Sunday, 4 October 2015

Love in Dead - Chapter 2



Mobil pick up sudah tiba di rumahnya. Aldian menapakkan kakinya tepat di depan halaman rumahnya, melangkah menuju gerbang. Tepat di depan gerbang, ia menggoyangkan lonceng kecil yang tergantung di pagarnya.
            Teng teng teng
Suara dentingan lonceng itu bergema sampai ke dalam rumah. Seorang wanita terlihat membuka pintu begitu mendengar suara lonceng. Ia mengenakan kaos oblong merah bercelana pendek dengan rambut lurus tanpa diikat, dibiarkan saja tertiup angin.
Ia memandang Aldian lekat-lekat, dari ujung kaki sampai ujung rambutnya. Seragam putihnya sudah kotor tertutupi tanah. Bibirnya pecah. Wajahnya dihiasi oleh lebam dan memar di sekitar kelopak mata dan pipi.
Wanita itu hanya berdecak pelan sambil menggelengkan kepala melihat kondisi anak itu.
“Terima kasih bibi Fanny.“ ujar Aldian sambil melewati bibinya.
Aldian melepaskan pakaiannya satu per satu, mulai dari seragam sampai celana panjangnya. Ia meringis merasakan pedihnya luka yang berada di bibirnya juga nyeri hampir di sekujur tubuh . Aldian memilitkan handuk hijau itu di pinggang, bersiap menuju kamar mandi.
Satu malam berlalu. Aldian sudah bersiap-siap. Setelah memakai seragam, ia bergerak menuju dapur. Sesampainya di sana, ia menjumpai bibinya tengah menggoreng telor dadar. Aldian menyadari bahwa sarapannya belum siap, hanya bisa duduk menunggu makanan siap disajikan.
Bibi Fanny sudah selesai menggoreng telor dadar. Ia meletakkan telor dadar di atas piring kaca tepat di hadapan Aldian. Ia mengambil telor dadar itu dengan sendok, diletakkan di atas nasinya.
Suasana sarapan di dapur begitu sunyi. Tak ada yang memulai percakapan di antara mereka berdua, baik dari Aldian maupun bibinya. Usai memasak telur dadar, bibi Fanny beranjak dari dapur menuju ruang tamu untuk menyalakan TV—meninggalkan Aldian sendirian.
Kelihatannya, bibi Fanny tak menyukai keberadaannya di rumah itu. Jika saja paman Mindo tidak bekerja di luar kota, mungkin saja ia tidak melewatkan momen sarapan pagi dengan keadaan seperti ini. Selesai menikmati sarapannya, Aldian langsung memanggul ransel di punggungnya sambil berpamitan. Ketika ia berpamitan, bibi Fanny tak memperdulikan apakah Aldian mau pergi—pandangan matanya masih melekat di layar kaca.
Suara deruman mobil mendekati sekolah. Seorang laki-laki turun dengan memegang beberapa buku di tangan kanan , melirik ke arah arlojinya—jam 07.00. Untung ia bisa cepat 15 menit, jadi ia tak terlambat. Aldian berjalan sambil menundukan kepala, tak ingin luka memar di wajahnya dilihat teman-temannya.
“Hey Aldian!“
Aldian menghentikan langkahnya sejenak untuk mengetahui suara yang memanggil namanya.
“Aldian!“
Aldian mulai mengenali suara yang memanggilnya—itu suara Icha. Merasa kurang yakin dengan apa yang didengarnya, Aldian menoleh sedikit ke belekang.
“Aldian? Lho, kenapa wajah kamu?“ Icha sedikit tersentak melihat lebam dan memar menghiasi daerah kelopak mata dan pipinya .
“Tidak apa-apa, Icha. Aku hanya mengalami sedikit kecelakaan.“ ujar Aldian sambil menepis pelan tangan Icha yang hendak menyentuh wajahnya.
“Kamu yakin?“ Icha menatap penuh tanda tanya ke arah mata Aldian.
Aldian menangguk pelan menjawab pertanyaan Icha.
Teeettt
“ Bel sudah berbunyi, aku harus masuk. Icha kamu harus cepat-cepat pergi dari sini. Jangan sampai telat.“ Aldian berpaling dari Icha buru – buru, sementara Icha masih berdiri di sana melihat kelakuan aneh Aldian hari ini.
Bel istirahat kedua berdering keras. Ratusan siswa berhamburan menuju kantin, tak terkecuali Aldian. Dengan wajah murung, ia menyeret kakinya menuju kantin yang berada tak jauh dari ruang kelasnya, hanya berjarak sekitar 15 meter. Tiba di kantin, Aldian melihat Icha sedang makan bersama dengan dua orang temannya.
“Cie cie Icha, tuh si Aldian sudah datang jumpain lo.“ Ovy menggoda Icha dengan menyenggolkan sikutnya ke badan Icha.
“Apaan sih sih Ovy? Bikin malu gua aja lo.“ pipi Icha bersemu mendengar candaan dari Ovy.
“Iya nih si Icha, bukannya nyuruh Aldian duduk. Sudah capek si Aldian berdiri tuh.“ timpal Dian di sampingnya.
Mengetahui Icha berada di kantin, semula niat Aldian ingin membeli makanan untuk mengisi perut, diurungkannya. Icha dan teman-temannya kebingungan dengan sikap Aldian yang menarik diri—hanya bisa termangu. Icha langsung melangkahi bangku panjang tempat mereka bertiga duduk untuk mengejar Aldian.
“Tunggu Aldian!“ seru Icha menahan langkah Aldian agar tak jauh.
Langkah Aldian tinggal sedikit lagi memasuki ruang kelas. Melihat Icha sudah tiba di belakangnya, ia terpaksa berhenti.
“Aldian, ada apa sih sama kamu?“ Icha berusaha melihat ke dalam mata Aldian yang menghindari tatapannya.
“Tidak apa-apa Icha. Aku hanya butuh waktu untuk menenangkan diri saja.“ balas Aldian sambil mengembalikan pandangannya ke kiri.
“Tapi, kenapa kamu menghindari aku? Apa kau tak menganggapku teman?“
“Kita tetap teman. Aku cuma butuh waktu untuk menenangkan diri. Percayalah.“ tegas Aldian meyakinkan Icha akan tindakannya. Dalam hati Aldian, kata “teman” merupakan kata yang menyakitkan untuknya . Aldian menginginkan Icha lebih sekedar dari teman.
Hari rabu di SMA Negeri 1 begitu suntuk dan membuat sakit kepala. Itulah yang dirasakan oleh para siswa-siswi di sana. Berpulang dengan wajah penuh kebosanan, ratusan siswa berserak sana-sini meninggalkan pekarangan sekolah. Seperti biasanya, Aldian berjalan sendiri, namun di depannya, dirinya dihadang oleh sekelompok laki-laki.
“Heh alien! Ngapain lo dekatin si Icha? Loe gak ingat apa yang gue bilang kemarin?!“ Mereka bertiga berjalan mengelilingi Aldian. Fidel berdiri di hadapan Aldian.
“Aku gak akan dekat-dekat lagi sama Icha. Aku hanya memastikan Icha akan menjauh dariku.“
“Benarkah? Aku senang kau berbuat seperti itu. Tapi, jika kau coba bermain-main dengan kami, kami gak akan segan melukaimu.“ telunjuk Fidel mengacung ke arah wajah Aldian yang tertunduk lesu.
“Ayo coy kita pergi.“ Fidel menempeleng dahi Aldian dengan telunjuknya lalu mengajak teman-temannya pergi. Dari kejauhan, Aldian memandang nanar ketiga teman-temannya. Mereka tak pernah berhenti merendahkan dirinya.
Sore ini, menjelang pukul setengah tujuh, Anji baru saja usai bermain bola di  lapangan menuju rumahnya di perumnas Air Lihas. Ia mengendarai Satria FU kepunyaannya. Sambil terus fokus pada sepeda motornya, Anji melihat jalan di sebelah kiri dan kanan ditumbuhi rumput ilalang dan putri malu. Di sepanjang jalan, tertancap beberapa lampu jalan yang tidak terurus, hanya dijadikan pajangan saja.
Matanya menangkap sesuatu tergeletak di atas tanah. Anji menyipitkan matanya untuk melihat apa yang berada di sana. Ia menggas sepeda motornya pelan-pelan, mengamati benda apa itu. Ia sudah tiba di sana, mendapati  seseorang pingsan di sana.
Anji mematikan mesin sepeda motor, mendekat ke arahnya. Sebelum Anji membalikkan wajahnya, tak ada kecurigaan terlintas di benak Anji tapi semuanya terjadi begitu cepat ketika ia membalikkan badannya.
TAP!
Sebilah golok menancap ke pelipisnya. Darah kental  bercucuran deras membasahi wajahnya. Anji menggelepar hebat berusaha melepaskan golok yang bersarang di kepala. Ternyata semua sia-sia. Darah sudah terlanjur mengalir deras dan golok itu sudah mencabut nyawa Anji dari tubuhnya.
“Rasain!“ sumpah serapah terlontar begitu kejam dari mulutnya. Ia melepaskan golok yang menancap dan berlalu begitu saja meninggalkan mayat Anji.

No comments:

Post a Comment