Sunday, 29 November 2015

Sebuah Pembukaan



Seorang anak manusia terlahir
Hidup dalam dunia kejam
Arungi arus hidup tak kenal lelah
Hanyutkan insan manusia terbuai

Kupilih pena hitam di tanganku
Agar kutulis kisah cintaku
Rasa bahagia bergejolak kesedihan
Mengecap manis pahitnya perjalanan asmara

Ku baru saja berjalan
Pijakanku goyah tak menapaki tanah
Kubisa saja jatuh tanpa iringanmu
Jadilah penuntunku melangkah di sampingku

Cinta yang kautitipkan
Akan kusimpan walau kaucampakkan
Biar kutanam hingga menuai
Buah kehidupan senyuman bahagia

Sang Dewi Senja Berteman Malam



Senja kau datang lagi
Temuiku bersama temanmu
Sang dewi di sampingku
Dia berbisik rasa kesunyian

Apakah cinta sejati yang didengungkan
Bisa bertahan tanpa goyah
Tertanam erat di relung hati
Tanpa luka tanpa bekas

Sudah setengah jalan kaumelangkah
Apakah kau mundur tanpa berusaha
Apakah tangismu telah terhapus awan gelap
Apakah kehadiranku membuatmu luluh

Biarlah aku datang bersamanya
Menggenggam asa menjemput duka
Kuharap senja beralih malam
Hantarkan lelap mimpi mungilmu

Saturday, 28 November 2015

Tumbal Arwah Jelangkung - Tiga



Suasana pagi begitu tenang di apatemen mewah bertingkat 12. Apartemen itu dilengkapi dengan tempat parkir dan taman bermain sederhana. Di sana juga terdapat berbagai permainan anak-anak seperti ayunan, perosotan, dan permainan outbond. Di dalam apartemen,terdapat bagian basement, tempat para penghuni bisa memakirkan sepeda motor mereka atau mobil-mobil mereka di sana. Di samping itu juga, terdapat lift dan tangga yang bisa digunakan untuk naik ke lantai apartement ke tingkat lebih tinggi.
            Di sebuah ruangan cukup besar, terdapat sepasang insan manusia bercengkrama di atas meja makan. Terlihat serius tapi santai membicarakan hal yang cukup pelik. Sofia Ivana, seorang wanita karier berusia 40 tahun bekerja sebagai seorang sekretaris di sebuah perusahaan swasta asing terkenal di Riau. Berpenampilan menarik dan wajah masih muda walaupun segaris keriput terpahat di keningnya, tak membuat kecantikan di wajah nya memudar. Justru membuatnya semakin cantik dan anggun.
            Di samping Sofia, seorang lelaki tampan bersahaja dan berwibawa sedang mengunyah sarapan paginya. Namanya Hendra Rotua. Lelaki berusia 43 tahun. Sama seperti istrinya , dia juga bekerja di sebuah perusahaan swasta di Riau sebagai manager. Awalnya, dirinya bekerja sebagai karyawan biasa. Namun, karena kecerdasannya dalam memberikan ide-ide brilian dalam memajukan perusahaan, sang presiden perusahaan menaikkan jabatannya sebagai manager. Lagipula, ada hal yang membuat sang presiden menaikkan jabatannya sebagai manager yaitu kejujuran dan kerja kerasnya. Tak pernah keluhan terucap dari mulutnya. Itu  menunjukkan bahwa dirinya sangat loyal dengan pekerjaannya.
            Tapi sepertinya, Mereka tidak sedang membicarakan masalah bisnis. Wajah Sofia terlihat cemas.
            “Ma, ada apa sih? Akhir-akhir ini, mama kok terlihat cemas sekali? Apakah ada sesuatu yang sedang mama  pikirkan?“ usut ayah.
            “Iya, pak. Aku mengkhawatirkan keadaan anak kita, terutama Prakoso. Semalam ibu bermimpi pak, aku melihat Prakoso ditabrak oleh truk besar. Anehnya lagi, Prakoso diikuti sesosok makhluk berambut panjang. Ibu takut sekali anak kita kenapa-napa...“
            Memang, sudah tiga tahun mereka meninggalkan anak mereka dan mempercayakan seorang pembantu untuk menjaga mereka. Saat itu, Prakoso masih berumur 14 tahun. Ia duduk di kelas VIII SMP dan adiknya, Melly berumur 12 tahun. Dia duduk di kelas 6 SD. Meskipun mereka jauh dari orang tua, tapi ayah dan ibu mereka setiap dua bulan sekali, sekadar menanyakan kabar dan keadaan anak-anak. Dan ketika libur hari besar seperti Lebaran, Natal dan Tahun Baru, mereka menyempatkan pulang berkumpul melepas rindu kepada buah hati mereka. Walaupun waktu libur yang diberikan oleh pihak perusahaan cuma dua minggu.
            “Tidak mungkin. Namanya juga mimpi, ma. Kita ‘kan baru saja berbicara lewat telepon dengan anak-anak dan mereka baik-baik saja,“ ayah meyakinkan ibu agar tidak terlalu cemas dengan keadaan anak mereka.
            Di tengah percakapan alot, suara handphone ayah menghentikan mereka.
            “Siapa pak?“
            Ayah langsung meraih sambil melihat layar handphone-nya. Di sana, terpampang panggilan masuk dari Mbok Sinda, pembantu mereka.
            “Mbok Sinda, ma.“
            “Angkat saja, pak. Siapa tahu ada berita penting.“
            Ayah menekan tombol hijau di handphone-nya, menjawab panggilan masuk.
            “Halo, Mbok Sinda,“
            “Ha-halo pak Hendra,“ Mbok Sinda berbicara terbata-bata sambil menangis sesunggukkan.
            “Halo mbok, ada apa? Kenapa mbok menangis?“ tanya Hendra lagi. Ia merasa firasat buruk akan diberitakan oleh pembantunya.
            “P-p-prakoso, pak,“ mulut mbok Sinda bergetar.
            “Ya,ya, ada apa mbok? Katakan saja,“ Pak Hendra semakin penasaran.
            “Prakoso... meninggal...“ 
            Bagaipetir menyambar di siang bolong. Berlalu cepat dan cukup membuat siapapun yang melihatnya pasti terkejut. Tak tahu lagi apa kata yang mampu mengungkapkan rasa shock yang mengguncang dirinya. Seperti ada beban berat yang tiba-tiba menimpa pundaknya, begitu mendengar kabar bahwa anak sulung mereka meninggal dunia. Degup jantung berdetak lemah. Mereka harus menerima kenyataan pahit, buah hati mereka sudah berpulang ke Sang Maha Kuasa.
            Sofia, ibunda Prakoso tak kuasa mendengar berita dukacita itu.  Tubuhnya terasa berat dan langsung terkulai lemas di pelukan Hendra.
            Tempat kejadian perkara masih ramai. Polisi yang berada di lokasi, terlihat masih sibuk melakukan pemeriksaan dan penyelidikan. Juga, mencari saksi mata dan barang bukti guna mengusut penyebab kecelakaan. Warga yang bermukim di sana datang berbondong-bondong mencari tahu siapa yang menjadi korban kecelakaan tragis itu. Kondisi mayat sungguh mengenaskan. Tulang tengkoraknya remuk setengah. Tulang pergelangan tangan dan kaki mencuat dari daging. Darah masih menggenang di sekitar jalan. Polisi langsung memasukkan mayat ke dalam kantong jenazah. Untuk menghilang darah yang masih tercecer, polisi mengambil sekarung pasir, menimbunnya agar tak kelihatan bekasnya. Mayat Prakoso sudah diangkut ke dalam mobil jenazah. Polisi yang masih melakukan penyelidikan, mengambil piloks dari dalam kantongnya kemudian menandai posisi mayat itu tergeletak.
            Tak jauh dari tempat kejadian, sekitar 15 meter, sebuah boneka mungil berwujud anak perempuan duduk santai.  Bola mata plastiknya menatap tajam dan dingin pada setiap orang yang berlalu-lalang di sana. Tak ada satupun mengira bahwa boneka itu mengamati setiap kejadian yang terjadi . Sesudah mobil ambulanmembawa mayat Prakoso, boneka itu menyunggingkan senyuman menakutkan di bibir kecilnya. Seolah-olah menunjukkan betapa senangnya dirinya menyaksikan kematian yang berada di depannya.
            Donni dan teman-temannya sudah berada di rumah duka. Bendera merah dipasang di pinggir jalan. Sudah banyak tetangga menunggu kedatangan jenazah dari rumah sakit. Mbok Sinda sudah memberitahukan kabar dukacita ini kepada kedua orangtuanya, masih menunggu kedatangan mereka. Teman-teman sekelas Prakoso juga masih menunggu mobil jenazah yang membawa jenazah Prakoso berpulang ke rumahnya.
            Donni, Heru, Indra, Shinta dan Lina tak menyangka bahwa Prakoso akan pergi secepat ini. Padahal tadi malam, mereka pulang bersama sehabis melakukan ritual pemanggilan arwah jelangkung yang tak kunung berhasi.
            Dalam ingatan teman sekelasnya, Prakoso juga dikenal pribadi yang pintar dan sangat disegani karena dia adalah ketua OSIS di sekolah. Lain halnya bagi Doni. Prakoso adalah salah satu teman baiknya. 
            Matanya berkaca mengingat semua kenangan yang dilalui bersama Prakoso. Ia ingat, waktu itu, dirinya sedang mengendarai sepeda motor dengan kecepatan tinggi sekitar 60 km/jam. Dia tak menyadari bahwa di depannya ada seorang anak kecil menaiki sepedanya sedang menyebrangi jalan. Jarak ujung sepeda motor dengan sepeda anak itu hanya 20 meter lagi. Donni tak mampu mengelakkan dan terjadilah sebuah tabrakan. Ia kehilangan keseimbangan dan jatuh di pinggiran jalan. Pedal sepeda motornya bengkok. Kaca spionnya pecah. Dirinya hanya mengalami luka lecet kecil di bagian sikut. Melihat lukanya tak tak terlalu parah, dia langsung bangkit berdiri kemudian melihat keadaan anak itu.
            Syukurlah anak itu tak mengalami luka cukup parah. Dewi Fortuna berpihak pada anak itu. Ia hanya terkilir di bagian lengan sebelah kiri dan luka lecet di lutut kaki kiri dan kanan. Namun, sepedanya bengkok di bagian setang. Jari-jari ban sepeda juga peot. Donni berada dalam masalah besar. Ia tidak bisa pergi bersembunyi. Para warga sudah menahan sepeda motornya. Raut wajah Doni memperlihatkan kepanikan dan kekalutan.Dia bingung apa yang harus dilakukannya saat ini. Ditambah lagi, makin banyak warga datang mengerumuni dirinya.
            Prakoso kebetulan lewat dari jalan itu. Dia melihat semua orang mengerumuni sesuatu. Prakoso mencoba menerobos kerumunan orang. Ia sungguh terkejut. Ternyata temannya, Donni terpekur merenungi apa yang terjadi pada dirinya. Prakoso bergegas menuju Donni dan bertanya.
            “Apa yang terjadi, kawan?“
            “Ceritanya panjang. Tapi, bisakah kau membantuku?“
            Dipandangnya apa yang berada di sekelilingnya. Dia mengerti. Kawannya telah menabrak seorang anak kecil. Untungnya anak kecil itu tidak mati. Tapi, dia kasihan melihat anak kecil itu menangis meringis melihat luka di sikutnya itu. Sangat perih dirasakannya. Prakoso melangkah ke arah waraga yang berkumpul, memberitahu mereka untuk membawa anak kecil itu ke puskesmas terdekat. Prakoso mengantar pulang kawannya untuk memberitahu orangtuanya tentang nasib sialnya—menabrak seorang anak kecil.
            Itulah seberkas ingatan yang terlintas di pikirannya tentang kebaikan Prakoso kepadanya. Rasa tak percaya hinggap dalam alam pikirannya—kenapa sahabatnya bisa pergi secepat ini. Dia beranggapan bahwa yang meninggal dalam kecelakaan itu bukanlah Prakoso melainkan orang lain. Tapi, pihak kepolisian sudah memeriksa dengan teliti bahwa korban kecelakaan adalah Prakoso, teman baiknya.
            “Donni, aku juga merasa sedih mendengar berita ini,“ ujar Lina sambil memegang pundak Donni.
            “Aku sama sekali tidak menyangka, Prakoso akan pergi secepat ini.“ sahut Donni seraya menghela napas kecil.
            “Kita serahkan saja semua pada Sang Kuasa. Ini sudah jadi rencanaNya.“
            Dari kejauhan, suara sirene bergema keras mendekat ke rumah duka. Semua tetangga, keluarga dekat maupun teman satu sekolahnya sudah bersiap meyambut kedatangan jenazah. Akhirnya, mobil ambulans sudah tiba. Petugas ambulans segera turun dari pintu belakang lalu mengangkat jenazah menuju ke dalam rumah duka.
            Beberapa orang tampak ikut membantu mengangkat jenazah yang kelihatannya agak berat. Donni bergegas membantu mereka. Mereka sangat berhati-hati mengangkatnya supaya tidak terjatuh ke lantai. Dengan sedikit bantuan, mereka bisa meletakkan peti matidi tengah ruang tamu. Doni mengamati sejenak jenazah Prakoso. Wajah Prakoso terlihat sedikit gepeng seperti terkena benturan benda keras. Tulang tengkoraknya juga nampak mencuat. Namun, entah kenapa warna kulit jenazah temannya menjadi lebih kehitaman. Donni menepis semua keganjilan dengan beranggapan bahwa mungkin pihak rumah sakit menyuntikkan formalin dengan dosis tinggi.
            Lina duduk di samping Doni juga ikut merasakan kesedihan akibat meninggalnya Prakoso. Walaupun dia tidak terlalu mengenal dekat Prakoso, setidaknya, dia tahu bahwa Prakoso adalah seorang ketua OSIS aktif dalam berbagai acara penting di sekolah.
            Pandangan mata Lina tertuju pada seorang wanita berkerudung hitam dan berkacamata hitam berdiri di barisan terbelakang. Ia seperti mengenal wanita yang berada di sana.
            “Kenapa ibu Hesty ada di sini?“ tanya Lina dalam hati.
            “Apa kuhampiri saja? Ah, jangan. Akan kujumpai setelah acara pemakaman.“
            Dia memutuskan menjumpai gurunya setelah acara pemakaman. Kalau diamati, hanya Hesty, guru dari pihak sekolah yang datang ke acara itu. Tak ada guru lain selain Hesty yang berada di sana.
            Di ruang makan, seseorang sedang sibuk berbicara via telepon. Mimik wajah serius.Ini menandakan bahwa sang penelepon sedang membicarakan hal yang sangat darurat.
            “Mbok, apakah jenazah Prakoso sudah tiba di rumah?“ tanya ibu Prakoso. Suara ibundanya serak kering. Mungkin,dia sudah terlalu lama menangis.
            “Sudah bu. Sebentar lagi mau dikuburkan.“
            “Syukurlah. Saya mungkin akan tiba satu setengah jam lagi. Tapi, kalau bisa, tunggu sampai kami datang, baru bisa dikuburkan.“ tandas mbok Sinda.
            “Baik bu , akan saya sampaikan.“ tutup Mbok Sinda sambil memasukkanhandphone-nya.
Mbok Sinda mengintip dari balik tembok. Matanya mengitari sekeliling ruang tamu, mencari pihak kerabat yang mengurus acara pemakaman ini. Setelah lama  dicari, akhirnya Mbok Sinda menemukannya. Dia berjalan dengan merendahkan badannya sambil meluruskan tangannya ke bawah. Dirinya melewati kerumuman manusia yang memadati ruang tamu. Sesampainya di sana, dia membisikkan sesuatu kepada pihak kerabat. Mereka menganggukkan kepala setelah dirinya menyampaikan pesan yang dikatakan majikannya tadi. Donni, Lina, dan teman-temannya yang lain bertanya-tanya dalam hati, apa yang dibicarakan oleh mereka. Namun, mereka sendiri pun juga tidak mau mencampuri urusan keluarga Prakoso.Mereka bisa mengantar teman mereka ke tempat peristirahatan terakhir, itu sudah cukup.
Satu setengah jam lamanya mereka menunggu waktu penguburan Prakoso. Air muka para pelayat mulai menunjukkan rasa bosan dan jenuh. Apalagi, ruang tamu begitu padat dan sarat dengan berbagai aroma badan. Oksigen di ruang tamu semakin menipis. Banyak para tamu dan tetangga memilih keluar dari ruangan, menghirup udara segar sambil menunggu kedatangan orang tua dari almarhum Prakoso.
Dari kejauhan, mereka melihat sebuah taksi hendak mendekati rumah duka. Taksi itu membawa dua penumpang di dalamnya. Dari dalam taksi itu, seseorang membuka pintu. Seorang wanita paruh baya keluar searaya menangis histeris, berlari menerobos kerumuman orang di dalamnya.
Langkah kaki terhalang oleh padatnya manusia yang duduk bergerombol. Mereka menyanyikan nyanyian sedih di depan jenazah Prakoso. Ibunya langsung bersimpuh di depan peti mati putranya. Air mata kesedihan mengalir dari sela-sela kelopak matanya. Membasahi wajah dan pipi dari seorang ibu yang kehilangan putra kesayangannya. Dipandangnya wajah putranya yang tak lagi rupawan. Separuh dari tulang pipinya remuk. Banyak luka parut di sekujur tubuhnya. Lengan Prakoso tak lagi lurus melainkan bengkok ke kiri.
“Nak, bangun nak. Ayah dan ibu sudah datang. Apa kamu tidak mau menyambut kedatangan ayah dan ibumu, nak?“ Ibunya terus berbicara berharap akan ada jawaban yang keluar dari mulut putranya.
“Nak, ayah juga sudah datang. Ayah tak menyangka kamu akan pergi secepat ini meninggalkan ayah dan ibumu. Apa kamu tak sayang lagi pada ayahmu?“ ayahnya juga menangisi mayat putranya yang terbujur kaku, mendingin sembari mengusap lembut kepalanya..
Semua pelayat yang berada di sana, tak sanggup menahan air mata mereka melihat pemandangan menyedihkan ini. Sungguh menyayat hati dan perasaan. Orang tua mana yang tidak sedih melihat anak mereka yang sudah dibesarkan dengan sepenuh hati, mati secara mengenaskan.
Terik matahari mulai menyengat badan para pelayat yang mengantarkan Prakoso ke tempat peristirahat terakhirnya. Jenazah Prakoso diantar dengan menggunakan ambulance. Suara sirine menggema. Membuat orang yang mendengarnya, pasti mengerti bahwa ada seseorang yang meninggal di dalam mobil itu. Ayah dan ibu almarhum Prakoso berjalan bersama dengan para pelayat yang terdiri dari para tetangga, kerabat, dan teman satu sekolah Prakoso. Mereka berdua masih tenggelam dalam suasana berkabung. Seolah, kesedihan itu hanya mereka berdua saja yang merasakannya.
Panasnya mentari tak menyurutkan langkah mereka. Mereka terus berjalan walau keringat terus mengalir dari kening. Mereka telah tiba di tanah pemakaman dalam waktu 15 menit. Dua tukang pengggali kubur sudah bersiap dengan lubang sedalam satu setengah meter yang selesai mereka gali. Hanya menunggu peti mati itu dimasukkan ke dalamnya.
            Para petugas ambulance yang berada di pintu belakang, memanggil teman mereka yang berada di depan untuk membantu mereka mengangkat peti jenazah yang lumayan berat. Para pelayat yang melihat para petugas ambulance yang agak kesulitan mengangkat peti, berinisiatif membantu mereka. Barulah peti bisa diangkat. Kemudian, diletakkan di pinggir lubang galian. Para penggali kubur menyiapkan tali tambang yang diikatkan di paku pengait di bagian atas dan bawah kayu penutup peti jenazah.
            Untuk memasukkan peti ke dalam lubang, peti itu ditarik pelan-pelan. Sangat hati-hati hingga peti mati menyentuh sedikit bagian dinding lubang galian. Sekarang, peti itu harus diturunkan sampai menyentuh dasar lubang galian. Tali tambang diulur perlahan-lahan. Tukang penggali kubur yang memegang tali, dibantu oleh dua orang dibelakang mereka agar tidak licin di tangan mereka. Dengan teknik ulur tali yang rumit, tentu membuat tangan mereka memerah. Seluruh bagian bawah peti mati sudah menyentuh dasar galian. Sudah tiba waktunya untuk menguburkan. Sang pendeta sudah “mendoakannya” terlebih dahulu. Ia mendapat giliran pertama melempar tanah ke dalam liang lahat. Disusul kedua orang tua almarhum. Suara isak tangis sang bunda masih terdengar. Dengan hati yang hancur, ibunya mengambil segenggam tanah, melemparnya ke dalam liang lahat. Tiba gilirannya ayahnya sekarang. Tak ada lagi tetesan air mata mengalir di sudut kelopak matanya. Ia cukup tenang. Para pelayat mengira ayah Prakoso sudah ikhlas menerima kepergian Prakoso. Tapi, mereka tidak tahu bahwa ayahnya juga belum bisa merelakan kepergian putranya. Mereka berdua sama hancurnya sekarang.
            Tiba waktunya para penggali menimbun peti dengan tanah yang sudah mereka gali. Tanah merah perlahan menutupi sedikit demi sedikit bagian peti. Dan semuanya sudah tertutupi . Yang terlihat hanya timbunan tanah yang mulai menutupi liang lahat.
            “Selamat jalan teman, selamat tinggal. Semoga tidurmu tenang di alam sana.“ kata Donni dalam hati sambil memejamkan matanya sejenak.
            Usai dikuburkan, satu per satu para pelayat mulai meninggalkan area pemakaman begitu juga teman-temannya Prakoso. Yang masih tersisa hanya orang tua Prakoso dan adik perempuan Prakoso, Melly. Lina yang ingin segera pulang ke rumahnya, tiba - tiba teringat akan sesuatu. Ya, dia baru ingat untuk menghampiri ibu Hesty setelah acara pemakaman Prakoso usai. Tapi, ia tidak menemukan ibu Hesty di sana. Ia sendiri ingin menyusul tapi ia sendiri tidak tahu di mana rumah ibu Hesty.
            Sementara itu, Indra sedang dalam perjalanan pulang menuju rumahnya. Dia tidak sempat melihat detik-detik terakhir temannya terpendam dalam liang lahat karena ayahnya mendadak menelepon dirinya. Setelah menerima telepon dari ayahnya, Indra meminta izin pulang terlebih dahulu kepada orang tua dan teman-temannya. Sambil mengendarai sepeda motornya, dia berpikir sejenak. Menduga-duga dalam hati. Ada yang tidak beres dengan kematian temannya. Walaupun polisi sudah menetapkan bahwa Prakoso meninggal murni karena kecelakaan, dia tak sependapat dengan kesimpulan pihak kepolisian. Dia menduga, kematian Prakoso erat hubungannya dengan boneka jelangkung yang dibuangnya itu.
            Dirinya kembali fokus dengan sepeda motor dan jalan yang berada dihadapannya. Dia tidak mau terlalu cepat memutuskan kesimpulan. Mungkin juga, ayahnya menyuruhnya pulang karena ayahnya tahu penyebab kematian Prakoso yang sebenarnya. Ia sangat percaya pada ayahnya karena ayahnya punya ilmu terawang yang mumpuni.
            Saat dirinya sedang fokus mengemudi, tepat di depannya, sebuah boneka perempuan lusuh dan berambut panjang duduk di tengah jalan. Sontak hal itu membuatnya terkejut. Dia mendadak menekan pedal rem hingga membuatnya sedikit terlonjak ke depan. Indra terlebih dahulu menyingkirkan sepeda motornya ke pinggir jalan. Setelah itu, dia berjalan ke tengah jalan, melihat boneka itu.
            Indra meraih boneka dan memandanginya.
“Bukankah ini boneka yang kami pakai semalam? Kenapa bisa ada di sini?“ ujar Indra sambil mengelus dagunya.
“Dan, lagipula ini ‘kan tempat si Prakoso kecelakaan? Apa...“ Indra tak mau meneruskan perkataannya. Dia langsung memasukkan boneka ke dalam tasnya dan segera men-stater sepeda motornya.
“Aku harus beri tahu ayah tentang ini.“
Ketika Indra sedang konsentrasi dengan motornya, sebuah tangan mungil menyeruak hingga membuat tas itu terbuka sebagian. Kepala boneka menyembul dan mendongak ke atas. Ia melihat bahwa dirinya sedang dibawa oleh seorang laki-laki.
Tak butuh lama, Indra sudah sampai di rumahnya. Indra mengetuk pintu luar tapi tak ada yang membuka dari dalam. Tak sengaja dirinya menarik gagang pintu dan ternyata tak dikunci sama sekali.
“Ayah... Ayah...“ Indra memanggil ayahnya tapi tak disahut.
Indra mencari ayahnya di kamar tapi dia tak menemukan ayahnya di sana. Ia terus berjalan sambil memanggil-manggil ayahnya. Sampai dia menemukan seseorang berdiri membelakanginya. Wajahnya menghadap ke jendela.
“Ayah, apakah itu kau?“ Indra bertanya, memastikan apakah sosok yang ada di depannya itu adalah ayahnya.
“Ya nak, ini ayah. Ayah senang kamu pulang tepat waktu. Ayah ingin membicarakan sesuatu yang penting padamu,“ ujar ayah seraya memutar badannya ke belakang.
“Apa ini tentang kematian temanku, Prakoso?“
Ayahnya mengangguk pelan mendengar pertanyaan putranya.
            “Setelah ayah melihat dengan mata batin ayah, kematian temanmu bukan karena kecelakaan biasa tapi ada makhluk halus yang ikut campur di dalamnya,“
            Indra sedikit terperangah mendengar perkataan ayahnya. Berarti dugannya pun tak salah bahwa kematian temannya bukan karena kecelakaan belaka.
            “Aku juga ingin memberitahu ayah. Kemarin, kami melakukan ritual pemanggilan roh halus. Kami sudah menyiapkan boneka sebagai media roh. Aku sangat heran, mungkin sudah 3 kali aku merapal mantra untuk mengundang roh masuk ke dalam boneka tapi boneka itu tak menunjukkan tanda apapun, apakah—“
            “Sebenarnya, roh yang kauundang sudah berada di sekitar kalian hanya saja...“ Ayahnya memotong pembicaraan anaknya.
            “Tapi, kenapa roh itu tidak mau merasuk ke dalam boneka?“ Indra agak terkejut tapi dia mencoba serius mendengar penjelasan ayahnya.
            “Arwah yang kalian panggil itu bukan arwah sembarangan. Ayah melihat ada seseorang yang menggunakannya sebagai pesugihan atau mencari tumbal.“
            Indra tak lagi menanggapi perkataan ayahnya. Dia langsung mengambil tas punggungnya. Dengan tangan gemetar, dia membuka resleting tasnya.
            “Apa yang sedang kau lakukan, nak?“
            “Aku hanya ingin mengambil boneka yang kami pakai dalam ritual itu. Tadi, aku menemukannya di jalan saat aku hendak pulang ke rumah,“ ujar Indra. Tangan kanannya mengaduk isi tasnya.
            “Kalau begitu cepat! Kita akan mencoba memanggil roh itu dan mencari tahu siapa tuannya,“ sambung ayahnya.
            Akhirnya tas sudah terbuka. Namun, alangkah terkejutnya, dia tak menemukan boneka itu dalamnya. Ia bolak-balik membongkar seluruh kantong di dalam maupun di luar tasnya , namun dirinya tak menemukan apapun.
            “Ada apa?!“ sang ayah bertanya di saat anaknya mulai panik mencari boneka. 
            “Bonekanya hilang, pak!“ sentak Indra.
            Sang ayah juga terkejut mendengar boneka yang dibawa anaknya itu hilang. Tapi, dia mencoba untuk tidak panik. Matanya berkonsentrasi, mengedarkan pandangannya ke seluruh bagian di ruangan. Saat mereka sedang sibuk mencari, suara tawa cekikikan terdengar menggelegar di ruangan itu.
            “Hihihiii, apa kalian sedang mencariku?!“
            Indra yang ketakutan mendengar suara tawa menakutkan itu, mulai mendekati ayahnya.
            “Hey, di mana kau?!“ ayahnya balik bertanya dengan suara lantang seperti orang yang menantang perkelahian.
            Indra kebingungan mencari sumber suara misterius itu. Matanya tak sengaja melihat boneka yang dibawanya sudah berada di dapur.
            “Itu dia bonekanya!“ pekik Indra sambil menunujuk pada boneka.
            Ayahnya juga melihat boneka itu sudah berada di dapur. Keduanya bergegas menuju dapur untuk mengambil boneka itu. Ketika mau mengambil boneka, asap pekat menghalangi pandangan mereka dan menutupi boneka. Indra dan ayahnya sedikit terperanjat. Bulu kuduk mereka merinding hebat ketika asap yang menghalangi pandangan mereka mulai menipis.
            Sosok makhluk halus berwujud wanita berambut panjang menutup wajahnya. Wajah pucat pasi dengan kulit wajah mengelupas dan tidak mempunyai bola mata. Indra yang berdiri di belakang ayahnya bergidik ngeri. Mulutnya kelu. Dia sulit mengeluarkan sepatah kata.
            “Siapa kamu?“ ayah Indra mulai bertanya pada makhluk itu.
            Mendengar seseorang bertanya padanya, sosok itu mendongak perlahan-lahan. Wujud mengerikannya secara berubah dratis. Tak ada lagi kulit terkelupas dan mengeluarkan bau busuk. Ia sudah memiliki bola mata Tapi, itu semua tak mengurangi aura mistis yang menyelimutinya. Malah semakin menambah kengeriannya. Tatapan dingin dan nanar seperti hendak mengintai mangsa.
            “Tumbal. Anakmu adalah tumbal untukku.“ Kuku tajamnya menunjuk ke arah Indra yang berdiri di belakang ayahnya. Sontak dirinya terhentak. Napasnya tercekat. Kerongkongannya kering. Indra sadar kini maut sedang mengincar nyawanya.
            “ Kalau begitu, takkan kubiarkan kau menyentuh anakku! “ hardik sang ayah sambil menyiapkan kuda-kuda, bersiap menyerang makhluk itu.
            Makhluk itu bersiap menyerang. Ia terbang memelesat dan kini sudah berada di hadapan ayah Indra. Gerakan refleks kepalanya mampu mengelak cakarannya yang sangat cepat dan mematikan. Dia berniat menyerang balik makhluk itu dengan mengepalkan tangannya sambil merapal mantra. Mungkin, untuk menambah keampuhan jurus tenaga dalam yang ada di kepalan tangannya. Makhluk itu terlihat sedikit lengah. Ayah mendaratkan tinju ke dadanya . Makhluk itu terpental. Ia meraung kesakitan. Memanfaatkan kondisi itu, ayah mendaratkan pukulan telapak tangan ke hadapan makhluk itu. Sekali lagi, pukulan itu membuatnya terpental dan berteriak kesakitan. Ia hampir saja mati.
            Indra berdiri jauh dari ayahnya. Indra tak ingin mengganggu pertarungan sengit antara makhluk itu dan ayahnya. Makhluk itu tak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Ayah Indrasedang mengumpulkan kekuatan untuk melancarkan serangan terakhir. Dia terbang cepat dan sampai tepat di depan Indra. Menyadari anaknya dalam bahaya besar, dia bergegas berlari pada anaknya. Naas. Cengkraman tangan makhluk itu menggenggam wajahnya. Dirinya melolong kesakitan. Cengkraman makhluk itu melepuhkan kulit wajahnya hingga dia memekik, menahan rasa perih luar biasa. Dengan gesitnya, dia melepaskan cengkramannya dan mencekik lehernya. Erangan tak jelas terdengar dari mulut sang ayah dibarengi dengan gumaman. Tubuhnya mengejang, lemas tak berdaya. Nyawanya melayang. Melihat korbannya tak bernyawa lagi, dengan entengnya, dia melemparkan tubuh itu ke dinding dan mengenai kepalanya. Batok kepalanya pecah. Darah merah kental membasahi dinding. Tubuh tak berdaya itu tergeletak di atas lantai bersimbah darah.
            “AYAAAH!!!“ Indra berteriak sekencang-kencangnya melihat ayah yang disayanginya tewas secara mengenaskan di tangan makhluk itu.
            Usai membunuh korbannya, makhluk itu menolehkan kepalanya ke samping. Bola matanya mendelik penuh.
            “Kamu selanjutnya...“
            Makhluk itu melayang pelan sambil tersenyum jahat melihat mangsanya sudah tak bisa berbuat apa-apa.
            “Ja-ja-jangan! Jangan bunuh aku! JANGAN!!!“ pekik Indra sambil berjalan mundur menghindari makhluk itu. Tapi dirinya sulit menggerakkan kaki. Sendi-sendinya beku. Sekarang makhluk itu berada di hadapannya. Rasa takut dan panik menguasai pikirannya. Jantungnya berdegup tak beraturan. Napasnya tersendat-sendat. Keringat dingin terus mengalir dari atas dahinya. Indra merasakan hembusan nafas makhluk menerpa wajahnya. Begitu dingin.
“Aookhh!“
            Tangan dingin itu menembus dada Indra. Darah segar membasahi tangan makhluk keji itu. Mulut Indra menganga lebar. Di sana, darah segarmengalir deras, membasahi lehernya.
            Makhluk itu mencabut tangannya yang menembus dada Indra. Tubuh malang Indra ditinggalkan begitu saja bersamaan dengan tawa kepuasaan. Aura kematian begitu pekat dalam rumah dibalut keheningan mencekam. Sosok itu lenyap bak embusan napas.