Mobil pick up
sudah tiba di rumahnya. Aldian menapakkan kakinya tepat di depan halaman rumahnya,
melangkah menuju gerbang. Tepat di depan gerbang, ia menggoyangkan lonceng
kecil yang tergantung di pagarnya.
Teng
teng teng
Suara dentingan lonceng itu bergema sampai ke dalam
rumah. Seorang wanita terlihat membuka pintu begitu mendengar suara lonceng. Ia
mengenakan kaos oblong merah bercelana pendek dengan rambut lurus tanpa diikat,
dibiarkan saja tertiup angin.
Ia memandang Aldian lekat-lekat, dari ujung kaki
sampai ujung rambutnya. Seragam putihnya sudah kotor tertutupi tanah. Bibirnya
pecah. Wajahnya dihiasi oleh lebam dan memar di sekitar kelopak mata dan pipi.
Wanita itu hanya berdecak pelan sambil menggelengkan
kepala melihat kondisi anak itu.
“Terima kasih bibi Fanny.“ ujar Aldian sambil
melewati bibinya.
Aldian melepaskan pakaiannya satu per satu, mulai
dari seragam sampai celana panjangnya. Ia meringis merasakan pedihnya luka yang
berada di bibirnya juga nyeri hampir di sekujur tubuh . Aldian memilitkan handuk
hijau itu di pinggang, bersiap menuju kamar mandi.
Satu malam berlalu. Aldian sudah bersiap-siap.
Setelah memakai seragam, ia bergerak menuju dapur. Sesampainya di sana, ia
menjumpai bibinya tengah menggoreng telor dadar. Aldian menyadari bahwa
sarapannya belum siap, hanya bisa duduk menunggu makanan siap disajikan.
Bibi Fanny sudah selesai menggoreng telor dadar. Ia
meletakkan telor dadar di atas piring kaca tepat di hadapan Aldian. Ia
mengambil telor dadar itu dengan sendok, diletakkan di atas nasinya.
Suasana sarapan di dapur begitu sunyi. Tak ada yang
memulai percakapan di antara mereka berdua, baik dari Aldian maupun bibinya.
Usai memasak telur dadar, bibi Fanny beranjak dari dapur menuju ruang tamu
untuk menyalakan TV—meninggalkan Aldian sendirian.
Kelihatannya, bibi Fanny tak menyukai keberadaannya
di rumah itu. Jika saja paman Mindo tidak bekerja di luar kota, mungkin saja ia
tidak melewatkan momen sarapan pagi dengan keadaan seperti ini. Selesai
menikmati sarapannya, Aldian langsung memanggul ransel di punggungnya sambil
berpamitan. Ketika ia berpamitan, bibi Fanny tak memperdulikan apakah Aldian
mau pergi—pandangan matanya masih melekat di layar kaca.
Suara deruman mobil mendekati sekolah. Seorang laki-laki
turun dengan memegang beberapa buku di tangan kanan , melirik ke arah arlojinya—jam
07.00. Untung ia bisa cepat 15 menit, jadi ia tak terlambat. Aldian berjalan
sambil menundukan kepala, tak ingin luka memar di wajahnya dilihat
teman-temannya.
“Hey Aldian!“
Aldian menghentikan langkahnya sejenak untuk
mengetahui suara yang memanggil namanya.
“Aldian!“
Aldian mulai mengenali suara yang memanggilnya—itu
suara Icha. Merasa kurang yakin dengan apa yang didengarnya, Aldian menoleh
sedikit ke belekang.
“Aldian? Lho, kenapa wajah kamu?“ Icha sedikit
tersentak melihat lebam dan memar menghiasi daerah kelopak mata dan pipinya .
“Tidak apa-apa, Icha. Aku hanya mengalami sedikit
kecelakaan.“ ujar Aldian sambil menepis pelan tangan Icha yang hendak menyentuh
wajahnya.
“Kamu yakin?“ Icha menatap penuh tanda tanya ke arah
mata Aldian.
Aldian menangguk pelan menjawab pertanyaan Icha.
Teeettt
“ Bel sudah berbunyi, aku harus masuk. Icha kamu
harus cepat-cepat pergi dari sini. Jangan sampai telat.“ Aldian berpaling dari
Icha buru – buru, sementara Icha masih berdiri di sana melihat kelakuan aneh
Aldian hari ini.
Bel istirahat kedua berdering keras. Ratusan siswa
berhamburan menuju kantin, tak terkecuali Aldian. Dengan wajah murung, ia menyeret
kakinya menuju kantin yang berada tak jauh dari ruang kelasnya, hanya berjarak
sekitar 15 meter. Tiba di kantin, Aldian melihat Icha sedang makan bersama
dengan dua orang temannya.
“Cie cie Icha, tuh si Aldian sudah datang jumpain
lo.“ Ovy menggoda Icha dengan menyenggolkan sikutnya ke badan Icha.
“Apaan sih sih Ovy? Bikin malu gua aja lo.“ pipi
Icha bersemu mendengar candaan dari Ovy.
“Iya nih si Icha, bukannya nyuruh Aldian duduk. Sudah
capek si Aldian berdiri tuh.“ timpal Dian di sampingnya.
Mengetahui Icha berada di kantin, semula niat Aldian
ingin membeli makanan untuk mengisi perut, diurungkannya. Icha dan teman-temannya
kebingungan dengan sikap Aldian yang menarik diri—hanya bisa termangu. Icha
langsung melangkahi bangku panjang tempat mereka bertiga duduk untuk mengejar
Aldian.
“Tunggu Aldian!“ seru Icha menahan langkah Aldian
agar tak jauh.
Langkah Aldian tinggal sedikit lagi memasuki ruang
kelas. Melihat Icha sudah tiba di belakangnya, ia terpaksa berhenti.
“Aldian, ada apa sih sama kamu?“ Icha berusaha
melihat ke dalam mata Aldian yang menghindari tatapannya.
“Tidak apa-apa Icha. Aku hanya butuh waktu untuk
menenangkan diri saja.“ balas Aldian sambil mengembalikan pandangannya ke kiri.
“Tapi, kenapa kamu menghindari aku? Apa kau tak
menganggapku teman?“
“Kita tetap teman. Aku cuma butuh waktu untuk menenangkan
diri. Percayalah.“ tegas Aldian meyakinkan Icha akan tindakannya. Dalam hati
Aldian, kata “teman” merupakan kata yang menyakitkan untuknya . Aldian
menginginkan Icha lebih sekedar dari teman.
Hari rabu di SMA Negeri 1 begitu suntuk dan membuat
sakit kepala. Itulah yang dirasakan oleh para siswa-siswi di sana. Berpulang
dengan wajah penuh kebosanan, ratusan siswa berserak sana-sini meninggalkan
pekarangan sekolah. Seperti biasanya, Aldian berjalan sendiri, namun di
depannya, dirinya dihadang oleh sekelompok laki-laki.
“Heh alien! Ngapain lo dekatin si Icha? Loe gak ingat
apa yang gue bilang kemarin?!“ Mereka bertiga berjalan mengelilingi Aldian. Fidel
berdiri di hadapan Aldian.
“Aku gak akan dekat-dekat lagi sama Icha. Aku hanya
memastikan Icha akan menjauh dariku.“
“Benarkah? Aku senang kau berbuat seperti itu. Tapi,
jika kau coba bermain-main dengan kami, kami gak akan segan melukaimu.“
telunjuk Fidel mengacung ke arah wajah Aldian yang tertunduk lesu.
“Ayo coy kita pergi.“ Fidel menempeleng dahi Aldian
dengan telunjuknya lalu mengajak teman-temannya pergi. Dari kejauhan, Aldian
memandang nanar ketiga teman-temannya. Mereka tak pernah berhenti merendahkan
dirinya.
Sore ini, menjelang pukul setengah tujuh, Anji baru
saja usai bermain bola di lapangan menuju
rumahnya di perumnas Air Lihas. Ia mengendarai Satria FU kepunyaannya. Sambil terus
fokus pada sepeda motornya, Anji melihat jalan di sebelah kiri dan kanan
ditumbuhi rumput ilalang dan putri malu. Di sepanjang jalan, tertancap beberapa
lampu jalan yang tidak terurus, hanya dijadikan pajangan saja.
Matanya menangkap sesuatu tergeletak di atas tanah.
Anji menyipitkan matanya untuk melihat apa yang berada di sana. Ia menggas
sepeda motornya pelan-pelan, mengamati benda apa itu. Ia sudah tiba di sana, mendapati seseorang pingsan di sana.
Anji mematikan mesin sepeda motor, mendekat ke
arahnya. Sebelum Anji membalikkan wajahnya, tak ada kecurigaan terlintas di
benak Anji tapi semuanya terjadi begitu cepat ketika ia membalikkan badannya.
TAP!
Sebilah golok menancap ke pelipisnya. Darah
kental bercucuran deras membasahi
wajahnya. Anji menggelepar hebat berusaha melepaskan golok yang bersarang di
kepala. Ternyata semua sia-sia. Darah sudah terlanjur mengalir deras dan golok
itu sudah mencabut nyawa Anji dari tubuhnya.
“Rasain!“ sumpah serapah terlontar begitu kejam dari
mulutnya. Ia melepaskan golok yang menancap dan berlalu begitu saja
meninggalkan mayat Anji.

No comments:
Post a Comment