Yuna
masih bersembunyi di balik rerimbunan pohon bambu. Wajahnya kaku diselimuti
ketakutan luar biasa. Mulutnya mengatup rapat, menyembunyikan suara tangis
dalam hati. Terekam jelas dalam ingatannya bagaimana sang pembunuh bertopeng
badut mendaratkan kapaknya ke arah dada Verna. Darah kental hangat memancar
deras bagai air mancur ketika ujung kapak yang lancip itu menyobek jantung
Verna.
Sebenarnya
ia tak sendirian. Sebelumnya ia bersama dengan Irfan mencari jalan keluar dari
hutan untuk meminta pertolongan kepada penduduk di daerah sekitar hutan. Ketika
mereka sudah sampai di jalan setapak, mereka berdua memutuskan untuk berhenti
sejenak.
“Yun,
kita berhenti dulu di sini.“ ujar Irfan dengan nafas tersengal.
“Kenapa
harus berhenti?! Pembunuh bertopeng itu masih mengejar kita dibelakang!“ balas
Yuna sedikit tegang.
“Aku
penasaran dengan orangyang berada di balik topeng itu. Aku memutuskan untuk
menghadapinya.“ ungkap Irfan penuh kemantapan.
“Kamu
jangan nekat Irfan! Dia membawa senjata dan kita...“ Yuna mengangkat bahunya ke
atas sambil membuka tangannya yang kosong menandakan mereka tak punya senjata
untuk melawan pembunuh bertopeng itu.
“Aku
punya ide untuk mengungkap siapa orang di balik topeng itu dan kamu Yuna jaga
diri kamu baik–baik ya... aku pergi.“ pungkas
Irfan sambil menatap mata Yuna sarat dengan keyakinan di hati. Irfan
membalikkan badannya dan berlalu dari hadapan Yuna.
Irfan sudah menjauh dari hadapannya.
Ia sendirian ditemani langit jingga yang mulai memudar menjadi hitam. Yuna ragu
untuk meneruskan perjalanannya ke pemukiman penduduk. Ia berkompromi dengan
pikirannya mencari hal yang bisa dilakukannya saat ini. Hingga 10 menit
berlalu, ia tak kunjung mendapatkan ide brilian, yang ada ia malah bengong di
samping rerimbunan pohon bambu.
Tap
tap tap
Telinganya peka begitu mendengar
langkah kaki hendak mendekati dirinya. Secepat kilat Yuna bersembunyi di balik
rerimbunan pohon bambu. Suara langkah kaki semakin dekat menuju tempat dia
bersembunyi.
Tap
tap tap
Yuna mengintip dengan mata kirinya
di balik rerimbunan, melihat pembunuh bertopeng itu sedang mengayunkan
kapaknya, membelah tanaman – tanaman liar yang menghalangi jalannya sembari
memalingkan kepalanya ke kiri dan ke kanan untuk mengamati sesuatu yang
mencurigakan di sana. Bola mata Yuna masih fokus tertuju pada pembunuh itu, tak
menduga pandangannya dan pembunuh bertopeng itu saling bertemu.
“Gawat!“ gumam Yuna sambil mengembalikan
posisi badannya.
Sempat dilihatnya pembunuh itu
sedang mendekat ke arahnya. Jantungnya memompa kencang darah yang mengalir ke
seluruh tubuhnya. Yuna menangis tertahan membayangkan dirinya akan menyusul
teman–temannya yang mati di tangan pembunuh bertopeng. Ia memutar ulang
ingatannya bagaimana pembunuh bertopeng itu memecahkan batok kepala dan
memburaikan usus Ariel secara keji dan brutal. Yuna tak sanggup menahan rasa
mual melihat mayat temannya tewas secara mengerikan.
Dalam kesenduan, Yuna tak mendengar
suara langkah kaki pembunuh itu. Entah ke mana ia pergi, dirinya tak tahu. Yuna
mengambil nafas pendek dan dihembuskannya cepat. Ia bersyukur bisa lolos dari
cengkeraman maut sang pembunuh.
Itu tak berlangsung lama. Secara
mengejutkan beberapa batang bambu roboh. Ia kembali mendengar suara
tebasan kapak mengenai batang bambu.
Untung saja, batang bambu yang besar itu tak mengenai kepalanya. Ia masih bisa
mengelak dan mundur dari sana.
“Menyerah saja Yuna, Irfan tak
kembali. Ia sudah pergi menyelamatkan dirinya sendiri.“ ujar sang pembunuh bertopeng.
Dipanggulnya kapak berukuran sedang di atas bahunya.
“Kamu?! Jangan–jangan...“ Yuna tak
melanjutkan perkataannya.
“Ya.. aku Doni...“ sahut sang
pembunuh sambil melepaskan topeng badut yang melekat di wajahnya.
Bola mata membulat lebar, deru nafas
tersendat dan tergegap. Yuna masih membeku di tempat ia duduk sembari
menatap penuh rasa tak percaya dengan
apa yang dilihatnya.
“Kenapa Doni?! Kenapa kamu tega
melakukan hal ini?!“ pekik Yuna sarat pertanyaan.
Sekian lama Doni menyeringai ke arah Yuna, ia
hanya tertawa sinis menanggapi pertanyaan Yuna.
“Yuna Yuna. Kamu itu naif atau
goblok sih?! Kamu gak sadar kalau selama ini Irfan menyukai Verna! Tapi kamu
masih saja mengejar–ngejar Irfan yang sama sekali tidak mencintaimu. Kamu tahu
aku selalu mencintaimu dan menunggu kamu berpaling dari Irfan, tapi kamu tak
pernah memperdulikan perasaanku. Oh aku hampir lupa Ariel. Dia juga suka padamu
lho. Aku pun tak menduga kalau perkemahan ini adalah ide bagus untuk menghabisi
kalian semua! Hahaha! “ Doni tertawa terbahak–bahak melihat rencananya untuk
membunuh teman–temannya terwujud. Yuna menangis tersedu–sedu dalam keputusasaan
meratapi kemalangannya di hadapan Doni.
“Ahk!“ Doni menjerit ketika sesuatu
yang keras menghantam tengkuknya.
Doni beserta kapaknya jatuh di
hadapan Yuna. Irfan langsung menghajar Doni Doni tergeletak di tanah.
“Irfaann! Akhirnya kau datang!“ Doni
berteriak seolah menyambut kedatangan Irfan meskipun pukulan bertubi – tubi
terus didaratkan oleh Irfan.
Yuna menjauh dari tempat laga Irfan
dan Doni. Ia mundur beberapa langkah dengan menggunakan kedua tangannya. Ia
menyaksikan kedua laki – laki itu sedang adu jotos begitu sengit. Itu terlihat
ada luka lebam dan memar menghiasi daerah mata dan pipi keduanya. Bibir Doni
pecah – pecah terkena hantaman tangan bertubi – tubi dari Irfan.
Doni melihat ada celah untuk melancarkan
serangan balasan. Ketika nafas Irfan ngos-ngosan, dengan sengaja Doni
membenturkan kepalanya sendiri ke kepala Irfan.
Arrgghh!
Tubuh
Irfan terhempas ke belakang dan terjengkang. Ia mengaduh kesakitan, memegangi
keningnya yang terasa nyeri.
“ Mampus kau Irfan! “ Donni sudah
menggenggam sebilah belati, ujung mata belati itu siap menembus perutnya.
Bola mata Doni memutih. Suaranya
serak tercekik seperti hewan hendak disembelih. Genangan
darah segar meluber dari dalam mulutnya. Ia mengerang tak jelas, badannya
kejang – kejang sesaat.
Irfan keheranan melihat Doni. Secara
mengejutkan, tubuh Doni ambruk di atas permukaan tanah. Setelah dilihat,
ternyata sebuah kapak menancap di kepala Doni. Ia juga melihat Yuna menangis
tersedu – sedu di belakang mayat Doni.
“ Terimakasih Yuna. Kau telah
menyelamatkan nyawaku. “ tutur Doni sambil mendekat dan merangkul tubuh Yuna.
Bisa saja dia terbunuh kalau Yuna tak melakukan tindakan nekat seperti itu.
No comments:
Post a Comment