Di luar sana, hujan semakin berkurang intensitasnya, tidak sederas
beberapa menit lalu.
Hujan deras sudah tergantikan rintik
– rintik gerimis kecil. Awan gelap tak lagi merajai langit. Seberkas cahaya
terang mulaimenampakkan wujudnya. Lama kelamaan rintik – rintik gerimis itu
berhenti dan bulatan berpijar sudah keluar dari persembunyiannya. Ia siap
menyinari permukaan bumi yang telah lama diguyur hujan deras selama satu
setengah jam.
Dari ujung bulatan berpijar itu
tercipta suatu lengkungan warna – warni yang jatuh ke permukaan tanah. Horushi
sumringah ketika ia melihat warna – warni indah itu terbias di langit biru.
“ Ma, aku melihatnya! Aku
melihatnya!... Pelangi. “
Nanoku tersenyum kecil melihat
kepolosan anaknya dan ia pun juga melihatnya. Ia yakin bahwa apa yang dikatakan
pada anaknya tentang pelangi bukanlah omong kosong belaka. Ia yakin kalau
pelangi yang terbias di langit adalah penanda bahwa perang akan segera
berakhir.
“ Aku tak menyangka bahwa pelangi ciptaan
Tuhan bisa seindah ini dan diantara warna di pelangi itu ada warna yang
paling kusukai yaitu biru. “ Horushi
menunjuk salah satu warna yang berada di bawah warna hijau.
“ Ibu juga suka warna biru, Horushi.
Bagi ibu warna biru adalah lambang sebuah kedamaian. Warna biru menunjukkan
bahwa selalu ada kedamaian setelah perang. “ Nanoku menghela nafas kecil seraya
bangkit berdiri.
“ Untuk itu kita tidak boleh
menyerah kepada keadaan. Biarpun perang, kita tidak boleh membuang harapan kita
dan pasti kedamaian akan terwujud. Sekarang ayo kita makan dulu, Horushi, para
relawan sudah membuat masakan enak untuk kita. “ pungkas
Nanoku sambil memberikan tangannya pada anaknya. Horushi menjemput tangan
ibunya dan bersama – sama pergi ke dapur umum.
Selesai
No comments:
Post a Comment