Tuesday, 15 September 2015

Survival



Yuna masih bersembunyi di balik rerimbunan pohon bambu. Wajahnya kaku diselimuti ketakutan luar biasa. Mulutnya mengatup rapat, menyembunyikan suara tangis dalam hati. Terekam jelas dalam ingatannya bagaimana sang pembunuh bertopeng badut mendaratkan kapaknya ke arah dada Verna. Darah kental hangat memancar deras bagai air mancur ketika ujung kapak yang lancip itu menyobek jantung Verna.
Sebenarnya ia tak sendirian. Sebelumnya ia bersama dengan Irfan mencari jalan keluar dari hutan untuk meminta pertolongan kepada penduduk di daerah sekitar hutan. Ketika mereka sudah sampai di jalan setapak, mereka berdua memutuskan untuk berhenti sejenak.
“Yun, kita berhenti dulu di sini.“ ujar Irfan dengan nafas tersengal.
“Kenapa harus berhenti?! Pembunuh bertopeng itu masih mengejar kita dibelakang!“ balas Yuna sedikit tegang.
“Aku penasaran dengan orangyang berada di balik topeng itu. Aku memutuskan untuk menghadapinya.“ ungkap Irfan penuh kemantapan.
“Kamu jangan nekat Irfan! Dia membawa senjata dan kita...“ Yuna mengangkat bahunya ke atas sambil membuka tangannya yang kosong menandakan mereka tak punya senjata untuk melawan pembunuh bertopeng itu.
“Aku punya ide untuk mengungkap siapa orang di balik topeng itu dan kamu Yuna jaga diri kamu baik–baik ya... aku pergi.“  pungkas Irfan sambil menatap mata Yuna sarat dengan keyakinan di hati. Irfan membalikkan badannya dan berlalu dari hadapan Yuna.
            Irfan sudah menjauh dari hadapannya. Ia sendirian ditemani langit jingga yang mulai memudar menjadi hitam. Yuna ragu untuk meneruskan perjalanannya ke pemukiman penduduk. Ia berkompromi dengan pikirannya mencari hal yang bisa dilakukannya saat ini. Hingga 10 menit berlalu, ia tak kunjung mendapatkan ide brilian, yang ada ia malah bengong di samping rerimbunan pohon bambu.
            Tap tap tap
            Telinganya peka begitu mendengar langkah kaki hendak mendekati dirinya. Secepat kilat Yuna bersembunyi di balik rerimbunan pohon bambu. Suara langkah kaki semakin dekat menuju tempat dia bersembunyi.
            Tap tap tap
            Yuna mengintip dengan mata kirinya di balik rerimbunan, melihat pembunuh bertopeng itu sedang mengayunkan kapaknya, membelah tanaman – tanaman liar yang menghalangi jalannya sembari memalingkan kepalanya ke kiri dan ke kanan untuk mengamati sesuatu yang mencurigakan di sana. Bola mata Yuna masih fokus tertuju pada pembunuh itu, tak menduga pandangannya dan pembunuh bertopeng itu saling bertemu.
            “Gawat!“ gumam Yuna sambil mengembalikan posisi badannya.
            Sempat dilihatnya pembunuh itu sedang mendekat ke arahnya. Jantungnya memompa kencang darah yang mengalir ke seluruh tubuhnya. Yuna menangis tertahan membayangkan dirinya akan menyusul teman–temannya yang mati di tangan pembunuh bertopeng. Ia memutar ulang ingatannya bagaimana pembunuh bertopeng itu memecahkan batok kepala dan memburaikan usus Ariel secara keji dan brutal. Yuna tak sanggup menahan rasa mual melihat mayat temannya tewas secara mengerikan.
            Dalam kesenduan, Yuna tak mendengar suara langkah kaki pembunuh itu. Entah ke mana ia pergi, dirinya tak tahu. Yuna mengambil nafas pendek dan dihembuskannya cepat. Ia bersyukur bisa lolos dari cengkeraman maut sang pembunuh.
            Itu tak berlangsung lama. Secara mengejutkan beberapa batang bambu roboh. Ia kembali mendengar suara tebasan  kapak mengenai batang bambu. Untung saja, batang bambu yang besar itu tak mengenai kepalanya. Ia masih bisa mengelak dan mundur dari sana.
            “Menyerah saja Yuna, Irfan tak kembali. Ia sudah pergi menyelamatkan dirinya sendiri.“ ujar sang pembunuh bertopeng. Dipanggulnya kapak berukuran sedang di atas bahunya.
            “Kamu?! Jangan–jangan...“ Yuna tak melanjutkan perkataannya.
            “Ya.. aku Doni...“ sahut sang pembunuh sambil melepaskan topeng badut yang melekat di wajahnya.
            Bola mata membulat lebar, deru nafas tersendat dan tergegap. Yuna masih membeku di tempat ia duduk sembari menatap  penuh rasa tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
            “Kenapa Doni?! Kenapa kamu tega melakukan hal ini?!“ pekik Yuna sarat pertanyaan.
             Sekian lama Doni menyeringai ke arah Yuna, ia hanya tertawa sinis menanggapi pertanyaan Yuna.
            “Yuna Yuna. Kamu itu naif atau goblok sih?! Kamu gak sadar kalau selama ini Irfan menyukai Verna! Tapi kamu masih saja mengejar–ngejar Irfan yang sama sekali tidak mencintaimu. Kamu tahu aku selalu mencintaimu dan menunggu kamu berpaling dari Irfan, tapi kamu tak pernah memperdulikan perasaanku. Oh aku hampir lupa Ariel. Dia juga suka padamu lho. Aku pun tak menduga kalau perkemahan ini adalah ide bagus untuk menghabisi kalian semua! Hahaha! “ Doni tertawa terbahak–bahak melihat rencananya untuk membunuh teman–temannya terwujud. Yuna menangis tersedu–sedu dalam keputusasaan meratapi kemalangannya di hadapan Doni.
            “Ahk!“ Doni menjerit ketika sesuatu yang keras menghantam tengkuknya.
            Doni beserta kapaknya jatuh di hadapan Yuna. Irfan langsung menghajar Doni Doni tergeletak di tanah.
            “Irfaann! Akhirnya kau datang!“ Doni berteriak seolah menyambut kedatangan Irfan meskipun pukulan bertubi – tubi terus didaratkan oleh Irfan.
            Yuna menjauh dari tempat laga Irfan dan Doni. Ia mundur beberapa langkah dengan menggunakan kedua tangannya. Ia menyaksikan kedua laki – laki itu sedang adu jotos begitu sengit. Itu terlihat ada luka lebam dan memar menghiasi daerah mata dan pipi keduanya. Bibir Doni pecah – pecah terkena hantaman tangan bertubi – tubi dari Irfan.
            Doni melihat ada celah untuk melancarkan serangan balasan. Ketika nafas Irfan ngos-ngosan, dengan sengaja Doni membenturkan kepalanya sendiri ke kepala Irfan.
            Arrgghh!
            Tubuh Irfan terhempas ke belakang dan terjengkang. Ia mengaduh kesakitan, memegangi keningnya yang terasa nyeri.
            “ Mampus kau Irfan! “ Donni sudah menggenggam sebilah belati, ujung mata belati itu siap menembus perutnya.
            Bola mata Doni memutih. Suaranya serak tercekik seperti hewan hendak disembelih. Genangan darah segar meluber dari dalam mulutnya. Ia mengerang tak jelas, badannya kejang – kejang sesaat.
            Irfan keheranan melihat Doni. Secara mengejutkan, tubuh Doni ambruk di atas permukaan tanah. Setelah dilihat, ternyata sebuah kapak menancap di kepala Doni. Ia juga melihat Yuna menangis tersedu – sedu di belakang mayat Doni.
            “ Terimakasih Yuna. Kau telah menyelamatkan nyawaku. “ tutur Doni sambil mendekat dan merangkul tubuh Yuna. Bisa saja dia terbunuh kalau Yuna tak melakukan tindakan nekat seperti itu.
           
           

No comments:

Post a Comment