Suasana pagi begitu
tenang di apatemen mewah bertingkat 12. Apartemen itu dilengkapi dengan tempat
parkir dan taman bermain sederhana. Di sana juga terdapat berbagai permainan
anak-anak seperti ayunan, perosotan, dan permainan outbond. Di dalam apartemen,terdapat bagian basement, tempat para
penghuni bisa memakirkan sepeda motor mereka atau mobil-mobil mereka di sana.
Di samping itu juga, terdapat lift dan tangga yang bisa digunakan untuk naik ke
lantai apartement ke tingkat lebih tinggi.
Di sebuah ruangan cukup besar, terdapat sepasang insan
manusia bercengkrama di atas meja makan. Terlihat serius tapi santai membicarakan
hal yang cukup pelik. Sofia Ivana, seorang wanita karier berusia 40 tahun bekerja
sebagai seorang sekretaris di sebuah perusahaan swasta asing terkenal di Riau.
Berpenampilan menarik dan wajah masih muda walaupun segaris keriput terpahat di
keningnya, tak membuat kecantikan di wajah nya memudar. Justru membuatnya
semakin cantik dan anggun.
Di samping Sofia, seorang lelaki tampan bersahaja dan
berwibawa sedang mengunyah sarapan paginya. Namanya Hendra Rotua. Lelaki
berusia 43 tahun. Sama seperti istrinya , dia juga bekerja di sebuah perusahaan
swasta di Riau sebagai manager.
Awalnya, dirinya bekerja sebagai karyawan biasa. Namun, karena kecerdasannya
dalam memberikan ide-ide brilian dalam memajukan perusahaan, sang presiden
perusahaan menaikkan jabatannya sebagai manager.
Lagipula, ada hal yang membuat sang presiden menaikkan jabatannya sebagai
manager yaitu kejujuran dan kerja kerasnya. Tak pernah keluhan terucap dari
mulutnya. Itu menunjukkan bahwa dirinya
sangat loyal dengan pekerjaannya.
Tapi sepertinya, Mereka tidak sedang membicarakan masalah
bisnis. Wajah Sofia terlihat cemas.
“Ma, ada apa sih? Akhir-akhir ini, mama kok terlihat
cemas sekali? Apakah ada sesuatu yang sedang mama pikirkan?“ usut ayah.
“Iya, pak. Aku mengkhawatirkan keadaan anak kita,
terutama Prakoso. Semalam ibu bermimpi pak, aku melihat Prakoso ditabrak oleh
truk besar. Anehnya lagi, Prakoso diikuti sesosok makhluk berambut panjang. Ibu
takut sekali anak kita kenapa-napa...“
Memang, sudah tiga tahun mereka meninggalkan anak mereka
dan mempercayakan seorang pembantu untuk menjaga mereka. Saat itu, Prakoso
masih berumur 14 tahun. Ia duduk di kelas VIII SMP dan adiknya, Melly berumur
12 tahun. Dia duduk di kelas 6 SD. Meskipun mereka jauh dari orang tua, tapi
ayah dan ibu mereka setiap dua bulan sekali, sekadar menanyakan kabar dan
keadaan anak-anak. Dan ketika libur hari besar seperti Lebaran, Natal dan Tahun
Baru, mereka menyempatkan pulang berkumpul melepas rindu kepada buah hati mereka.
Walaupun waktu libur yang diberikan oleh pihak perusahaan cuma dua minggu.
“Tidak mungkin. Namanya juga mimpi, ma. Kita ‘kan baru
saja berbicara lewat telepon dengan anak-anak dan mereka baik-baik saja,“ ayah meyakinkan
ibu agar tidak terlalu cemas dengan keadaan anak mereka.
Di tengah percakapan alot, suara handphone ayah menghentikan mereka.
“Siapa pak?“
Ayah langsung meraih sambil melihat layar handphone-nya. Di sana, terpampang panggilan
masuk dari Mbok Sinda, pembantu mereka.
“Mbok Sinda, ma.“
“Angkat saja, pak. Siapa tahu ada berita penting.“
Ayah menekan tombol hijau di handphone-nya, menjawab panggilan masuk.
“Halo, Mbok Sinda,“
“Ha-halo pak Hendra,“ Mbok Sinda berbicara terbata-bata
sambil menangis sesunggukkan.
“Halo mbok, ada apa? Kenapa mbok menangis?“ tanya Hendra
lagi. Ia merasa firasat buruk akan diberitakan oleh pembantunya.
“P-p-prakoso, pak,“ mulut mbok Sinda bergetar.
“Ya,ya, ada apa mbok? Katakan saja,“ Pak Hendra semakin
penasaran.
“Prakoso... meninggal...“
Bagaipetir menyambar di siang bolong. Berlalu cepat dan
cukup membuat siapapun yang melihatnya pasti terkejut. Tak tahu lagi apa kata yang
mampu mengungkapkan rasa shock yang mengguncang dirinya. Seperti ada beban
berat yang tiba-tiba menimpa pundaknya, begitu mendengar kabar bahwa anak
sulung mereka meninggal dunia. Degup jantung berdetak lemah. Mereka harus
menerima kenyataan pahit, buah hati mereka sudah berpulang ke Sang Maha Kuasa.
Sofia, ibunda Prakoso tak kuasa mendengar berita dukacita
itu. Tubuhnya terasa berat dan langsung
terkulai lemas di pelukan Hendra.
Tempat kejadian perkara masih ramai. Polisi yang berada
di lokasi, terlihat masih sibuk melakukan pemeriksaan dan penyelidikan. Juga,
mencari saksi mata dan barang bukti guna mengusut penyebab kecelakaan. Warga yang
bermukim di sana datang berbondong-bondong mencari tahu siapa yang menjadi
korban kecelakaan tragis itu. Kondisi mayat sungguh mengenaskan. Tulang
tengkoraknya remuk setengah. Tulang pergelangan tangan dan kaki mencuat dari
daging. Darah masih menggenang di sekitar jalan. Polisi langsung memasukkan
mayat ke dalam kantong jenazah. Untuk menghilang darah yang masih tercecer,
polisi mengambil sekarung pasir, menimbunnya agar tak kelihatan bekasnya. Mayat
Prakoso sudah diangkut ke dalam mobil jenazah. Polisi yang masih melakukan
penyelidikan, mengambil piloks dari dalam kantongnya kemudian menandai posisi
mayat itu tergeletak.
Tak jauh dari tempat kejadian, sekitar 15 meter, sebuah boneka
mungil berwujud anak perempuan duduk santai. Bola mata plastiknya menatap tajam dan dingin
pada setiap orang yang berlalu-lalang di sana. Tak ada satupun mengira bahwa boneka
itu mengamati setiap kejadian yang terjadi . Sesudah mobil ambulanmembawa mayat
Prakoso, boneka itu menyunggingkan senyuman menakutkan di bibir kecilnya.
Seolah-olah menunjukkan betapa senangnya dirinya menyaksikan kematian yang berada
di depannya.
Donni dan teman-temannya sudah berada di rumah duka.
Bendera merah dipasang di pinggir jalan. Sudah banyak tetangga menunggu kedatangan
jenazah dari rumah sakit. Mbok Sinda sudah memberitahukan kabar dukacita ini
kepada kedua orangtuanya, masih menunggu kedatangan mereka. Teman-teman sekelas
Prakoso juga masih menunggu mobil jenazah yang membawa jenazah Prakoso
berpulang ke rumahnya.
Donni, Heru, Indra, Shinta dan Lina tak menyangka bahwa
Prakoso akan pergi secepat ini. Padahal tadi malam, mereka pulang bersama
sehabis melakukan ritual pemanggilan arwah jelangkung yang tak kunung berhasi.
Dalam ingatan teman sekelasnya, Prakoso juga dikenal
pribadi yang pintar dan sangat disegani karena dia adalah ketua OSIS di sekolah.
Lain halnya bagi Doni. Prakoso adalah salah satu teman baiknya.
Matanya berkaca mengingat semua kenangan yang dilalui
bersama Prakoso. Ia ingat, waktu itu, dirinya sedang mengendarai sepeda motor
dengan kecepatan tinggi sekitar 60 km/jam. Dia tak menyadari bahwa di depannya
ada seorang anak kecil menaiki sepedanya sedang menyebrangi jalan. Jarak ujung
sepeda motor dengan sepeda anak itu hanya 20 meter lagi. Donni tak mampu mengelakkan
dan terjadilah sebuah tabrakan. Ia kehilangan keseimbangan dan jatuh di
pinggiran jalan. Pedal sepeda motornya bengkok. Kaca spionnya pecah. Dirinya
hanya mengalami luka lecet kecil di bagian sikut. Melihat lukanya tak tak
terlalu parah, dia langsung bangkit berdiri kemudian melihat keadaan anak itu.
Syukurlah anak itu tak mengalami luka cukup parah. Dewi
Fortuna berpihak pada anak itu. Ia hanya terkilir di bagian lengan sebelah kiri
dan luka lecet di lutut kaki kiri dan kanan. Namun, sepedanya bengkok di bagian
setang. Jari-jari ban sepeda juga peot. Donni berada dalam masalah besar. Ia
tidak bisa pergi bersembunyi. Para warga sudah menahan sepeda motornya. Raut
wajah Doni memperlihatkan kepanikan dan kekalutan.Dia bingung apa yang harus
dilakukannya saat ini. Ditambah lagi, makin banyak warga datang mengerumuni
dirinya.
Prakoso kebetulan lewat dari jalan itu. Dia melihat semua
orang mengerumuni sesuatu. Prakoso mencoba menerobos kerumunan orang. Ia
sungguh terkejut. Ternyata temannya, Donni terpekur merenungi apa yang terjadi
pada dirinya. Prakoso bergegas menuju Donni dan bertanya.
“Apa yang terjadi, kawan?“
“Ceritanya panjang. Tapi, bisakah kau membantuku?“
Dipandangnya apa yang berada di sekelilingnya. Dia
mengerti. Kawannya telah menabrak seorang anak kecil. Untungnya anak kecil itu
tidak mati. Tapi, dia kasihan melihat anak kecil itu menangis meringis melihat
luka di sikutnya itu. Sangat perih dirasakannya. Prakoso melangkah ke arah
waraga yang berkumpul, memberitahu mereka untuk membawa anak kecil itu ke
puskesmas terdekat. Prakoso mengantar pulang kawannya untuk memberitahu
orangtuanya tentang nasib sialnya—menabrak seorang anak kecil.
Itulah seberkas ingatan yang terlintas di pikirannya
tentang kebaikan Prakoso kepadanya. Rasa tak percaya hinggap dalam alam
pikirannya—kenapa sahabatnya bisa pergi secepat ini. Dia beranggapan bahwa yang
meninggal dalam kecelakaan itu bukanlah Prakoso melainkan orang lain. Tapi,
pihak kepolisian sudah memeriksa dengan teliti bahwa korban kecelakaan adalah Prakoso,
teman baiknya.
“Donni, aku juga merasa sedih mendengar berita ini,“ ujar
Lina sambil memegang pundak Donni.
“Aku sama sekali tidak menyangka, Prakoso akan pergi
secepat ini.“ sahut Donni seraya menghela napas kecil.
“Kita serahkan saja semua pada Sang Kuasa. Ini sudah jadi
rencanaNya.“
Dari kejauhan, suara sirene bergema keras mendekat ke
rumah duka. Semua tetangga, keluarga dekat maupun teman satu sekolahnya sudah
bersiap meyambut kedatangan jenazah. Akhirnya, mobil ambulans sudah tiba. Petugas
ambulans segera turun dari pintu belakang lalu mengangkat jenazah menuju ke
dalam rumah duka.
Beberapa orang tampak ikut membantu mengangkat jenazah
yang kelihatannya agak berat. Donni bergegas membantu mereka. Mereka sangat
berhati-hati mengangkatnya supaya tidak terjatuh ke lantai. Dengan sedikit
bantuan, mereka bisa meletakkan peti matidi tengah ruang tamu. Doni mengamati
sejenak jenazah Prakoso. Wajah Prakoso terlihat sedikit gepeng seperti terkena
benturan benda keras. Tulang tengkoraknya juga nampak mencuat. Namun, entah
kenapa warna kulit jenazah temannya menjadi lebih kehitaman. Donni menepis
semua keganjilan dengan beranggapan bahwa mungkin pihak rumah sakit
menyuntikkan formalin dengan dosis tinggi.
Lina duduk di samping Doni juga ikut merasakan kesedihan
akibat meninggalnya Prakoso. Walaupun dia tidak terlalu mengenal dekat Prakoso,
setidaknya, dia tahu bahwa Prakoso adalah seorang ketua OSIS aktif dalam
berbagai acara penting di sekolah.
Pandangan mata Lina tertuju pada seorang wanita
berkerudung hitam dan berkacamata hitam berdiri di barisan terbelakang. Ia
seperti mengenal wanita yang berada di sana.
“Kenapa ibu Hesty ada di sini?“ tanya Lina dalam hati.
“Apa kuhampiri saja? Ah, jangan. Akan kujumpai setelah
acara pemakaman.“
Dia memutuskan menjumpai gurunya setelah acara pemakaman.
Kalau diamati, hanya Hesty, guru dari pihak sekolah yang datang ke acara itu.
Tak ada guru lain selain Hesty yang berada di sana.
Di ruang makan, seseorang sedang sibuk berbicara via
telepon. Mimik wajah serius.Ini menandakan bahwa sang penelepon sedang membicarakan
hal yang sangat darurat.
“Mbok, apakah jenazah Prakoso sudah tiba di rumah?“ tanya
ibu Prakoso. Suara ibundanya serak kering. Mungkin,dia sudah terlalu lama
menangis.
“Sudah bu. Sebentar lagi mau dikuburkan.“
“Syukurlah. Saya mungkin akan tiba satu setengah jam
lagi. Tapi, kalau bisa, tunggu sampai kami datang, baru bisa dikuburkan.“
tandas mbok Sinda.
“Baik bu , akan saya sampaikan.“ tutup Mbok Sinda sambil
memasukkanhandphone-nya.
Mbok
Sinda mengintip dari balik tembok. Matanya mengitari sekeliling ruang tamu, mencari
pihak kerabat yang mengurus acara pemakaman ini. Setelah lama dicari, akhirnya Mbok Sinda menemukannya. Dia
berjalan dengan merendahkan badannya sambil meluruskan tangannya ke bawah.
Dirinya melewati kerumuman manusia yang memadati ruang tamu. Sesampainya di
sana, dia membisikkan sesuatu kepada pihak kerabat. Mereka menganggukkan kepala
setelah dirinya menyampaikan pesan yang dikatakan majikannya tadi. Donni, Lina,
dan teman-temannya yang lain bertanya-tanya dalam hati, apa yang dibicarakan
oleh mereka. Namun, mereka sendiri pun juga tidak mau mencampuri urusan
keluarga Prakoso.Mereka bisa mengantar teman mereka ke tempat peristirahatan
terakhir, itu sudah cukup.
Satu
setengah jam lamanya mereka menunggu waktu penguburan Prakoso. Air muka para
pelayat mulai menunjukkan rasa bosan dan jenuh. Apalagi, ruang tamu begitu
padat dan sarat dengan berbagai aroma badan. Oksigen di ruang tamu semakin
menipis. Banyak para tamu dan tetangga memilih keluar dari ruangan, menghirup
udara segar sambil menunggu kedatangan orang tua dari almarhum Prakoso.
Dari
kejauhan, mereka melihat sebuah taksi hendak mendekati rumah duka. Taksi itu
membawa dua penumpang di dalamnya. Dari dalam taksi itu, seseorang membuka
pintu. Seorang wanita paruh baya keluar searaya menangis histeris, berlari menerobos
kerumuman orang di dalamnya.
Langkah
kaki terhalang oleh padatnya manusia yang duduk bergerombol. Mereka menyanyikan
nyanyian sedih di depan jenazah Prakoso. Ibunya langsung bersimpuh di depan
peti mati putranya. Air mata kesedihan mengalir dari sela-sela kelopak matanya.
Membasahi wajah dan pipi dari seorang ibu yang kehilangan putra kesayangannya. Dipandangnya
wajah putranya yang tak lagi rupawan. Separuh dari tulang pipinya remuk. Banyak
luka parut di sekujur tubuhnya. Lengan Prakoso tak lagi lurus melainkan bengkok
ke kiri.
“Nak,
bangun nak. Ayah dan ibu sudah datang. Apa kamu tidak mau menyambut kedatangan
ayah dan ibumu, nak?“ Ibunya terus berbicara berharap akan ada jawaban yang keluar
dari mulut putranya.
“Nak,
ayah juga sudah datang. Ayah tak menyangka kamu akan pergi secepat ini
meninggalkan ayah dan ibumu. Apa kamu tak sayang lagi pada ayahmu?“ ayahnya
juga menangisi mayat putranya yang terbujur kaku, mendingin sembari mengusap
lembut kepalanya..
Semua
pelayat yang berada di sana, tak sanggup menahan air mata mereka melihat
pemandangan menyedihkan ini. Sungguh menyayat hati dan perasaan. Orang tua mana
yang tidak sedih melihat anak mereka yang sudah dibesarkan dengan sepenuh hati,
mati secara mengenaskan.
Terik
matahari mulai menyengat badan para pelayat yang mengantarkan Prakoso ke tempat
peristirahat terakhirnya. Jenazah Prakoso diantar dengan menggunakan ambulance. Suara sirine menggema.
Membuat orang yang mendengarnya, pasti mengerti bahwa ada seseorang yang
meninggal di dalam mobil itu. Ayah dan ibu almarhum Prakoso berjalan bersama
dengan para pelayat yang terdiri dari para tetangga, kerabat, dan teman satu
sekolah Prakoso. Mereka berdua masih tenggelam dalam suasana berkabung. Seolah,
kesedihan itu hanya mereka berdua saja yang merasakannya.
Panasnya
mentari tak menyurutkan langkah mereka. Mereka terus berjalan walau keringat terus
mengalir dari kening. Mereka telah tiba di tanah pemakaman dalam waktu 15 menit.
Dua tukang pengggali kubur sudah bersiap dengan lubang sedalam satu setengah
meter yang selesai mereka gali. Hanya menunggu peti mati itu dimasukkan ke
dalamnya.
Para petugas ambulance
yang berada di pintu belakang, memanggil teman mereka yang berada di depan
untuk membantu mereka mengangkat peti jenazah yang lumayan berat. Para pelayat
yang melihat para petugas ambulance yang agak kesulitan mengangkat peti, berinisiatif
membantu mereka. Barulah peti bisa diangkat. Kemudian, diletakkan di pinggir
lubang galian. Para penggali kubur menyiapkan tali tambang yang diikatkan di
paku pengait di bagian atas dan bawah kayu penutup peti jenazah.
Untuk memasukkan peti ke dalam lubang, peti itu ditarik
pelan-pelan. Sangat hati-hati hingga peti mati menyentuh sedikit bagian dinding
lubang galian. Sekarang, peti itu harus diturunkan sampai menyentuh dasar
lubang galian. Tali tambang diulur perlahan-lahan. Tukang penggali kubur yang
memegang tali, dibantu oleh dua orang dibelakang mereka agar tidak licin di
tangan mereka. Dengan teknik ulur tali yang rumit, tentu membuat tangan mereka
memerah. Seluruh bagian bawah peti mati sudah menyentuh dasar galian. Sudah tiba
waktunya untuk menguburkan. Sang pendeta sudah “mendoakannya” terlebih dahulu.
Ia mendapat giliran pertama melempar tanah ke dalam liang lahat. Disusul kedua
orang tua almarhum. Suara isak tangis sang bunda masih terdengar. Dengan hati yang
hancur, ibunya mengambil segenggam tanah, melemparnya ke dalam liang lahat. Tiba
gilirannya ayahnya sekarang. Tak ada lagi tetesan air mata mengalir di sudut
kelopak matanya. Ia cukup tenang. Para pelayat mengira ayah Prakoso sudah
ikhlas menerima kepergian Prakoso. Tapi, mereka tidak tahu bahwa ayahnya juga
belum bisa merelakan kepergian putranya. Mereka berdua sama hancurnya sekarang.
Tiba waktunya para penggali menimbun peti dengan tanah
yang sudah mereka gali. Tanah merah perlahan menutupi sedikit demi sedikit
bagian peti. Dan semuanya sudah tertutupi . Yang terlihat hanya timbunan tanah yang
mulai menutupi liang lahat.
“Selamat jalan teman, selamat tinggal. Semoga tidurmu
tenang di alam sana.“ kata Donni dalam hati sambil memejamkan matanya sejenak.
Usai dikuburkan, satu per satu para pelayat mulai
meninggalkan area pemakaman begitu juga teman-temannya Prakoso. Yang masih
tersisa hanya orang tua Prakoso dan adik perempuan Prakoso, Melly. Lina yang
ingin segera pulang ke rumahnya, tiba - tiba teringat akan sesuatu. Ya, dia
baru ingat untuk menghampiri ibu Hesty setelah acara pemakaman Prakoso usai.
Tapi, ia tidak menemukan ibu Hesty di sana. Ia sendiri ingin menyusul tapi ia
sendiri tidak tahu di mana rumah ibu Hesty.
Sementara itu, Indra sedang dalam perjalanan pulang
menuju rumahnya. Dia tidak sempat melihat detik-detik terakhir temannya terpendam
dalam liang lahat karena ayahnya mendadak menelepon dirinya. Setelah menerima
telepon dari ayahnya, Indra meminta izin pulang terlebih dahulu kepada orang
tua dan teman-temannya. Sambil mengendarai sepeda motornya, dia berpikir
sejenak. Menduga-duga dalam hati. Ada yang tidak beres dengan kematian temannya.
Walaupun polisi sudah menetapkan bahwa Prakoso meninggal murni karena
kecelakaan, dia tak sependapat dengan kesimpulan pihak kepolisian. Dia menduga,
kematian Prakoso erat hubungannya dengan boneka jelangkung yang dibuangnya itu.
Dirinya kembali fokus dengan sepeda motor dan jalan yang berada
dihadapannya. Dia tidak mau terlalu cepat memutuskan kesimpulan. Mungkin juga,
ayahnya menyuruhnya pulang karena ayahnya tahu penyebab kematian Prakoso yang sebenarnya.
Ia sangat percaya pada ayahnya karena ayahnya punya ilmu terawang yang mumpuni.
Saat dirinya sedang fokus mengemudi, tepat di depannya, sebuah
boneka perempuan lusuh dan berambut panjang duduk di tengah jalan. Sontak hal
itu membuatnya terkejut. Dia mendadak menekan pedal rem hingga membuatnya
sedikit terlonjak ke depan. Indra terlebih dahulu menyingkirkan sepeda motornya
ke pinggir jalan. Setelah itu, dia berjalan ke tengah jalan, melihat boneka itu.
Indra meraih boneka dan memandanginya.
“Bukankah
ini boneka yang kami pakai semalam? Kenapa bisa ada di sini?“ ujar Indra sambil
mengelus dagunya.
“Dan,
lagipula ini ‘kan tempat si Prakoso kecelakaan? Apa...“ Indra tak mau
meneruskan perkataannya. Dia langsung memasukkan boneka ke dalam tasnya dan
segera men-stater sepeda motornya.
“Aku
harus beri tahu ayah tentang ini.“
Ketika
Indra sedang konsentrasi dengan motornya, sebuah tangan mungil menyeruak hingga
membuat tas itu terbuka sebagian. Kepala boneka menyembul dan mendongak ke atas.
Ia melihat bahwa dirinya sedang dibawa oleh seorang laki-laki.
Tak
butuh lama, Indra sudah sampai di rumahnya. Indra mengetuk pintu luar tapi tak
ada yang membuka dari dalam. Tak sengaja dirinya menarik gagang pintu dan ternyata
tak dikunci sama sekali.
“Ayah...
Ayah...“ Indra memanggil ayahnya tapi tak disahut.
Indra
mencari ayahnya di kamar tapi dia tak menemukan ayahnya di sana. Ia terus
berjalan sambil memanggil-manggil ayahnya. Sampai dia menemukan seseorang
berdiri membelakanginya. Wajahnya menghadap ke jendela.
“Ayah,
apakah itu kau?“ Indra bertanya, memastikan apakah sosok yang ada di depannya
itu adalah ayahnya.
“Ya
nak, ini ayah. Ayah senang kamu pulang tepat waktu. Ayah ingin membicarakan
sesuatu yang penting padamu,“ ujar ayah seraya memutar badannya ke belakang.
“Apa
ini tentang kematian temanku, Prakoso?“
Ayahnya
mengangguk pelan mendengar pertanyaan putranya.
“Setelah ayah melihat dengan mata batin ayah, kematian
temanmu bukan karena kecelakaan biasa tapi ada makhluk halus yang ikut campur
di dalamnya,“
Indra sedikit terperangah mendengar perkataan ayahnya.
Berarti dugannya pun tak salah bahwa kematian temannya bukan karena kecelakaan
belaka.
“Aku juga ingin memberitahu ayah. Kemarin, kami melakukan
ritual pemanggilan roh halus. Kami sudah menyiapkan boneka sebagai media roh.
Aku sangat heran, mungkin sudah 3 kali aku merapal mantra untuk mengundang roh masuk
ke dalam boneka tapi boneka itu tak menunjukkan tanda apapun, apakah—“
“Sebenarnya, roh yang kauundang sudah berada di sekitar
kalian hanya saja...“ Ayahnya memotong pembicaraan anaknya.
“Tapi, kenapa roh itu tidak mau merasuk ke dalam boneka?“
Indra agak terkejut tapi dia mencoba serius mendengar penjelasan ayahnya.
“Arwah yang kalian panggil itu bukan arwah sembarangan. Ayah
melihat ada seseorang yang menggunakannya sebagai pesugihan atau mencari
tumbal.“
Indra tak lagi menanggapi perkataan ayahnya. Dia langsung
mengambil tas punggungnya. Dengan tangan gemetar, dia membuka resleting tasnya.
“Apa yang sedang kau lakukan, nak?“
“Aku hanya ingin mengambil boneka yang kami pakai dalam
ritual itu. Tadi, aku menemukannya di jalan saat aku hendak pulang ke rumah,“
ujar Indra. Tangan kanannya mengaduk isi tasnya.
“Kalau begitu cepat! Kita akan mencoba memanggil roh itu
dan mencari tahu siapa tuannya,“ sambung ayahnya.
Akhirnya tas sudah terbuka. Namun, alangkah terkejutnya,
dia tak menemukan boneka itu dalamnya. Ia bolak-balik membongkar seluruh kantong
di dalam maupun di luar tasnya , namun dirinya tak menemukan apapun.
“Ada apa?!“ sang ayah bertanya di saat anaknya mulai
panik mencari boneka.
“Bonekanya hilang, pak!“ sentak Indra.
Sang ayah juga terkejut mendengar boneka yang dibawa
anaknya itu hilang. Tapi, dia mencoba untuk tidak panik. Matanya
berkonsentrasi, mengedarkan pandangannya ke seluruh bagian di ruangan. Saat
mereka sedang sibuk mencari, suara tawa cekikikan terdengar menggelegar di
ruangan itu.
“Hihihiii, apa kalian sedang mencariku?!“
Indra yang ketakutan mendengar suara tawa menakutkan itu,
mulai mendekati ayahnya.
“Hey, di mana kau?!“ ayahnya balik bertanya dengan suara
lantang seperti orang yang menantang perkelahian.
Indra kebingungan mencari sumber suara misterius itu.
Matanya tak sengaja melihat boneka yang dibawanya sudah berada di dapur.
“Itu dia bonekanya!“ pekik Indra sambil menunujuk pada
boneka.
Ayahnya juga melihat boneka itu sudah berada di dapur. Keduanya
bergegas menuju dapur untuk mengambil boneka itu. Ketika mau mengambil boneka,
asap pekat menghalangi pandangan mereka dan menutupi boneka. Indra dan ayahnya
sedikit terperanjat. Bulu kuduk mereka merinding hebat ketika asap yang
menghalangi pandangan mereka mulai menipis.
Sosok makhluk halus berwujud wanita berambut panjang
menutup wajahnya. Wajah pucat pasi dengan kulit wajah mengelupas dan tidak
mempunyai bola mata. Indra yang berdiri di belakang ayahnya bergidik ngeri.
Mulutnya kelu. Dia sulit mengeluarkan sepatah kata.
“Siapa kamu?“ ayah Indra mulai bertanya pada makhluk itu.
Mendengar seseorang bertanya padanya, sosok itu mendongak
perlahan-lahan. Wujud mengerikannya secara berubah dratis. Tak ada lagi kulit terkelupas
dan mengeluarkan bau busuk. Ia sudah memiliki bola mata Tapi, itu semua tak
mengurangi aura mistis yang menyelimutinya. Malah semakin menambah
kengeriannya. Tatapan dingin dan nanar seperti hendak mengintai mangsa.
“Tumbal. Anakmu adalah tumbal untukku.“ Kuku tajamnya menunjuk
ke arah Indra yang berdiri di belakang ayahnya. Sontak dirinya terhentak.
Napasnya tercekat. Kerongkongannya kering. Indra sadar kini maut sedang
mengincar nyawanya.
“ Kalau begitu, takkan kubiarkan kau menyentuh anakku! “
hardik sang ayah sambil menyiapkan kuda-kuda, bersiap menyerang makhluk itu.
Makhluk itu bersiap menyerang. Ia terbang memelesat dan kini
sudah berada di hadapan ayah Indra. Gerakan refleks kepalanya mampu mengelak
cakarannya yang sangat cepat dan mematikan. Dia berniat menyerang balik makhluk
itu dengan mengepalkan tangannya sambil merapal mantra. Mungkin, untuk menambah
keampuhan jurus tenaga dalam yang ada di kepalan tangannya. Makhluk itu
terlihat sedikit lengah. Ayah mendaratkan tinju ke dadanya . Makhluk itu
terpental. Ia meraung kesakitan. Memanfaatkan kondisi itu, ayah mendaratkan
pukulan telapak tangan ke hadapan makhluk itu. Sekali lagi, pukulan itu
membuatnya terpental dan berteriak kesakitan. Ia hampir saja mati.
Indra berdiri jauh dari ayahnya. Indra tak ingin mengganggu
pertarungan sengit antara makhluk itu dan ayahnya. Makhluk itu tak ingin menyia-nyiakan
kesempatan. Ayah Indrasedang mengumpulkan kekuatan untuk melancarkan serangan
terakhir. Dia terbang cepat dan sampai tepat di depan Indra. Menyadari anaknya
dalam bahaya besar, dia bergegas berlari pada anaknya. Naas. Cengkraman tangan
makhluk itu menggenggam wajahnya. Dirinya melolong kesakitan. Cengkraman
makhluk itu melepuhkan kulit wajahnya hingga dia memekik, menahan rasa perih
luar biasa. Dengan gesitnya, dia melepaskan cengkramannya dan mencekik lehernya.
Erangan tak jelas terdengar dari mulut sang ayah dibarengi dengan gumaman.
Tubuhnya mengejang, lemas tak berdaya. Nyawanya melayang. Melihat korbannya tak
bernyawa lagi, dengan entengnya, dia melemparkan tubuh itu ke dinding dan
mengenai kepalanya. Batok kepalanya pecah. Darah merah kental membasahi
dinding. Tubuh tak berdaya itu tergeletak di atas lantai bersimbah darah.
“AYAAAH!!!“ Indra berteriak sekencang-kencangnya melihat
ayah yang disayanginya tewas secara mengenaskan di tangan makhluk itu.
Usai membunuh korbannya, makhluk itu menolehkan kepalanya
ke samping. Bola matanya mendelik penuh.
“Kamu selanjutnya...“
Makhluk itu melayang pelan sambil tersenyum jahat melihat
mangsanya sudah tak bisa berbuat apa-apa.
“Ja-ja-jangan! Jangan bunuh aku! JANGAN!!!“ pekik Indra
sambil berjalan mundur menghindari makhluk itu. Tapi dirinya sulit menggerakkan
kaki. Sendi-sendinya beku. Sekarang
makhluk itu berada di hadapannya. Rasa takut dan panik menguasai pikirannya.
Jantungnya berdegup tak beraturan. Napasnya tersendat-sendat. Keringat dingin
terus mengalir dari atas dahinya. Indra merasakan hembusan nafas makhluk menerpa
wajahnya. Begitu dingin.
“Aookhh!“
Tangan dingin itu menembus dada Indra. Darah segar membasahi
tangan makhluk keji itu. Mulut Indra menganga lebar. Di sana, darah segarmengalir
deras, membasahi lehernya.
Makhluk itu mencabut tangannya yang menembus dada Indra.
Tubuh malang Indra ditinggalkan begitu saja bersamaan dengan tawa kepuasaan. Aura
kematian begitu pekat dalam rumah dibalut keheningan mencekam. Sosok itu lenyap
bak embusan napas.